PROFIL PEROKOK PADA TENAGA KESEHATAN DI RUMAH SAKIT JIWA PROVINSI BALI
on
PROFIL PEROKOK PADA TENAGA KESEHATAN DI RUMAH SAKIT JIWA PROVINSI BALI
Luh Nyoman Triwidayani Aryda1, Luh Putu Ratna Sundari2
1Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana 2Bagian Faal, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
ABSTRAK
Beberapa studi sebelumnya menyebutkan banyak tenaga kesehatan yang menjadi perokok. Hal tersebut bertentangan dengan fakta bahwa tenaga kesehatan memiliki pengetahuan mengenai dampak buruk merokok terhadap kesehatan serta kecanduan nikotin. Aturan larangan merokok pada Kawasan Tanpa Rokok sudah jelas diatur oleh peraturan perundang-undangan. Studi ini bertujuan untuk mencari profil perokok dan pola konsumsi rokok pada tenaga kesehatan di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali. Studi ini merupakan studi deskriptif yang menggunakan pendekatan cross-sectional yang melibatkan 107 orang sebagai sampel dan dilaksanakan antara bulan Desember 2013-Januari 2014 di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali. Pada penelitian ini didapatkan angka merokok pada petugas kesehatan sebesar 36,4%. 43,6% perokok berusia 31-40 tahun. 41,0% perokok mengenyam pendidikan SMA/SLTA/SMK/MA/Kejar Paket C/sederajat. 51,3% perokok adalah tenaga umum. 41,0% perokok menyatakan alasan mulai merokok karena mencoba-coba. 43,6% perokok mengkonsumsi 6-10 batang rokok per hari. 74,4% perokok mengkonsumsi rokok jenis cigarette. 41,0% perokok merokok di pagi hari 60-180 menit setelah bangun pagi. 53,8% perokok merokok paling sering di rumah. 46,2% perokok menghabiskan Rp 45.001-Rp 75.000 untuk membeli rokok per minggu. 41,0% perokok menyatakan alasan ingin berhenti merokok karena takut dengan ancaman penyakit. Pada studi ini didapatkan prevalensi merokok pada tenaga kesehatan di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali sebesar 36,4%. Mayoritas perokok berusia 31-40 tahun, mengenyam pendidikan SMA/SLTA/SMK/MA/Kejar Paket C/sederajat, dan berprofesi sebagai tenaga umum. Mayoritas perokok menyatakan alasan mulai merokok karena mencoba-coba, mengkonsumsi 6-10 batang rokok per hari, mengkonsumsi rokok jenis cigarette, dan merokok di pagi hari 60-180 menit setelah bangun pagi. Mayoritas perokok merokok paling sering di rumah, menghabiskan Rp 45.001-Rp 75.000 untuk membeli rokok per minggu, dan menyatakan alasan ingin berhenti merokok karena takut dengan ancaman penyakit.
Kata kunci: perokok, tenaga kesehatan, pola konsumsi
SMOKERS’ PROFILE AMONG HEALTH-CARE WORKERS IN BALI MENTAL HOSPITAL
ABSTRACT
Many previous studies say that many health-care workers are smokers. This phenomenon is contrary to the fact that health-care workers have knowledge about bad effects of smoking for health and nicotine dependency. Anti-smoking regulation has been established especially in Smoke-Free Area. To determine the prevalence and smoking habits characteristics of health-care workers in Bali Mental Hospital. This study was crosssectional descriptive study that uses 107 samples in Bali Mental Hospital held between Desember 2013-January 2014. The smoking prevalence among health-care workers was 36.4%. A large proportion of the smokers were aged 31-40 years (43.6%). 41.0% smokers’ education level was senior high school. 51.3% of smokers were administrative personnels. The most common response (41.0%) reported as a reason for smoking was only trying at first. 43.6% of smokers smoked between 6-10 cigarettes per day. Mostly the type of tobacco consumed were cigarettes (74.4%). 41,0% of smokers enjoy the first cigarette 60180 minutes after waking up. 53.8% of smokers smoked at home. The smokers spent about Rp 45,001-Rp 75,000 a week on cigarettes. The main motive to stop smoking was fear of illness (41.0%). In this study we found the smoking prevalence among health-care workers in Bali Mental Hospital was 36.4%. The majority of smokers were aged 31-40 years, senior high school level, and administrative staffs. The smokers smoked between 6-10 cigarettes per day, consumed cigarettes, and enjoy the first cigarette 60-180 minutes after waking up. The smokers smoked at home, spent about Rp 45,001-Rp 75,000 a week on cigarettes, and the main motive to stop smoking was fear of illness.
Keywords: smokers, health-care workers, smoking characteristics.
