KARAKTERISTIK PASIEN KARSINOMA NASOFARING DI POLIKLINIK TELINGA HIDUNG TENGGOROKKAN-KEPALA LEHER RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH DENPASAR

PADA BULAN NOVEMBER-DESEMBER 2014

Ferdinand Maubere1, I Gde Ardika Nuaba2

1Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, 2Bagian Telinga Hidung Tenggorokan – Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

ABSTRAK

Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas kepala leher yang paling banyak di Indonesia. Prognosis pasien KNF sangat bergantung pada diagnosis dan terapi pada stadium dini. Namun demikian, perhatian dan pengetahuan dokter umum di Indonesia mengenai KNF masih kurang memadai untuk mendukung penapisan dan pendeteksian sedini mungkin. Penelitian ini bertujuan meninjau karakteristik khusus pada pasien KNF yang nantinya dapat dijadikan dasar penelitian selanjutnya sebagai salah satu alat bantu penapisan dan deteksi dini. Rancangan penelitian ini adalah deskriptif kuantitatif dan dilaksanakan di poliklinik THT-KL RSUP Sanglah Denpasar pada bulan November hingga Desember 2014. Jumlah sampel 68 pasien dengan diagnosis karsinoma nasofaring yang sudah ditentukan stadiumnya, baik pasien yang baru terdaftar ataupun pasien lama. Hasil penelitian ini menunjukkan rasio pasien KNF laki-laki berbanding perempuan adalah 2,78 : 1. Rerata umur responden adalah 50,01 ± 10,10 tahun dan sebanyak 51,5% responden berusia 30-50 tahun. Sebanyak 63,3% responden mulai berobat pada stadium IV dan 20,6% pada stadium III. Pada variabel host, sebanyak 13,2% memiliki riwayat penyakit kanker pada keluarga, 22,1% memiliki riwayat penyakit THT kronik selama lebih dari 3 minggu, dan 67,6% memiliki ≥1 gigi yang bermasalah. Pada variabel perilaku, 57,4% mengkonsumsi ikan asin ≥3 kali per bulan, 47.1% adalah perokok, dan 10,3% jarang menyikat gigi. Pada variabel lingkungan, 75,0% terpapar asap kayu bakar selama >10 tahun, 42,6% terpapar zat kimia inhalasi, dan 30,9% terpapar debu kayu.

Kata Kunci: karsinoma nasofaring, karakteristik, deskriptif, RSUP Sanglah Denpasar

CHARACTERISTIC OF NASOPHARYNGEAL CARCINOMA PATIENT AT EAR NOSE THROAT-HEAD NECK POLYCLINIC OF SANGLAH PUBLIC GENERAL HOSPITAL DENPASAR ON NOVEMBER-DECEMBER 2014

ABSTRACT

Nasopharyngeal carcinoma (NPC) is the most frequent head and neck carcinoma in Indonesia. Progonosis of NPC patient is highly depending on early diagnosis and therapy. Unfortunately, the concern and knowledge of Indonesia’s general practiotioners regarding screening and early detection of NPC is still low. This study aim to comprehend the specific characteristic of NPC patient as the base of further research, thus will aid the development of NPC screening and early detection. The design of this study is descriptive quantitative research and conducted at Ear Nose Throat-Head Neck polyclinic of Sanglah Public General Hospital Denpasar on November until December 2014. There are 68 patients collected, whose diagnose and staging of NPC is confirmed, either a newly registered or follow-up patient of the hospital. The gender ratio for male to female is 2,78 : 1, mean age is 50,01 ± 10,10 years old, and 51,5% of the respondent’s age is in 30-50 years old group. Total of 63,3% of respondents was diagnosed at stage IV at the beginning of therapy, while 20,6% at stage III. In host variables, 13,2% had history of cancer in the family, 22,1% had chronic ENT condition for >3 weeks, and 67,6% had ≥1decayed teeth. In behavior variables, 57,4% consumed salted fish ≥3 times per month, 47.1% are smoker, and 10,3% rarely brush their teeth. In environmental variables, 75,0% had >10 years exposure to smoke of wood cooking fire, 42,6% were exposed to inhalant chemical, and 30,9% exposed to wood dust.

Keywords: nasopharyngeal carcinoma, characteristic, descriptive, Sanglah General Public Hospital Denpasar

PENDAHULUAN

Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas daerah kepala dan leher yang paling banyak di Indonesia.1 Di antara jenis tumor lainnya, karsinoma nasofaring (KNF) menduduki peringkat keempat sebagai yang paling banyak di Indonesia setelah kanker 2 serviks, kanker payudara, dan kanker kulit.2 Angka insidensi KNF di Indonesia tergolong tinggi, yaitu sekurang-kurangnya 5.7 pada laki-laki dan 1.9 pada perempuan per 100.000 jiwa bila dibandingkan dengan angka insidensi dunia yaitu 1,9 pada laki-laki dan 0,8 pada perempuan. Namun demikian perlu diketahui bahwa angka insidensi pasti KNF di Indonesia belum dapat ditentukan secara pasti dikarenakan kurangnya pendataan kanker dan dokumentasi secara detail mengenai KNF secara nasional di Indonesia.2,3

Gejala dan tanda KNF umumnya tidak begitu dirasakan pasien. Gejala awal dapat berupa keluhan telinga berdenging, adanya rasa tidak nyaman di telinga, atau suatu nyeri kepala yang tidak spesifik sehingga tidak disadari bahwa hal ini bisa menjadi tanda adanya suatu keganasan. Terkadang pasien datang berobat karena mengeluh timbulnya benjolan yang tidak nyeri pada leher yang sebenarnya sudah merupakan proses metastasis dari KNF tersebut. Hal ini terjadi karena seringkali tumor telah tumbuh atau berada di bawah mukosa tanpa menimbulkan gejala berarti pada pasien.1,2

