POLA PEMBERIAN KORTIKOSTEROID PADA PASIEN ISPA BAGIAN ATAS DI PUSKESMAS SUKASADA II PADA BULAN MEI – JUNI 2014
on
POLA PEMBERIAN KORTIKOSTEROID PADA PASIEN ISPA BAGIAN ATAS DI PUSKESMAS SUKASADA II PADA BULAN MEI – JUNI 2014
Adi Yulianto1, Komang Ayu Kartika Sari2
-
1. Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Udayana 2. Bagian Ilmu Kedokteran Komunitas/Ilmu Kedokteran Pencegahan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
ABSTRAK
ISPA merupakan penyakit yang umum dan global di masyarakat. Pada pusat layanan primer seperti di Puskesmas Sukasada II, angka kunjungan pasien ISPA tercatat sebanyak 3,091 pasien pada tahun 2013 dan tercatat sebanyak 1,452 pasien di periode Januari - Juni 2014. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola pemberian kortikosteroid pada pasien ISPA bagian atas dan indikasi pemberiannya. Kriteria pasien dalam penelitian adalah pasien rawat jalan yang terdiagnosis ISPA bagian atas yang tercatat di Puskesmas Sukasada II pada Mei – Juni 2014. Penelitian menggunakan metode studi deskriprif cross-sectional menggunakan pengumpulan data sekunder yang berasal dari register dan rekam medis pasien ISPA bagian atas yang berobat di Puskesmas Sukasada II. Karakteristik berdasarkan umur pasien ISPA di Puskesmas Sukasada II adalah balita (46,5%). Berdasarkan jenis kelamin, prevalensi tertinggi terdapat pada jenis kelamin laki-laki (52,8%) dan berdasarkan letak desa, tertinggi di Desa Pancasari (54,2%). Berdasarkan tanda dan gejala keluhan demam (21,4%), batuk (20,4%), pilek (14,8%), bersin (14,8%), sekret hidung (14,8%), sakit tenggorok (7,1%), dan sakit kepala (6,7%). Diagnosis ISPA bagian atas dibagi menjadi sinusitis (8,3%), common cold (11,1%), rinitis (13,9%), tonsilitis (25,0%), dan faringitis (41,7%). Pemberian kortikosteroid pada pasien ISPA mencapai 27,1% dengan kortikosteroid yang digunakan adalah prednison (15,3%) dan deksametason (11,8%). Pemberian kortikosteroid berdasarkan gejala dan tanda klinis pada pasien ISPA sudah sesuai berdasarkan penelitian yang telah dilakukan akan tetapi belum ada pedoman indikasi pemberian kortikosteroid yang pasti pada pasien ISPA. Pemberian kortikosteroid pada pasien ISPA berdasarkan diagnosis meliputi, tonsillitis (41,6%), faringitis (26,7%), rinitis (25%), common cold (18,9%), dan sinusitis (0%). Pemberian kortikosteroid pada pasien infeksi, termasuk ISPA adalah kontraindikasi kecuali pada pasien sepsis bakteri gram negatif dan membantu mengurangi kerusakan jaringan akibat inflamasi yang berlebihan di bawah pengawasan ketat. Pemberian kortikosteroid pada pasien anak-anak dengan common cold dapat memperburuk gejala.
Kata kunci: ISPA bagian atas, karakteristik pasien, diagnosis ISPA, kortikosteroid.
PATTERNS ON CORTICOSTEROIDS GIVEN TO PATIENTS WITH ACUTE UPPER RESPIRATORY TRACT INFECTION IN SUKASADA II PRIMARY HEALTH CENTER THROUGHOUT THE PERIOD OF MAY - JUNE 2014
ABSTRACT
Acute Respiratory Tract Infection (ARI) is a global and common disease in community. In Sukasada II Primary Health Center (PHC), the number of ARI’s patient visited was noted up to 3,091 patients in 2013 and was noted up to 1,452 patients in January to June 2014. The research purposes to describe patterns of corticosteroids given to patients with upper respiratory infection and indication of corticosteroids given. Patient criterias in this study are outpatient with diagnosis upper ARI was noted in Sukasada II PHC on May until June, 2014. The research uses descriptive crosssectional study by collecting secondary data from registers and medical records of patients who treated in Sukasada II PHC. The characteristic from age of patients whom diagnosed with ARI in Sukasada II PHC is toddler (46.5%). Based on sex category, the highest prevalence in the male category (52.8%) and based on patient village, highest in the Pancasari Village (54.2%). Based on the study, the signs and symptoms varies from fever (21,4%), cough (20,4%), runny nose (14,8%), sneezing (14,8%), nose secret (14,8%), sore throat (7,1%), and headache (6,7%). ARI diagnosis are consisted of few categories with prevalence of sinusitis (8,3%), common cold (11,1%), rhinitis (13,9%), tonsillitis (25,0%), and pharyngitis (41,7%). Corticosteroids were prescribed to 27.1% cases overall with corticosteroids used were prednisone (15,3%) and dexamethasone (11,8%). Corticosteroids which were prescribed based on clinical signs and symptoms of patients with ARI was appropriate based on the studies that have been conducted before but there is no proper guidelines for prescription of corticosteroids to ARI patients. Corticosteroids which were prescribed based on diagnosis of patients with ARI consists of tonsillitis (41,6%), pharingitis (26,7%), rhinitis (25%), common cold (18,9%), and sinusitis (0%). Corticosteroid which given to infection patient, include ARI is contraindicated except for patient with negative bacteria sepsis and help to decrease tissue damaged from excess inflammation process on tight supervision. Corticosteroids prescribed on chidren with common cold gets worse the symptoms.
Keywords: Acute upper respiratory tract infection, patients' characteristics, acute upper respiratory tract diagnosis, corticosteroids.