PENDAHULUAN
Perilaku konsumsi rokok telah menjadi beban dunia saat ini. Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO) diperkirakan angka kematian akibat rokok mencapai 4,9 juta per tahun. 1 Merokok meningkatkan risiko kematian akibat kanker paru, kanker saluran cerna bagian atas, penyakit jantung, stroke, penyakit saluran pernapasan kronis, dan lainnya. Mayoritas angka kematian tinggi terjadi di negara berkembang.1
Pada tahun 2013 perokok di Inggris setidaknya menghabiskan £2.900 untuk membeli rokok setiap tahunnya. Laporan dari Policy Exchange di tahun 2010 menyatakan pengeluaran sampai £13,74 miliar yang meliputi biaya pengobatan, peningkatan absen kerja, penurunan produktivitas, pembersihan puntung rokok, kebakaran, penurunan pendapatan akibat perokok yang meninggal dunia, dan 2 perokok pasif.
Merokok sebenarnya adalah penyebab kematian tertinggi yang bisa dicegah.3
pemerintah mengatur larangan merokok di area fasilitas kesehatan dan pendidikan 4
serta transportasi umum.
Tenaga kesehatan meliputi dokter, dokter spesialis, perawat, dokter gigi, psikolog, apoteker, ahli gizi, rekam medis, analis, tenaga umum, dan lainnya yang terutama berinteraksi langsung dengan pasien di tempat pelayanan kesehatan memiliki peran penting dalam identifikasi, penilaian serta penanganan ketergantungan rokok. Status merokok tenaga kesehatan itu sendiri sangat menentukan kemampuannya berbicara tentang rokok serta bahayanya terhadap kesehatan.5 Tenaga kesehatan memegang peranan penting dalam pencegahan penggunaan rokok karena mereka berfungsi sebagai role model di masyarakat.6
Berdasarkan hasil studi di Universitas Toledo, secara jelas disimpulkan bahwa perokok pada tenaga kesehatan masih ada walaupun kenyataanya tenaga kesehatan tersebut mendapatkan ilmu mengenai dampak buruk merokok terhadap 7 kesehatan serta kecanduan nikotin. Tenaga kesehatan terlihat kurang menunjukan keterlibatan dan komitmennya pada program kontrol rokok.4
WHO telah membuat komitmen yang mewajibkan anggotanya tidak merokok sebagai role model di masyarakat dalam menjunjung budaya bebas rokok.4 Tapi tetap saja beberapa dari tenaga kesehatan melanjutkan kebiasaan merokoknya.5,8
Merokok juga telah menjadi budaya pada pelayanan khusus jiwa selama dekade terakhir. Rokok telah digunakan sebagai alat bantu manajemen pasien oleh staf, meningkatkan hubungan antara pasien dan staf rumah sakit, bernegosiasi dan mematuhi nasehat dokter, agar patuh meminum obat, atau untuk menangani perilaku pasien saat fase akut. Hal ini tentu melanggar peraturan yang berlaku dan bertolak belakang dengan peran dan fungsi tenaga kesehatan dalam usaha 9
pemberantasan merokok.
Berdasarkan kondisi tersebut, peneliti terdorong untuk melakukan suatu studi deskriptif untuk mencari profil dan pola konsumsi rokok pada tenaga kesehatan di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali.
BAHAN DAN METODE
Studi deskriptif dengan pendekatan crosssectional ini bertujuan untuk mencari
profil perokok dan pola konsumsi rokok pada tenaga kesehatan yang dilaksanakan antara bulan Desember 2013-Januari 2014 di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali. Populasi penelitian ini adalah seluruh pegawai tenaga kesehatan di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali. Besar sampel yang diteliti ditentukan berdasarkan formula Stanley Lameshow dimana didapatkan besar sampel 107 orang. Pengambilan sampel didasarkan pada teknik purposive yakni memilih sampel berdasarkan subjek yang ditemui di lokasi penelitian. Penelitian menggunakan kuesioner teradministrasi yang berisikan 25 pertanyaan mengenai karakteristik
HASIL
responden dan pola konsumsi rokok.10 Responden dibedakan berdasarkan jenis kelamin, umur, tingkat pendidikan, dan profesi. Responden dibedakan atas perokok dan bukan perokok. Data pola konsumsi rokok yang dicari di antaranya umur mulai merokok, alasan mulai merokok, jumlah konsumsi rokok per hari, jenis rokok yang dikonsumsi, saat merokok paling sering di pagi hari, tempat merokok paling sering, jumlah pengeluaran untuk rokok per minggu, dan alasan ingin berhenti merokok. Analisis data menggunakan perangkat komputer.