Sebagai suatu tumor ganas, KNF pada stadium lanjut dapat mengancam nyawa pasien. Pada beberapa daerah di Cina bagian selatan, KNF bahkan menjadi salah satu penyebab utama kematian.3 Namun demikian, dengan kemajuan ilmu kedokteran saat ini, pasien KNF dapat memiliki ekspektasi harapan hidup yang lebih baik. Prognosis berupa angka bertahan hidup 5 tahun pada pasien KNF sangat ditentukan oleh stadium diagnosis awal saat akan dimulainya terapi. Angka prognosis ini pada stadium I adalah 76,9%, 58,0% pada stadium II, 38,4% pada stadium III, namun hanya mencapai 16,4% pada pasien dengan stadium IV.1 Untuk itu, pencapaian diagnosis KNF sedini mungkin merupakan kunci keberhasilan terapi dan peningkatan angka harapan hidup pasien.2 Namun demikian mencapai diagnosis KNF sedini mungkin tidaklah mudah, salah satunya dikarenakan letak lesi berada di daerah nasofaring yang tersembunyi. Pemeriksaan daerah nasofaring selain tidak begitu dilakukan secara rutin di praktek kedokteran sehari-hari juga membutuhkan alat bantu khusus seperti nasofaringoskop.1

Salah satu cara yang dapat ditempuh untuk meningkatkan angka diagnosis dini, khususnya pada daerah endemis KNF seperti Indonesia, adalah dengan melakukan penapisan sederhana. Peran dokter umum dan dokter Puskesmas sebagai penyedia jasa pelayanan kesehatan primer di Indonesia

juga penting diperhatikan untuk lebih meningkatkan cakupan diagnosis dini KNF di masyarakat umum. Namun demikian, tanda gejala yang non spesifik serta ketersediaan alat pemeriksaan khusus nasofaring yang tidak umum tersedia di praktek dokter sehari-hari tentunya akan menyulitkan pelaksanaan strategi ini. Sebuah studi yang diterbitkan pada tahun 2010 menyimpulkan bahwa tingkat pengetahuan dan kesadaran dokter umum akan KNF merupakan salah satu pokok permasalahan kurangnya temuan dini kasus KNF di Indonesia.2 Untuk itu, perlu adanya peningkatan pemahaman dan edukasi mengenai KNF di Indonesia, khususnya berkaitan dengan karakteristik yang nantinya dapat mempermudah dokter dalam memperkirakan dan bahkan mengidentifikasi KNF sedini mungkin.

Sejauh ini telah banyak studi-studi mengenai karakteristik yang mungkin berperan dalam kasus KNF. Salah satu karakteristik utama yang telah banyak diteliti di seluruh dunia adalah riwayat infeksi virus Epstein-Barr (EBV). Selain pada KNF, EBV juga dilaporkan memiliki implikasi pada berbagai kasus keganasan lainnya pada manusia.4 Walaupun EBV dilaporkan memiliki 100% keterkaitan terhadap kasus KNF, proses terjadinya KNF tidak semata-mata hanya dikarenakan adanya infeksi EBV pada pasien.3,4 Lebih dari 95% orang dewasa dari berbagai etnik di seluruh dunia

3 merupakan karier sehat dari EBV.3 Karakteristik lain dapat berupa kerentanan genetik tertentu dan adanya paparan zat-zat tertentu secara berkepanjangan. Berbagai studi epidemiologi menunjukkan adanya hubungan antara merokok, konsumsi ikan asin, dan paparan asap kayu bakar, zat kimia inhalasi, dan debu kayu akan meningkatkan resiko terjadinya KNF.5,6 Usia serta jenis kelamin juga merupakan suatu karakteristik karena turut memberikan gambaran epidemiologi yang berarti pada berbagai studi di dunia.3,7 Adanya suatu riwayat kanker pada keluarga dan riwayat mengidap penyakit THT dalam waktu lama juga diteliti memiliki hubungan yang berarti dalam suatu kasus KNF.5,8 Sebuah studi yang dilakukan di Turki bahkan menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara kesehatan gigi yang buruk sebagai suatu karakteristik KNF di masyarakat.9

Seperti yang dijabarkan di atas, KNF sebagai suatu penyakit keganasan yang sering ditemui di Indonesia, saat ini tidak memiliki data yang cukup untuk membantu pemahaman dan penapisan yang lebih baik oleh dokter umum di masyarakat. Untuk meningkatkan tingkat pengetahuan dan kemampuan dokter di Indonesia dalam mendiagnosis dini KNF di praktek sehari-hari, dibutuhkan suatu penelitian yang secara spesifik meninjau karakteristik KNF pada pasien lokal sehingga dapat dibandingkan dengan studi-studi lain di populasi yang

berbeda. Untuk itu, peneliti melakukan penelitian ini dengan tujuan untuk mengetahui ada tidaknya variabel tertentu pada pasien KNF yang dapat menunjukkan adanya suatu karakteristik pada pasien KNF yang berobat di poliklinik THT-KL RSUP Sanglah.

METODE

Penelitian dilakukan di Poliklinik THT-KL RSUP Sanglah, Denpasar, pada tanggal 20 November 2014 sampai dengan 20 Desember 2014. Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian deskriptif kuantitatif untuk mengetahui karakteristik pasien karsinoma nasofaring yang berobat di poliklinik THT-KL RSUP Sanglah Denpasar. Populasi penelitian ini adalah pasien karsinoma nasofaring yang datang berobat ke poliklinik THT-KL RSUP Sanglah. Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan metode total sampling. Sampel dalam penelitian ini adalah semua pasien karsinoma nasofaring yang datang berobat ke poliklinik THT-KL RSUP Sanglah yang datang berobat pada antara bulan November 2014 sampai dengan Desember 2014.

Kriteria inklusi penelitian ini adalah semua pasien karsinoma nasofaring yang datang berobat ke poliklinik THT-KL RSUP Sanglah yang sudah ditentukan stadium karsinoma nasofaringnya melalui pemeriksaan histopatologi dan radiologi

sesuai klasifikasi American Joint Committee on Cancer (AJCC) tahun 1997.

Kriteria eksklusi penelitian ini adalah pasien karsinoma nasofaring yang datang berobat ke poliklinik THT-KL RSUP Sanglah yang menolak ikut dalam penelitian, tidak dapat berkomunikasi ataupun menjawab pertanyaan dan yang belum tegak didiagnosis menderita karsinoma nasofaring.

