1

PREVALENSI DAN KARAKTERISTIK GIZI KURANG DAN GIZI BURUK PADA BALITA DESA BAN KECAMATAN KUBU KABUPATEN KARANGASEM OKTOBER 2013

Kadek Sri Sasmita Dewi G

Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

ABSTRAK

Kekurangan gizi pada anak merupakan masalah kesehatan dimana prevalensinya masih tinggi. Data puskesmas Kubu II desa Ban memiliki angka kejadian gizi kurang dan gizi buruk tinggi yaitu 3 gizi buruk dan 23 gizi kurang pada bulan Agustus 2013. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi dan faktor yang mempengaruhi gizi kurang dan gizi buruk pada balita di Desa Ban,Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem, pada bulan Oktober 2013. Penelitian ini menggunakan rancangan studi deskriptif cross sectional. Populasi penelitian ini adalah seluruh balita di Kecamatan Kubu Kabupaten Karangasem. Dari penelitian ini didapatkan distribusi status gizi balita dengan gizi kurang 28.8%, gizi buruk 3.8% dan gizi baik 67.3%.

Kata Kunci : Gizi kurang, Gizi buruk , balita

PREVALENCE AND CHARACTERISTIC OF UNDER NUTRITION AND SEVERE NUTRITION OF CHILDREN IN BAN VILLAGE KUBU DISTRICT KARANGASEM REGENCY OCTOBER 2013

ABSTRACT

Malnutrition in children is a health problem may that prevalence is still high. Data on health center Kubu II Ban district has the incidence bad nutrition and less nutrition as high as 3 malnutrition and 23 less nutrition in August 2013. This study aimed to investigate prevalence and the factor which related to under nutrition and severe nutrion of children in Ban village Kubu district Karangasem regency in October 2013. This study used a cross sectional descriptive study design. The study population was all children in Kubu district Karangasem Regency. In this study the distribution of nutritional status of children with under nutrition is 28,8%, severe nutrition is 3,8% and normal nurition 67,3%.

Keyword : under nutrition, severe nutrition, children

PENDAHULUAN

Kekurangan gizi pada anak merupakan masalah kesehatan dimana prevalensinya masih tinggi. Data Dinas Kesehatan Republik Indonesia menunjukkan berdasarkan data tahun 2008, status gizi kurang sampai buruk di Indonesia mencapai 35,5%.1Angka tersebut masih jauh dari target Millenium Development Goals 2015 dimana angka kekurangan gizi diharapkan mencapai kurang dari 18%.2 Prevalensi status gizi balita di Provinsi Bali pada tahun 2010 berdasarkan berat badan menurut umur mencapai 1,7% gizi buruk. Kabupaten Karangasem dari 8 Kabupaten di Bali memiliki prevalensi gizi kurang dan gizi buruk pada balita tertinggi yaitu 10,9%.1

Data puskesmas Kubu II desa Ban memiliki angka kejadian gizi kurang dan gizi buruk tinggi yaitu 3 gizi buruk dan 23 gizi kurang pada bulan Agustus 2013. Desa Ban terletak di bagian utara Bali dengan luas wilayah 7095 Hektar dengan jumlah anak berusia 1-5 tahun sebesar 977 jiwa. Desa Ban memiliki 2641 keluarga keluarga, dan 598 kepala keluarga masuk dalam golongan keluarga sangat miskin. Angka ini merupakan jumlah paling besar

dibandingkan 3 desa lain yang berada di 3

bawah wilayah puskesmas Kubu II.3

Permasalahan gizi kurang dan buruk pada balita sangat penting diketahui secara dini, sehingga dapat ditanggulangi dengan intervensi yang tepat dengan tujuan hasil yang optimal, dari segi mengembalikan status gizi, perubahan pola pikir orang tua untuk lebih peduli terhadap gizi keluarga. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi dan faktor-faktor yang mempengaruhi gizi kurang dan gizi buruk dari karakteriktik balita itu sendiri seperti, berat badan lahir anak, jarak kelahiran dan pemberian ASI Ekslusif. Sedangkan dari karakteristik ibu, meliputi tingkat pendidikan ibu, tingkat penghasilan keluarga, frekuensi ANC, serta status gizi ibu selama kehamilan

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilakukan di Desa Ban,Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem, pada bulan Oktober 2013. Penelitian ini menggunakan rancangan studi deskriptif cross sectional. Populasi penelitian ini adalah seluruh balita di Kecamatan Kubu Kabupaten Karangasem.