Tabel 1. Karakteristik Subjek Penelitian Berdasarkan Umur, Jenis Kelamin, Tingkat Pendidikan, dan Profesi
Jumlah (n) |
Persentase (%) | |
Umur | ||
21-30 tahun |
31 |
29,0 |
31-40 tahun |
38 |
35,5 |
41-50 tahun |
28 |
26,2 |
51-65 tahun |
10 |
9,3 |
Jenis Kelamin | ||
Laki-laki |
61 |
57 |
Perempuan |
46 |
43 |
Tingkat Pendidikan | ||
SMP/MPLB/MT/Kejar Paket B/sederajat |
1 |
0,9 |
SMA/SLTA/MK/MA/Kejar Paket C/sederajat |
28 |
26,2 |
Perguruan Tinggi Diploma |
40 |
37,4 |
Perguruan Tinggi Strata 1 |
38 |
35,5 |
Profesi | ||
Dokter |
2 |
1,9 |
Perawat |
66 |
61,7 |
Dokter Gigi |
1 |
0,9 |
Rekam Medis
Tenaga Umum
Farmasi
Pada studi ini, berdasarkan umur, mayoritas berusia 31-40 tahun (35,5%). 57,0% adalah laki-laki dan 43,0% adalah perempuan. Menurut tingkat pendidikan, persentase tertinggi mengenyam pendidikan Perguruan Tinggi Diploma (37,4%). Dilihat dari profesi, persentase tertinggi pada kelompok perawat (61,7%). Data karakteristik secara lengkap disajikan dalam Tabel 1.
Secara umum angka merokok adalah 36,4% (Tabel 2). Di antara subjek yang merokok, menurut jenis kelamin kebanyakan adalah laki-laki. Berdasarkan umur, mayoritas perokok berusia 31-40
tahun (43,6%). Menurut tingkat pendidikan, mayoritas perokok mengenyam pendidikan SMA/SLTA/SMK/MA/Kejar Paket C/sederajat (41,0%). Menurut profesi, mayoritas perokok adalah tenaga umum (51,3%). Berdasarkan alasan mulai merokok, mayoritas perokok menyatakan karena mencoba-coba (41,0%). Menurut jumlah konsumsi rokok per hari, mayoritas perokok mengkonsumsi rokok sebanyak 610 batang (43,6%). Saat ditanya mengenai jenis rokok yang dikonsumsi, mayoritas perokok mengatakan biasanya mengkonsumsi cigarette (74,4%).
Tabel 2. Status Merokok pada Tenaga Kesehatan
Jumlah (n) Persentase (%)
Umur
Ya
Tidak
39 36,4
68 63,6
Mayoritas perokok menyatakan merokok pagi hari paling sering 60-180 menit setelah bangun pagi (41,0%). Ketika ditanya mengenai tempat merokok paling sering, mayoritas perokok menjawab rumah (53,8%). Mayoritas perokok
menghabiskan Rp 45.001-Rp 75.000 untuk membeli rokok per minggu (46,2%). Saat ditanya alasan ingin berhenti merokok, mayoritas perokok menyatakan karena takut dengan ancaman penyakit (41,0).
Tabel 3. Pola Konsumsi Rokok
Jumlah (n) |
Persentase (%) | |
Umur | ||
21-30 tahun |
7 |
17,9 |
31-40 tahun |
17 |
43,6 |
41-50 tahun |
11 |
28,2 |
51-65 tahun |
4 |
10,3 |
Tingkat Pendidikan | ||
SMP/MPLB/MT/Kejar Paket B/sederajat |
1 |
2,6 |
SMA/SLTA/MK/MA/Kejar Paket C/sederajat |
16 |
41,0 |
Perguruan Tinggi Diploma |
13 |
33,3 |
Perguruan Tinggi Strata 1 |
9 |
23,1 |
Jumlah Konsumsi Rokok per Hari | ||
1-5 batang |
15 |
38,5 |
6-10 batang |
17 |
43,6 |
11-20 batang |
7 |
17,9 |
1-5 batang |
15 |
38,5 |
Tempat Merokok | ||
Rumah |
21 |
53,8 |
Kantor |
4 |
10,3 |
Rumah sakit |
3 |
7,7 |
Dimana saja |
5 |
12,8 |
Di luar kantor |
4 |
10,3 |
Lainnya |
2 |
5,1 |
Alasan Ingin Berhenti Merokok | ||
Saya takut dengan ancaman penyakit |
16 |
41,0 |
Saya sadar untuk menjaga kesehatan |
6 |
15,4 |
dan mencegah penyakit | ||
Saya melihat perokok lain sudah sakit |
3 |
7,7 |
Saya tidak didukung keluarga dalam |
4 |
10,3 |
hal merokok | ||
Karena promosi kesehatan di berbagai media |
2 |
5.1 |
mengenai bahaya rokok | ||
Uang saya tidak cukup lagi untuk membeli |
6 |
15.4 |
rokok karena ekonomi saya | ||
pas-pasan | ||
Teman kerja saya merasa terganggu dengan |
1 |
2.6 |
asap rokok yang saya timbulkan |
DISKUSI
Angka merokok pada studi ini didapatkan cukup tinggi (36,4%) dibandingkan data WHO tahun 2003 yang mengestimasi 20,6% populasi umum dunia usia 18+ adalah perokok. 1 Angka ini juga lebih tinggi dari angka merokok penduduk
Indonesia usia 15+ yaitu sebesar 28,2%. 11 Sebaliknya data Global Adult Tobacco Survey Indonesia Report 2011 menyatakan 59.8 juta penduduk Indonesia merokok 12
(34,8%). Angka merokok pada studi ini juga mendekati data angka merokok pada sebuah studi di pusat kesehatan primer di