Istilah ISPA diadaptasi dari
PENDAHULUAN
ISPA berasal dari kepanjangan Infeksi Saluran Pernapasan Akut. ISPA dibagi menjadi dua kelompok, yakni ISPA bagian atas dan ISPA bagian bawah. Keduanya memiliki beberapa diagnosis yang tercakup di dalamnya. ISPA bagian atas mencangkup infeksi organ saluran pernapasan mulai dari hidung sampai dengan faring.1
bahasa inggris Acute Respiratory Infection (ARI). Istilah ISPA meliputi tiga unsur yaitu infeksi, saluran pernafasan dan akut. Infeksi adalah masuknya mikroorganisme ke dalam tubuh manusia dan berkembang biak sehingga menimbulkan penyakit.2
Saluran Pernapasan adalah organ mulai dari hidung hingga alveoli beserta organ adneksanya seperti sinus,
rongga telinga tengah, dan pleura. ISPA secara anatomis mencakup saluran pernafasan bagian atas, saluran pernafasan bagian bawah (termasuk paru-paru) dan organ adneksa saluran pernafasan.2,3
Infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari. Istilah akut menandakan infeksi berlangsung selama kurang dari 14 hari. Infeksi saluran pernafasan akut bagian atas terdiri dari common cold/ influenza, rinitis, sinusitis, faringitis, dan tonsilitis.1,2,3
Di dunia, prevalensi ISPA bagian atas menyentuh nilai rata-rata 25 juta pasien yang berkunjung ke tempat layanan pertama atau dokter umum. Penyakit ini mempunyai andil dalam mengakibatkan angka kesakitan dan absennya pelajar dalam bersekolah dan warga dalam bekerja meningkat. Data menunjukkan penyakit ini dapat mengakibatkan absennya pasiennya menyentuh nilai 20 hingga 22 juta per tahunnya. Kejadian ini secara tidak langsung mengakibatkan kerugian di berbagai bidang, misalnya bidang sosial dan ekonomi.1 Pasien ISPA bagian atas yang berkunjung menyentuh nilai 2 juta sampai 46 juta per tahunnya di Negara Inggris dan Amerika.4
Di Negara Indonesia, data memperlihatkan bahwa ISPA merupakan penyakit dengan permasalahan kesehatan yang umum dan penting. Hal ini disebabkan setiap anak diperkirakan menderita ISPA dengan rata-rata 3 - 6 kali episode di tiap tahunnya.5 Suatu penelitian di layanan pertama, yakni di Puskesmas Krakitan memperlihatkan persentase pasien ISPA bagian atas mencapai 27,57% berdasarkan jumlah kunjungan pasien total di tahun 2003.6 Hal ini juga didukung dengan penyakit ISPA bagian atas dapat masuk dalam 10 tertinggi kunjungan pasiennya di Puskesmas
Sukasada II dengan jumlah 3091 kunjungan di tahun 2013.
Pengobatan penyakit ISPA bagian atas meliputi pengobatan antibiotik dan pengobatan simtomatis. Pengobatan simtomatik untuk pasien ISPA bagian atas ditujukan pada pengobatan gejala klinis yang timbul pada pasien ISPA bagian atas. Pemberian kortikosteroid pada pasien ISPA bagian atas merupakan salah satu pengobatan simtomatis. Pemberian kortikosteroid seharusnya diberikan pada pasien ISPA bagian atas dengan keluhan nyeri yang diinduksi oleh proses inflamasi mengingat kortikosteroid sebagai agen anti inflamasi.7
Kortikosteroid merupakan sintetik farmasi yang biasanya digunakan untuk pasien dengan gangguan adrenal. Sebenarnya steroid merupakan hormon adrenokortikal yang diproduksi dan dilepaskan oleh korteks adrenal. Kortikosteroid baik alami maupun sintetik digunakan untuk diagnosis dan pengobatan fungsi adrenal.8
Kegunaan kortikosteroid pada kelainan nonadrenal merupakan fungsi kemampuannya untuk menekan respon peradangan dan respon imun. Kortikosteroid berguna pada penyakit yang timbul akibat respon imun pasien, seperti reaksi alergi yang meliputi asma, dermatitis kontak, urtikaria, reaksi obat, dan rinitis alergika. Pada keadaan yang respon peradangan dan respon imunnya penting untuk mengendalikan proses patologi, terapi dengan kortikosteroid mungkin berbahaya tetapi dibenarkan untuk mencegah timbulnya kerusakan yang tidak dapat diperbaiki akibat respon peradangan.8
Hal ini disebabkan kortikosteroid tidak menyembuhkan, proses patologi dapat berjalan terus sedangkan manifestasi kliniknya
ditekan. Oleh karena itu, terapi kronis dengan obat ini harus dilakukan secara hati-hati. Pemakaian kortikosteroid dibenarkan pemakaiannya apabila terdapat keseriusan pada penyakitnya dan pengobatan yang lain telah dipakai 8
semuanya.
Penggunaan kortikosteroid pada penyakit infeksi diindikasikan pada septikemia gram negatif dan membantu menekan peradangan yang berlebihan. Kortikosteroid kontraindikasi pada penderita ulkus peptikum, penyakit jantung atau hipertensi dengan gagal jantung kongestif, infeksi, psikosis, diabetes, osteoporosis, glaukoma, atau infeksi herpes simpleks.8
Diagnosis ISPA bagian atas yang meliputi common cold, faringitis, sinusitis, tonsilitis dan rinitis memiliki etiologi masing-masing dalam perjalanan penyakitnya. Beberapa penelitian juga menyebutkan hasil pemberian kortikosteroid pada pasien ISPA bagian atas berdasarkan tiap-tiap diagnosisnya.
Sinusitis mempunyai beberapa etiologi dalam perjalanan penyakit. Etiologinya meliputi, infeksi (virus dan bakteri), alergen tertentu, dan idiopatik. Beberapa penelitian memperlihatkan penggunaan kortikosteroid masih belum menunjukkan efek positif pada pengobatan.