Jenis kelamin pasien karsinoma nasofaring digolongkan menjadi laki-laki dan perempuan, berdasarkan data jenis kelamin yang tertera pada rekam medik.

Usia pasien karsinoma nasofaring yang digunakan dalam penelitian ini adalah usia saat diagnosis karsinoma nasofaring pada pasien ditegakkan. Data ini didapat melalui tahun diagnosis ditegakkan pada rekam medik dikurangi tahun kelahiran pasien. Usia ini selanjutnya digolongkan menjadi empat kelompok, yaitu usia muda (usia 1-30 tahun), usia paruh-baya (usia 30-50 tahun), usia tua (usia 50-70 tahun), dan usia sangat tua (usia lebih dari 70 tahun).

Riwayat kanker keluarga adalah penggolongan berdasarkan ada tidaknya riwayat penyakit kanker dalam keluarga pasien. Data ini diperoleh melalui pengisian kuesioner oleh pasien.

Riwayat penyakit THT kronik pada pasien adalah ada tidaknya riwayat menderita suatu penyakit THT kronik sebelumnya. Data ini diperoleh melalui pengisian kuesioner oleh pasien. Pasien dikatakan

memiliki riwayat penyakit THT kronik bila pernah menderita suatu penyakit THT selama lebih dari 3 minggu.

Kesehatan gigi adalah tingkat kesehatan gigi pasien karsinoma nasofaring sebelum tegak diagnosa karsinoma nasofaring yang diukur lewat jumlah gigi berlubang, karies, dan masalah gigi lainnya. Data ini diperoleh lewat pengisian kuesioner oleh pasien dan kemudian digolongkan menjadi tiga kelompok yaitu baik, sedang, dan buruk. Kesehatan gigi digolongkan baik apabila pasien tidak memiliki gigi yang bermasalah sebelumnya. Kesehatan gigi digolongkan sedang apabila pasien pernah memiliki 1-9 gigi yang bermasalah sebelumnya. Kesehatan gigi dikatakan buruk apabila pasien pernah memiliki >10 gigi yang bermasalah sebelumnya.

Konsumsi ikan asin adalah jumlah rata-rata konsumsi ikan asin dan jenis olahan ikan asin lainnya per bulan oleh pasien sebelum tegak diagnosis karsinoma nasofaring. Data ini diperoleh melalui pengisian kuesioner oleh pasien dan selanjutnya digolongkan menjadi dua kelompok, yaitu jarang dan sering. Konsumsi ikan asin dikatakan jarang apabila pasien mengkonsumsi ikan asin dan olahannya sebanyak <3 kali/bulan, dan dikatakan sering bila pasien mengkonsumsi ikan asin >3 kali/bulan.

Merokok adalah kebiasaan merokok pada pasien sebelum tegak diagnosis

karsinoma nasofaring. Data ini diperoleh melalui pengisian kuesioner oleh pasien dan kemudian dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yaitu tidak merokok, perokok sedang, dan perokok berat. Dikatakan tidak merokok apabila pasien karsinoma nasofaring sama sekali tidak memiliki kebiasaan merokok. Dikatakan perokok sedang apabila pasien memiliki kebiasaan merokok <30 bungkus/tahun atau <20 batang/hari. Dikatakan perokok berat apabila pasien memiliki kebiasaan merokok >30 bungkus/tahun atau >20 batang/hari.

Kebiasaan menyikat gigi adalah jumlah menyikat gigi per hari yang dilakukan pasien sebelum tegak diagnosis karsinoma nasofaring. Data ini diperoleh melalui pengisian kusioner oleh pasien dan kemudian digolonggkan menjadi tiga kelompok berdasarkan jumlahnya, yaitu 2 kali sehari, 1 kali sehari, dan tidak tentu.

Paparan asap adalah riwayat paparan pasien terhadap asap pembakaran kayu bakar, arang, ataupun arang. Data ini diperoleh melalui pengisian kusioner oleh pasien dan kemudian dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yaitu tidak terpapar, paparan sedang, dan paparan lama. Tidak terpapar adalah bila pasien memiliki riwayat terpapar asap selama <1 tahun atau tidak memiliki riwayat terpapar asap secara kontinyu. Paparan sedang adalah bila pasien memiliki riwayat terpapar asap secara kontinyu selama 1-9 tahun. Terpapar lama

adalah bila pasien memiliki riwayat terpapar asap secara kontinyu selama 10 tahun atau lebih.

Paparan zat kimia inhalasi adalah riwayat paparan pasien terhadap zat kimia inhalasi berbau menyengat. Data ini diperoleh melalui pengisian kusioner oleh pasien dan kemudian dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yaitu tidak terpapar, paparan sedang, dan paparan lama. Tidak terpapar adalah bila pasien memiliki riwayat terpapar zat kimia inhalasi selama <1 tahun atau tidak memiliki riwayat terpapar zat kimia inhalasi secara kontinyu. Paparan sedang adalah bila pasien memiliki riwayat terpapar zat kimia inhalasi secara kontinyu selama 1-9 tahun. Terpapar lama adalah bila pasien memiliki riwayat terpapar zat kimia inhalasi secara kontinyu selama 10 tahun atau lebih.

Paparan debu kayu adalah riwayat paparan pasien terhadap debu kayu. Data ini diperoleh melalui pengisian kusioner oleh pasien dan kemudian dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yaitu tidak terpapar, paparan sedang, dan paparan lama. Tidak terpapar adalah bila pasien memiliki riwayat terpapar debu kayu selama <1 tahun atau tidak memiliki riwayat terpapar debu kayu secara kontinyu. Paparan sedang adalah bila pasien memiliki riwayat terpapar debu kayu secara kontinyu selama 1-9 tahun. Terpapar lama adalah bila pasien memiliki riwayat terpapar debu kayu secara

kontinyu selama 10 tahun atau lebih.

Instrumen yang digunakan dalam penelitian menggunakan koesioner dalam bentuk wawancara terstruktur untuk memperoleh data kuantitatif yang berkaitan dengan variabel yang akan diteliti. Data yang berkaitan dengan identitas responden dan diagnosis beserta stadium awal pengobatan diperoleh melalui rekam medik pasien.

