PREVALENSI DAN KORELASI INSOMNIA TERHADAP KEMAMPUAN KOGNITIF REMAJA USIA 15-18 TAHUN DI PANTI ASUHAN WIDHYA ASIH 1 DENPASAR
on
ISSN: 2303-1395
E-JURNAL MEDIKA, VOL. 5 NO.5, MEI, 2016
PREVALENSI DAN KORELASI INSOMNIA TERHADAP KEMAMPUAN KOGNITIF REMAJA USIA 15-18 TAHUN DI PANTI ASUHAN WIDHYA ASIH 1 DENPASAR
1Pande Putu Gede Krisna Bayu Pramana Rimbawan, 2Nyoman Ratep
1Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Bali, Indonesia 2Bagian/SMF Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah, Bali, Indonesia krisnabayupramana@gmail.com
ABSTRAK
Kemajuan di bidang teknologi dan perubahan pola hidup pada masyarakat, khususnya remaja mengakibatkan perubahan pada siklus tidur yang sangat mengganggu produktivitas, kualitas hidup hingga kemampuan kognitif. Banyak remaja mengeluhkan memiliki jam tidur yang sedikit, sulit untuk terbangun di pagi hari serta merasa sangat lemas dan mengantuk di siang harinya. Aktivitas yang padat dan kompleksitas permasalahan jati diri remaja menyebabkan kelompok usia ini sangat rentan terhadap gangguan tidur insomnia. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui prevalensi insomnia dan korelasinya terhadap kemampuan kognitif remaja usia 15-18 tahun yang tinggal di Panti Asuhan Widhya Asih 1 Denpasar. Subjek penelitian adalah 21 remaja usia 15-18 tahun yang terdiri dari 10 laki-laki (47,6%) dan 11 perempuan (52,4%). Penelitian menggunakan pendekatan potong lintang satu bulan terakhir. Di samping data demografi, digunakan juga kriteria diagnostik insomnia dengan instrumen Sleeping Disturbance Scale for Children (SDSC) dan diagnostik kemampuan kognitif menggunakan Mini Mental Status Examination (MMSE). Data dianalisa dengan program pengolah data SPSS versi 17. Prevalensi insomnia pada remaja di Panti Asuhan Widya Asih 1 Denpasar adalah 100%, dimana 47,6% mengalami insomnia ringan dan 47,6% lainnya mengalami insomnia sedang. Hanya 4,8% yang mengalami insomnia berat berdasarkan skor SDSC. Remaja dengan insomnia berat tersebut menderita skoliosis dan komplikasi paru yang menyebabkan kualitas tidurnya sangat buruk. Pada tes MMSE hampir seluruh remaja berada dalam rentang normal, namun hanya satu sampel yang mendapat skor 22 (probable gangguan kognitif).
Kata kunci: insomnia, kemampuan kognitif, remaja, SDSC, MMSE
PREVALENCE AND CORRELATION OF INSOMNIA ON TEENAGERS AGE 15-18 TO COGNITIVE ABILITIES IN WIDHYA ASIH 1 DENPASAR ORPHANAGE
ABSTRACT
The advances in technology and changes in lifestyle on society, especially teenagers resulted in changes to the sleep cycle that is very disturbing in productivity, quality of life and cognitive ability. Many teenagers complained have few hours of sleeping and difficult to awaken in the morning so they feel very weak and sleepy during the day. Many activities and complexity to the identity of teenagers causing this age group are particularly vulnerable to have sleeping disorders, insomnia. The purpose of this study was to determine the prevalence of insomnia and its correlation to the cognitive abilities of teenagers age 15-18 years, living in Widhya Asih 1 Denpasar orphanage. Subjects were 21 teenages age 15-18 years, which consisted of 10 men (47.6%) and 11 women (52.4%). The study used cross sectional, in addition to demographic data, diagnostic criteria for insomnia using Sleeping Disturbance Scale for Children (SDSC) and cognitive diagnostic using the Mini Mental Status Examination (MMSE). Data were analyzed by data processing SPSS version-17. The prevalence of insomnia on teenagers in Widya Asih 1 Denpasar orphanage were 100%, which were 47.6% had mild insomnia and other 47.6% experienced moderate insomnia. Only 4.8% were experiencing severe insomnia based on the SDSC score. Teenager with severe insomnia suffered from scoliosis and pulmonary complications that cause her sleep quality was very bad. In the MMSE test almost all teenagers were in the normal range, but only one sample got a score of 22 (probable cognitive impairment).
