FAKTOR-FAKTOR RISIKO TERJADINYA DIARE AKUT PADA BALITA DI DESA TEGALLALANG PADA BULAN JANUARI SAMPAI JULI TAHUN 2014
on
FAKTOR-FAKTOR RISIKO TERJADINYA DIARE AKUT PADA BALITA DI DESA TEGALLALANG PADA BULAN JANUARI SAMPAI JULI TAHUN 2014
I Gede Bagus Garjita Maesa Putra
Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
ABSTRAK
Diare merupakan penyebab utama kesakitan dan kematian di negara berkembang. Berdasarkan profil kesehatan Puskesmas Tegallalang I, diare masuk dalam sepuluh penyakit pada bulan Januari sampai dengan Juli 2014. Jumlah kasus diare yang dilaporkan pada balita 50 kasus. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui faktor risiko diare di Puskesmas Tegallalang I ini.Penelitian ini menggunakan rancangan kasus-kontrol. Jumlah sampel masing-masing kasus dan kontrol adalah 36 balita. Kasus dan kontrol dipilih dari register kunjungan Puskesmas pada bulan Januari sampai Juli Tahun 2014. Faktor risiko meliputi ketersediaan saluran pembuangan air limbah (SPAL), pemanfaatan jamban keluarga (JAGA), pemanfaatan sarana air bersih, air susu ibu (ASI) ekslusif, mencuci tangan setelah buang air besar atau sebelum makan, dan merebus air minum. Data dikumpulkan dengan cara observasi dan wawancara. Analisis faktor risiko dilakukan secara bivariat menggunakan uji chisquare. Hasil penelitian menunjukkan faktor risiko yang berpengaruh terhadap kejadian diare pada balita adalah saluran pembuangan air limbah (OR= 7,800, p=0,00), pemanfaatan jamban keluarga (OR= 3,75, p= 0,01), pemanfaatan sarana air bersih (OR= 9,10.p=0,00), ASIeksklusif (OR=17,20, p=0,00), mencuci tangan setelah buang air besar (OR=3,70, p= 0,02), mencuci tangan sebelum makan (OR=2,60, p=0,09), dan merebus air minum (OR=7,95, p= 0,00).Variabel ketersediaan saluran pembuangan air limbah, pemanfaatan sarana air bersih, ASI eksklusif, mencuci tangan setelah buang air besar, dan merebus air minum terbukti meningkatkan risiko kejadian diare akut pada balita. Perbaikan sanitasi perorangan dan sanitasi lingkungan diperlukan untuk mengurangi risiko terjadinya diare.
Kata kunci : studi kasus kontrol, faktor risiko, diare balita.
RISK FACTORS OF ACUTE DIARRHEA IN CHILDREN IN THE VILLAGE TEGALLALANG JANUARY TO JULY IN THE YEAR 2014
ABSTRACT
Diarrhea is a major cause of morbidity and mortality in developing countries. Based health center profile Tegallalang I, diarrheal disease is in the top ten in January and July 2014. Number of reported cases of diarrhea in infants totaled 50 cases. The research carried out to determine the risk factors of diarrhea in health centers I Tegallantang. This research uses a case-control design. Number of samples of each case and control were 36 toddlers. Cases and controls were selected from registers health center Tegallalang I in January to July in 2014. Risk factors include the availability of sewerage, utilization of family latrines, utilization of clean water facilities, Asi Exclusive, washing hands after a defecated or before meals, and boiling water before cunsumed. This data was collected by observation and interviews. Risk factor was analyzed using chi-square test as a bivariate variable. The results showed that risk factors affect the incidence of diarrhea in infants by bivariate analysis is the availability of SPAL (OR = 7.80, p = 0.00), use of sewerage (OR = 3.75, p = 0.01) , clean water utilization (OR = 9.10. p = 0.00), exclusive breast milk (OR = 17.20, p = 0.00), washing hands after defecation (OR = 3.70, p = 0.02), washing hands before eating (OR = 2.60, p = 0.09), boiling water before consumed (OR = 7.95, p = 0.00). Variable of family latrines availability, utilization of clean water, exclusive breast feeding, wash hand after defecation, and a boiling water proved to increase the risk of acute diarrhea in infants. Therefore, individuals are advised to improved sanitation, environmental sanitation, and also to reduce the risk of diarrhea.
