SIKAP AMBIVALEN ORANG TUA TERKAIT PELARANGAN PERILAKU MEROKOK PADA SISWA LAKI-LAKI SEKOLAH MENENGAH PERTAMA DI

WILAYAH KERJA PUSKESMAS SUKASADA II

Ni Komang Ari Santi1, A. A. Sri Wahyuni2

1Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Udayana 2Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

ABSTRAK

Perokok usia dini cenderung akan menjadi perokok reguler dan mengalami adiksi di usia dewasa. Karenanya, pencegahan dan penanganan perokok usia remaja perlu mendapat perhatian dalam program puskesmas dengan memperhatikan peran keluarga yang juga mempengaruhi perkembangan remaja menjadi seorang perokok. Hasil survei awal pada siswa Sekolah Menengah Pertama menunjukkan bahwa 14,3% siswa adalah perokok aktif. Berdasarkan hal tersebut maka penelitian ini ditujukan untuk mengetahui karakteristik perokok dan kaitannya dengan sikap orang tua yang tidak konsisten dalam melakukan pelarangan pada siswa laki-laki sekolah menengah pertama. Penelitian ini dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Sukasada II, dan merupakan studi deskriptif cross sectional. Data diambil melalui wawancara terhadap 75 siswa SMP yang dipilih secara purposif. Pada penelitian ini didapatkan 28,6% siswa yang merokok mendapat larangan merokok dari orang tuanya. Dari keseluruhan siswa yang merokok, 22,6% diantaranya memiliki orang tua dengan sikap ambivalen terhadap larangan untuk merokok, dan 22,7% lainnya tanpa sikap ambivalen terhadap larangan untuk merokok. Terdapat 77,5% orang tua yang tidak mengizinkan anaknya merokok tetapi ia sendiri merupakan perokok, yang menunjukkan adanya sikap ambivalen. Aturan yang longgar dapat membuat remaja menganggap merokok sebagai hal yang wajar. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kecendrungan siswa berperilaku merokok dapat dicegah dengan mengontrol lingkungan siswa tersebut melalui sosialisasi bahaya merokok, serta membuat aturan yang konsisten dan dimulai dari orang tua siswa.

Kata kunci: perokok, remaja, orang tua, cross sectional

SMOKING BEHAVIOUR DUE TO AMBIVALENCE OF PARENT AMONG MALE JUNIOR HIGH SCHOOL STUDENTS IN THE WORKING AREA OF SUKASADA II PRIMARY HEALTH CENTER

ABSTRACT

Smokers in early age tend to become regular smokers and experience addiction in adulthood. The prevention and treatment of adolescent age smokers should be a concern of the public health center by giving adequate attention to the role of the family that might influence the development of adolescent to become a smoker. The initial survey in junior high school students indicated that 14.3% of students were active smokers. This study was therefore aimed at investigating the characteristics of smokers and their relation to the attitude of parents who were not consistent in enforcing the prohibition on male students of junior high school. This study was conducted within the working area covered by Sukasada II public health center, and was a cross sectional descriptive study. Data retrieved from interview to 75 junior high school students who were selected purposively. This study found that among students who smoke, 22.6% had parent with ambivalent attitude towards the rule of smoking, and 22.7 % without ambivalent attitude towards the rule of smoking. A number of 77.5% of parents who didn’t allow their children to smoke were smokers themselves, which indicated ambivalence. Unenforced rules might lead teens to perceive that smoking is natural. It could then be concluded that the students’ tendency to smoke can be prevented by controlling the student environment through proper socialization of the dangers of smoking, and by making consistent rules and started from the parent.

