GAMBARAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI STATUS KOGNITIF PADA LANSIA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS KUBU II , JANUARI-FEBRUARI 2014

I Gusti Ayu Harry Sundariyati1, Nyoman Ratep2, Wayan Westa2 1Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Udayana 2

2Bagian Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/ RSUP Sanglah

ABSTRAK

Telah terjadi pergeseran struktur demografi Indonesia, yaitu meningkatnya proporsi lansia sebesar 7,59% dari seluruh penduduk Indonesia yang membawa tantangan di berbagai bidang salah satunya bidang kesehatan. Masalah kesehatan yang seringkali mengiringi lansia adalah gangguan fungsi kognitif. Berbagai penelitian menunjukkan usia dan tingkat pendidikan menjadi salah satu faktor terjadinya gangguan fungsi kognitif pada lansia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran faktor-faktor yang mempengaruhi status kognitif pada lansia yang berada di wilayah kerja Puskesmas Kubu II. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian secara kuantitatif dengan rancangan deskriptif cross sectional. Variabel – variabel yang akan diteliti, diukur dan dikumpulkan secara simultan atau pada satu waktu yang bersamaan. Metode pengambilan sampel adalah dengan menggunakan angket/kuisioner, dengan responen yang dipilih secara consecutive, yaitu lansia yang datang ke Puskesmas Kubu II hingga didapatkan 84 sampel. Data yang terkumpul dianalisis dengan perangkat lunak komputer menggunakan analisis univariate dan bivariate. Penelitian ini menunjukkan 54,8% responden mengalami probable cognitive impairment (PCI) dengan 73,1% nya berusia diantara 75-90 tahun dan 68,4% dari 54,8% lansia yang mengalami probable cognitive impairment tidak mengenyam pendidikan dasar. Jadi simpulan pada penelitian ini adalah sebagian besar lansia di wilayah kerja Puskesmas Kubu II mengalami penurunan fungsi kognitif. Dimana usia tertinggi yang mengalami gangguan kognitif adalah pada kelompok usia 75-90 tahun dan lansia yang tidak mengenyam pendidikan dasar.

Kata Kunci: Penurunan fungsi kognitif, lansia, MMSE

FACTORS THAT AFFECT THE COGNITIVE STATES IN ELDERLY AT KUBU PUBLIC HEALTH CENTER II WORKING PLACE JANUARI-FEBRUARI 2014

ABSTRACT

There has been a shift in the demographic structure of Indonesia, namely the increasing proportion of elderly in the amount 7.59% of the entire population of Indonesia which will bring a challenge in many areas of one's health field. Health problems that often accompany the elderly are impaired cognitive function. Various studies showed that age and level of education to be one of the factors the occurrence of cognitive dysfunction in the elderly. The aim of this study was to describe factors that affect the states of cognitive function in elderly at Kubu public health center II working place. This type of research was quantitative research with descriptive cross sectional design. All variables, were measured and collected simultaneously or at the same time. The sampling method used the questionnaire and the respondents selected by consecutive, ie the elderly who came to the Kubu public health center II working place. Data were analyzed with computer software using univariate and bivariate analysis. The result of this study showed that 54.8 % of respondents experienced a probable cognitive impairment with 73.1 % of them aged between 75-90 years and 68.4 % from 54.8 % of elderly who experience cognitive impairment are not attending school. So that, most of the elderly in Kubu public health center II working place decreased cognitive function. Where the highest age which were experience cognitive problems are in the age group of 75-90 years and the elderly who are not attending basic education.

Keyword: Cognitive function decline, elderly, MMSE

PENDAHULUAN

Indonesia sedang mengalami perubahan struktur demografi sejak beberapa dekade ini. Hal ini ditandai dengan penurunan proporsi penduduk usia muda (014 tahun), dimana pada saat yang bersamaan terjadi peningkatan proporsi lansia (penduduk yang berusia 60 tahun atau lebih). 1 Berdasarkan Sensus Penduduk pada tahun 2010, Indonesia memiliki jumlah

lansia sebesar 18,04 juta yang merupakan 7,59% dari jumlah seluruh penduduk Indonesia. Dimana Indonesia juga diperkirakan sebagai Negara dengan pertumbuhan lansia tercepat dalam kurun 2

waktu 1990 sampai dengan 2025.