Keywords: case-control study, risk factors, toddler diarrhea.
PENDAHULUAN
Penyakit diare sering kali dikaitkan dengan status kesehatan lingkungan. Penyakit diare merupakan salah satu masalah kesehatan di negara berkembang, terutama di Indonesia baik diperkotaan maupun di pedesaan. Penyakit diare bersifat endemis juga sering muncul sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB) dan diikuti korban yang tidak sedikit. Diare adalah suatu keadaan abnormal dari frekuensi dan kepadatan tinja, dimana bila tinja mengandung air lebih banyak dari normal.
Menurut World Health Organization (WHO) diare adalah berak cair lebih dari tiga kali dalam 24 jam, dan lebih menitik beratkan pada konsistensi tinja daripada frekuensi berak.1 Penyakit diare masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang utama di Indonesia karena tingginya angka morbiditas dan mortalitasnya. Insiden
diare pada tahun 2010 yaitu sebesar 411 per 100 penduduk. Secara proporsional 16,7% penderita diare terbesar terjadi pada balita dengan umur 1-4 tahun. Balita dibawah 1 tahun menduduki posisi kedua 2
dengan proposi 16,5%.2
Diare balita diklasifikasikan menjadi dua, yaitu diare akut dan diare bermasalah. Diare akut adalah diare yang ditandai dengan buang air besar lembek/cair bahkan dapat berupa air saja,frekuensi lebih sering dari biasanya (3 kali atau lebih dalam sehari) dan berlangsung kurang dari 14 hari. Diare bermasalah terdiri dari disentri berat, diare persisten, diare dengan kurang energi protein (KEP) berat dan diare dengan penyakit penyerta.1
Kasus diare di Kabupaten Gianyar pada tahun 2013 yaitu mencapai 10.080 kasus dari 471.026 jumlah penduduk. Berdasarkan profil kesehatan Puskesmas Tegallalang I pada tahun 2013 terdapat
410 kasus dimana 202 kasus pada balita. Desa Tegallalang pada tahun 2013 mendapatkan64 kasus pada balita. Pada Desa Tegallalang dari bulan Januari sampai Juli 2014 terdapat 50 kasus diare pada balita dari 85 kasus di dareah Tegallalang,padahal cakupan air bersih di Desa Wilayah Puskesmas Tegallalang I tahun 2013 sudah mencapai 93% dan cakupan jamban keluarga 83%.
Faktor risiko yang berpengaruh untuk terjadinya diare pada balita yaitu status kesehatan lingkungan (penggunaan sarana air bersih, jamban keluarga, pembuangan sampah, pembuangan air limbah) dan perilaku hidup sehat dalam keluarga. Secara klinis penyebab diare dapat dikelompokkan dalam enam kelompok besar yaitu infeksi (yang meliputi infeksi bakteri, virus dan parasit), malabsorpsi, alergi, keracunan (keracunan bahan-bahan kimia, keracunan oleh racun yang dikandung dan diproduksi baik jazad renik, ikan, buah-buahan, sayur-sayuran, algae dll), imunisasi, defisiensi dan sebab-sebab lain.1,2
Berdasarkan hal tersebut, maka penelitian ini dilakukan untuk mencari karakteristik diare pada balita di Desa Tegallalang pada bulan Januari sampai Juli 2014.
METODE
Penelitian ini merupakan studi analitik dengan pendekatan kasus kontrol dengan cara pengambilan data retrospekttif untuk mengetahui faktor-faktor risiko terjadinya diare akut pada balita di Desa Tegallalang pada bulan Januari sampai Juli 2014. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September 2014 di Desa Tegallalang.
Populasi penelitian adalah semua anak balita (< 5 tahun) yang berada di Desa Tegallalang yang pernah mengalami diare yang berobat ke puskesmas Tegallalang I dengan besar sampel sebanyak 38 kasus dan 38 kontrol.
Data diperoleh dari data pencatatan dan pelaporan yang ada di tingkat
Puskesmas Tegallalang I meliputi umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, riwayat penyakit, ketersediaan dan pemanfaatan sarana air bersih dan jamban keluarga, mencuci tangan sebelum makan, mencuci tangan sesudah buang air besar dan merebus air minum.Data yang diperoleh dari data pencatatan rawat jalan poliklinik desa, puskesmas pembantu, puskesmas. Observasi dilakukan langsung dengan cara mendatangi orang tua anak balita untuk mendapatkan informasi lebih rinci melalui wawancara dengan menggunakan kuesioner.