Keywords: smokers, adolescent, parenting, cross-sectional

PENDAHULUAN


dapat memfasilitasi remaja untuk

Merokok adalah suatu fenomena yang terkait dengan berbagai aspek seperti kesehatan, ekonomi, sosial, dan politik.1 Prevalensi perokok pada remaja di dunia mengalami peningkatan dalam satu dekade terakhir, dan remaja yang mulai merokok secara teratur pada usia yang lebih muda cenderung mengalami adiksi nikotin pada usia dewasa.2 Prevalensi perokok di Indonesia tahun 2004 adalah 28,4% (laki-laki 52,4% dan 3,3% perempuan) atau yang tertinggi di antara negara-negara Asia Tenggara. Umur mulai merokok rata-rata di Indonesia diperkirakan sekitar 15 tahun, yang merupakan usia yang sangat muda. Inisiasi merokok umumnya terjadi sebelum usia 18 tahun.1

Terdapat beberapa penelitian yang telah menyimpulkan bahwa orangtua yang merupakan perokok memberikan pengaruh kuat pada remaja untuk merokok. Meskipun orangtua yang merokok memainkan peran dalam tahap mencoba, bereksperimen, dan merokok secara teratur, penelitian yang lebih baru menunjukkan bahwa orang tua yang merokok memberikan pengaruh paling kuat dalam fase transisi menjadi perokok reguler, dan secara tidak langsung mempengaruhi inisiasi merokok. Komunikasi keluarga tentang penggunaan tembakau yang kurang diprediksi juga

merokok, tetapi bukan menginisiasi merokok. Selain itu konflik keluarga secara signifikan diperkirakan menjadi faktor inisiasi merokok di kalangan remaja dan percobaan untuk penggunaan rokok 2 secara rutin.

Hal ini diperkuat dari survei yang dilakukan Puskesmas Sukasada II di mana terdapat sekitar 23% atau 326 keluarga yang tidak dapat memenuhi indikator tidak merokok dalam rumah pada survei rumah sehat pada tahun 2013.4 Kondisi ini menjadi ancaman untuk tumbuhnya perokok baru di kalangan siswa walaupun mereka sudah mengetahui merokok itu berbahaya. Hal ini terkait dengan situasi di mana merokok di dalam rumah memberikan pengaruh yang signifikan pada anak muda tentang apakah lingkungannya mendukung atau melarang untuk merokok.5

Beberapa studi menunjukan larangan untuk merokok dapat mengurangi prevalensi merokok hanya jika larangan ini dilakukan secara ketat dan tegas. Aturan yang dibuat longgar menyebabkan adanya persepsi bahwa merokok merupakan hal yang wajar.6,7

Berdasarkan hal tersebut maka penelitian ini ditujukan untuk mengetahui perilaku merokok terkait sikap ambivalen

orang tua pada siswa SMP di wilayah kerja Puskesmas Sukasada II pada bulan Juni 2014. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang menjadi landasan dalam mempertimbangkan kegiatan program Perilaku Hidup Bersih dan Sehat khususnya penurunan jumlah perokok pada remaja.

BAHAN DAN METODE

Studi ini merupakan studi deskriptif dengan desain potong lintang. Subyek penelitian merupakan siswa Sekolah Menengah Pertama di wilayah kerja Puskesmas Sukasada II kabupaten Buleleng Provinsi Bali. Sampel diambil dari SMP Negeri II Sukasada yang dipilih secara purposf. Sebanyak 75 siswa berpartisipasi sebagai sampel. Siswa yang diikutkan merupakan siswa laki-laki kelas 2 yang telah menyatakan kesediaannya ikut dalam penelitian. Masing-masing siswa mengikuti wawancara sesuai dengan kuesioner yang telah disusun oleh peneliti. Dari wawancara ini dicari riwayat merokok siswa serta riwayat orang tua perokok dan riwayat pelarangan merokok orang tua. Sikap ambivalen dinyatakan positif jika orang tua merupakan perokok sementara tetap memberikan pelarangan merokok kepada responden. Hasil penelitian kemudian dianalisis dengan metode deskriptif.