Peningkatan jumlah populasi lansia secara tidak langsung akan membawa tantangan di berbagai bidang. Dalam bidang kesehatan tantangan yang muncul seringkali

berhubungan dengan bagaimana cara untuk mempertahankan kualitas hidup serta status kesehatan dari para lansia. Dengan kata lain para lansia harus mampu mencapai ‘optimal aging’ dalam hidupnya. Untuk dapat mencapai ‘optimal aging’ tersebut, mereka harus mampu melanjutkan fungsi kehidupannya sebaik yang mereka mampu, seperti mampu beraktifitas secara fisik, sosial dan kognitif.3

Salah satu masalah kesehatan yang sering kali muncul pada penduduk lansia adalah penurunan fungsi kognitif. Fungsi kognitif ini didapatkan melalui interaksi antara lingkungan formal yaitu pendidikan serta lingkungan non formal yang didapatkan dari kehidupan sehari-hari. Fungsi kognitif ini dapat mempengaruhi tingkat kemandirian seseorang. Gangguan fungsi kognitif ini sering kali berdampak pada kehidupan sosial, psikis serta aktivitas fisik para lansia.4 Secara psikis, gangguan kognitif ini dapat membuat para lansia menjadi frustasi hingga depresi, tidak jarang para keluarga atau caregiver yang menemani lansia tersebut juga mengalami depresi. Diperkirakan bahwa sepertiga orang dewasa akan mengalami penurunan fungsi kognitif secara bertahap seiring dengan bertambahnya usia mereka.5 Sebuah penelitian yang dilakukan di Manado pada

tahun 2012 menemukan bahwa lansia yang mengalami gangguan kognitif sebesar 93,6%.4

Gangguan fungsi kognitif meliputi spektrum yang luas yaitu mulai dari fungsi kognitif yang normal hingga dementia. Gangguan fungsi kognitif setidaknya melibatkan dua hal dari lima domain berikut ini: (a) Terganggunya kemampuan untuk mendapatkan dan mengingat informasi yang baru. Gejala yang muncul termasuk pertanyaan atau pembicaraan yang berulang-ulang, kesalahan dalam mengakui kepemilikan barang, melupakan suatu perayaan atau janji, dan tersesat pada tempat-tempat yang sebelumnya biasa dilalui. (b) Gangguan dalam memahami dan mengerjakan tugas yang komplek, kesalahan dalam mengambil keputusan. Gejala yang muncul antara lain kesulitan dalam memahami suatu resiko, kesulitan dalam mengatur keuangan, kemampuan yang buruk dalam mengambil keputusan, dan kesulitan dalam merencanakan aktifitas yang kompleks dan berkelanjutan. (c) Gangguan dalam kemampuan visuo-spatial. Gejala yang muncul seperti ketidakmampuan dalam mengenali wajah atau objek yang umum atau kesulitan dalam menggunakan pakaian. (d) Gangguan dalam fungsi berbahasa, seperti berbicara, membaca, menulis. Gejala

yang mengikuti antara lain, kesulitan dalam memikirkan kata-kata yang umum saat sedang berbicara, kesalahan dalam berbicara, mengeja dan menulis. (e) Perubahan kepribadian, gejala yang muncul seperti motivasi dan inisiatif yang berkurang, apati yang meningkat, keinginan untuk menarik diri dari kehidupan social, penurunan ketertarikan terhadap aktivitas yang digemari sebelumnya, empati yang menghilang, dan obsesi kompulsi.6

Penurunan fungsi kognitif ini terdiri dari normal, mild cognitive impairment dan dementia. Usia menjadi faktor resiko yang paling penting dalam perjalanan dementia. Suatu penelitian epidemiologi menunjukkan bahwa satu dari duabelas orang yang berusia lebih dari 65 tahun dan satu dari 3 orang yang berusia diatas 90 tahun, mengalami dementia.7 Selain usia, berbagai faktor lain juga mempengaruhi angka kejadia serta prevalensi dementia. Faktor-faktor tersebut antara lain: genetik, riwayat trauma kepala, kurangnya tingkat pendidikan, lingkungan (seperti keracunan aluminium), penyakit vaskular dan gangguan imunitas.8