Variabel pemanfaatan saluran pembuangan air limbah didefinisikan sebagai keluarga yang memiliki dan memanfaatkan tempat pembuangan sampah khusus dan limbah yang tidak terpapar langsung dengan lingkungan, Variabel mencuci tangan sebelum makan yaitu perilaku mencuci tangan pada air mengalir dengan sabun sebelum makan atau memberi makan balita.Variabel mencuci tangan setelah buang air besar diartikan sebagai mencuci tangan dengan sabun dan air bersih setiap buang air besar. Variabel merebus air minum didefinisikan sebagai merebus air bersih untuk diminum sampai mendidih sebelum diminum. Variabel pemanfaatan sarana air bersih merupakan upaya pemenuhan kebutuhan air untuk keperluan rumah tangga yang didapat dari sarana yang memenuhi persyaratan sarana air bersih. Variabel pemanfaatan jamban keluarga yaitu memanfaatkan jamban yang memenuhi persyaratan kesehatan untuk pemenuhan kebutuhan membuang tinja/kotoran. Variabel pemberian ASI eksklusif diartikan sebagai pemenuhan ASI selama bayi berumur 0 – 6 bulan, tanpa memberikan susu formula.
Data yang telah terkumpul kemudian diolah dengan menggunakan program SPSS for Windows realease 16.0. Analisis univariat dilakukan dengan menggunakan uji chi-square untuk mengetahui hubungan signifikan antara variabel. Interval kepercayaan 95% dengan
hipotesis penelitian tingkat signifikansi (nilai P) adalah <0,05. Analisis multivariat dipakai untuk menganalisis pengaruh beberapa variabel terhadap variabel-variabel lainnya dalam waktu yang bersamaan.
HASIL
Subjek pada penelitian adalah semua anak balita (< 5 tahun) yang menderita diare dan datang berobat ke Puskesmas kemudian diklasifikasi oleh dokter, perawat yang bertugas yang pada bulan Januari s/d Juli 2014 di Desa Tegallalang dan berdomisili di Desa Tegallalang.
Tabel 1. Distribusi Karakteristik Responden
Variabel |
Kasus |
Kontrol | ||
F |
(%) |
F |
(%) | |
Kelompok Umur: | ||||
20-24 |
1 |
( 2,8 ) |
4 |
( 11,1) |
25-29 |
6 |
( 16,7) |
17 |
( 47,2) |
30-34 |
23 |
( 63,9) |
12 |
( 33,3) |
35-40 |
6 |
( 16,6) |
3 |
( 8,3) |
Tingkat Pendidikan | ||||
Tamat SD |
8 |
( 22,2) |
2 |
( 5,6) |
Tamat SLTP |
15 |
( 41,7) |
11 |
( 30.6) |
Tamat SLTA |
10 |
( 27,8) |
18 |
( 50) |
Akademisi/Sarjana |
3 |
( 8,3) |
5 |
(13,9) |
Pada kelompok kasus, sebagian besar responden berumur 30-34 tahun (63,8 %), sedangkan kelompok kontrol sebagian besar pada usia 25-29 tahun (47,2%). Tingkat pendidikan responden untuk kelompok kasus hampir merata,
dimana yang tertinggi pada tingkat SLTP (41,6%) dan yang terendah tingkat akademisi/sarjana (8,3 %). Pada kontrol, proporsi terbesar adalah tingkat SLTA (50 %) dan terendah tingkat SD (5,55 %).
Tabel 2. Distribusi Karakteristik Balita
Variabel |
Kasus Kontrol F (%) F (%) |
Kelompok Umur: <12 Bulan 12- 47 Bulan 48-59 Bulan Jenis Kelamin: Laki-laki Perempuan |
2 ( 5,6) 15 ( 41,7) 26 ( 72,2) 9 ( 25 ) 8 ( 22,2) 12 ( 33,3) 21 ( 59,0) 18 ( 50,0) 15 ( 41,0) 18 ( 50,0) |
Pada kelompok kasus, kelompok umur sampel balita tertinggi pada umur 12-47 bulan (72,2 %) dan terendah pada kelompok umur < 12 bulan (5,55%). Pada
kelompok kontrol, sebagian besar berumur < 12 bulan (41,6%). Distribusi jenis kelamin pada kelompok kasus dan kelompok kontrol terlihat merata.