Keywords: insomnia, cognitive ability, teenagers, SDSC, MMSE
PENDAHULUAN
Tidur merupakan suatu proses fisiologis yang penting bagi kebutuhan hidup manusia. Seseorang tidak akan bisa bertahan hidup tanpa memiliki kualitas dan kuantitas tidur yang cukup, karena selama proses ini terjadi pemulihan untuk mengembalikan kondisi tubuh menjadi seperti semula. Apabila terjadi hambatan dalam proses tidur untuk waktu yang lama, maka keadaan fisik, psikis dan produktivitas orang tersebut juga akan terganggu.1,2 Sistem kekebalan tubuh manusia juga sangat dipengaruhi oleh intensitas tidur. Penelitian yang dilakukan oleh Scott memperlihatkan bahwa dalam keadaan tidur, tubuh akan meningkatkan sistem kekebalannya yang mana tidak terjadi pada saat seseorang terjaga. Dalam penelitian yang sama juga mengungkapkan bahwa tidur memegang peran penting dalam menjaga memori pada proses belajar.1 Seseorang yang mengalami gangguan tidur selama beberapa hari, akan mengalami kesulitan dalam berkonsentrasi, tidak efisien dalam melakukan aktivitasnya dan cenderung lebih cepat marah serta mengalami gangguan mood.2,3,4
Jenis gangguan tidur yang dialami sebagian besar orang adalah insomnia (80%) dan hipersomnia (15%). Sisanya merupakan gangguangangguan tidur yang jarang ditemui seperti somnabulisme (berjalan dalam tidur), kataplexi (kehilangan tonus otot saat tidur), paralisis tidur (perasaan tidak dapat bergerak sewaktu akan tebangun) dan halusinasi hipnagogik (mimpi yang seakan-akan hidup). Pada seorang dengan gejala insomnia biasanya sering diawali dengan terjadinya gangguan cemas maupun depresi yang diperburuk oleh keberadaan suatu penyakit organik ataupun masalah personal.2,5
Penderita insomnia memiliki karakteristik yang berbeda dengan orang yang waktu tidurnya pendek (short sleepers). Pada tipe short sleepers meskipun memiliki durasi tidur singkat, mereka
tetap merasa bugar sewaktu bangun tidur dan kegiatannya berjalan secara normal pada siang hari.6 Hampir semua orang di dunia pernah mengalami insomnia, setidaknya saat mencapai usia lanjut dan menjadi kronis pada sekitar 10% dari populasi. Berdasarkan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders-IV (DSM-IV), sekitar 20-49% populasi dewasa di Amerika Serikat pernah mengalami gejala insomnia dan diperkirakan 10-20% di antaranya mengalami insomnia kronis. Data yang dikumpulkan juga menyimpulkan bahwa wanita memiliki resiko 1,5 kali lebih tinggi untuk mengalami insomnia dibandingkan dengan pria.4,7
Kesulitan untuk memulai tidur, sering terbangun di malam hari dan sulit untuk tertidur kembali serta terbangun di pagi hari dengan keadaan tidak segar adalah gejala klasik dari insomnia.4 Berdasarkan riset internasional yang dilakukan oleh US Census Bureau, International Data Base pada tahun 2004, sebanyak 28 juta penduduk Indonesia mengalami insomnia. Pada tahun 2004, jumlah total penduduk Indonesia adalah 238 juta jiwa, jadi sekitar 11,7% yang mengalami insomnia saat itu dan jumlah ini akan terus bertambah seiring dengan perubahan pola hidup masyarakat.1,8
Kebutuhan tidur manusia berbeda-beda sesuai dengan umur dan aktivitasnya. Bayi normalnya tidur selama 13-16 jam perhari yang berfungsi untuk pertumbuhan dan perkembangan secara umum. Sedangkan anak-anak dan remaja membutuhkan tidur kurang lebih 8- 12 jam guna perkembangan otak dan ketahanan memori. Semakin tua, tingkat kebutuhan durasi tidur semakin kecil karena sebagian anggota tubuh tidak berfungsi secara optimal dan juga aktivitas lansia yang sangat minim.2,8