Sampel dalam penelitian balita yang berumur 12-60 bulan, balita yang datang ke posyandu desa Ban kecamatan Kubu kabupaten Karangasem, bersedia menjadi subjek penelitian. Kriteria eksklusi pada penelitian ini balita yang tidak mampu diwawancarai disebabkan oleh kondisi medis umum yang berat.

Jumlah sampel yang diperlukan didapat berdasarkan perhitungan studi cross-sectional adalah 52 sampel. Dengan telah mengantisipasi jika ada yang drop out. Data yang dikumpulkan dalam melakukan penelitian ini mencakup data primer dan sekunder.

Berat badan lahir adalah ukuran berat badan yang ditimbang sesaat setelah anak lahir. Subjek dikelompokkan menjadi berat badan lahir (BBL) rendah (<2500 gram), BBL normal ((≥2500-3999 gram). Jarak kelahiran didefinisikan sebagai jarak antara balita dengan saudara sebelum atau setelahnya yang berasal dari ibu yang sama, diklasifikasikan > 2 tahun dan < 2 tahun. Tingkat pendidikan ibu didefinisikan sebagai pendidikan formal terakhir yang diikuti ibu hingga tamat. Diklasifikasikan menjadi rendah jika tidak sekolah dan sekolah dasar; sedang jika sekolah menengah pertama, sekolah menengah atas dan tinggi jika

menempuh perguruan tinggi. Data didapatkan dari pengisian kuisioner oleh orangtua.

Tingkat penghasilan keluarga adalah pendapatan total keluarga (ayah dan ibu) dalam sebulan, diklasifikasikan berdasarkan Upah Minimum Regional (UMR) di kabupaten Karangasem provinsi Bali menjadi rendah jika di bawah UMR (< Rp. 1.195.000) dan baik jika di atas UMR (> Rp 1.195.000). Frekuensi Ante Natal Care (ANC) adalah sebagai jumlah kunjungan ibu ke tempat pelayanan kesehatan selama kehamilan, diklasifikasikan menjadi baik (≥ 4 x selama kehamilan), dan buruk (< 4 x selama kehamilan). Status Gizi ibu selama kehamilan berdasarkan ukuran lingkar lengan atas ibu balita selama kehamilan. Data didapatkan dari buku kesehatan ibu selama kehamilan. Lingkar Lengan Atas (LILA) ≥ 23,5 diklasifikasikan baik dan buruk jika LILA < 23,5. Pemberian Asi Eksklusif adalah pemberian ASI saja tanpa makanan pendamping lainnya sampai umur 6 bulan.

HASIL

Sampel dalam penelitian ini berjumlah 52 orang yang telah dilakukan pengukuran terhadap status gizi.

Tabel 1. Karakteristik Balita

Variabel

Jumlah (n)

Persentase (%)

Berat badan lahir anak

Rendah

6

11,5

Normal

46

88,5

Jarak Kelahiran

≤ 2 tahun

13

25

> 2 tahun

Pemberian ASI Eksklusif

39

75

Ya

28

53,8

Tidak

24

46,2

Tabel 2. Karakteristik Ibu Selama Kehamilan

Variabel

Jumlah (n)

Persentase(%)

Frekuensi ANC

Buruk

31

59,6

Baik

21

40,4

Tingkat Pendidikan ibu

Rendah

49

94.2

Sedang

3

5,8

Tingkat Penghasilan Keluarga

Rendah

50

96,2

Sedang

2

3,8

Status Gizi ibu selama kehamilan

Baik

38

73,1

Buruk

14

26,9

Tabel 1 menunjukkan berat badan lahir didominasi oleh berat badan lahir normal yaitu 88,5%, dan kemudian diikuti berat badan lahir rendah 11,5%.