Tabel 3. Karakteristik Penelitian | ||||
No. |
Karakteristik penelitian |
Kategori |
Kasus (%) (N=36) |
Kontrol (%) (N=36) |
1. |
Ketersedian SPAL |
Tersedia Tidak tersedia |
10 (27,8) 26 (72,2) |
27 (75) 9 (35) |
2. |
Pemafaatan JAGA |
Dimanfaatkan Tidak dimanfaatkan |
16 (44,4) 20 (55,6) |
27 (75) 9 (25 ) |
3. |
Pemanfaatan SAB |
Dimanfaatkan Tidak dimanfaatkan |
8 (22,2) 28 (77,8) |
26 (72,2) 10 (27,7) |
4. |
ASI |
Eksklusif Non-eksklusif |
14 (38,9) 22 (61,1) |
33 (91,6) 3 (8,3) |
5. |
Cuci Tangan Setelah BAB |
Mencuci Tidak mencuci |
15 (41,7) 21 (58,3) |
30 (83,3) 6 (16,6) |
6. |
Cuci tangan Sebelum Makan |
Mencuci Tidak mencuci |
18 (50) 18 (50) |
26 (72,2) 10 (27,7) |
7. |
Merebus Air Minum |
Merebus Tidak merebus |
8 (22,2) 28 (77,8) |
25 (69,4) 11 (30,5) |
Sebagian besar kelompok kasus tidak memiliki saluran pembuangan air limbah (SPAL) (72,22%), tidak memanfaatkan jamban keluarga (JAGA) (55,55%), dan tidak memanfaatkan sarana air bersih (SAB) (77,78%). Sebagian besar kelompok kasus tidak menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat dimana
hanya 41,67% yang mencuci tangan setelah buang air besar (BAB), 50% mencuci tangan sebelum makan, dan 22,22% yang merebus air minum. Sebesar 61,11% balita pada kelompok kasus tidak mendapatkan ASI eksklusif pada usia 0-6 bulan.
Tabel 4. Analisis Univariat
Variabel |
P Value |
Odds Ratio (OR) |
CI 95 % | |
Lower |
Upper | |||
Ketersedian SPAL |
0,00 |
7,80 |
2,73 |
22,27 |
JAGA |
0,01 |
3,75 |
1,37 |
10,20 |
SAB |
0,00 |
9,10 |
3,11 |
26,58 |
ASI |
0,00 |
17,20 |
4,44 |
67,25 |
Cuci tangan setelah BAB |
0,02 |
3,70 |
1,29 |
10,62 |
Cuci tangan sebelum makan |
0,09 |
2,60 |
0,97 |
6,92 |
Merebus air sebelum diminum |
0,00 |
7,95 |
2,76 |
22,90 |
Setelah dilakukan analisis univariat, variabel ketersediaan SPAL,
pemanfaatan JAGA, pemanfaatan SAB, pemberian ASI eksklusif, mencuci tangan
setelah buang air besar, dan merebus air sebelum diminum didapatkan bermakna sebagai faktor risiko terjadinya diare akut. Variabel pemberian ASI eksklusif
memiliki nilai odds ratio paling besar, yakni 17,20 (p=0,00). Variabel mencuci tangan sebelum makan tidak bermakna secara statistik (p=0,09).
Tabel 1.Analisis Multivariat
Variabel |
Sig. Exp (B) |
Ketersediaan SPAL JAGA SAB ASI Cuci tangan setelah BAB Merebus air sebelum diminum |
0,00 3,08 0,66 9,44 0,00 2,86 0,00 2,96 0,16 7,34 0,02 13,44 |
Dari 6 variabel yang didapatkan bermakna pada analisis univariat, ternyata hanya variabel ketersediaan SPAL, pemanfaatan SAB, pemberian ASI eksklusif, dan merebus air sebelum diminum yang bermakna secara statistik pada analisis multivariat. Variabel pemanfaatan JAGA (p=0,66%) dan mencuci tangan setelah BAB (p=0,16) tidak bermakna secara statistik. Merebus air sebelum diminum memiliki nilai B expected yang terbesar, yakni 13,44.