Dewasa ini, gangguan tidur bukan hanya merupakan suatu masalah kesehatan yang ditakuti
oleh orang dewasa. Anak-anak hingga remajapun mengalami gangguan serupa dikarenakan oleh perubahan pola hidup di masyarakat.9 Dalam beberapa tahun terakhir, studi epidemiologi mengungkapkan bahwa jumlah remaja yang mengalami gangguan tidur semakin meningkat. Penelitian yang dilakukan oleh Ohida dkk. terhadap para pelajar menunjukkan prevalensi gangguan tidur yang bervariasi mulai dari 15,3% hingga 39,2%, bergantung pada jenis gangguan tidur yang dialami.9,10
Aktivitas yang padat dan kompleksitas permasalahan jati diri remaja menyebabkan kelompok usia ini yang paling rentan terhadap kejadian insomnia. Jam normal yang seharusnya digunakan untuk tidur, dialihfungsikan oleh para remaja untuk melakukan hal-hal lainnya.7 Tidak hanya untuk mengerjakan tugas dari sekolah, waktu tidur malam mereka juga banyak digunakan untuk bermain game ataupun internet. Alhasil banyak remaja mengalami gangguan transisi tidur-bangun di pagi hari dan merasa sangat lemas dan mengantuk di sekolah. Hal ini membuat proses belajar remaja di sekolah terganggu dan menyebabkan menurunnya prestasi hingga kemampuan kognitif remaja tersebut. Beranjak dari hal tersebut, penting untuk mengetahui prevalensi gangguan tidur khususnya insomnia di kalangan remaja dan korelasinya terhadap fungsi kognitif, sehingga dapat dijadikan dasar untuk penelitian lebih lanjut.
METODE
Penelitian ini menggunakan desain studi deskriptif potong lintang (cross sectional), yaitu metode rancangan penelitian dimana data dan informasi dikumpulkan berdasarkan jangka waktu tertentu (19-26 November 2013). Pendekatan dilakukan terhadap remaja-remaja yang tinggal di Panti Asuhan Widhya Asih 1 Denpasar yang
beralamat di Jalan Raya Sesetan Gang Camar nomor 1A (populasi target). Penelitian ini menggunakan populasi terjangkau dengan derajat kesalahan yang dapat ditoleransi (d) mencapai 10% sehingga dirumuskan dan didapatkan sampel sebesar 21.
Pemilihan sampel menggunakan metode kuota sampling, yakni remaja di Panti Asuhan Widhya Asih 1 Denpasar yang telah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi, sehingga setiap remaja memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi sampel sampai kuota terpenuhi. Adapun kriteria inklusi dalam penelitian ini, yaitu: (1) Remaja yang tinggal di Panti Asuhan Widhya Asih 1 Denpasar pada Bulan November 2013; (2) Mampu berkomunikasi secara verbal; (3) Bersedia menjadi responden penelitian. Sedangkan kriteria eksklusi yang diterapkan adalah: (1) Remaja yang menderita skizofrenia; (2) Tidak mampu berkomunikasi secara verbal; (3) Responden tidak bersedia menjadi sampel penelitian.
Pengumpulan data dilakukan dengan instrumen SDSC, MMSE dan kuisioner yang telah divalidasi. Wawancara terstruktur juga digunakan dalam teknik pengumpulan data guna mendapatkan berbagai informasi tambahan. Para responden (remaja-remaja yang terpilih menjadi sampel) kemudian mengisi data berdasarkan atas kejadian selama kurang lebih 1 bulan terakhir. Seluruh data yang didapatkan selanjutnya diproses dan diolah untuk mengetahui prevalensi dan korelasi insomnia terhadap kemampuan kognitif remaja yang tinggal di panti asuhan.