Jarak kelahiran 75% lebih dari 2 tahun, dan 53.8% balita mendapatkan asi eksklusif.

Tabel 2 menunjukkan ibu yang melakukan perawatan antenatal <4x selama kehamilan yaitu 59,6 %. Dari tingkat pendidikan ibu, 94,2% dengan

tingkat pendidikan rendah, dan Sebagian besar 96,2% responden memiliki tingkat penghasilan keluarga rendah.

Tabel 3. Distribusi Status Gizi Menurut Berat Badan

Variabel

Jumlah (n)

Persentase (%)

Berat Badan Menurut Umur

(BB/U)

Gizi Kurang

15

28,8

Gizi Buruk

2

3,8

Gizi Baik

35

67,3

Tabel 4. Distribusi Status Gizi (BB/U) Berdasarkan Karakteristik Anak

Variabel

Status Gizi (BB/U)

Total

Buruk

Kurang

Baik

n(%)

n(%)

n(%)

n(%)

Berat badan lahir anak

Rendah

2 (33,3)

4 (66,7)

0 (0)

6 (100)

Normal

0 (0)

11 (23,9)

35(76,1)

46 (100)

Jarak kelahiran

> 2

1 (2,6)

11 (28,2)

27(69,2)

39 (100)

≤2

1 (7,7)

4 (30,8)

8 (61,5)

13 (100)

Pemberian ASI Eksklusif

Ya

0 (0)

2 (7,1)

26(92,9)

28 (100)

Tidak

2 (8,3)

13 (54,2)

9(37,5)

24 (100)

Pada tabel 4

menunjukkan

memiliki

status gizi

kurang. Balita

sebanyak 66,7% balita dengan riwayat

dengan riwayat berat badan lahir rendah

berat badan lahir rendah,

23,9% balita

ternyata 33,3% dengan status gizi buruk.

dengan riwayat berat badan lahir normal

Berdasarkan hasil tabulasi silang antara

jarak kelahiran balita dengan status gizi, didapatkan 28,2% balita dengan jarak kelahiran > 2 memiliki status gizi kurang dan 30,8% balita yang memiliki jarak kelahiran ≤ 2 dengan status gizi kurang. Balita dengan jarak kelahiran > 2 sebesar 2,6% mempunyai status gizi buruk dan (7,7%) balita dengan jarak

kelahiran ≤ 2 memiliki status gizi buruk. Pada tabel juga terlihat balita yang tidak mendapatkan asi ekskusif sebanyak 54,2% dengan gizi kurang lebih banyak dari pada yang mendapatkan asi ekslusif yaitu 7,1%. Balita yang tidak mendapat asi eksklusif memiliki status gizi buruk sebesar 8,3%.

Tabel 5. Distribusi Status Gizi (BB/U) Berdasarkan Karakteristik Ibu Selama Kehamilan

Variabel

Status Gizi (BB/U)

Total

n(%)

Buruk n(%)

Kurang n(%)

Buruk n(%)

Frekuensi ANC

Buruk

2(6,5)

13 (41,9)

16 (51,6)

31 (100)

Baik

0 (0)

2 (9,5)

19 (90,5)

21 (100)

Tingkat Pendidikan ibu

Rendah

2 (4,1)

14 ( 28,6)

33(67,3)

49(100)

Sedang

0 (0)

1 (33,3)

2 (66,7)

3 (100)

Tingkat Penghasilan keluarga

Rendah

2 (4)

15 (30)

33 (66)

50 (100)

Sedang

0 (0)

0 (0)

2 (100)

2 (100)

Status Gizi ibu Selama

Kehamilan

Baik

0(5)

4 (10,5)

34 (89,5)

38 (100)

Buruk

2 (14,3)

11 (78,6)

1 (7,1)

14 (100)

Pada tabel 5 menunjukkan balita dengan status gizi kurang lebih besar pada kelompok ibu yang melakukan perawatan antenatal selama kehamilan <

4 kali dibandingkan dengan yang melakukan perawatan antenatal ≥ 4 kali, masing-masing memiliki persentase 41,9% dan 9,5%. Balita dengan status

gizi buruk melakukan perawatan antenatal selama kehamilan < 4 kali sebanyak 6,5%.