Chile yakni 37%.4 Angka ini cukup mengejutkan dimana tenaga kesehatan yang memiliki peran yang krusial dalam kontrol penggunaan tembakau di masyarakat. Tentu hal tersebut akan mempengaruhi persepsi masyarakat tentang tenaga kesehatan yang mestinya mampu menjadi role model dan memberi infor-masi kepada masyarakat mengenai bahaya merokok, sehingga menyebabkan penu-runan usaha berhenti merokok.4
Pada studi ini didapatkan semua perokok berjenis kelamin laki-laki (100%). Hal ini didukung oleh Riskesdas tahun 2010 yang menemukan prevalensi perokok laki-laki 16 kali lebih tinggi (65,9%) dibanding perempuan (4,2%).11 Data Global Adult Tobacco Survey Indonesia Report 2011 menyatakan 67,0% laki-laki dan 2,7% perempuan adalah perokok.12 Hal tersebut juga didukung oleh data WHO tahun 2003 yang mencatat persentase perokok secara signifikan lebih besar pada laki-laki (23,5%) daripada perempuan (17,9%).1 Studi di Laos juga mendukung penemuan ini dimana prevalensi perokok adalah 17,3% pada pria dan 0,4% pada wanita atau 1/3 populasi umum Laos (laki-laki 45%, perempuan 13%).10 Suatu penelitian di Chile juga menemukan bahwa tenaga kesehatan laki-laki lebih perokok daripada tenaga kesehatan perempuan.4 Perokok
perempuan sebagian besar tidak diterima, dianggap rendah dan tidak baik oleh lingkungan, sosial, dan budaya Indonesia pada umumnya. Selain itu dapat disebabkan oleh faktor sosial-budaya, agama, atau ekonomi. Merokok sering dianggap sebagai perilaku maskulin. Jika dibandingkan dengan perempuan, laki-laki mulai merokok di usia lebih muda, jumlah konsumsi rokok per hari lebih banyak, menghirup asap rokok lebih dalam, dan mengkonsumsi jenis tembakau lainnya seperti cigar, cerutu, dan tembakau tanpa asap. Pada keadaan ini maskulinitas diterjemahkan secara negatif dengan mengadopsi perilaku berbahaya seperti merokok, minum minuman beralkohol, dan menjauhi perilaku menjaga 13
kesehatan.13
Mayoritas perokok pada penelitian ini berusia 31-40 tahun (43,6%). Hal ini didukung oleh Riskesdas tahun 2010 yang menemukan prevalensi perokok saat ini paling tinggi pada kelompok umur 25-64 tahun (37,0-38,2%).11 Di pihak yang sama Global Adult Tobacco Survey Indonesia Report 2011 menemukan perokok terbanyak pada kelompok usia 25-44 tahun dan 45-64 tahun daripada kelompok usia lebih muda (15-24 tahun).12 Penelitian di Laos menemukan angka perokok tertinggi di kelompok usia 41-50 tahun
(48,1%).10 Merokok menyebabkan kematian prematur pada orang tua dan meningkatkan risiko penyakit, biaya kesehatan, dan penurunan kognitif serta demensia.14 Merokok juga berhubungan dengan risiko degenerasi makula, katarak, perubahan mendengar dan penurunan kemampuan menghidu dan mengecap. Merokok merupakan faktor risiko penurunan fungsi, mobilitas, independensi, dan risiko luka bakar pada orang tua.15
Pada studi ini ditemukan mayoritas perokok berpendidikan SMA/SLTA/SMK/ MA/Kejar Paket C/sederajat. Global Adult Tobacco Survey Indonesia Report 2011 menemukan prevalensi perokok tertinggi pada kelompok yang berpendidikan Sekolah Dasar dan di bawahnya (38,0%) dan terendah pada kelompok perguruan tinggi (27,6%).12 Penelitian di Kuwait menemukan prevalensi penduduk dewasa yang merokok tertinggi pada tamatan Sekolah Dasar (34,4%).16 Penelitian di Malaysia menemukan 53,8% responden berpendidikan setara SMP/SMA adalah perokok.17 Tingginya angka merokok pada orang yang berpendidikan setara SMA menyiaratkan pentingnya program pencegahan dan anti-merokok pada sekolah menengah. Suatu studi merekomendasikan program pencegahan harus menyertakan aktivitas yang
berhubungan dengan modifikasi perilaku, edukasi sebaya, dan kemampuan berkomunikasi dengan peran aktif keluarga dan lingkungan. Di samping keluarga dan lingkungan, media juga berperan dalam modifikasi perilaku seperti internet telepon genggam, dan televisi sebagai sumber informasi terbesar dan terluas.18 Program harus dilaksanakan secara berkesinambungan mulai dari tingkat sekolah dasar sampai sekolah menengah. Program ini membantu siswa yang telah mencoba atau mengkonsumsi rokok, mendukung mereka untuk berhenti merokok.19