Rinitis mempunyai beberapa etiologi dalam perjalanan penyakit. Etiologinya meliputi, infeksi (virus dan bakteri), alergen tertentu, dan idiopatik. Pemberian kortikosteroid pada pasien ISPA bagian atas dengan diagnosis rinitis juga tidak memperlihatkan kemajuan kondisi pasien. Beberapa sumber menunjukkan rinitis merupakan suatu penyakit yang lebih banyak etiologinya karena proses alergi. Hal ini yang menyebabkan pemberian kortikosteroid tidak berpengaruh pada klinis pasien.9
Common cold merupakan salah satu penyakit ISPA bagian atas yang etiologinya sebagian besar adalah infeksi virus. Salah satu yang paling banyak menjadi penyebab adalah rhinovirus. Penularan melalui batuk dan bersin seorang pasien. Pemberian kortikosteroid pada pasien common cold pada penelitian menunjukkan hal yang sama seperti pasien rinitis. Pemberian kortikosteroid tidak memberikan hal yang signifikan daripada plasebo. Pada anak kecil, pemberiannya dapat memperburuk keadaannya. Tatalaksananya berupa terapi simtomatik. Hal ini dikarenakan etiologinya sebagian besar merupakan infeksi virus yang self limiting disease.10
Faringitis merupakan penyakit ISPA bagian atas yang umum. Kejadian nya mencapai 1 – 2 pasien rawat jalan di Amerika Serikat. Etiologi faringitis akut 25% adalan Streptococcus β hemolytic group A pada anak-anak. Penelitian sebelumnya yang kebanyakan mengambil subjek dewasa, menunjukan bahwa kortikosteroid efektif dalam menurunkan nyeri yang diinduksi oleh inflamasi pada pasien faringitis. Suatu studi metaanalisis yang mencangkup 8 penelitian menyimpulkan bahwa kombinasi antara kortikosteroid dengan antibiotik dapat meredakan nyeri lebih cepat dibandingkan dengan tanpa memakai steroid.7 Pasien yang diberikan kortikosteroid diwawancara dan dinilai angka kesakitan berdasarkan Visual Analog Scale (VAS) sebelumnya. Meskipun pemberian kortikosteroid mampu memberikan efek positif bersamaan dengan antibiotik, pedoman pemberian kortikosteroid belum ada rekomendasi.7
Tonsilitis merupakan penyakit yang etiologinya berupa agen infeksi yaitu virus dan bakteri. Gejala klinis
untuk membedakan antara kedua etiologinya sangat susah. Pemeriksaan laboratorium yang dapat membedakannya. Penelitian sebelumnya tentang pemberian kortikosteroid pada pasien tonsilitis tidak ditemukan.11
Selain itu, pengamatan penelitian juga dikerjakan pada saat jam poli dibuka pada Puskesmas Sukasada II. Pengamatan yang dikerjakan menunjukkan hasil yakni pasien dengan diagnosis ISPA bagian atas mampu menyentuh rata-rata 3 - 4 kunjungan pasien per hari. Pengamatan juga didapatkan pemberian kortikosteroid pada pasien ISPA bagian atas yang berkunjung mencapai 10 – 20%. Adanya pemberian kortikosteroid yang ditujukan pada pasien ISPA bagian atas yang mengalami nyeri inflamasi dan berdasarkan diagnosis, kajian pola pemberian kortikosteroid pada pasien ISPA bagian atas perlu dilakukan untuk mengetahui kesesuaian penggunaan berdasarkan gejala dan diagnosis pasien ISPA bagian atas.
Tujuan penelitian ini yang pertama adalah untuk mengetahui pola pemberian kortikosteroid pada pasien ISPA bagian atas di Puskesmas Sukasada II. Kedua, penelitian bertujuan untuk mengetahui kesesuaian pemberian kortikosteroid berdasarkan gejala klinis dan diagnosis ISPA bagian atas. Penelitian ini pada akhirnya diharapkan mampu memberikan gambaran penggunaan kortikosteroid yang sesuai dengan indikasi pemberian kortikosteroid pada pasien ISPA bagian atas. Informasi penggunaan kortikosteroid ini ditujukan kepada tenaga medis agar nantinya penggunaan kortikosteroid tidak salah sasaran.
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini dilakukan di Puskesmas Sukasada II, Kecamatan Pancasari
Kabupaten Buleleng. Waktu pelaksanaan penelitian ini dikerjakan sepanjang periode Bulan Mei – Juni 2014. Penelitian ini menggunakan studi deskriprif cross-sectional dengan cara pengumpulan data sekunder register dan rekam medis pasien dengan diagnosis ISPA bagian atas pada periode bulan Mei – Juni 2014.
Populasi yang digunakan di penelitian ini adalah seluruh pasien yang tercatat dan terdaftar di register dan rekam medis pasien. Seluruh pasien adalah semua yang didiagnosis ISPA bagian atas yang berobat ke Poli Umum di Puskesmas Sukasada II pada rentang periode Bulan Mei – Juni 2014 dengan onset gejala kurang dari 14 hari. Penelitian ini menggunakan total sampling. Kriteria sampel yang diikutsertakan dalam penelitian ini seluruh pasien yang didiagnosis ISPA bagian atas tanpa komplikasi yang menjalani proses rawat jalan di Puskesmas Sukasada II dalam rentang Bulan Mei – Juni 2014.
Kriteria inklusi merupakan seluruh pasien dengan diagnosis ISPA bagian atas yang berkunjung ke Poli Umum Puskesmas Sukasada II sepanjang periode Bulan Mei – Juni 2014 dengan onset gejala kurang dari 14 hari. Kriteria ekslusi adalah pasien yang terdiagnosa ISPA bagian atas yang mempunyai penyakit infeksi lain atau memiliki komplikasi penyakit lain. Penelitian ini dilaksanakan bertujuan untuk mengetahui karakteristik demografi yang meliputi jenis kelamin, usia, desa tempat tinggal, dan gambaran diagnosis, gejala klinis, serta pola pemberian kortikosteroid.