Mini –Mental State Examination (MMSE) digunakan secara luas sebagai alat ukur standar. MMSE telah banyak digunakan di berbagai negara dan telah diterjemahkan ke berbagai bahasa termasuk

Bahasa Indonesia. MMSE digunakan untuk menilai fungsi kognitif pada praktek klinis ataupun penelitian. MMSE menilai orientasi, perhatian dan kalkulasi, ingatan jangka pendek dan menengah,bahasa dan kemampuan untuk menyelesaikan instruksi verbal dan tertulis yang sederhana serta konstruksi visual. MMSE memiliki skor maksimal 30 dengan interpretasi normal pada rentang nilai 24-30, probable cognitive impairment (PCI) 17-23 serta definite cognitive impairment (DCI) 0-16.9 MMSE ini dapat digunakan untuk menskrining dementia yang ditandai dengan skor MMSE dibawah 20, dan mild cognitive impairment yaitu lansia yang memperoleh skor 21-26 pada MMSE.6

Berdasarkan uraian diatas, penulis merasa perlu dilakukannya suatu penelitian mengenai gambaran status kognitif lansia di wilayah kerja Puskesmas Kubu II, Desa Kubu, Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem. Diharapkan hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi Dinas Kesehatan dan instansi terkait dalam untuk perbaikan, perencanaan serta implementasi program kesehatan lansia.

METODE

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan menggunakan rancangan penelitian deskriptif cross sectional untuk mencari variabel bebas dan variabel terikat yang dilaksanakan dalam satu satuan waktu.

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari sampai dengan bulan Februari 2014. Tempat dilakukannya penelitian ini adalah di Puskesmas Kubu II, Desa Kubu, Kecamatan Kubu Kabupaten Karangasem.

Variabel pada penelitian ini adalah status kognitif , tingkat pendidikan dan usia. Status kognitif diukur dengan menggunakan kuisioner Mini Mental State Examination (MMSE), menurut Assesment Scale in Old Age Psychiatry terdiri dari normal (24-30), probable cognitive impairment (17-23) dan definite cognitive impairment (0-16).9 WHO tahun 1999 menentukan usia berdasarkan tahun kelahiran yang terbagi menjadi lanjut usia 60-74 tahun, usia tua 75-90 tahun serta usia sangat tua yaitu 90 tahun.4 Tingkat pendidikan adalah tinggi rendahnya pencapaian seseorang dalam proses pembelajaran dalam lembaga formal pendidikan yang terbagi menjadi tidak sekolah, SD, SMP dan SMA.10

Populasi target adalah seluruh masyarakat yang berada di wilayah kerja Puskesmas Kubu II, Kecamatan Kubu,

Kabupaten Karangasem yang berumur 60 tahun atau lebih. Populasi terjangkau adalah semua masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Kubu II, Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem yang berumur 60 tahun atau lebih yang datang ke Puskesmas Kubu II pada bulan Januari sampai Februari 2014 yang dipilih secara consecutive. Sampel dipilih berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi sehingga didapatkan jumlah sampel sebanyak 84 orang. Kriteria inklusi yang digunakan adalah masyarakat yang bersedia menjadi peserta penelitian dan berdomisili di Desa Kubu, Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem. Kriteria eksklusi adalah masyarakat yang menolak berpartisipasi dalam penelitian, masyarakat yang tidak dapat berkomunikasi secara efektif.

Kuisioner digunakan sebagai alat penelitian dalam mengumpulkan data untuk setiap variabel. Cara pengumpulan data adalah dengan menyebar kuisioner dimana peneliti akan menanyakan sampel satu persatu item kuisioner dan sampel akan menjawabnya.

Pengolahan data pada penelitian ini dilakukan melalui tahap-tahap sebagai berikut: editing, scoring, tabulating dan data entry. Kemudian di analisis menggunakan analisis univariat dan bivariat.