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah insomnia yang diukur dengan pengisian kuisioner skala gangguan tidur pada anak (Sleeping Disturbance Scale for Children), dimana berisikan 26 pertanyaan terstruktur. Variabel tergantung yang diteliti adalah kemampuan kognitif yang merupakan kemampuan berpikir individu, terdiri
3
atas: kemampuan menghafal, memahami, mengaplikasi, menganalisis, mengevaluasi dan menciptakan sesuai dengan instrumen MMSE (Mini Mental Status Examination). Sedangkan variabel pengganggu yang teridentifikasi berdasarkan karakteristik biososiodemografi di antaranya: usia, jenis kelamin, penyakit organik, aktivitas dan hubungan sosial. Data yang terkumpul disajikan dalam bentuk tabel dan grafik serta diolah menggunakan perangkat lunak SPSS versi 17 (SPSS Inc).
Grafik 1. Alur Penelitian
HASIL
Pada penelitian ini didapatkan remaja yang memenuhi kriteria inklusi dan dijadikan sampel sebanyak 21 orang, dimana terdapat 10 laki-laki (47,6%) dan 11 perempuan (52,4%). Selain jenis kelamin, variabel pengganggu yang dikontrol dalam penelitian ini antara lain: usia, riwayat penyakit organik, aktivitas sehari-hari dan hubungan sosial. Hampir seluruh penghuni Panti Asuhan Widhya Asih 1 Denpasar adalah anak golongan remaja. Dari sampel didapatkan 6 remaja awal (28,5%) yang terdiri dari 5 remaja 15 tahun dan 1 remaja 16 tahun, serta 15 remaja akhir (71,5%) yang terdiri dari 8 remaja17 tahun dan 7 remaja 18 tahun.
Secara deskriptif, sebanyak 9 remaja yang menjadi responden memiliki riwayat penyakit
organik (hipertensi, ISPA, malaria, DHF, typhoid, hernia dan skoliosis), sedangkan sisanya tidak memiliki riwayat penyakit. Di antara sampel remaja tersebut, lima di antaranya memiliki aktivitas yang berat, sebagai seorang mahasiswa dan juga bekerja membantu mengelola segala urusan panti di sela-sela waktu senggangnya. Saat dilakukan wawancara, semua responden menyatakan memiliki hubungan yang baik dan harmonis dengan anggota sosial yang lainnya. Hal ini mengindikasikan bahwa kualitas hidup remaja di panti tersebut sudah terpenuhi dengan baik. Secara lengkap, karakteristik dasar sampel dapat dilihat dalam tabel 1.
Tabel 1. Karakteristik Dasar Sampel (n=21)
Variabel |
Frekuensi |
Presentase |
Usia Remaja awal |
6 |
28,5 % |
Remaja akhir |
15 |
71,5 % |
Jenis kelamin Laki-laki |
10 |
47,6 % |
Perempuan |
11 |
52,4% |
Riwayat Penyakit Ada |
9 |
42,9 % |
Tidak ada |
12 |
57,1 % |
Aktivitas Ringan |
6 |
28,5 % |
Sedang |
10 |
47,6 % |
Berat |
5 |
23,9 % |
Hubungan Sosial Baik |
21 |
100 % |
Buruk |
0 |
0 % |
Setelah karakteristik dasar sampel dijabarkan, kemudian dilakukan analisa untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan yang signifikan dari variabel pengganggu seperti usia, jenis kelamin, riwayat penyakit organik, aktivitas dan hubungan sosial antara penghuni panti terhadap gangguan tidur insomnia. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini untuk mendeteksi gangguan tidur insomnia pada remaja adalah SDSC (Sleeping Disturbance Scale for Children). SDSC membagi insomnia menjadi lima kelompok berdasarkan hasil kumulatif skor kuisioner yang berisikan 26 pertanyaan, yakni tidak insomnia
4
(skor: 26), insomnia ringan (skor: 27-52), insomnia sedang (skor: 53-78), insomnia berat (skor:79-104) dan insomnia sangat berat (skor: 105-130). Tidak terdapat perbedaan yang signifikan di antara kelompok insomnia, seperti terlihat di tabel 2.