Pengambilan data pada penelitian ini dengan menggunakan data sekunder yang ada di Puskesmas Sukasada II. Pertama, peneliti mencatat dan mendata pasien yang terdiagnosis ISPA bagian atas sepanjang periode
Mei – Juni 2014 di buku register. Dari data yang didapat, peneliti mencari data pasien di rekam medis sesuai data pasien yang terdiagnosis ISPA bagian atas. Kedua, peneliti mencatat data pasien yang meliputi umur, jenis kelamin, alamat letak desa pasien, gejala, diagnosis, dan pola pengobatan kortikosteroid. Ketiga, peneliti selanjutnya memeriksa data pasien yang lebih lengkap di data komputer Puskesmas Sukasada II mengenai diagnosis dan pola pemberian kortikosteroid. Data yang terkumpul selanjutnya dianalisis secara deskriptif
dengan program SPSS versi 16.0 for Windows.
HASIL PENELITIAN
Karakteristik Subjek Penelitian berdasarkan Kelompok Umur
Berdasarkan data yang didapat dari data sekunder Puskesmas Sukasada II, proporsi kategori umur yang paling tinggi adalah kategori balita dengan persentase sebesar 46,5%. Kelompok umur ini nilai persentasinya jauh meninggalkan kelompok umur yang lain.
Tabel 1. Karakteristik Subjek Penelitian Berdasarkan Kelompok Umur
Kelompok Umur |
Frekuensi |
Persentase |
Balita (≤5 tahun) |
67 |
46,5 % |
Kanak-kanak (6-11 tahun) |
28 |
19,4 % |
Remaja Awal (12-16 tahun) |
3 |
2,1 % |
Remaja Akhir (17-25 tahun) |
10 |
6,9 % |
Dewasa (26-45 tahun) |
21 |
14,6 % |
Lansia (≥46 tahun) |
15 |
10,4 % |
Jumlah |
144 |
100 % |
Posisi kedua ditempati kategori kanak-kanak dengan rentang umur 6 – 11 tahun dengan persentase sebesar 19,4%. Yang selanjutnya adalah kategori umur dewasa dengan persentase sebesar 14,6%. Posisi keempat disusul kategori umur lansia dengan persentase sebesar 10,4% dan posisi kelima ditempati oleh kategori umur remaja akhir dengan persentase sebesar 6,9%. Yang paling rendah adalah persentase sebesar 2,1% yang terdapat pada kelompok umur remaja awal. Data lengkap tersaji dalam tabel di atas (Tabel 1).
Karakteristik Subjek Penelitian berdasarkan Jenis Kelamin
Berdasarkan data sekunder yang didapatkan dari rekam medis dan
register pasien yang terdiagnosis ISPA bagian atas yang berkunjung pada periode Mei – Juni 2014, didapatkan proporsi pasien ISPA bagian atas berdasarkan jenis kelamin. Data menunjukkan persentase pasien ISPA bagian atas yang berjenis kelamin laki-laki sebesar 52,8% dan perempuan sebesar 47,2% seperti pada tabel di bawah (Tabel 2).
Tabel 2. Karakteristik Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin
Jenis Kelamin |
Frekuensi |
Persentase |
Laki-laki |
76 |
52,8 % |
Perempuan |
68 |
47,2 % |
Jumlah |
144 |
100 % |
Karakteristik Subjek Penelitian berdasarkan Desa
Berdasarkan hasil pendataan dari data sekunder berupa rekam medis dan data register pasien yang terdiagnosis ISPA bagian atas periode Mei – Juni 2014 di Puskesmas Sukasada II didapatkan proporsi pasien ISPA berdasarkan letak desanya. Data memperlihatkan posisi pertama ditempati desa Pancasari denag persentase sebesar 54,2% lalu diikuti oleh desa yang berada di luar wilayah kerja Puskesmas Sukasada II dengan persentase sebesar 20,8%. Posisi ketiga diikuti oleh Desa Wanagiri dengan persentase sebesar 15,3% dan diikuti oleh Desa Pegayaman dengan peresentase sebesar 6,9%, Posisi lima dan enam diikuti oleh Desa Gitgit dan Pegadungan dengan nilai persentase yang sama yakni sebesar 1,4%. Data karakteristik subjek berdasarkan desa tersaji pada tabel di bawah ini (Tabel 3).
Tabel 3. Karakteristik Subjek Penelitian Berdasarkan Desa
Gambaran Gejala dan Tanda Klinis Berdasarkan data yang didapatkan, gambaran sebaran keluhan pasien ISPA bagian atas dapat diketahui. Keluhan yang terbanyak dikeluhkan oleh pasien ISPA bagian atas adalah demam sebesar 21,4% diikuti oleh batuk sebesar 20,4%, pilek, bersin dan secret hidung dengan persentase yang sama yaitu 14,8%, sakit tenggorokan sebesar 7,1% dan yang terendah, sakit kepala sebesar 6,7%. Data gambaran gejala dan tanda klinis tersaji pada tabel di bawah ini (Tabel 4).
Tabel 4. Gambaran Gejala dan Tanda Klinis
Keluhan |
Frekuensi |
Presentase |
Demam |
115 |
21,4% |
Pilek |
79 |
14,8% |
Batuk |
109 |
20,4% |
Bersin |
79 |
14,8% |
Sakit Tenggorok |
38 |
7,1% |
Sekret Hidung |
79 |
14,8% |
Sakit Kepala |
36 |
6,7% |
Jumlah |
535 |
100% |
Gambaran Diagnosis
Berdasarkan data sekunder berupa rekam medis dan data register pasien di Puskesmas Sukasada II didapatkan gambaran diagnosis yang lebih spesifik. Pasien ISPA bagian atas yang terdiagnosis sinusitis (8,3%), common cold (11,1%), rinitis (13,9%), tonsilitis (25,0%), dan faringitis (41,7%). Data gambaran diagnosis disajikan dalam tabel di bawah ini (Tabel 5).