Pada studi ini ditemukan profesi terbanyak yang merokok adalah tenaga umum. Penelitian pada staf rumah sakit di Estonia menemukan status merokok pada dokter (11,6%) dan perawat (17,5%) lebih rendah daripada kelompok staf administrasi, non-kesehatan dan tenaga kesehatan lainnya 20
(25,5%). Sebuah studi pada universitas pendidikan di Brazil Selatan menunjukan prevalensi merokok tertinggi pada pegawai dengan tingkat pendidikan lebih rendah dan pegawai administrasi. Aturan larangan merokok di rumah sakit menyebabkan sebagian perokok meninggalkan tempat bekerja dan mencari tempat merokok di luar kawasan Kawasan Tanpa Rokok (KTR). Tenaga umum yang
umumnya tidak langsung berhadapan dengan pasien memiliki kesempatan lebih banyak untuk meninggalkan pekerjaan demi merokok daripada tenaga kesehatan lainnya. Studi lain juga menemukan prevalensi perokok lebih tinggi pada tenaga kesehatan yang tamat dari bidang lainnya daripada bidang kesehatan. Prevalensi merokok pada tenaga kesehatan yang tamat dari bidang kesehatan lebih rendah karena mereka mengerti akan bahaya merokok dan telah melihat pasien yang memiliki masalah kesehatan akibat rokok.21
Pada studi ini ditemukan umur mulai merokok tertinggi pada kelompok usia 1625 tahun. Hal ini juga didukung oleh penelitian di Laos yang menemukan mayoritas umur mulai merokok adalah 1625 tahun (62,0%).10 Data Global Adult Tobacco Survey Indonesia Report 2011 menyatakan usia rata-rata mulai merokok adalah 17,6 tahun. 12 Penelitian di Kuwait juga menemukan mayoritas perokok (68%) mulai merokok usia <20 tahun.16 Usia mulai merokok merupakan determinan mayor risiko penyakit yang berhubungan dengan tembakau dan baru muncul bertahun-tahun setelah mulai merokok. Perokok yang mulai merokok di usia yang lebih muda cenderung merokok lebih banyak per hari, lebih keter-
gantungan pada rokok, dan memiliki minat yang lebih rendah serta tidak yakin mampu berhenti merokok sehingga angka berhenti merokoknyapun rendah.22 Otak manusia terus berkembang selama masa remaja, dan apabila remaja merokok, zat nikotin akan menyebabkan kerusakan pada fungsi neurologis. Remaja akan menampakkan gejala penurunan otonomi personal secara cepat.23
Alasan mulai merokok terbanyak adalah karena mencoba-coba. Hal yang berbeda didapatkan pada studi di Laos dimana responden perokok terbanyak menyatakan alasan memulai merokok karena ingin terlihat lebih gaya (20,4%).10 Berbeda pula temuan yang didapatkan pada penelitian di Kuwait dimana mayoritas perokok mulai merokok dengan alasan agar tidak bosan dan membuat relaks.16 Perokok regular biasanya dimulai dari eksperimen dengan rokok dan anak-anak mungkin mendapatkan rokok pertama mereka saat duduk di bangku sekolah dasar. Karena mencoba pertama kalinya terasa tidak menyenangkan, beberapa anak mencoba hanya sekali, dan lainnya berlanjut menjadi perokok reguler. Akses rokok juga menjadi mudah apabila orang tua perokok dan teman sebaya juga perokok.24
Kebijakan area bebas rokok di kawasan pelayanan kesehatan tidak menyebabkan 9
perubahan yang signifikan karena kenyataannya tenaga kesehatan tetap merokok di tempat kerja namun tidak saat berhadapan dengan pasien.4 Selain itu, merokok telah menjadi budaya pada pelayanan khusus jiwa selama dekade terakhir. Rokok telah digunakan sebagai alat bantu manajemen pasien oleh staf, meningkatkan hubungan antara pasien dan staf rumah sakit, bernegosiasi dan mematuhi nasehat dokter, agar patuh meminum obat, atau untuk menangani perilaku pasien saat fase akut. Ada penelitian yang menunjukan bahwa pasien jiwa dan staf perawat mulai merokok akibat pengaruh budaya merokok di 9
pelayanan kesehatan jiwa.