PEMBAHASAN
Distribusi frekuensi tingkat insomnia pada remaja menjadi langkah untuk mengetahui kesehatan fisik dan mental para remaja di Panti Asuhan Widhya Asih 1 Denpasar. Hal ini dikarenakan tidur merupakan hakekat kebutuhan hidup yang mendasar khususnya bagi para remaja yang sedang dalam masa perkembangan sehingga sangat menentukan produktivitas dan kualitas hidup remaja, baik dari segi kognisi, emosi dan aksi.4,6
Tabel 2. Tabulasi Variabel dengan Kejadian Insomnia
Variabel TI |
IR |
IS |
IB ISB |
Usia Remaja awal - |
3 |
3 |
- - |
Remaja akhir - |
7 |
7 |
1 - |
Jenis Kelamin Laki-laki - |
8 |
2 |
- - |
Perempuan - |
2 |
8 |
1 - |
Riwayat Penyakit Ada - |
2 |
6 |
1 - |
Tidak ada - |
8 |
4 |
- - |
Aktivitas Ringan - |
3 |
3 |
- - |
Sedang - |
6 |
4 |
- - |
Berat - |
1 |
3 |
1 - |
Hubungan Sosial Baik - |
10 |
10 |
1 - |
Buruk - |
- |
- |
- - |
Data yang diperoleh dari pengisian kuisoner SDSC terhadap 21 remaja yang tinggal di Panti Asuhan Widhya Asih 1 Denpasar mengungkapkan bahwa tidak ada satupun remaja yang tidak
mengalami insomnia. Seluruh remaja usia 15-18 tahun di panti asuhan tersebut pernah mengalami insomnia dalam kurun waktu 1 bulan terakhir meskipun dalam kategori yang ringan hingga sedang. Kondisi asrama yang rata-rata terdiri dari enam orang dalam satu kamar tidur membuat suasana tidur malam sedikit bising. Lebih dari 70% remaja dalam sesi wawancara mengatakan bahwa kesulitan untuk memulai tidur disebabkan oleh karena beberapa teman tidur mereka masih bercengkrama di atas tempat tidur. Walaupun di panti asuhan tersebut sudah ditetapkan jam tidur dan jam bangun pagi, tapi tak sedikit remaja yang mengabaikan ketentuan tersebut.
Tuntutan tugas sekolah yang banyak menjadi alasan kedua mengapa remaja tidak tidur pada jam biologisnya disusul dengan kebiasaan-kebiasaan lainnya. Siklus tidur yang berubah-ubah ini tentu akan mengganggu irama sirkadian remaja yang berdampak pada terjadinya gangguan tidur insomnia.4 Tidak adanya alat elektronik seperti televisi, radio ataupun komputer di dalam kamar tidur panti mengurangi daftar alasan untuk tidur larut malam. Beberapa dari remaja juga memiliki ketakutan tersendiri terkait dengan hal-hal gaib di malam hari dan mitos tidur.
Terdapat satu sampel remaja yang mengalami gangguan insomnia berat dengan total skor 84. Dalam kuisionernya didapatkan bahwa dia membutuhkan waktu untuk dapat memulai tidur selama kurang lebih satu jam. Meskipun tidur sendirian di dalam kamar tidur panti, remaja ini sering mengalami kesulitan tidur di malam hari dengan frekuensi 3-5 kali dalam 1 minggu dan sering terbangun di malam hari kemudian sulit untuk tertidur lagi. Remaja ini juga mengungkapkan bahwa ia terkadang mengalami kesulitan bernafas dan keringat berlebihan saat tidur. Kondisi ini besar kemungkinan diakibatkan oleh karena riwayat penyakit skoliosis yang
5

Keterangan: T I: Tidak Insomnia, I R: Insomnia Ringan, I S: Insomnia Sedang, I B: Insomnia Berat, I S B: Insomnia Sangat Berat.