Balita dengan status gizi kurang memiliki ibu yang berpendidikan rendah sekitar 28,6% dan 33,3% dengan ibu yang berpendidikan sedang. Balita dengan status gizi buruk 4,1% berpendidikan rendah. Balita dengan status gizi kurang dan gizi buruk pada kelompok dimana memiliki tingkat penghasilan keluarga yang rendah adalah 30% dan 4%. Ibu yang memiliki status gizi buruk selama kehamilan memiliki balita dengan status gizi kurang sebesar 78,6% dan 8,3% dengan gizi buruk.

PEMBAHASAN

Pada penelitian ini didapatkan prevalensi gizi kurang lebih tinggi dari angka Riskesdas yaitu 28,8%. Prevalensi gizi buruk pada penelitian ini adalah 3,8%. Prevalensi ini lebih tinggi jika dilihat data dari Kemenkes RI yang mengatakan bahwa, dari 8 kabupaten di Bali, Kabupaten Karangasem memiliki prevalensi gizi kurang dan gizi buruk tertinggi yaitu 10,9%.3 Hal ini tentunya menggambarkan masalah gizi akut yang dapat disebabkan oleh banyak faktor misalnya, daya beli masyarakat, harga

bahan makanan, jumlah anggota keluarga, dan tingkat pendidikan masyarakat pedesaan relatif lebih rendah daripada masyarakat perkotaan.4 Hal ini disebabkan pada usia 12-36 bulan (batita), anak masih merupakan konsumen pasif, artinya anak menerima makanan dari apa yang disediakan ibunya. Laju pertumbuhan masa batita lebih besar dari masa usia pra-sekolah (37-60 bulan) sehingga diperlukan jumlah makanan yang relatif besar.4

Faktor penghasilan keluarga yang kurang juga menyebabkan balita mengalami gizi buruk. Berdasarkan teori dari Persagi, penyebab seorang balita mengalami gizi kurang dibagi menjadi penyebab langsung dan tidak langsung di mana faktor-faktor penyebab langsung antara lain adalah penyakit infeksi dan asupan makanan, sedangkan penyebab tidak langsung antara lain adalah persediaan makanan di rumah, perawatan anak dan ibu hamil serta pelayanan kesehatan, semua hal tersebut juga mempengaruhi status gizi balita. Tidak semua faktor tersebut dapat dibahas dalam penelitian ini dengan alasan keterbatasan waktu, orang, dan biaya, sehingga hal-hal yang tidak diteliti kelemahan dalam penelitian ini yang

dapat menyebabkan kerancuan dalam hasil penelitian ini.5

Pada teori dikatakan bahwa anak dengan berat badan lahir rendah akan cenderung memiliki berat badan yang lebih rendah dibandingkan anak-anak lain seusianya dan berpotensi menjadi anak dengan gizi kurang, bahkan buruk. Jarak kelahiran bayi yang satu dengan kehamilan berikutnya paling tidak 2 tahun agar ibu dapat memberikan perhatian khusus selama waktu tersebut.5

Pemberian ASI eksklusif juga mempengaruhi status gizi balita. ASI mengandung berbagai zat gizi yang lengkap dalam jumlah sesuai kebutuhan, antibodi untuk pertahanan tubuh dari berbagai penyakit infeksi. Sampai usia enam bulan kebutuhan gizi bayi dapat dipenuhi oleh bayi, sehingga bayi tidak perlu diberi makanan atau minuman selain ASI.6

Persentase balita dengan status gizi buruk dan gizi kurang terlihat lebih besar pada kelompok ibu yang melakukan perawatan antenatal selama kehamilan < 4 kali dibandingkan dengan yang melakukan perawatan antenatal ≥ 4 kali. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Ernawati, 2011, yang menyatakan bahwa ibu yang melakukan kunjungan perawatan antenatal ≥ 4 kali

mempunyai peluang untuk tidak melahirkan anak berat badan lahir rendah sebesar 1,8 kali dibandingkan dengan ibu yang melakukan perawatan antenatal < 4 kali. Berkurangnya risiko bayi lahir dengan berat badan lahir rendah maka kemungkinan bagi balita mengalami gizi kurang dan gizi buruk lebih sedikit.7