PEMBAHASAN
Pada penelitian ini sebagian besar responden berusia 25-34 tahun. Pada kelompok kasus 63,8% berusia 30-34 tahun dan pada kelompok kontrol 47,2% berusia 25-29 tahun. Hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sinthamurniwaty (2006) yang mendapatkan rerata umur responden penelitian untuk kelompok kasus adalah 35,35 ± 12,05 tahun, sedangkan untuk kelompok kontrol 33,40 ± 10,74 tahun.3
Pada penelitian ini kelompok kasus sebagian besar berpendidikan SLTP (41,6%), sedangkan kelompok konrtrol berpendidikan SLTA (50%). Hal ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Pradirga dkk (2014) yang mendapatkan tingkat pendidikan terakhir responden paling banyak yaitu SD sebanyak 32.4 %, dengan jumlah kasus sebanyak 35.30% dan jumlah kontrol sebanyak 29.4%,
tidak tamat SD dan tamat Akademi/PT sebanyak 3,7%.4
Pada penelitian ini rata-rata umur kelompok kasus pada umur 12-47 bulan (72,2%) dan pada kelompok kontrol <12 bulan (41,6%). Hasil ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Sinthamurniwaty (2006) yang mendapatkan rata-rata umur antara kelompok kasus dan kontrol hampir sama. Pada penelitian tersebut, kasus diare pada balita terbanyak ditemukan pada rentang umur 11 – 20 bulan (54 %) dan terendah pada kelompok umur 41 - 50 bulan (1,4 %).11 Pada penelitian ini jenis kelamin laki-laki lebih dominan dibandingkan dengan perempuan (59%). Hal ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Pradirga dkk (2014) yang mendapatkan jenis kelamin perempuan (54.40%) lebih banyak dibanding dengan laki-laki.4
Ketersediaan SPAL (OR= 7,80, p=0,00, CI 95%= 3,73-22,27), dimana nilai tersebut menunjukkan bahwa tidak tersedianya SPAL berisiko terhadap kejadian diare.Bila keluarga memiliki tempat pembuangan sampah khusus dan limbah yang tidak terpapar langsung dengan lingkungan, maka hal tersebut dapat mencegah kejadian diare. Hal ini sesuai penelitan B Hamzah (2012). Di Kabupaten Wajo didapatkan hasil p=0,001 sehingga dikatakan terdapat hubungan yang bermakna antara pengelolaan air limbah dengan terjadinya diare.5
Pemanfaatan JAGA (OR = 3,75, p = 0,01, CI 95% = 1,37-10,20), menunjukkan tidak memanfaatkan JAGA memiliki risiko terhadap kejadian diare. Pemanfaatan JAGA dapat mencegah kejadian diare pada individu agar tidak mudah terpapar pada lingkungan bila BAB tanpa jamban. Hal ini juga sekaligus mencegah kontaminasi dari individu ke lingkungan luar. Penelitian yang dilakukan oleh Trisno Agung Wibowo (2003) di Kabupaten Sleman menunjukkan bahwa tempat pembuangan tinja yang tidak memenuhi syarat sanitasi akan meningkatkan risiko terjadinya diare berdarah pada anak balita sebesar 2,55 kali lipat dibandingkan dengan keluarga yang membuang tinjanya secara saniter.7
Pemanfaatan SAB (OR= 9,01, p=0,00, CI 95%= 3,11-26,58), dengan hasil tersebut tidak memanfaatkan SAB memiliki risiko terhadap kejadian diare. Sarana air bersih di Desa Tegallalang hampir seluruhnya menggunakan air ledeng, sehingga dapat mencegah kejadian diare. Penelitian Trisno AW (2003) di Kabupaten Sleman, menunjukkan bahwa menggunakan sumber air minum yang tidak memenuhi syarat sanitasi akan meningkatkan risiko terjadinya diare berdarah pada anak balita sebesar 2,47 kali dibandingkan keluarga yang mengunakan sumber air minum yang memenuhi syarat sanitasi.7
Pada penelitian mendapatkan pemberian ASI eksklusif (OR=27,20, p=0,00, CI 95% = 4,44-67,25), menunjukkan tidak memberikan ASI eksklusif pada bayi memberikan risiko terjadinya diare, namun mekanismenya masih belum jelas. Hal ini didukung dengan penelitian yang dilakukan oleh Eka Putri dkk (2013), di Puskesmas Kuranji Kabupaten Padang didapatkan hasil p=0,001, terdapat hubungan yang bermakna antara tidak memberikan ASI eksklusif dengan terjadinya diare.9