HASIL

Dari seluruh responden yang memenuhi kriteria inklusi di Desa Kubu Kecamatan Kubu Kabupaten Karangasem, didapatkan jenis kelamin laki-laki sebanyak 44 orang (52,4%), sedangkan perempuan sebanyak 40 orang (47,6%) (Tabel 1). Dilihat dari usia responden, 61,9% berusia antara 75-90 tahun, usia 60-74 tahun sebesar 34,5% dan yang berusia diatas 90 tahun hanya 3,6% (Tabel 2). Karakteristik responden berdasarkan tingkat pedidikan yang telah ditempuh adalah tidak sekolah sebanyak 38 orang (45,2%), tamat SD 24 orang (28,6%), 14 orang tamat SMP (16,7%) dan sisanya 8 orang tamat SMA (Tabel 3).

Dari 84 orang responden yang datang ke Puskesmas Kubu II, Desa Kubu, Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem setelah dilakukan penilaian status kognitif dengan menggunakan kuisioner MMSE (Tabel 4), tampak 46 orang lansia menunjukkan hasil probable cognitive impairment, yaitu sebesar 54,8%. Ada juga lansia yang mampu menjawab kuisioner dengan hasil berada pada rentang skor 2630, yaitu sebanyak 28 lansia (33,3%). Sedangkan responden yang menunjukkan hasil MMSE dengan skor kurang dari 16,

berjumlah 10 orang lansia atau sebesar 11,9%.

Tabel 1. Karakteristik Responden

Berdasarkan Jenis Kelamin

Jenis kelamin

Frekuensi

Persentase (%)

Laki-laki

44

52,4

Perempuan

40

47,6

Total

84

100

Tabel    2.

Karakteristik

Responden

Berdasarkan Usia

Usia

Frekuensi

Presentase (%)

60-74

29

34,5

75-90

52

61,9

>90

3

3,6

Total

84

100

Tabel    3.

Karakteristik

Responden

Berdasarkan Tingkat Pendidikan

Tingkat

Frekuensi

Presentase

Pendidikan

Tidak sekolah

38

45,2

SD

24

28,6

SMP

14

16,7

SMA

8

16,7

Total

84

100

Tabel 4. Distribusi Prevalensi Penurunan

Fungsi Kognitif

Variabel

Frekuensi

Persentase

Normal

28

33.3

Probable

Cognitive

46

54.8

Impairment

Definite Cogtitive 10          119

Impairment

Total             84          100.0

Terdapat berbagai faktor resiko yang dapat menyebabkan terjadinya penurunan fungsi kognitif, dua diantaranya yaitu usia dan tingkat pendidikan yang dijalani oleh responden. Dari hasil tabulasi silang antara variabel umur dan hasil MMSE, didapatkan bahwa responden yang berusia 60-74 tahun, menunjukkan hasil normal pada MMSE sebesar 65,5%, sementara 27,6% menunjukkan hasil probable cognitive impairment pada MMSE dan sisanya menunjukkan skor kurang dari 16 pada MMSE yaitu sebesar 6,9%. Pada usia antara 75 tahun sampai dengan 90 tahun, hasil MMSE menunjukkan 73,1% memiliki skor 17-23, sedangkan yang menunjukkan hasil definite cognitive impairment sebesar 9,6% dan 17,3% orang sisanya menunjukkan hasil MMSE normal. Pada responden yang

berusia diatas 90 tahun, seluruhnya menunjukkan hasil MMSE dengan skor dibawah 16 atau mengalami definite cognitive impairment (Tabel 5). Berdasarkan hasil tabulasi silang antara variabel tingkat pendidikan dengan hasil MMSE (Tabel 6), menunjukkan bahwa responden yang tidak menjalani pendidikan dasar atau tidak bersekolah 68,4% menunjukkan hasil MMSE probable cognitive impairment, 18,4% menunjukkan hasil definite cognitive impairment dan 13,2% sisanya menunjukkan hasil normal pada MMSE. Responden dengan tingkat pendidikan tamat SD menunjukkan hasil MMSE dengan skor 17-23 sebesar 45,8%, skor kurang dari 16 sebesar 12,5% dan sisanya 41,7% menunjukkan skor 24-30. Responden dengan tingkat pendidikan akhir tamat SMP menunjukkan bahwa 64,3% memiliki hasil normal pada MMSE, 35,7% menunjukkan probable cognitive impairment dan tidak ada yang memiliki hasil MMSE dengan skor kurang 16. Sementara itu responden dengan tingkat pendidikan akhir adalah tamat SMA menunjukkan hasil MMSE dengan skor antara 24-30 dan antara 17-23 masing-masing 50%.