Data-data yang diperoleh dari kuesioner selanjutnya dianalisa menggunakan bantuan program komputer dan disajikan dalam bentuk tabel disertai penjelasan naratif.

HASIL

Responden pada penelitian ini adalah pasien karsinoma nasofaring yang telah tegak diagnosis beserta stadium penyakitnya, baik pasien yang baru terdaftar ataupun yang telah rutin melakukan kunjungan berobat ke poliklinik THT-KL RSUP Sanglah. Sampel yang diperoleh selama penelitian ini berjumlah 68 pasien. Data diperoleh dari responden selama penelitian berlangsung pada tanggal 20 November 2014 – 20 Desember 2014. Dari data yang diperoleh, didapatkan karakteristik responden yang ditampilkan pada Tabel 1.

Dari 68 responden didapatkan data proporsi jumlah responden dengan jenis kelamin laki-laki yang lebih banyak daripada perempuan, yaitu dengan persentase laki-laki adalah 73.5% (n=50) dibanding perempuan

sebesar 26,5% (n=18). Rerata usia responden saat pertama kali didiagnosis mengidap KNF adalah 50,01 ± 10,10 tahun. Kelompok usia diurutkan dari yang terbanyak jumlahnya adalah kelompok 30-50 tahun dengan persentase 51,5% (n=35), kelompok 50-70 tahun dengan persentase 45,6% (n=31), dan kelompok <30 tahun serta >70 tahun yang masing-masing memiliki persentase yang sama sebesar 1,5% (n=1).

Usia responden termuda dalam penelitian ini adalah 24 tahun, sedangkan yang tertua adalah 72 tahun. Merujuk pada klasifikasi stadium diagnosis KNF oleh AJCC tahun 1997, stadium diagnosis awal responden yang terbanyak adalah stadium IVA dengan persentase 33,8% (n=23), sedangkan stadium yang paling sedikit jumlahnya adalah stadium I dengan persentase 1,5% (n=1). Data rekam medik menunjukkan bahwa sebagian besar responden, yaitu dengan persentase 63,3% (n=43), didiagnosis mengidap KNF stadium IV pada awal terapi. Selain variabel jenis kelamin dan usia, pada koesioner juga ditanyakan beberapa variabel host lain dan didapatkan data yang ditampilkan pada Tabel 2.

Sebagian besar responden, dengan persentase 86,8% (n=59), menyatakan tidak memiliki riwayat penyakit kanker pada keluarga. Sebanyak 13,2% responden (n=9) menyatakan memiliki riwayat penyakit kanker pada keluarganya, dengan riwayat

kanker pada leher (33,3%, n=3) dan payudara (33,3%, n=3) merupakan yang terbanyak jumlahnya pada responden tersebut.

Tabel 1. Karakteristik Responden

No. Karakteristik          N %

  • 1.    Jenis Kelamin

    Laki-laki

    50

    73,5

    Perempuan

    18

    26,5

    2.

    Usia

    50,01 ±

    10,10

    <30 tahun

    1

    1,5

    30-50 tahun

    35

    51,5

    50-70 tahun

    31

    45,6

    >70 tahun

    1

    1,5

    3.

    Stadium Diagnosis

    Stadium I

    1

    1,5

    Stadium IIA

    2

    2,9

    Stadium IIB

    8

    11,8

    Stadium III

    14

    20,6

    Stadium IVA

    23

    33,8

    Stadium IVB

    15

    22,1

    Stadium IVC

    5

    7,4

Pada responden yang memiliki keluarga dengan riwayat penyakit kanker, sebanyak 77,8% responden (n=7) merupakan hubungan first-degree relative (orang tua, anak, atau saudara kandung) dan sebanyak 22,2% responden (n=2) merupakan hubungan second-degree relative (kakek, nenek, paman, bibi, keponakan atau sepupu). Keterangan mengenai jenis kanker dan tingkat kedekatan keluarga responden terhadap keluarga yang

memiliki riwayat penyakit kanker ditampilkan pada Tabel 3.

Tabel 2. Variabel Host

No. Karakteristik

N

%

1. Riwayat Kanker

Keluarga

Ya

9

13,2

Tidak

59

86,8

2. Riwayat Penyakit

THT Kronik

Ya

15

22,1

Tidak

53

77,9

3. Kesehatan Gigi

Baik

22

32,4

Sedang

43

63,2

Buruk

3

4,4


Sebanyak 22,1% responden (n=15), menyatakan memiliki riwayat penyakit THT kronik selama lebih dari 3 minggu. Tingkat kesehatan gigi responden sebagian besar berada pada kelompok sedang, yaitu dengan persentase 63,2% (n=43), di mana responden menyatakan memiliki 1-9 gigi yang bermasalah sebelum didiagnosis mengidap KNF.

Melalui koesioner didapatkan data mengenai variabel perilaku responden yang kemudian ditampilkan pada Tabel 4. Sebanyak 57,4% responden (n=39) menyatakan memiliki kebiasaan mengkonsumsi ikan asin dan olahannya lebih dari tiga kali per bulan, sehingga kemudian

digolongkan dalam kelompok sering.

Tabel 3. Variabel pada Responden dengan

Riwayat Kanker Keluarga

No.  Karakteristik           N   %

  • 1.   Jenis Kanker Keluarga

Leher             3  33,3

Payudara

3

33,3

Rahim

2

22,2

Hati

1

11,1


  • 2.    Tingkat Kedekatan terhadap Keluarga Pengidap Kanker

    First-degree


    7 77.8


    relative


    Second-degree


    2 22.2


    relative


Sebagian besar responden, yaitu sebanyak 52,9% (n=36), menyatakan tidak memiliki kebiasaan merokok. Sebanyak 29,4% responden (n=20) digolongkan sebagai perokok berat dan sebanyak 17,6% responden (n=12) digolongkan sebagai perokok sedang. Kebiasaan menyikat gigi sebagian besar responden, yaitu sebanyak 55,9% (n=38), adalah 2 kali per hari. Sebanyak 33,8% responden (n=23) menyatakan memiliki kebiasaan menyikat gigi sekali per hari, sedangkan 10,3% responden (n=7) menyatakan tidak tentu dan bahkan jarang menyikat gigi secara rutin setiap hari.