Pada penelitian mendapatkan tidak mencuci tangan setelah BAB meningkatkan risiko terhadap kejadian
diare. Tangan dapat terkontaminasi kuman dari kotoran bila tidak dicuci dengan sabun. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Arie Kusumaningrum dkk (2011) di kelurahan Gandus, Palembang.Hubungan antara cuci tangan setelah BAB dengan terjadinya diare diperoleh nilai p=0,00 secara statistik bermakna dan terdapat hubungan antara tidak mencuci tangan dengan terjadinya diare.11
Pada penelitian ini mendapatkan cuci tangan sebelum makan tidak memberikan risiko terhadap kejadian diare. Tidak mencuci tangan sebelum makan atau memberi makan balita dapat menyebabkan diare, karena tangan masih terkontaminasi dengan kuman. Hasil pada penelitian yang mendapatkan cuci tangan sebelum makan tidak bermakna disebabkan jumlah sampel yang kurang. Hal ini tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Siti Amaliah (2010) di Kecamatan Bendosari, Sukoharjo. Hubungan tidak cuci tangan sebelum makan dengan terjadinya diare didapatkan hasil p=0,00, hasil tersebut bermakna terdapat hubungan tidak mencuci tangan dengan terjadinya diare.12
Pada penelitian ini merebus air minum sebelum diminum (OR = 7,95, p = 0.00, CI 95%=2,76-25,90), menunjukkan faktor risiko terhadap kejadian diare. Merebus air minum akan mengurangi kontaminasi kuman pada air, terutama bila terkontaminasi dengan alat dapur. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Siti Amaliah (2010) di Kecamatan Bendosari, Sukoharjo,mendapatkan hubungan yang bermakna antara tidak merebus air minum dengan terjadinya diare (p=0,00).12
Pada uji statistik multivariat didapatkan 5 variabel penentu yang merupakan model akhir analisis multivariat, kemudian dilihat B Expected yang terbesar adalah tidak merebus air sebelum diminum (B Expected = 13,44).
Dari hasil penelitian ini tentu masih belum sempurna dan tidak terlepas dari
berbagai keterbatasan, sehingga akan memengaruhi hasil penelitian. Keterbatasan tersebut antara lain adalah bias informasi, recall bias, bias pewawancara, dan sampel penelitian. Penelitianini adalah studi kasus kontrol yang dalam pengumpulan data menggunakan kuesioner sangat subyektif, sehingga kebenaran data sangat tergantung pada kejujuran dan daya ingat responden serta kejujuran dan kepekaan dari pewawancara (observer) pada saat observasi dan pengisian kuesioner yang tentunya akan sangat memengaruhi terhadap data dan informasi yang dihasilkan.
Sampel penelitian yang didapatkan masih kurang. Berdasarkan rumus besar sampel didapatkan sampel minimal 38 kasus dan 38 kontrol, namun dalam penelitian hanya mendapatkan 36 kasus dan 36 kontrol.
Simpulan
Faktor-faktor risiko yang terbukti berpengaruh terhadap kejadian diare akut pada balita adalah ketersediaan saluran pembuangan air limbah, pemanfaatan sarana air bersih, ASI eksklusif, cuci tangan setelah buang air besar, dan merebus air minum. Berdasarkan hasil tersebut didapatkan bahwa tidak merebus air sebelum diminum merupakan faktor risiko yang paling berpengaruh.
Saran
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, disarankan pada Puskesmas Tegallalang I untuk memberikan penyuluhan faktor-faktor risiko yang berpengaruh terhadap terjadinya diare akut. Selain itu diharapkan kepada peneliti selanjutnya untuk lebih lanjut melakukan penelitian dengan permasalahan yang sama, dapat dengan variabel yang sama maupun dengan variabel yang berbeda dalam hubungan dengan kejadian diare pada balita seperti perilaku mencuci tangan pengasuh sebelum menyajikan makan bagi balita, perilaku cuci tangan
balita sebelum makan maupun setelah BAB, mencuci perlatan memasak sewaktu mepersiapkan makanan, balita yang masih menyusui atau sudah minum susu formula, kebersihan dot yang digunakan balita ketika minum susu.