Tabel 5. Hasil Tabulasi Silang Variabel

Umur dengan Hasil MMSE

Umur (tahun)

Normal

(%)

PCI

(%)

DCI

(%)

Total

(%)

60-74

65,5

27,6

6,9

100

75-90

17,3

73,1

9,6

100

>90

0

0

100

100

Total

33,3

54,8

11,9

100

Tabel 6. Hasil Tabulasi Silang Variabel

Tingkat Pendidikan dengan Hasil MMSE

Tingkat

Normal

PCI

DCI

Total

Pendidikan

(%)

(%)

(%)

(%)

Tidak

13,2

68,4

18,4

100

Sekolah

Tamat SD 41,7    45,8    12,5    100

Tamat

64,3

35,7

.0

100

SMP

Tamat

50,0

50,0

.0

100

SMA

Total

33,3

54,8

11,9

100

PEMBAHASAN

Jumlah sampel pada penelitian ini adalah 84 orang lansia dimana seluruhnya memasuki kriteria inklusi sehingga semua sampel dapat menjadi responden. Jumlah sampel pada penelitian ini lebih besar dibandingkan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Ramadia pada tahun 2012, yaitu hanya 61 lansia yang memenuhi

kriteria inklusi.4 Pada penelitian ini lansia yang paling banyak datang ke Puskesmas Kubu II di Desa Kubu Kecamatan Kubu Kabupaten Karangasem adalah berjenis kelamin laki-laki yaitu sebesar 52,4%, sedangkan lansia yang berjenis kelamin perempuan sebesar 47,6%. Hasil yang berbeda tampak pada penelitian yang dilakukan oleh Fadhia (2012) dimana karakteristik responden perempuan lebih banyak dibandingkan pria.5 Penelitian ini mengelompokkan usia lansia menjadi 3 yaitu lanjut usia 60-74 tahun, usia tua 75-90 tahun dan usia sangat tua yaitu diatas 90 tahun, dimana kelompok usia terbanyak adalah 75-90 sebanyak 52 orang, serupa dengan penelitian yang dilakukan sebelumnya.4,8 Berdasarkan tingkat pendidikan, penelitian ini mengelompokkannya menjadi tidak sekolah, tamat SD, tamat SMP, dan tamat SMA dengan jumlah terbanyak adalah lansia yang tidak bersekolah sebesar 45,2%. Pembagian tingkat pendidikan ini serupa dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Setiawan (2014).8

Berdasarkan distribusi hasil MMSE tampak bahwa prevalensi penurunan fungsi kognitif yang terjadi di wilayah kerja Puskesmas Kubu II, Desa Kubu, Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem adalah

66,7%, dengan 54,8% mengalami probable cognitive impairment dan 11,9% mengalami definite cognitive impairment. Pengelompokan hasil MMSE ini serupa dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Mongisidi (2012).11 Hasil yang peneliti dapat lebih besar dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan di Manado dan Minahasa yang keduanya dilaksanaka pada tahun 2012 dengan hasil probable cognitive impairment 24,6% definite cognitive impairment, 3,3%.4,11 Hal ini bisa saja terjadi mengingat ada banyak faktor yang dapat mempengaruhi tingkat penurunan fungsi kognitif seorang lansia. Fakktor-faktor tersebut antara lain usia, genetik, riwayat trauma kepala, kurangnya tingkat pendidikan, lingkungan (seperti keracunan aluminium), penyakit vaskular dan gangguan imunitas.8

Berbagai penelitian yang telah dilaksanakan sebelumnya menunjukkan adanya beberapa faktor yang mempengaruhi penurunan status kognitif pada lansia, salah satunya adalah usia. Penelitian ini menunjukkan bahwa lansia yang berusia lebih dari 90 tahun seluruhnya mengalami definite cognitive impairment, sementara yang berusia 75-90 tahun, lebih dari 70% mengalami penurunan kognitif dengan sebaran 73,1% mengalami probable