Studi ini juga menemukan jumlah konsumsi rokok per hari tertinggi pada kelompok 6-10 batang yang dapat dikategorikan perokok sedang. Global Adult Tobacco Survey Indonesia Report 2011 menemukan rata-rata konsumsi rokok per hari berkisar 11,4% -13,2% (13%).12 Temuan yang berbeda pada studi di Laos dimana ditemukan mayoritas tenaga kesehatan adalah perokok ringan (1-5 batang per hari) sebesar 54,4%).10 Penelitian di Kuwait menemukan mayoritas perokok mengkonsumsi 11-20 batang rokok per hari.16 Tidak ada indikator yang jelas untuk membedakan
antara perokok ringan, sedang, dan berat. Suatu studi identifikasi diri yang membandingkan jawaban responden mengenai kepercayaan dan perilaku merokok terhadap risiko kesehatan menemukan bahwa responden yang mengelompokkan dirinya sebagai perokok ringan dan sedang lebih sadar akan bahaya dan efek jangka panjang rokok daripada perokok berat.25 Perokok berat juga berisiko mengalami periodontitis.26 Suatu studi menemukan bahwa perokok berat lebih tergantung pada rokok, lebih susah untuk berhenti merokok dan disulitkan oleh gejala putus zat.
Mayoritas jenis rokok yang dikonsumsi adalah cigarette. Data Global Adult Tobacco Survey Indonesia Report 2011 menyatakan mayoritas perokok pengkonsumsi cigarette dengan berbagai jenis (34,6%) dimana yang paling popular adalah kretek (31,5%).12 Penelitian di Malaysia menemukan jenis rokok yang dikonsumsi oleh perokok laki-laki paling sering adalah cigarette (90%).17 Cigarette merupakan jenis rokok paling umum dikonsumsi masyarakat dunia. Kretek adalah jenis rokok asli Indonesia yang mengandung 60% tembakau, cengkeh, cokelat, dan zat adiktif lainnya. Menurut analisis ditemukan bahwa konsumsi kretek menghasilkan lebih banyak nikotin,
karbon monoksida dan tar daripada rokok konvensional.27
Ditemukan bahwa saat merokok paling sering di pagi hari terbanyak adalah 60180 menit setelah bangun pagi. Global Adult Tobacco Survey Indonesia Report 2011 menemukan mayoritas (32,3%) menikmati rokok pertamanya >60 menit setelah bangun pagi.12 Temuan yang berbeda pada studi di Laos yang menyatakan saat merokok paling sering di pagi hari (rokok pertama setelah bangun pagi) adalah <60 menit setelah bangun pagi.10 Jangka waktu rokok pertama di pagi hari menunjukkan pola perokok berat dan derajat ketergantungan rokok karena ketidakmampuan untuk tetap abstinen rokok (sejak tidur malam sampai bangun pagi hari) merupakan indikator 28 ketergantungan merokok.28
Mayoritas responden perokok menyatakan tempat merokok paling sering adalah rumah. Hal ini juga didukung oleh temuan studi di Laos yang juga menemukan tempat merokok terbanyak adalah rumah.10 Merokok di rumah berisiko menjadikan anggota keluarga terutama anak-anak perokok pasif. Membuka jendela atau merokok di ruangan tertentu di rumah hanya memberikan perlindungan yang sedikit terhadap ancaman perokok pasif. Asap rokok dapat menempel pada
karpet, hiasan dan dinding rumah dimana material ini akan menyerap racun tembakau dan melepaskannya di udara. Orang tua harus menciptakan lingkungan dalam rumah yang bebas asap rokok. Menjadi perokok pasif menyebabkan berbagai penyakit mulai dari iritasi mata dan kerongkongan hingga penyakit jantung dan kanker paru-paru. Anak-anak, wanita hamil dan orang dengan penyakit jantung dan paru sangat rentan terhadap efek buruk perokok pasif.29
Pada studi ini jumlah pengeluaran untuk rokok per minggu terbanyak adalah Rp 45.001 – Rp 75.000. Pada studi di Laos menemukan jumlah pengeluaran untuk rokok per minggu terbanyak adalah setara kurang atau sama dengan Rp 14.110.10 Pada sebagian besar negara, konsumsi tembakau cenderung tinggi pada ekonomi rendah. Keluarga miskin yang perokok menghabiskan sebagian besar pendapatannya untuk membeli rokok. Uang yang seharusnya digunakan untuk memenuhi kebutuhan pokok seperti makanan, tempat tinggal, pendidikan, dan kesehatan beralih fungsi untuk membeli rokok dan menyebabkan kemiskinan semakin memburuk. Belum lagi risiko penyakit yang ditimbulkan oleh rokok menyebabkan keluarga menghabiskan pendapatannya untuk membiayai ongkos