DAFTAR PUSTAKA
-
1. Adyanastri Festy, 2012. Etiologi dan Gambaran klinis Diare di RSUP dr Kariadi Semarang. Diakses 20 Juli 2013. Diunduh dari: http://ejournals1. undip.ac.id/index.php/medico/article/vi ew/1713.
-
2. Kemenkes RI. 2011. Situasi Diare di Indonesia. Diakses 19 Juli 2013. Diunduh dari: http://www.depkes. go.id/downloads/Buletin%20Diare_Fin al(1).pdf.
-
3. Sinthamurniwaty, 2006. Faktor-Faktor Risiko Kejadian Diare Akut pada Balita. Diakses 14 Maret 2015. Diunduh dari: http://eprints.undip. ac.id/15323/1/SINTAMURNIWATYE 4D002073.pdf.
-
4. Pradirga dkk, 2014. Faktor Risiko Kejadian Diare pada Bayi di Kelurahan Pannampu Kecamatan Tallo Kota Makassar. Diakses 14 Maret 2015. Diunduh dari: http://repository.unhas. ac.id/bitstream/handle/123456789/106 45/RIZKY%20PANJI%20PRADIRG A%20K11110130.pdf?sequence=1.
-
5. B Hamzah, Arsin Arsunan, Ansar Jumriani. 2012. Hubungan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat dengan Kejadian Diare pada Balita Di Kecamtan Belawa Kabupaten Wajo tahun 2012. Diakses 19 Juli 2013. Diunduh dari: http://repository.unhas. ac.id/bitstream/handle/123456789/434 0/HAMZAH_K11109015.pdf?sequenc e=1.
-
6. Adisasmito Wiku. 2007. Faktor risiko Diare pada Bayi dan Balita di Indonesia: Systematic Review Penelitian Akademik Bidang Kesehatan Masyarakat. Diakses 20 Juli 2013. Diunduh dari: http://journal.
ui.ac.id/health/article/download/212/20 8.
-
7. Kusumawati Oktania, Nugroho A Heryanto, dkk. 2011. Hubungan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat dengan Kejadian Diare Pada Balita Usia 1-3 Tahun Studi Kasus di Desa Tegowanu Wetan Kecamatan Tegowanu Grobogan. Diakses 20 Juli 2013. Diunduh dari: http://ejournal. stikestelogorejo.ac.id/index.php/ilmuke perawatan/article/download/69/108.
-
8. Wulandari P Anjar. 2009. Hubungan Antara Faktor Lingkungan dan Faktor Sosiodemografi Dengan Kejadian Diare pada Balita di Desa Blimbing Kecamatan Sambirejo Kabupaten Sragen Tahun 2009. Diakses 20 Juli 2013. Diunduh dari: http://female. store.co.id/images/media/kesehatan%2 0masyarakat%20-%20full%20jg.pdf.
-
9. Rahmadhani eka Putri, Lubis Gustinia, Edison. 2013. Hubungan Pemberian ASI Eksklusif dengan Angka Kejadian Diare Akut pada Bayi Usia 0-1 tahun di Puskesmas Kuranji Kota Padang.
Diakses 19 Juli 2013. Diunduh dari: http://jurnal.fk.unand.ac.id/articles/vol _2no_2/62-66.pdf.
-
10. Wulandari P Anjaar, 2010. Hubungan Antara Faktor Lingkungan dan Faktor Sosiodemografi dengan kejadian diare pada balita di Desa Blimbing Kecamatan Sambirejo Kabupaten Sragen tahun 2009. Diakses 19 Juli 2013. Diunduh dari: http://female. store.co.id/images/media/kesehatan%2 0masyarakat%20-%20full%20jg.pdf.
-
11. Kusumaningrum Arie, Hepriyani, Nurhalinah, 2011. Pengaruh PHBS Tatanan Rumah Tangga terhadap diare di Kelurahan Gandus Palembang. Diakses 19 Juli 2013. Diunduh dari: http://eprints.unsri.ac.id/889/1/makalah _PHBS_keluarga_diare.pdf.
-
12. Amaliah Siti, 2010. Hubungan sanitasi lingkungan dan faktor budaya dengan kejadian diare pada anak balita di Desa Toriyo Kecamatan Bendosari Kabupaten Sukoharjo.
9
Discussion and feedback