Grafik 2. Tingkat Insomnia pada Variabel Penelitian
Program pengolah data SPSS 17 (Statistical Product and Service Solutions version 17) digunakan dalam menganalisa korelasi antar variabel penelitian, yaitu korelasi insomnia terhadap kemampuan kognitif. Disertakan pula korelasi insomnia terhadap variabel pengganggu (perancu) meliputi usia, jenis kelamin, keberadaan penyakit organik, tingkat aktivitas dan hubungan sosial.
Variabel tergantung dalam penelitian ini adalah kemampuan kognitif yang didapatkan dari pengisian uji MMSE (Mini Mental Status Examination) oleh para remaja di Panti Asuhan Widhya Asih 1. Pemeriksaan dilakukan oleh penulis di dalam ruang aula panti asuhan, dimana sampel remaja satu persatu memasuki ruangan sesuai nomor responden untuk menghindari terjadinya bias. Sebanyak 20 sampel memiliki kemampuan kognitif dalam rentang normal dimana
17 sampel mendapatkan nilai sempurna (30) dari uji MMSE. Hanya satu sampel yang mendapatkan nilai dalam rentang probable gangguan kognitif dengan nilai 22, dan tidak ada yang tercatat mengalami definite gangguan kognitif. Kebanyakan dari remaja yang tidak mendapat nilai sempurna tersebut mengalami kesulitan dalam melakukan proses mengingat kembali (recall), atensi dan kalkulasi. Berikut korelasi insomnia terhadap kemampuan kognitif yang diolah dengan menggunakan SPSS 17.
Tabel 3. Korelasi Insomnia terhadap Kemampuan Kognitif
Insomni a |
Kemampu an Kognitif | |
Insomnia Pearson |
1 |
-.219 |
Correlatio | ||
n | ||
Sig. (2- |
.340 | |
tailed) | ||
Sum of |
7.143 |
-.571 |
Squares |
and Cross Products Covarian ce N |
.357 21 |
-.029 21 | |
Kemampu |
Pearson |
-.219 |
1 |
an Kognitif |
Correlatio n Sig. (2tailed) Sum of |
.340 -.571 |
.952 |
Squares and Cross Products Covarian |
-.029 |
.048 | |
ce N |
21 |
21 |
Hasil yang diperoleh dari uji Pearson Correlation menyatakan tidak ada hubungan yang signifikan antara variabel insomnia dengan variabel kemampuan kognitif pada remaja usia 15-18 tahun di Panti Asuhan Widhya Asih 1 Denpasar. Hal ini diketahui dari nilai sig. (2-tailed) antara dua variabel tersebut (0.340) yang lebih besar dari 0.05. Sejalan dengan hasil SDSC dan MMSE serta wawancara tambahan mengungkapan bahwa bagaimanapun tingkat insomnia yang diderita oleh remaja di panti asuhan, tidak memiliki hubungan yang bermakna terhadap kemampuan kognitif remaja tersebut. Remaja yang masih berada dalam fase belajar dan proses tumbuh kembang serta belum adanya penyusutan sel-sel neuron di otak remaja memungkinkan kemampuan kognitif mereka tetap terjaga.8 Poin-poin pertanyaan maupun perintah dalam uji MMSE yang tidak sepadan dan dapat dengan mudah dilakukan oleh para remaja usia 15-18 tahun ini, juga membuat hasil uji MMSE mereka dalam rentang yang bagus.
Berdasarkan pemaparan dan olah data tersebut, maka Ha ditolak dan Ho diterima. Jadi tidak ada hubungan yang bermakna antara insomnia dan kemampuan kognitif pada remaja usia 15-18 tahun yang tinggal di Panti Asuhan Widhya Asih 1 Denpasar.