Desa |
Frekuensi |
Persentase |
Pancasari |
78 |
54,2 % |
Wanagiri |
22 |
15,3 % |
Gitgit |
2 |
1,4 % |
Pegayaman |
10 |
6,9 % |
Pegadungan |
2 |
1,4 % |
Luar |
30 |
20,8 % |
Wilayah | ||
Jumlah |
144 |
100 % |
Tabel 5. Gambaran Diagnosis
Diagnosis |
Frekuensi |
Persentase |
Common Cold |
16 |
11,1 % |
Rinitis |
20 |
13,9 % |
Faringitis |
60 |
41,7 % |
Sinusitis |
12 |
8,3 % |
Tonsilitis |
36 |
25,0 % |
Jumlah |
144 |
100 % |
Gambaran Pemberian Kortikosteroid Pasien ISPA bagian atas
Berdasarkan data sekunder yang terdiri dari rekam medis dan data register pasien ISPA di dapatkan gambaran pemberian kortikosteriod di Puskesmas Sukasada II. Data didapatkan menunjukkan pemberian prednison dan deksametason pada pasien dengan ISPA bagian atas adalah sebesar 15,3% dan 11,8%, masing-masing. Terdapat 72,9% pasien tidak mendapat obat kortikosteroid. Data gambaran pemberian kortikosteroid disajikan dalam tabel di bawah ini (Tabel 6).
Tabel 6. Gambaran Pemberian Kortikosteroid pada Pasien ISPA Bagian Atas
Jenis kortikosteroid |
Frekuensi |
Persentase |
Deksametason |
17 |
11,8 % |
Prednison |
22 |
15,3 % |
Tidak Diberikan |
105 |
72,9 % |
Jumlah |
144 |
100 % |
Gambaran Pemberian Kortikosteroid Berdasarkan Gejala dan Tanda Klinis
Berdasarkan data yang diambil dari rekam medis pasien yang terdiagnosis ISPA bagian atas menunjukkan terdapat 70% kasus yang mengalami keluhan demam, pilek, batuk, bersin, sekret hidung dan sakit kepala tidak diberikan kortikosteroid. Pasien yang mengalami keluhan sakit tenggorok diberikan kortikosteroid sebesar 55,3% dan tidak diberikan kortikosteroid sebesar 44,7%. Data lengkap telah disajikan pada tabel di bawah (Tabel 7).
Tabel 7. Distribusi Pemberian Kortikosteroid Berdasarkan Gejala dan Tanda Klinis
Gejala dan Tanda Klinis |
Jenis Kortikosteroid |
Total | ||
Deksametason |
Prednison |
Tidak Diberikan | ||
Demam |
14 |
15 |
86 |
115 |
(12,2%) |
(13,0%) |
(74,8%) | ||
Pilek |
9 |
9 |
61 |
79 |
(11,4%) |
(11,4%) |
(77,2%) | ||
Batuk |
12 |
19 |
78 |
109 |
(11,0%) |
(17,4%) |
(71,6%) | ||
Bersin |
9 |
11 |
59 |
79 |
(11,4%) |
(13,9%) |
(74,7%) | ||
Sakit tenggorok |
9 |
12 |
17 |
38 |
(23,7%) |
(31,6%) |
(44,7%) | ||
Sekret Hidung |
9 |
9 |
61 |
79 |
(11,4%) |
(11,4%) |
(77,2%) | ||
Sakit Kepala |
6 |
4 |
26 |
36 |
(16,7%) |
(11,1%) |
(72,2%) |
Gambaran Pemberian Kortikosteroid Berdasarkan Diagnosis
Berdasarkan dari data sekunder berupa rekam medis pasien yang terdiagnosis ISPA bagian atas menunjukkan pemberian kortikosteroid pada masing-masing diagnosis. Diagnosis yang paling banyak diberikan
kortikosteroid hingga yang paling sedikit berturut-turut adalah tonsillitis (41,6%), faringitis (26,7%), rinitis (25%), common cold (18,9%), dan sinusitis (0%). Data lengkap telah disajikan pada tabel di bawah (Tabel 8).
Tabel 8. Distribusi Pemberian Kortikosteroid Berdasarkan Diagnosis
Diagnosis |
Jenis Kortikosteroid |
Total | ||
Deksametason |
Prednison |
Tidak Diberikan | ||
Common Cold |
1 |
2 |
13 |
16 |
(6,3%) |
(12,6%) |
(81,1%) | ||
Rinitis |
2 |
3 |
15 |
20 |
(10,0%) |
(15,0%) |
(75%) | ||
Faringitis |
7 |
9 |
43 |
60 |
(11,7%) |
(15,0%) |
(73,3%) | ||
Sinusitis |
0 |
0 |
12 |
12 |
(0%) |
(0%) |
(100%) | ||
Tonsilitis |
7 |
8 |
21 |
36 |
(19,4%) |
(22,2%) |
(58,4%) |
DISKUSI
Berdasarkan proporsi dari kelompok umur, pasien ISPA bagian atas yang berkunjung yang paling tinggi adalah balita dengan persentase sebesar 46,5%. Pada urutan kedua kelompok terbanyak adalah kelompok umur kanak-kanak dengan persentase sebesar 19,4%. Angka ini diikuti oleh kelompok umur dewasa dengan persentase sebesar 14,6%. Urutan keempat dikuti oleh kelompok umur lansia dengan persentase sebesar 10,4% dan urutan kelima ada pada kelompok umur remaja akhir dengan persentase sebesar 6,9%. Yang paling rendah proporsi berdasarkan umur terjadi pada kelompok umur remaja awal yang mengalami ISPA bagian atas yakni dengan persentase sebesar 2,1%.