HASIL PENELITIAN

Dari penelitian ini diperoleh sampel sebanyak 75 orang. Rata-rata umur responden 13,8 tahun dengan usia termuda 13 tahun dan tertua 16 tahun. Terdapat 22,7% siswa yang merokok. Seluruh responden mengatakan bahwa mereka tinggal bersama dengan orang tua. Dari riwayat keluarga didapatkan 77,3% keluarga siswa merupakan perokok. Sebanyak 58,7% (n=44) orang tua responden merupakan perokok, dan dari seluruh responden yang mengaku orang tuanya merokok menyatakan bahwa yang merokok adalah ayahnya. Pada tabel 1 disajikan terdapat 72% siswa yang dilarang merokok oleh orang tuanya, 28% sisanya mengaku tidak mendapat larangan merokok dari orang tua mereka. Terdapat 41,3% orang tua yang menunjukkan sikap ambivalen terhadap pelarangan merokok pada anaknya, sementara orang tua yang diakui oleh responden tidak memiliki sikap responden sebanyak 58,7%.

Dari keseluruhan siswa yang merupakan perokok, 70,6% (n=12) diantaranya memiliki ayah dengan riwayat sebagai perokok, dan 29,4% (n=5) dengan tidak adanya riwayat ayah sebagai perokok. Keterangan dari seluruh responden menunjukkan tidak ada yang memiliki ibu dengan riwayat perokok. Sementara pada responden yang bukan

perokok, tercatat 55,2% (n=32) di antaranya memiliki riwayat ayah perokok, dan 44,8% (n=26) dengan tidak memiliki riwayat ayah perokok.

Seperti yang tampak pada tabel 3, terdapat 72% (n=54) siswa yang mengaku tidak diizinkan untuk merokok oleh orang

tua mereka. Dari keseluruhan siswa yang merupakan perokok, 27,3% (n=12) di antaranya memiliki ayah dengan riwayat merokok. Sebanyak 16,1% (n=5) merupakan responden dengan ayah yang tidak memiliki riwayat merokok, dan 72,7% (n=32) siswa yang tidak merokok memiliki ayah dengan riwayat merokok.

Tabel 1. Deskripsi frekuensi karakteristik responden

Variabel

Jumlah

%

Larangan untuk merokok

Ada

54

72

Tidak ada

21

28

Ayah merokok

Ya

44

58,7

Tidak

31

41,3

Sikap ambivalensi

Positif

31

41,3

Negatif

44

58,7

Tabel 2. Kategori siswa dengan riwayat ayah perokok dan ibu perokok

Kategori siswa

Riwayat orang tua perokok

Ada

Tidak ada

Total

Jumlah (%)

Jumlah (%)

Jumlah (%)

Perokok

12

5

17

(70,6)

(29,4)

(100)

Bukan perokok

32

26

58

(55,2)

(44,8)

(100)

Tabel 3. Sikap larangan orang tua dengan riwayat orang tua perokok

Sikap Orang Tua

Riwayat Orang Tua Perokok

Total

Ada

Tidak Ada

Jumlah

%

Jumlah

%

Jumlah

%

Tidak ada larangan

13

61,9

8

38,1

21

100

Ada larangan

31

57,4

23

42,6

54

100

Tabel 4. Kecendrungan prilaku merokok berdasarkan riwayat ayah perokok, larangan untuk merokok, dan sikap ambivalen orang tua

Variabel

Perokok                Bukan Perokok

Jumlah         %        Jumlah        %

Ayah merokok

Ya

Tidak

Larangan merokok Ada

Tidak

Sikap ambivalen Positif Negatif

12            27,3           32           72,7

5             16,1           26           83,9

11            20,4           43           79,6

6            28,6           15           71,4

7            22,6          24          77,4

10            22,7           34           77,3

Siswa yang merokok cenderung tidak mendapat larangan untuk merokok dari orang tua mereka, yaitu tercatat 28,6% (n=6) anak yang tidak dilarang merokok, saat ini merupakan perokok. Sebanyak 20,4% (n=11) siswa yang merokok mendapat larangan merokok dari orang tua mereka.