berobat dan akhirnya semakin menyengsarakan masyarakat.30
Studi ini menemukan bahwa alasan terbanyak mengapa ingin berhenti merokok adalah karena takut dengan ancaman penyakit. Penelitian di Kuwait menemukan mayoritas perokok ingin berhenti merokok karena efek berbahaya rokok pada tubuh.16 Berbeda dengan penelitian di Laos yang menemukan alasan utama ingin berhenti merokok adalah kesehatan dan mencegah penyakit.10
Fasilitas pelayanan kesehatan menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan, baik promotif, preventif, kuratif, maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat. Kawasan bebas asap rokok telah diterapkan melalui Perda No. 10 tahun 2011 tentang KTR). KTR meliputi fasilitas pelayanan kesehatan, tempat proses belajar mengajar, tempat anak bermain, tempat ibadah, angkutan umum, tempat kerja, tempat 31 umum dan tempat lain yang ditetapkan. Masih tingginya angka merokok pada tenaga kesehatan menjadi suatu bentuk evaluasi manajemen rumah sakit untuk mengkaji pengaruh aturan larangan merokok di rumah sakit terhadap perilaku 32 merokok pada tenaga kesehatan.32
SIMPULAN
Pada studi ini didapatkan prevalensi merokok pada tenaga kesehatan di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali sebesar 36,4%. Mayoritas perokok berusia 31-40 tahun, mengenyam pendidikan SMA/SLTA/ SMK/MA/Kejar Paket C/sederajat, dan berprofesi sebagai tenaga umum. Mayoritas perokok menyatakan alasan mulai merokok karena mencoba-coba, mengkonsumsi 6-10 batang rokok per hari, mengkonsumsi rokok jenis cigarette, dan merokok di pagi hari 60-180 menit setelah bangun pagi. Mayoritas perokok merokok paling sering di rumah, menghabiskan Rp 45.001 - Rp 75.000 untuk membeli rokok per minggu, dan menyatakan alasan ingin berhenti merokok karena takut dengan ancaman penyakit.
DAFTAR PUSTAKA
-
1. Tobacco & Health in the Developing World. Diakses di http://ec.europa.eu /health/archive/ph_determinants/life_s tyle/tobacco/documents/who_en.pdf. Tanggal 20 November 2013. 4-12.
-
2. ASH Fact Sheet. 2013. The economics of tobacco. Diakses di http://www.ash.org.uk/files/document
s/ASH_121.pdf. Tanggal 20 November 2013.
-
3. American Lung Association.July 2011. Trends in Tobacco Use.Diakses di http://www.lung.org/findings-cures/our-research/trend-reports/Tobacco-Trend-Report.pdf. 144.
-
4. Siques P, Brito J, Munoz C, Pasten P, Zavala P, Vergara J. 2006. Prevalence and characteristics of smoking in primary healthcare workers in Iquique, Chile. Public Health; 120: 618-623.
-
5. Mahfouz AA, Shatoor AS, Al-Ghamdt BR, Hassanein MA, Nahar S, Farheen A, Gaballah II, Mohamed A, Rabie FM. 2013. Tobacco Use among Health Care Worker in Southwestern Saudi Arabia. Biomed Research International; 2013: 1-5.
-
6. Hebeler KL. 2009. Smoking habits of healthcare professionals and students and the impact of smoking bans at an academic medical center in Norwest Ohio. Diakses di http://drc.library. utoledo.edu/bitstream/handle/2374.U TOL/10349/PhysAsstSP-Hebeler-Kim berly.pdf?sequence=1. Tanggal 17 November 2013. 1-44.
-
7. Fowler G. 2000. Proven strategies for smoking cessation. Erupean Journal of Public Health; 10(3): 3-4.
-
8. Puska PMJ, Barrueco M, Roussos C, Hider A, Hogue S. 2005. The participation of health professionals in a smoking-cessation programme. Int J Clin Pact; 59(4): 447-452.
-
9. Lawn S, Campion J. 2013. Achieving Smoke-Free Mental Health Services: Lesson from the Past Decade of Implementation Research. Int J Environ Res Public Health; 10: 422444.
-
10. Phengsavanh A, Sychareun V, Hansana V, Phommachnan S, Prasisombath K, Ounavong A. 2008. Smoking Behavior and Tobacco Control among Medical Doctors in Lao PDR. Diakses di http://www. seatca.org/dmdocuments/44_smoking _behaviour_among_medical_doctors_ in_lao_pdr.pdf+&cd=2&hl=en&ct=cl nk. Tanggal 20 November 2013.
-
11. Kementerian Kesehatan RI. 2010. Riset Kesehatan Dasar 2010. Diakses di www.litbang.depkes.go.id/...
riskesdas2010/Laporan_riskesdas_201 0.pdf. Tanggal 20 November 2013.