Hal yang sama juga didapatkan pada pendidikan ibu. yang memperlihatkan adanya hubungan yang bermakna antara tingkat pendidikan ibu dan status gizi anak, Balita yang mengalami masalah gizi lebih banyak pada ibu yang memiliki tingkat pendidikan sekolah dasar. Hasil penelitian ini menunjukkan semakin tinggi pendidikan maka semakin mudah bagi seseorang dalam menerima serta mengembangkan pengetahuan sehingga pemahaman tentang keadaan gizi anak bisa lebih baik.7

Tingkat penghasilan keluarga balita dengan gizi kurang, gizi buruk, memiliki penghasilan rendah yaitu dibawah Upah miminum Regional. Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan tingkat gizi seseorang dipengaruhi oleh ketersediaan makanan yang ditentukan oleh kemampuan atau daya beli keluarga.5

SIMPULAN

Sebagian besar balita di Desa Ban Kecamatan Kubu Kabupaten karangasem mempunyai status gizi kurang 28,8%, dan 3,8% dengan status gizi buruk. frekuensi ANC selama kehamilan yang buruk mempunyai balita dengan gizi kurang 41,9% dan 6,5% gizi buruk, tingkat pendidikan ibu yang rendah, tingkat penghasilan keluarga yang rendah serta status gizi selama kehamilan yang buruk juga mempengaruhi status gizi balita.

SARAN

Puskesmas disarankan untuk pemegang program KIA yang menitikberatkan pada perawatan antenatal dengan cara melakukan penyuluhan agar keinginan ibu untuk melakukan perawatan antenatal dapat ditingkatkan, Pihak puskesmas perlu menginformasikan kepada masyarakat mengenai kejadian malnutrisi pada balita serta pola makan yang tepat dan berimbang untuk mencegah terjadinya malnutrisi pada balita. Program Pemberian Makanan Tambahan Anak Sekolah (PMT-AS) dapat diselenggarakan kembali.

Pihak penyelenggara posyandu disarankan untuk koordinasi lebih

Berbagai faktor seperti berat badan lahir rendah, jarak kelahiran, pemberian ASI eksklusif sangat mempengaruhi status gizi balita. Selain itu orang tua juga memegang peranan penting seperti intensif kepada pihak puskesmas untuk melakukan pencatatan berat badan dan tinggi badan balita secara berkala serta segera melaporkan pada puskesmas apabila menemukan balita dengan kecurigaan malnutrisi.

DAFTAR PUSTAKA

  • 1.    Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.   Keputusan Menteri

Kesehatan   Republik Indonesia.

No.1995/Menkes/SK/XII/2010.

Standar Antropometri Penilaian Status Gizi Anak. 2010.

  • 2.    Peter Stalker. Lets Speak Out for MDGs. Jakarta: UNDP. 2008

  • 3.    BPS. Karangasem dalam Angka. Karangasem: Bapeda Kabupaten Karangasem dan BPS Kabupaten Karangasem.2005

  • 4.    Almatsier, S. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Umum. 2004

  • 5.    Kartika. Faktor yang Mempengaruhi Status Gizi Anak. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. 2002

  • 6.    Sri Hartati. Pengaruh pemberian ASI Eksklusif terhadap status gizi bayi usia 4-11 bulan di daerah perkotaan dan pedesaan Kabupaten Tumenggung. 2003. (Diakses Oktober 2013). Diunduh dari http://eprints.undip.ac.id.

  • 7.    Ernawati. Hubungan Antenatal Care dengan Barat Badan Lahir bayi Lahir Rendah di Indonesia (Analisis Lanjut Data Riskesdas 2010), Pusat Teknologi Terapan kesehatan dan Epidemiologi Klinik. 2011;34(11): 23-31.