ISPA merupakan salah satu penyakit yang umum dan sering dialami pada balita dan anak-anak. Penyakit ini berdasarkan penelitian besar
sebelumnya disebutkan terjadi penurunan angka kejadian pada saat usia anak bertambah. Penelitian tersebut juga mengatakan ISPA merupakan penyakit penyebab kematian pada balita di negara-negara berkembang. Menurut World Health Organisation (WHO), ISPA merupakan suatu penyakit dengan kategori infeksi berat.12
Usia pasien diduga berhubungan dengan resiko kejadian ISPA. Usia diduga berhubungan dengan proses kekebalan tubuh seseorang. ISPA dapat terjadi pada semua usia terutama anak-anak yang berusia kurang dari lima tahun karena daya tahan tubuh balita lebih rendah daripada usia yang lebih dewasa. Hal inilah yang membuat usia balita paling rentan terhadap ISPA. Bayi dan balita merupakan kelompok usia yang paling rentan terhadap ISPA bagian atas. Menurut Suwendra, semakin muda usia anak, semakin
sering pula anak tersebut mengalami ISPA.13
Hasil penelitian proporsi pasien ISPA bagian atas berdasarkan jenis kelamin menunjukkan laki-laki yang berkunjung ke puskesmas dengan persentase sebesar 52,8%. Pasien dengan jenis kelamin perempuan dengan persentase sebesar 47,2%. Hasil ini tidak jauh berbeda dengan penelitian Kholisah dkk di perkotaan Jakarta tahun 2009 yang menunjukkan hasil laki-laki dengan persentase sebesar 51,5% dibandingkan perempuan dengan persentase sebesar 45,6%.14
Berdasarkan hasil penelitian tersebut memperlihatkan adanya jenis kelamin laki-laki lebih rentan terhadap ISPA bagian atas daripada jenis kelamin laki-laki. Soetjiningsih mengatakan bahwa angka kejadian kematian dan malnutrisi lebih rentan pada anak laki-laki daripada anak perempuan.15 Penelitian ini juga sependapat dengan penelitian yang dikerjakan oleh Dharmage di tahun 1996 yang menyatakan bahwa anak laki-laki lebih rentan terhadap ISPA daripada anak 6 perempuan.
Hasil penelitian menunjukkan proporsi kejadian ISPA bagian atas berdasarkan letak desa yaitu Desa Pancasari yang memiliki persentase paling besar yaitu, sebesar 54,2%. Posisi kedua ditempati oleh desa-desa di luar wilayah kerja dari puskesmas yang diteliti dengan persentase sebesar 20,8%. Posisi ketiga dan keempat ditempati oleh Desa Wanagiri dengan persentase sebesar 15,3% dan Desa Pegayaman dengan persentase sebesar 6,9%. Posisi kelima dan terakhir memeliki persentase yang sama yakni, 1,4% yang ada pada Desa Gitgit dan Pegadungan.
Hasil penelitian memperlihatkan bahwa Desa Pancasari merupakan desa dengan kasus tertinggi pasien ISPA.
Hasil ini disebabkan oleh daerah tersebut adalah sebuah dataran tinggi yang dikelilingi perbukitan. Daerah tersebut juga kurang paparan sinar matahari dan memiliki curah hujan yang cukup tinggi. Faktor-faktor tersebut yang menjadikan kelembaban yang tinggi di Desa Pancasari yakni, sebesar 77%-82% dengan rata-rata kelembapan sebesar 78.4%. Faktor polusi udara dari kendaraan di Desa Pancasari juga turut menyumbang resiko angka kejadian ISPA di desa tersebut.
Berdasarkan penelitian, didapatkan gambaran sebaran keluhan pasien ISPA bagian atas yang mendasari kunjungan pasien ke Puskesmas Sukasada II. Keluhan yang terbanyak dikeluhkan oleh pasien ISPA bagian atas adalah demam sebesar 79,7% diikuti oleh batuk sebesar 75,7%, pilek, bersin dan sekret hidung dengan persentase yang sama yaitu 54,9%, sakit tenggorokan sebesar 26,4% dan yang terendah, sakit kepala sebesar 25%.
Beragamnya keluhan ISPA yang nampak dikarenakan cakupan diagnosis ISPA sendiri yang luas.16 Demam dan batuk merupakan keluhan utama pada pasien yang datang ke Puskesmas Suksada II karena keluhan tersebut biasanya sangat mengganggu keseharian pasien, sehingga pasien menyempatkan dirinya datang ke tempat pelayanan kesehatan primer.
Berdasarkan penelitian di Puskesmas Pembantu Krakitan, Bayat, Klaten, gejala klinis yang dikeluhkan pasien dengan 3 terbanyak adalah batuk (69,4%), panas (62,5%), dan pilek (48,6%).6
Hal yang serupa didapatkan pada penelitian ISPA bagian atas dan bronkitis akut yang dilakukan Thailand, didapatkan keluhan utama pada pasien yang didapatkan pada pasien ISPA yaitu batuk sebanyak 77.9%, suara serak
-
76.3%, sekret hidung 50.9% dan demam 49.6%.17
Berdasarkan hasil penelitian, proporsi berdasarkan diagnosis menunjukkan angka kejadian yang tertinggi adalah faringitis dengan persentase sebesar 41,7%. Posisi kedua diikuti oleh tonsilitis dengan persentase sebesar 25,0%. Diagnosis rinitis di posisi ketiga dengan persentase sebesar 13,9%. Yang keempat adaalah diagnosis common cold dengan persentase sebesar 11,1%. Yang tersedikit adalah diagnosis sinusitis persentase sebesar 8,3%.
Penelitian sebelumnya yang diadakan di Universitas Indonesia menunjukkan bahwa angka kejadian flu/pilek/koriza atau yang lebih dikenal dengan sebutan common cold lebih tinggi angka kejadiannya. Hasil penelitian ini menunjukkan lebih tinggi angka kejadian faringitis daripada diagnosis yang lain.18
Data yang didapatkan menunjukkan pemberian prednison dan deksametason pada pasien dengan ISPA bagian atas adalah sebesar 15,3% dan 11,8%. Terdapat 72,9% pasien ISPA tidak mendapat obat kortikosteroid. Pemberian kortikosteroid pada pasien hendaknya diindikasikan berdasarkan gejala simtomatis berupa nyeri tenggorokan akibat proses inflamasi pada pasien ISPA bagian atas.
Penelitian tentang pengaruh kortikosteroid terhadap pengobatan pasien ISPA dengan nyeri tenggorokan memberikan hasil bagus dengan perbaikan nyerinya. Agen kortikosteroid tersebut antara lain, dexametason, prednison, dan 19 betametason.