Tabel 4. Variabel Perilaku

No. Karakteristik N %

  • 1.    Konsumsi Ikan

Asin

  • 2.    Merokok

Tidak merokok 3652,9

Perokok sedang 1217,6

Perokok berat 2029,4

  • 3.    Kebiasaan

Menyikat Gigi

2x/hari          3855,9

1x/hari          2333,8

Tidak Tentu 7


10,3


Data mengenai variabel lingkungan yang didapatkan melalui koesioner ditampilkan pada Tabel 5. Sebagian besar responden, yaitu sebanyak 75,0% (n=51), menyatakan memiliki riwayat terpapar asap yang lama (lebih dari 10 tahun). Seluruh responden yang memiliki riwayat terpapar asap menyatakan bahwa sumber paparan asap adalah dari penggunaan kayu bakar secara terus menerus. Sebanyak 57,4% responden (n=39) menyatakan tidak memiliki riwayat terpapar suatu zat kimia inhalasi berbau menyengat secara terus menerus. Sebanyak 35,3% responden (n=24) digolongkan sebagai terpapar zat kimia inhalasi dalam jangka waktu lama (>10 tahun), sedangkan 7,4% responden (n=5) digolongkan sebagai

terpapar zat kimia inhalasi dalam jangka waktu sedang (1-9 tahun). Sebagian besar responden yang terpapar zat kimia inhalasi menyatakan bahwa sumber paparan adalah dari penggunaan pestisida jenis semprot yang mereka gunakan secara rutin. Sebanyak 69,1% responden (n=47) menyatakan tidak memiliki riwayat terpapar debu kayu secara terus menerus. Sejumlah 25% responden (n=17) digolongkan memiliki riwayat paparan lama terhadap debu kayu, sedangkan 5,9% responden (n=4) digolongkan memiliki riwayat terpapar sedang terhadap debu kayu.

Tabel 5. Variabel Lingkungan

No.

Karakteristik

N

%

1.

Paparan Asap

Tidak terpapar

14

20,6

Paparan sedang

3

4,4

Paparan lama

51

75,0

2.

Paparan Zat Kimia

Inhalasi

Tidak terpapar

39

57,4

Paparan sedang

5

7,4

Paparan lama

24

35,3

3.

Paparan Debu Kayu

Tidak terpapar

47

69,1

Paparan sedang

4

5,9

Paparan lama

17

25,0


PEMBAHASAN

Penelitian ini mengikutsertakan 68 responden yang terdiri dari gabungan pasien

baru dan ulangan dengan diagnosis karsinoma nasofaring yang berkunjung di poliklinik THT-KL RSUP Sanglah selama jangka waktu penelitian. Dari hasil penelitian didapatkan jumlah responden berjenis kelamin laki-laki (73,5%) yang lebih banyak daripada perempuan (26,5%), yaitu dengan rasio sekitar 2,78 : 1. Rasio perbandingan jenis kelamin ini juga menunjukkan angka yang serupa pada berbagai populasi di studi-studi terbaru, di mana laki-laki umumnya memiliki angka insiden 2-3 kali lipat lebih tinggi dibandingkan perempuan.3,9 Rata-rata usia responden saat pertama kali didiagnosis KNF pada penelitian ini adalah 50,01 ± 10,10 tahun dan kelompok usia yang terbanyak jumlahnya adalah kelompok 30-50 tahun dengan persentase 51,5% (n=35), disusul pada urutan kedua terbanyak adalah kelompok usia 50-70 tahun dengan persentase 45,6% (n=31). Studi epidemiologi lain menunjukkan adanya puncak insidensi pada usia 40-49 tahun dan umumnya 80% pasien didiagnosis pada usia 30-59 tahun.3,7

Pada penelitian ini juga dikumpulkan data mengenai stadium diagnosis awal pasien ketika pertama kali datang berobat yang diperoleh dari catatan pada rekam medik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa stadium diagnosis awal responden yang terbanyak adalah stadium IVA dengan persentase 33,8% (n=23). Jika digabungkan, sebagian besar responden mulai berobat pada stadium yang telah lanjut, yaitu 63,3% responden (n=43)

pada stadium IV dan 20,6% responden (n=14) pada stadium III. Hal ini diduga berhubungan dengan gejala dan tanda KNF yang non-spesifik, sehingga 80% pasien umumnya mulai berobat pada stadium III atau IV.2 Sebaliknya, jumlah responden yang datang berobat pada stadium awal jumlahnya jauh lebih sedikit, yaitu 14,7% responden (n=10) pada stadium II dan hanya 1,5% responden (n=1) yang datang berobat pertama kali pada stadium I. Hal ini penting diketahui mengingat prognosis KNF sangatlah dipengaruhi oleh diagnosis dan terapi sedini mungkin, mengingat angka harapan hidup 5 tahun pada pasien dengan stadium III adalah 38,4% dan hanya mencapai 16,4% pada pasien dengan stadium IV.1

Sebanyak 86,8% responden (n=59) menyatakan tidak memiliki keluarga dengan riwayat penyakit kanker. Namun demikian, dari 13,2% responden (n=9) yang menyatakan memiliki riwayat penyakit kanker pada keluarganya, sebanyak 33,3% responden (n=3) tersebut menyatakan kanker pada leher merupakan jenis kanker yang dialami anggota keluarganya tersebut. Bersamaan dengan kanker payudara (33,3% responden, n=3), kanker pada leher merupakan yang terbanyak jumlahnya pada responden tersebut. Ditinjau dari tingkat kedekatan keluarganya, sebanyak 77,8% responden (n=7) merupakan hubungan first-degree relative (orang tua, anak, atau saudara kandung) dan sebanyak 22,2% (n=2)

merupakan hubungan second-degree relative (kakek, nenek, paman, bibi, keponakan atau sepupu) terhadap anggota keluarga yang memiliki riwayat kanker tersebut. Karakteristik genetik ini telah dilaporkan pada berbagai studi case-control yang menunjukkan adanya odd ratio berkisar antara 4 hingga 20 pada individu yang memiliki first-degree relative dengan riwayat KNF dibandingkan dengan individu yang tidak memiliki riwayat KNF di keluarganya.10 Beberapa dugaan yang memiliki asosiasi terhadap KNF antara lain adalah human leukocyte antigen, cytochrome p450 2E1, dan adanya polymorphism dari beberapa jenis DNA repair gene (XRCC1 dan hOGG1).11 Adanya keterkaitan faktor genetik dan riwayat keluarga ini bahkan dilaporkan merupakan yang terkuat kaitannya jika dibandingkan dengan penyakit-penyakit keganasan lainnya.12 Walaupun telah diduga bahwa riwayat KNF pada keluarga merupakan suatu karakteristik penting pada KNF, hal ini dinyatakan tidak signifikan pada sebuah studi yang menunjukkan hanya terdapat 104 dari 1,049 kasus (9,9%) yang dilaporkan memiliki hubungan first, second, atau third-degree relative dengan riwayat KNF.5,6