SIMPULAN
Penelitian yang dilakukan selama satu minggu di Panti Asuhan Widhya Asih 1 Denpasar menunjukkan bahwa semua remaja usia 15-18 tahun di panti asuhan tersebut menderita insomnia dalam satu bulan terakhir, meskipun rerata dalam tingkat insomnia ringan dan sedang (skor SDSC). Hanya satu remaja mengalami insomnia berat dikarenakan oleh skoliosis beserta komplikasi paru yang dialaminya. Dalam pemeriksaan kognitif melalui uji MMSE, hampir seluruh remaja mendapatkan hasil normal dalam tes tersebut. Terdapat satu remaja (sampel yang berbeda dengan penderita insomnia berat) yang mendapatkan nilai MMSE dalam rentang probable gangguan kognitif. Hasil ini (didukung dengan program pengolah data SPSS versi 17) menunjukkan bahwa tidak ada korelasi yang signifikan antara insomnia tehadap kemampuan kognitif remaja usia 15-18 tahun di Panti Asuhan Widhya Asih 1 Denpasar.
SARAN
Tes pemeriksaan kemampuan kognitif untuk remaja sebaiknya mendapatkan sedikit modifikasi sesuai rentang umur, sebab menurut uji MMSE yang dilakukan, hampir seluruh remaja dapat menyelesaikan tes tersebut dengan mudah. Diperlukan juga penelitian lebih lanjut ke instansi lain terkait korelasi insomnia terhadap kemampuan kognitif. Jika memungkinkan untuk dilakukan penelitian dalam waktu yang lebih lama, maka pemilihan lokasi dan pengambilan sampel yang lebih besar diperlukan guna mendapat hasil yang lebih baik dan bisa menggambarkan populasi secara lebih tepat.
UCAPAN TERIMA KASIH
Terima kasih kepada Widhya Asih Foundation yang telah memberikan izin dan membantu terselenggaranya penelitian pada Panti
7
Asuhan Widhya Asih 1 yang berlokasi di Denpasar. Penelitian ini juga selesai dengan baik karena bantuan dan dukungan dari dokter pembina serta staf SMF Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Udayana / RSUP Sanglah - Bali.
DAFTAR PUSTAKA
-
1. Scott GW, Keeffe KM. Thompson F. Insomnia- Treatment Pathways, Costs and Quality of Life Cost Effectiveness and Resource Allocation. 2011; 9: 1-10.
-
2. Lieberman JA, Neubauer DN. Understanding Insomnia: Diagnosis and Management of a Common Sleep Disorder. The Journal of Family Practice. 2007; 56: 35a-50a.
-
3. Kaplan HI, Sadock BJ, Grebb JA. Tidur
Normal dan Gangguan Tidur. Sinopsis
Psikiatri Jilid 2. Tangerang: Binarupa Aksara
Publisher. 2010; 210-2117.
-
4. Mai E, Buysse DJ. Insomnia: Prevalence,
Impact, Pathogenesis, Differential Diagnosis,
and Evaluation. The Journal of Lifelong Learning in Psychiatry. 2009; 7(4): 491-498.
-
5. Haryono A, Rindiarti A, Arianti A. Prevalensi Gangguan Tidur pada Remaja Usia 12-15 Tahun di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama. Sari Pediatri. 2009; 11:149-54.
-
6. Blunden S, Lushington K. Are Sleep Problems Under-Recognised in General Practice. Arch Dis Child. 2010; 89:708-12.
-
7. Pigeon WR. Diagnosis, Prevalence, Pathways, Consequences & Treatment of Insomnia. Indian J Med Res. 2010; 131: 321-332.
-
8. Ohida T, Osaki Y, Doi Y. An Epidemiologic Study of Self-Reported Sleep Problems Smong Japanese Adolescents. Sleep. 2008; 27:978-85.
-
9. Mindell JA, Owens JA. A Sleep in The Pediatric Practice a Clinical Guide to Pediatric Sleep: Diagnosis and Management of Sleep Problems. Lippincott: Williams &
Wilkins.2007;1-10.
-
10. Anderson B, Storfer-lesser A, Taylor HG, Rosen CL, Redline S. Associations of Executive Function with Sleepiness and Sleep Duration in Adoslescent. Pediatrics 123. 2009; 701-7.
8
Discussion and feedback