Pemberian kortikosteroid pada pasien ISPA bagian atas di Puskesmas Sukasada II sudah tepat dengan pemberian dexametason dan prednison. Yang menjadi fokus perhatian adalah
ketepatan pemberian kortikosteroid dengan keluhan yang diderita pasien ISPA bagian atas. Keluhan yang seharusnya diberikan kortikosteroid adalah keluhan sakit tenggorok akibat proses inflamasi yang terdapat pada pasien ISPA bagian atas.7
Berdasarkan data yang
diperoleh, terdapat gejala sakit
tenggorok pada pasien. Berdasarkan kepustakaan, gejala inilah yang
dijadikan penelitian pemberian kortikosteroid. Namun pemberiannya belum ada indikasi meskipun hasil menunjukkan pemberian kortikosteroid lebih mempercepat penyembuhan pada orang dewasa. Hal ini disebabkan belum ada rekomendasi baku yang menyebutkan ada indikasi pemberian kortikosteroid pada pasien ISPA bagian atas yang memiliki keluhan sakit 7 tenggorok.7
Persentase penggunaan kortikosteroid terbanyak ada pada gejala sakit tenggorok, yaitu sebesar 55,3%. Penggunaan kortikosteroid ini berupa deksametason (23,7%) dan juga prednison (31,6%). Pada saat ini belum terdapat suatu rekomendasi yang pasti mengenai penggunaan kortikosteroid pada gejala nyeri tenggorok pada ISPA bagian atas. Suatu studi metaanalisis yang mencangkup 8 penelitian menyimpulkan bahwa penggunaan kortikosteroid dapat meredakan nyeri lebih cepat dibandingkan dengan tanpa memakai steroid.7
Penggunaan kortikosteroid pada penelitian ini sudah sesuai sebagai terapi simptomatis untuk nyeri tenggorok karena berdasarkan penelitian-penelitian yang dilakukan, kortikosteroid dapat dipergunakan sebagai terapi adjuvant yang efektif dalam menurunkan nyeri yang diakibatkan oleh proses inflamasi pada ISPA. Selain itu penggunaan kortikosteroid jangka pendek seperti
pada nyeri tenggorok ISPA tidak menimbulkan efek samping yang serius.7 Penggunaan jenis kortisteroid pada sampel penelitian ini yaitu deksametason dan prednison. Hal ini sesuai dengan jenis kortikosteroid yang dipergunakan pada studi metaanalisis tersebut antara lain deksametason, prednison, dan betametason.19 Akan tetapi, perlu dipertimbangkan pemberian kortikosteroid. Hal ini disebabkan pemberian kortikosteroid adalah kontraindikasi pada pasien infeksi termasuk juga ISPA bagian atas. Kepustakaan menyebutkan indikasi pemberian kortikosteroid pada pasien infeksi hanya pada pasien sepsis bakteri gram negatif dan pada keadaan untuk membantu mengurangi kerusakan jaringan akibat proses inflamasi yang berlebihan. Penelitian studi metaanalisis yang telah dibahas juga menyebutkan pasien yang dijadikan penelitian harus dites derajat sakitnya berdasarkan Visual Analog Scale (VAS) untuk kriterianya.7,8
Bahasan selanjutnya mengenai indikasi pemberian kortikosteroid terhadap diagnosis pasien ISPA bagian atas di puskesmas yang diteliti. Kepustakaan menyebutkan pemberian kortikosteroid adalah kontraindikasi pada pasien dengan infeksi kecuali pada pasien sepsis bakteri negatif dan membantu mengurangi kerusakan jaringan akibat inflamasi berlebihan.8 Hal ini menegaskan pemberiannya juga kontraindikasi pada pasien ISPA bagian atas yang meliputi diagnosis faringitis, tonsillitis, sinusitis, common cold, dan rinitis. Hal ini disebabkan kelima diagnosis tersebut memiliki etiologi agen infeksi.9,10,11
Indikasi pemberian kortikosteroid hanya diberikan pada pasien sepsis bakteri gram negatif dan pada keadaan untuk membantu mengurangi kerusakan jaringan akibat
proses inflamasi yang berlebihandi bawah pengawasan ketat. Pemberian kortikosteroid pada pasien infeksi dapat mengurangi gejala inflamasi. Akan tetapi proses infeksi tetap berjalan mengingat kortikosteroid merupakan obat penekan imun.8
Pemberian kortikosteroid dapat diindikasikan pada diagnosis rinitis dengan etiologi proses alergi. Namun data sekunder yang didapat tidak menyebutkan diagnosis rinitis yang lebih spesifik.9
Data menyebutkan persentase pemberian kortikosteroid pada diagnosis tonsillitis (41,6%), faringitis (26,7%), rinitis (25%), common cold (18,9%), dan sinusitis (0%). Pemberian kortikosteroid pada pasien dengan diagnosis tonsilitis, faringitis, dan common cold kurang bijaksana mengingat pemberiannya kontraindikasi berdasarkan kepustakaan. Pemberian kortikosteroid bisa diberikan pada pasien infeksi yang mengalami kerusakan jaringan akibat infalamasi yang berlebihan dan pasien sepsis bakteri gram negatif di bawah pengawasan ketat.8
Pemberian kortikosteroid pada pasien dengan diagnosis rinitis juga perlu dikaji kembali oleh tenaga medis di Puskesmas Sukasada II. Hal ini mengingat etiologi pada diagnosis rinitis dapat berupa agen infeksi (bakteri dan virus), alergen dan idiopatik. Diagnosis rinitis yang dibuat di rekam medis pasien kurang spesifik sehingga perlu ditingkatkan kembali penulisan diagnosis mengingat rinitis akibat infeksi kontraindikasi diberikan kortikosteroid dan sebaliknya rinitis alergi merupakan indikasi diberikan kortikosteroid.8,9
Berdasarkan penelitian sebelumnya hanya pasien dengan faringitis yang telah dites VAS yang memperoleh hasil positif dalam
pemberian kortikosteroid dan antibiotik. Pemberian kortikosteroid pada pasien diagnosis lainnya tidak memberikan hasil positif pada keluhannya. Pada anak kecil dengan diagnosis common cold, pemberian kortikosteroid dapat memperburuk gejala klinis. Hal ini dapat menjadi suatu pertimbangan pada pemberian kortikosteroid pada pasien dengan diagnosis common cold.7-11
Dengan adanya bahasan ini diharapkan tenaga medis di tingkat layanan primer seperti puskesmas dapat mengetahui indikasi dan kontraindikasi pemberian kortikosteroid pada pasien ISPA bagian atas. Para tenaga medis juga lebih hati-hati dalam pemberian kortikosteroid pada pasien infeksi mengingat kortikosteroid dapat menekan proses imun pasien serta pemberian kortikosteroid dapat juga menjadi tambahan beban biaya pada pasien
SIMPULAN
Dari penelitian ini dapat ditarik simpulan antara lain:
-
1. Berdasarkan karakteristik demografi pasien ISPA bagian atas yang paling banyak berkunjung di Puskesmas Sukasada II adalah kategori umur balita, berjenis kelamin laki-laki, dan bertempat tinggal di Desa Pancasari.