Sebanyak 22,1% responden (n=15), menyatakan memiliki riwayat penyakit THT kronik selama lebih dari 3 minggu. Data sebuah studi case control yang dilakukan di Bangkok menunjukkan bahwa sebanyak

13,2% pasien KNF (n=43), dari sejumlah 327 kasus KNF yang diteliti, memiliki riwayat kondisi THT kronis. Studi tersebut menyimpulkan bahwa pasien KNF memiliki kemungkinan yang lebih tinggi memiliki riwayat mengidap suatu kondisi THT kronis. Diperkirakan bahwa suatu inflamasi ataupun kondisi THT kronis tertentu akan memicu adanya perubahan mukosa nasofaring bila terpapar oleh zat-zat karsinogen yang pada akhirnya dapat meningkatkan resiko KNF hingga dua kali lipat.8,13

Sebelum didiagnosis KNF, sebanyak 63,2% responden (n=43) menyatakan memiliki 1-9 gigi yang bermasalah, sedangkan sebanyak 4,4% responden (n=3) menyatakan memiliki >10 gigi yang bermasalah sebelumnya. Tingginya jumlah pasien KNF dengan gigi yang bermasalah juga dilaporkan dalam sebuah studi di Turki, di mana ditemukan bahwa 95 dari 183 kasus (51,91%) memiliki 1-9 gigi yang bermasalah dan 61 dari 183 kasus (33,33%) memiliki >10 gigi yang bermasalah. Studi tersebut kemudian berkesimpulan bahwa jumlah gigi yang bermasalah ini memiliki hubungan yang signifikan dalam memicu timbulnya KNF.9

Riwayat kebiasaan mengkonsumsi ikan asin dan olahannya sebanyak ≥3 kali per bulan ditemukan pada 57,4% responden (n=39). Sebuah penelitian case control yang dilakukan di Guangdong menyimpulkan bahwa konsumsi ikan asin merupakan akan meningkatkan resiko KNF.14 Sebuah

penelitian case control mendapatkan data 6,7% kelompok case mengkonsumsi ikan asin ≥3 kali per bulan, dibandingkan sebanyak 3,8% pada kelompok control. Penelitian tersebut kemudian menyimpulkan bahwa kebiasaan mengkonsumsi ikan asin sebanyak ≥3 kali per bulan akan meningkatkan resiko KNF.6 Hubungan antara konsumsi ikan asin dan KNF telah banyak diteliti sejak tahun 1972. Diperkirakan adanya kandungan N-nitrosamines dalam ikan asin yang jika dikonsumsi secara terus menerus akan bersifat karsinogenik.4 Namun demikian, suatu studi analisis multivariat menunjukkan bahwa sebagian besar data yang ada saat ini tidak menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara konsumsi ikan asin terhadap angka insidensi KNF yang terstandarisasi umur.15

Sebanyak 52,9% responden (n=36), menyatakan tidak memiliki kebiasaan merokok, sedangkan 29,4% responden (n=20) digolongkan sebagai perokok berat (merokok >30 bungkus/tahun atau >20 batang/hari) dan 17,6% responden (n=12) digolongkan sebagai perokok sedang (merokok <30 bungkus/tahun atau <20 batang/hari). Beberapa studi terbaru pada daerah endemis KNF menyimpulkan bahwa merokok tidak memiliki asosiasi terhadap KNF. Pada suatu penelitian case control didapatkan data pada kelompok 48,3% kelompok case menyatakan tidak pernah merokok, sedangkan 51,7% adalah perokok,

tetapi hal ini dinilai tidak signifikan ketika dibandingkan dengan kelompok control.6 Namun demikian, sebuah studi yang dilakukan di Guangdong menunjukkan bahwa bila dibandingkan responden non-perokok, terdapat resiko mengidap KNF yang lebih tinggi pada responden yang memiliki kebiasaan merokok 20-40 bungkus per tahun dan yang memiliki kebiasaan merokok 40 bungkus atau lebih per tahun. Dikatakan bahwa merokok tidak hanya diasosiasikan sebagai suatu karakteristik pasien KNF pada individu di Cina, namun juga dikaitkan dengan seroposivitas EBV pada laki-laki sehat dan mempunyai peran dalam aktivasi EBV.16 Hal ini penting penting diperhatikan mengingat lebih dari 95% orang dewasa dari berbagai etnik di seluruh dunia merupakan karier sehat dari EBV.3 Selain itu, merokok juga dilaporkan di berbagai studi sebagai suatu prediktor buruknya harapan hidup pasien-pasien kanker kepala dan leher. Terlepas dari dugaan bahwa apakah merokok menyebabkan karsinoma sel skuamosa kepala dan leher atau tidak, kebiasaan merokok pre-terapi telah dilaporkan memiliki dampak terhadap harapan hidup pasien-pasien tersebut. Perokok pre-terapi, baik yang masih memiliki kebiasaan merokok ataupun telah berhenti merokok, secara kuat diasosiasikan dengan harapan hidup yang buruk. Dampak merokok terhadap harapan hidup ini terlihat dalam

sebuah studi analisis multivariat, di mana harapan hidup pasien selama jangka waktu 3 tahun menunjukkan perbedaan yang berarti antara perokok ringan (<25 bungkus/tahun) 17 dan perokok berat (≥25 bungkus/tahun).17