-
12. WHO. 2012. Global Adult Tobacco Survey: Indonesia Report 2011. Diakses di www.depkes.go.id/
.../laporan%20gats/FINAL_REVISI_ DAFTAR_ISI.pdf. Tanggal 20 November 2013.
-
13. Flandorfer P, Wegner C, Buber I. 2010. Gender Roles and Smoking Behavior. Diakses di www.oeaw.ac.at /vid/download/col100428pf.pdf.Tang gal 20 November 2013.
-
14. Centre for Addiction and Mental Health. Older Adults & Smoking Cessation. Diakses di https://knowledgex.camh.net/amhspecialists/specia lized_treatment/smoking/Pages/older_ adults_cessation.aspx+&cd=5&hl=en &ct=clnk. Tanggal 20 November 2013.
-
15. Whalley LJ, Fox HC, Deary IJ, Starr JM. 2005. Addictive Behaviors;30:77-88.
-
16. Memon A, Moody PM, Sugathan TN, Gerges N, Bustan M, Shatti A, Jazzaf H. 2000. Epidemiology of smoking among Kuwaiti adults: prevalence, characeristics, and attitudes. Bulletin of the World Health Organization;78(11):1306-15.
-
17. Lim HK, Ghazali SM, Kee CC, Lim KK, Chan YY, The HC, Yusoff AFM, Kaur G, Zain ZM, Mohamad MHN, Salleh S. 2013. Epidemiology of smoking among Malaysian adult males: prevalence and associated
factors. BMC Public Health;13(8):1-10.
-
18. Pholsena S, Asaad AM, Mao ZQ, Sio AR, Sokana O, Kishi Y, Kitajima K. 2011. Youth smoking prevention program: Influence on smoking prevention program among secondary school students in Paranaque city, Philippines. Journal od the National Institute of Public Health;60(1):54-8.
-
19. Centers for Disease Control and Prevention. 1994. Guidelines for School Health Programs to Prevent Tobacco Use and Addiction. MMWR;43(No. RR-
2):[inclusivepagenumbers].
-
20. Härm T, Suurorg L. 2009. Smoking Prevalence among the Staff of Estonian Health Promoting Hospitals (HPH). Tervise Arengu Instituut National Institute for Health Development.
-
21. Echer IC, Corrêa APA, Lucena AF, Ferreira SAL, Knorst MM. 2011. Prevalence of Smoking Among Employees of a University Hospital. Rev Latino-Am Enfermagem; 19(1):179-86.
-
22. Baron-Epel O, Haviv-Messika A. 2004. Factors associated with age of smoking initiation in adult populations from different ethnic
backgrounds. European Journal of Public Health;14(3):301-5.
-
23. The Quit Group. 2005. Youth and Smoking Factsheet. Diakses di www.quit.org.nz/.../factsAndFigures/ YouthandSmokingFactsheetFeb05.pdf . Tanggal 20 November 2013.
-
24. Milton B, Woods SE, Dugdill L, Porcellato L, Springett RJ. 2008. Starting young? Children’s experiences of trying smoking during pre-adolescence. Oxford Journal; 23(2):298-309.
-
25. Tagliacozzo R. Smokers’ SelfCategorization and the Reduction of Cognitive Dissonance. Dalam: Addictive Behaviors;4:393-9.
-
26. Do LG, Slade GD, Roberts-Thomson KF, Sanders AE. 2008. Smoking-attributableperiodontal disease in the Australian adult population. J Clin Periodontol;35:398–404.
-
27. Geiss O, Kotzias D. 2007. Tobacco, Cigarettes and Cigarette Smoke: An Overview. European Comission Directorate-General Joint Research Centre Institute for Health and Consumer Protection: 1-73.
-
28. Baker TB, et al. Time to first cigarette in the morning as an index of ability to quit smoking: Implications for nicotine dependence. Transdiciplinary
Tobacco Use Research Center (TTRUC) Tobacco Dependence Phenotype Workgroup:1-10.
-
29. ASH Fact Sheet. 2011. Secondhand smoke in the home. Diakses di ash.org.uk/files/documents/ASH_130. pdf. Tanggal 20 November 2013.
-
30. WHO. 2004. Tobacco Increases the Poverty of Individuals and Families. Diakses di http:// www.who.int/ tobacco/communications/events/wntd/ 2004/tobaccofacts_families/en/+&cd= 2&hl=en&ct=clnk. Tanggal 20 November 2013.
-
31. Peraturan Daerah Provinsi Bali No 10 Tahun 2011. Kawasan Tanpa Rokok. Diakses di http://www.phribali. or.id/wp-content/uploads/2011/08/ PERDA-KTR-No.-10-tahun-2011.
pdf. Tanggal 24 November 2013.
-
32. Retief FW, Prinsloo E, Calitz J, Barnes JM. 2003. Smoking among nursing staff at Tygerberg Hospital, Cape Town. SAMJ; 93(9): 1-3.
15
Discussion and feedback