-
2. Berdasarkan tanda dan gejala pasien ISPA, keluhan yang paling banyak ke sedikit adalah demam, batuk, pilek, bersin, sekret hidung, sakit tenggorokan, dan sakit kepala.
-
3. Berdasarkan diagnosis ISPA bagian atas secara urut dari yang paling banyak ke paling sedikit kejadiannya adalah faringitis, tonsilitis, rinitis, common cold dan sinusitis.
-
4. Dilihat dari gambaran pemberian kortikosteroid pada pasien ISPA,
terbanyak diberikan adalah prednison dan deksametason.
-
5. Pemberian kortikosteroid berdasarkan gejala dan tanda klinis pada pasien ISPA di puskesmas yang diteliti sudah sesuai berdasarkan penelitian-penelitian yang telah dilakukan akan tetapi belum ada pedoman indikasi pemberian kortikosteroid yang pasti pada pasien ISPA dan pemberiannya dapat menekan imun pasien meski gejala inflamasi berkurang.
-
6. Pemberian kortikosteroid berdasarkan diagnosis pasien ISPA di wilayah kerja Puskesmas Sukasada II kurang bijaksana mengingat pemberian kortikosteroid pada pasien infeksi adalah kontraindikasi Namun, pemberian kortikosteroid dibenarkan pada pasien dengan sepsis bakteri gram negatif dan membantu mengurangi kerusakan jaringan akibat inflamasi yang berlebihan di bawah pengawasan ketat. Pemberian kortikosteroid pada pasien anak-anak dengan common cold dapat memperburuk gejala.
DAFTAR PUSTAKA
-
1. Zoorob R, Sidani MA, Fremont RD, dan Kihlberg C. Antibiotic Use in Acute Upper Respiratory Tract Infections. American Family Physician. 2012; 86(9): 817-22.
-
2. Kemenkes Republik Indonesia. Subdit Pengendalian ISPA. 2012.
-
3. Departemen Kesehatan RI. 2012.
-
4. Meropol SB, Localio AR, Metlay JP. Risks and Benefits Associated With Antibiotic Use for Acute Respiratory Infections: A Cohort Study. Ann Fam Med. 2013;11:165-72.
-
5. Rasmaliah. Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) dan
Penanggulangannya. USU Digital Library. 2004; 1-8.
-
6. Suyami S. Karakteristik Faktor Resiko ISPA pada Anak Usia Balita di Puskesmas Pembantu Krakitan, Bayat, Klaten. 2004.
-
7. Schams SC, Goldman RD. Steroids as Adjuvant Treatment of Sore Throat in Acute Bacterial Pharyngitis. Canadian Family Physicians (58):52-4. 2012.
-
8. Goldfin A. Adrenokortikosteroid & Antagonis Adrenokortikal: Dalam Farmakologi Dasar dan Klinik/Bertram G. Katzung Edisi VI. EGC: Jakarta. 1998; 616–25.
-
9. Roderick P. Venekamp, Marc J.M. Bonten, Maroeska M. Rovers, Theo J.M. Verheij, Alfred P.E. Sachs. Systemic corticosteroid
monotherapy for clinically diagnosed acute rhinosinusitis: a randomized controlled trial. CMAJ 2012. DO;:10(1501): E751 – 57.
-
10. Fashner J, Ericson K, Werner S. Treatment of The Common Cold. American Academy of Family Physicians. 2012. 0715: 153–59.
-
11. Stelter K. Tonsillitis and Sore Throat in Children. GMS Current Topics in Otorhinolaryngology -Head and Neck Surgery. 2014. 13: 1 – 24.
-
12. WHO. Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) yang cenderung menjadi epidemi dan pandemi. 2008; 1-44.
-
13. Imran L., Marjanis S, Mulyono W, Djoko Y, Noenoeng R. Etiologi Infeksi Saluran Pernafsan Akut (ISPA) dan Faktor Lingkungan. Buletin Penelitian Kesehatan. 1990;18(2); 26-34.
-
14. Kholisah N, Azharry MRS, Kartika EB, Krishna A, Wibisana, Yassien, dkk. Infeksi Saluran Napas Akut pada Balita di Daerah Urban
Jakarta. Sari Pediatri. 2009;11(4):223-28.
-
15. Soetjiningsih.Tumbuh kembang anak. Jakarta: EGC. 1995.
-
16. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Pemberantasan Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA). Jakarta: Direktorat Jendral Bina Kesehatan Masyarakat. 2006.
-
17. Issarachaikul R and Suankratay C. Antibiotic prescription for adults with upper respiratory tract
infection and acute bronchitis at King Chulalongkorn Memorial
Hospital, Thailand. Asian Biomedicine. 2013;7:15-20.
-
18. Citra Ayu EP. Faktor Resiko Kejadian ISPA. Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI). 2009.
-
19. Hayward G, Thompson M, Heneghan C, Perera R, Mar CD, Glasziou P. Corticosteroids for pain relief in sore throat: systematic review and meta-analysis. BMJ. 2009;339(2976): 1 –7.
14
Discussion and feedback