Kebiasaan menyikat gigi pada responden umumnya baik, dengan 55,9% responden (n=38), memiliki kebiasaan menyikat gigi 2 kali per hari. Sebanyak 33,8% responden (n=23) menyatakan memiliki kebiasaan menyikat gigi sekali per hari, sedangkan 10,3% responden (n=7) menyatakan tidak tentu dan bahkan jarang menyikat gigi secara rutin setiap hari. Hal ini berbeda dengan hasil sebuah penelitian yang dilakukan di Turki, di mana dari 183 kasus, 53,01% (n=97) menyikat gigi secara mingguan, 27,87% (n=51) jarang menyikat gigi, dan hanya 19,13% (n=35) yang memiliki kebiasaan menyikat gigi secara harian. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa buruknya kebiasaan menyikat gigi tersebut secara signifikan akan menigkatkan resiko KNF.9

Riwayat paparan asap selama lebih dari 10 tahun ditemukan pada 75,0% responden (n=51). Seluruh responden yang memiliki riwayat terpapar asap menyatakan bahwa sumber paparan asap adalah dari penggunaan kayu bakar secara terus menerus dalam bentuk kompor kayu bakar tradisional. Sebuah penelitian case control mendapatkan data 99,1% kelompok case yang diteliti memiliki riwayat paparan asap kayu bakar,

di mana 96,9% case secara khusus memiliki riwayat paparan asap kayu bakar berulang selama >10 tahun. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa paparan asap kayu bakar yang digunakan dalam kompor tradisional selama lebih dari 10 tahun dapat meningkatkan resiko KNF hingga hampir 6 kali lipat.6 Beberapa penelitian juga berpendapat bahwa tingginya insidensi KNF di Cina bagian selatan dan Afrika bagian utara disebabkan oleh asap kayu bakar yang digunakan di dalam rumah-rumah tanpa cerobong asap.13

Sebanyak 57,4% responden (n=39) menyatakan tidak memiliki riwayat terpapar suatu zat kimia inhalasi berbau menyengat secara terus menerus. Namun demikian, penelitian ini menunjukkan bahwa sebanyak 35,3% responden (n=24) tergolong memiliki riwayat terpapar zat kimia inhalasi dalam jangka waktu lama (>10 tahun), sedangkan 7,4% responden (n=5) terpapar zat kimia inhalasi dalam jangka waktu sedang (1-9 tahun). Sebagian besar responden yang terpapar zat kimia inhalasi menyatakan bahwa sumber paparan adalah dari penggunaan pestisida jenis semprot yang mereka gunakan secara rutin ketika bertani. Pada sebuah studi KNF pada populasi beresiko tinggi di Cina daerah selatan, hanya 6% dari populasi yang tercatat memiliki riwayat terpapar suatu zat kimia inhalasi tidak spesifik sebagai bagian dari rutinitas pekerjaan sehari-hari. Studi itu juga

membuktikan bahwa paparan zat kimia inhalasi selama bekerja akan meningkatkat resiko KNF hingga 2 kali lipat pada individu yang memiliki hasil positif tes serologi antibodi IgA terhadap antigen capsid EBV. Paparan zat kimia inhalasi <10 tahun dilaporkan memiliki hubungan yang lebih jelas jika dibandingkan dengan paparan selama >10 tahun, hal ini mungkin disebabkan oleh adanya faktor penyebab lain pada zat kimia inhalasi yang bila dalam jangka waktu yang lebih lama akan turut meningkatkan angka mortalitas.6 Dikarenakan paparan spesifik zat kimia inhalasi yang berkaitan dengan pekerjaan tidaklah banyak dijumpai pada populasi secara umum, hal ini sepertinya tidak bisa dijadikan acuan sebagai suatu faktor penting dalam kasus KNF, khususnya di daerah endemis. Beberapa penelitian memang menunjukkan adanya peningkatan resiko KNF hingga 2-6 kali lipat pada paparan zat terinhalasi dan zat kimia secara umum, namun hal ini tidak terbukti di berbagai studi lainnya.13

Paparan debu kayu tidak ditemukan pada sebagian besar responden, di mana sebanyak 69,1% responden (n=47) menyatakan tidak memiliki riwayat terpapar debu kayu secara terus menerus. Sejumlah 25% responden (n=17) digolongkan memiliki riwayat paparan lama terhadap debu kayu (>10 tahun), sedangkan 5,9% responden (n=4) digolongkan memiliki

riwayat terpapar sedang terhadap debu kayu (1-9 tahun). Sebuah penelitian di Taiwan menghasilkan data riwayat paparan debu kayu pada kelompok case lebih tinggi jumlahnya dibanding pada kelompok control, di mana sebanyak 4,6% case memiliki riwayat paparan debu kayu selama ≥25 tahun dan 2,2% case memiliki riwayat terpapar debu kayu selama <25 tahun. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa paparan terhadap debu kayu selama lebih dari 10 tahun akan meningkatkan resiko KNF.5 Secara umum, data-data yang secara spesifik mendukung dugaan paparan debu kayu sebagai suatu karakteristik KNF yang ada saat ini belumlah memadai dan membutuhkan penelitian lebih lanjut.8

SIMPULAN

Melalui penelitian ini diharapkan dapat diperoleh data-data yang membantu pemahaman dan edukasi yang lebih baik mengenai KNF. Khususnya di Indonesia, penelitian ini diharapkan dapat menambah data epidemiologi yang ada saat ini mengenai KNF dan menjadi dasar penelitian-penelitian selanjutnya.

Jumlah pasien KNF berjenis kelamin laki-laki lebih banyak dibanding perempuan. Pada penelitian ini didapatkan rasio pasien KNF laki-laki dibandingkan perempuan adalah sebesar 2,78 : 1. Rerata usia pasien KNF pada penelitian ini adalah 50,01 ± 10,10 tahun dan kelompok usia yang

terbanyak jumlahnya adalah kelompok 30-50 tahun dengan persentase 51,5%. Penelitian ini menunjukkan bahwa 63,3% pasien KNF mulai berobat pada stadium IV dan 20,6% responden pada stadium III.