Dari tabulasi silang sikap ambivalen orang tua dengan prilaku merokok siswa, didapatkan dari keseluruhan siswa perokok, 22,6% (n=7) orang tua mereka memiliki sikap ambivalen terhadap pelarangan merokok pada anaknya, dan 22,7% (n=10) diantaranya memiliki orang tua tanpa sikap ambivalen dalam pelarangan merokok pada anaknya. Dari siswa yang bukan merokok, tercatat 77,4% (n=24) tercatat memiliki orang tua yang memiliki sikap ambivalen. Sementara 77,3% (n=34) di antaranya tanpa sikap

ambivalen orang tua untuk melarang anaknya merokok. Data yang ditunjukkan pada sikap ambivalen orang tua terhadap prilaku merokok siswa memiliki kecenderungan yang tidak terlalu jauh berbeda.

DISKUSI

Dari faktor risiko riwayat keluarga merokok memegang peranan penting dalam menentukan status merokok anak muda.9 Keadaan sosial dan konteks keluarga remaja meningkatkan kecendrungan anak untuk merokok. Secara spesifik disebutkan kecendrungan untuk merokok pada anak dengan keluarga perokok sebesar 15% lebih tinggi dibandingkan dengan anak dengan konteks keluarga yang tidak memiliki kebiasaan merokok.10 Pada penelitian ini sebagian besar siswa memiliki keluarga yang merokok di mana ayah menjadi sosok

yang paling banyak disebutkan memiliki riwayat aktivitas merokok. Peran kepala keluarga yang menjadi perokok menjadi ancaman karena umumnya ayah menjadi contoh bagi remaja pria untuk masa depan mereka. Hal ini diperburuk dengan adanya ancaman perokok pasif yang cukup besar di kalangan siswa SMP di mana 84,5% siswa memiliki keluarga yang merokok di dalam rumah. Sikap orang tua yang tidak memberikan pelarangan merokok juga menjadi salah satu faktor penting dalam menentukan tumbuhnya perokok baru.

Pada penelitian ini didapatkan data bahwa sebagian besar siswa tidak diizinkan untuk merokok oleh orang tua mereka, sehingga sebagian besar siswa yang melakukan aktivitas merokok dilakukan tanpa sepengetahuan orang tua mereka. Dalam penelitian ini diperoleh sebanyak 20,4% (n=11) siswa yang tidak diizinkan untuk merokok saat ini merupakan perokok. Hanya sebanyak 35,2% (n=6) siswa yang merokok yang diberikan izin oleh orang tua mereka. Pada tabulasi silang antara sikap orang tua dengan riwayat orang tua yang merokok terdapat 77,5% orang tua yang tidak mengizinkan anaknya merokok merupakan perokok.

Komunikasi antara orang tua dan remaja terkait dengan aturan dalam keluarga mengenai merokok,

konsekuensinya dan keadaan-keadaan yang terkait ditemukan sebagai prediksi faktor yang meluruskan niat serta proses seorang remaja untuk merokok, namun bukan dalam tahap memulai, dan bervariasi tergantung pada dasar yang menjadi alasan orang tuanya merokok.2

Walaupun larangan sudah dilakukan, sayangnya 77,5% orang tua yang melarang anaknya merupakan perokok. Hal ini menyebabkan pelarangan tidak efektif karena adanya sikap yang tidak konsisten antara larangan yang disampaikan dengan perilaku pemberi larangan. Adanya sikap tidak kosisten ini berpotensi menyebabkan pelarangan tidak dapat dilakukan secara ketat dan tegas sehingga menyebabkan persepsi bahwa merokok merupakan hal yang wajar.6,7

Sikap yang menggambarkan keadaan orang tua yang menginginkan dan menuntut agar anak-anaknya tidak merokok, namun mereka sendiri tidak bertanggung jawab terhadap aturan yang dibuatnya dan meragukan kemampuan mereka untuk menaati aturan tersebut menunjukkan ambivalensi orang tua terkait aturan larangan merokok. Hal ini semakin melemahkan pelarangan merokok pada remaja, sehingga meningkatkan prediksi munculnya kebiasaan merokok pada remaja.6,7

Dari hasil penelitian didapatkan bahwa persentase siswa yang merokok dengan siswa yang bukan perokok cenderung tidak terlalu berbeda pada kelompok orang tua yang memiliki maupun tidak memiliki sikap ambivalen terhadap pelarangan merokok pada anaknya. Hasil yang mirip ini kemungkinan dipengaruhi oleh pihak orang tua yang melakukan pelarangan. Ada kemungkinan pelarangan bukan hanya oleh ayah, tetapi juga dilakukan oleh ibu. Walaupun hasilnya sama, tetapi sikap ambivalen tersebut mempunyai potensi menjadikan siswa merokok di kemudian hari.

SIMPULAN

Sebagian besar orang tua responden yang merokok merupakan perokok. Dari keseluruhan siswa, sebagian besar dilarang merokok oleh orang tua mereka, dan siswa yang tercatat sebagai perokok sebagaian besar tidak dilarang merokok oleh orang tua mereka. Sebagian dari orang tua responden yang merokok menunjukkan sikap ambivalen terhadap pelarangan merokok pada anaknya. Walaupun dalam penelitian ini diperoleh hasil yang mirip pada kedua kelompok orang tua berdasarkan sikap ambivalennya, tidak menutup kemungkinan bahwa sikap ambivalen itu memiliki potensi dalam meningkatkan kecenderungan remaja untuk merokok.

Diperlukan penelitian dan studi lanjutan yang mengangkat mengenai sikap ambivalen orang tua terhadap pelarangan merokok pada anak ini dengan menekankan pada pihak orang tua yang mana saja melakukan pelarangan untuk merokok kepada anak, dan perlu diperhatikan konsistensi sikap orang tua siswa dalam memberikan serta mencontohkan penerapan larangan merokok kepada anak-anak mereka.

DAFTAR PUSTAKA

  • 1.    IGN Bagus Artana, IB Ngurah Rai. Tingkat ketergantungan nikotin dan faktor-faktor yang berhubungan pada perokok di desa penglipuran. SMF Ilmu Penyakit Dalam FK Unud/RSUP Sanglah Denpasar. 2009

  • 2.    Elizabeth E, Lloyd R, George P, Alessandra K, Cassandra S & Raymond N. Differentiating Stages of Smoking Intensity Among Adolescents: Stage-Specific Psychological and Social Influences. Journal of Consulting and Clinical Psychology. Vol 70 (4): p998–1009. 2002

  • 3.    Khurzid F. Causes of Smoking Habit Among the Teenagers. Interdisplinary Journal of Contemporary Researh in Bussiness 3(9):p.848-855. 2012

  • 4.    Puskesmas Sukasada II. Laporan Kegiatan PHBS Puskesmas Sukasad II tahun 2013. Buleleng: Puskesmas Suksada II. 2013

  • 5.    Leatherdale ST, Cameron R, Brown S, Jolin M A & Krocker C. The influence of friends, family, and older peers on smoking among elementary school students: Low risk students in high – risk schools. Preventive Medicine, 42(3):p 218-222. 2006

  • 6.    Wakefield, M., C. Marley, J.K. Horan and K.M. Cummings. The cigarette pack as image: New evidence from tobacco industry documents. Tobacco Control, 33: 73-80. 2002

  • 7.    Poulsen L H, Osler M, Roberts C, Due P, Damsgaard M T & Holstein B E. Exposure to teachers smoking and adolescent smoking behavior: analysis of cross sectional data from Denmark. Tobaco Control 11: p246-251. 2002

  • 8.    Cahyani, B. Hubungan antara persepsi terhadap merokok dan kepercayaan diri dengan perilaku merokok pada siswa STM Muhammadiyah Pakem

Sleman Yogyakarta. UGM Fakultas Psikologi. 2000

  • 9.    Wen CP, Tsai SP, Cheng TY, Hsu CC, Chen T, & Lin HS. Role of Parents and Peers in Influensing the Smoking Status of High School Students in Taiwan. Tobacco Control 14: p10-15. 2005

  • 10.    Olaya G R, Rosa S, Francisco J S, Roberto S, Emilio SH. Psychosocial risk factors for adolescent smoking: A school-based study. ISSN 1697-2600. Vol. 11 (1): p 23-33. 2011