Sebanyak 13,2% responden (n=9) yang menyatakan memiliki riwayat penyakit kanker pada keluarganya. Sebanyak 22,1% responden (n=15), menyatakan memiliki riwayat penyakit THT kronik selama lebih dari 3 minggu. Sebagian besar pasien KNF memiliki satu atau lebih gigi yang bermasalah. Pada penelitian ini didapatkan data bahwa 67,6% responden (n=46) memiliki satu atau lebih gigi yang bermasalah.

Sebagian besar pasien KNF (57,4% responden, n=39) memiliki riwayat kebiasaan mengkonsumsi ikan asin yang tergolong sering, yaitu hingga tiga kali atau lebih per bulan. Sebanyak 47.1% responden (n=32) adalah perokok. Sebanyak 10,3% responden (n=7) menyatakan tidak tentu dan bahkan jarang menyikat gigi secara rutin setiap hari.

Sebagian besar responden, yaitu sebanyak 75,0% (n=51), menyatakan memiliki riwayat terpapar asap lebih dari 10 tahun akibat penggunaan kayu bakar pada kompor tradisional. Sebanyak 42,6% responden (n=39) menyatakan memiliki riwayat terpapar suatu zat kimia inhalasi berbau menyengat secara terus menerus. Sebanyak 30,9% responden (n=21)

menyatakan memiliki riwayat terpapar debu kayu secara terus menerus.

DAFTAR PUSTAKA

  • 1.    Roezin A, Adam M. Karsinoma nasofaring. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD, penyunting. Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT Kepala & Leher. Edisi ke-7. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2007; h. 182-87.

  • 2.    Fles R, Wildeman MA, Sulistiono B, Haryana SM, Tan IB. Knowledge of general practitioners about nasopharyngeal cancer at the Puskesmas in Yogyakarta, Indonesia. BMC Medical Education. 2010;10:81.

  • 3.    Adham M, Kurniawan AN, Muhtadi AI, Roezin A, Hermani B, Gondhowiardjo S, dkk. Nasopharyngeal carcinoma in Indonesia: epidemiology, incidence, signs, and symptoms at presentation. Chin J Cancer; 2012;31(4):185-96.

  • 4.    Fang C-Y, Huang S-Y, Wu C-C, Hsu H-Y, Chou S-P, Tsai C-H, dkk. The synergistic effect of chemical carcinogens enhances epstein-barr virus reactivation and tumor progression of nasopharyngeal carcinoma cells. PLoS ONE. 2012;7(9):e44810.

  • 5.    Yang XR, Diehl S, Pfeiffer R, Chen C-J, Hsu W-L, Dosemeci M, dkk. Evaluation of risk factors for nasopharyngeal carcinoma in high-risk

nasopharyngeal carcinoma families in Taiwan. Cancer Epidemiol Biomarkers Prev. 2005;14(4):900-05.

  • 6.    Guo X, Johnson RC, Deng H, Liao J, Guan Li, Nelson GW, dkk. Evaluation of nonviral risk factors for nasopharyngeal carcinoma in a high-risk population of Southern China. Int. J. Cancer. 2009;124:2942–47.

  • 7.    Anghel I, Anghel AG, Dumitru M, Soreanu CC. Nasopharyngeal carcinoma – analysis of risk factors and immunological markers. Chirurgia. 2012;107(5):640-45.

  • 8.    Ekburanawat W, Ekpanyaskul C, Brennan P, Kanka C, Tepsuwan K, Temiyastith S, dkk. Evaluation of non-viral risk factors for nasopharyngeal carcinoma in Thailand: results from a case-control study. Asian Pacific J Cancer Prev. 2010;11:929-32.

  • 9.    Turkoz FP, Celenkoglu G, Dogu GG, Kalender ME, Coskun U, Alkis N, dkk. Risk factors of nasopharyngeal carcinoma in Turkey - an epidemiological survey of the anatolian society of medical oncology. Asian Pacific J Cancer Prev. 2011;12:3017-21.

  • 10.    Hsu W-L, Yu KJ, Chien Y-C, Chiang C-J, Cheng Y-J, Chen J-Y, dkk. Familial tendency and risk of nasopharyngeal carcinoma in Taiwan:

effects ofcovariates on risk. Am J Epidemiol. 2011;173:292–99.

  • 11.    Yu KJ, Hsu W-L, Chiang C-J, Cheng Y-J, Pfeiffer RM, Diehl S-R, dkk. Cancer patterns in nasopharyngeal carcinoma multiplex families in Taiwan. Int J Cancer. 2009;124(7): 1622–25.

  • 12.    Friborg J, Wohlfahrt J, Koch A, Storm H, Olsen OR, Melbye M, dkk. Cancer susceptibility in nasopharyngeal carcinoma families - a population-based cohort study. Cancer Res. 2005;65:8567-72.

  • 13.    Chang ET, Adami H-O. The enigmatic epidemiology of nasopharyngeal carcinoma. Cancer Epidemiol Biomarkers Prev. 2006;15:1765-77.

  • 14.    Jia W-H, Luo X-Y, Feng B-J, Ruan HL, Bei J-X, Liu W-S, dkk. Traditional Cantonese diet and nasopharyngeal carcinoma risk: a large-scale casecontrol study inGuangdong, China. BMC Cancer. 2010;10:446

  • 15.    Lau H-Y, Leung C-M, Chan Y-H, Lee AW-M, Kwong DL-W, Lung ML, dkk. Secular trends of salted fish consumptionand nasopharyngeal carcinoma:     a multi-jurisdiction

ecological study in 8 regions from 3 continents. BMC Cancer. 2013;13:298.

  • 16.    Xu F-H, Xiong D, Xu Y-F, Cao S-M, Xue W-Q, Qin H-D, dkk. An epidemiological and molecular study of

the relationship between smoking, risk of nasopharyngeal carcinoma, and epstein–barr virus activation. J Natl Cancer Inst. 2012;104:1396–1410.

  • 17.    Shen G-P, Xu F-H, He F, Ruan H-L, Cui C, Chen L-Z, dkk. Pretreatment lifestyle behaviors as survival predictors for patients with nasopharyngealcarcinoma. PLoS ONE. 2012;7(5): e36515.

18