cognitive impairment dan 9,6% mengalami definite cognitive impairment. Hasil ini sesuai dengan penelitian potong lintang yang dilakukan pada tahun 2012 yang menunjukan semakin bertambah usia lansia maka fungsi kognitif semakin berkurang. 4 Penelitian di Amerika menunjukkan responden yang berusia lebih dari 65 tahun memiliki kecenderungan untuk mengalami penurunan fungsi kognitif terutama pada domain memori.12 Umur yang semakin meningkat akan diikuti dengan perubahan dan penurunan fungsi anatomi, seperti semakin menyusutnya otak, dan perubahan biokimiawi di SSP sehingga dengan sendirinya bisa menyebabkan terjadinya penurunan fungsi kognitif.11 Menurut Fadhia (2012), berbagai cadangan homeostatik pada lansia mulai berkurang, oleh karenanya terjadi penurunan pasokan glukosa serta oksigen yang merupakan sumber nutrisi utama metabolisme otak, hal inilah yang mengganggu jalur metabolic otak yang berimbas pada gangguang fungsi kognitif.5

Berdasarkan faktor resiko tingkat pendidikan, penelitian ini menunjukkan hasil bahwa responden yang memiliki pendidikan yang lebih rendah memiliki prevalensi probable cognitive impairment lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang memiliki tingkat pendidikan yang lebih

tinggi. Hal ini ditunjukkan dengan 68,4% dari responden yang tidak mengenyam pendidikan mengalami probable cognitive impairment, hanya 13,2% yang memiliki hasil MMSE normal. Sementara responden dengan tingkat pendidikan akhir tamat SD, sebesar 45,8% memiliki skor MMSE 17-23, dan 41,7% nya menunjukkan hasil normal. Responden yang tamat SMP lebih banyak menunjukkan hasil MMSE normal yaitu sebesar 64,3% jika dibandingkan dengan yang menunjukkan hasil probable cognitive impairment sebesar 35,7%. Sedangkan responden dengan tingkat pendidikan akhir SMA, menunjukkan hasil yang sama yaitu 50% pada hasil normal dan probable cognitive impairment. Hasil penelitian ini serupa dengan penelitian yang dilakukan di Delhi pada tahun 2014, yaitu penurunan fungsi kognitif berhubungan dengan tingkat pendidikan dengan p<=0,005.13 Hasil penelitian ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Mongsidi (2012), dimana responden dengan tingkat pendidikan lebih dari sembilan tahun, memiliki hasil MMSE yang tergolong normal.11 Menurut Fadhia (2012), dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi maka seseorang lebih cenderung melakukan pemeliharaan kesehatan yang lebih baik,

sehingga akan mampu mempertahankan hidupnya lebih lama.5

SIMPULAN

Masyarakat lansia yang berada di wilayah kerja Puskesmas Kubu II, Desa Kubu, Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem, paling banyak berusia antara 75 sampai dengan 90 tahun, yaitu 52 orang lansia. Tingkat pendidikan terbanyak adalah tidak sekolah yaitu sebanyak 38 orang lansia. Sebagian besar lansia (54,8%) mengalami probable cognitive impairment dengan 73,1% nya berusia diantara 75-90 tahun dan 68,4% dari 54,8% lansia yang mengalami probable cognitive impairment tidak mengenyam pendidikan dasar.

DAFTAR PUSTAKA

  • 1.    Noveria M. Challenges of Population Ageing in Indonesia. Conference on Impact of Ageing: A Common Challenge for Europe and Asia; 2006 7-9 Juni; Vienna; Research Center for Population-Indonesian Institute of Science; 2006.

  • 2.    Lestari W, Ngestiningsih D. Hubungan Antara Status Kognitif dengan Status Fungsional Lanjut Usia Panti Wredha di Semarang. Universitas Diponegoro; 2013.

  • 3.    Nevriana A, Riono P, Rihardjo T, Kusumadjati A. Lifetime Musical Activities and Cognitive Function of the Elderly. Universitas Indonesia; 2012.

  • 4.    Ramadian D, Maja J, Runtuwene T. Gambaran Fungsi Kognitif pada Lansia di Tiga Yayasan Manula di Kecamatan Kawangkoan.Universitas          Sam

Ratulangi; 2012.

  • 5.    Fadhia N, Ulfiana E, Ismono S. Hubungan Fungsi Kognitif dengan Kemandirian dlam Melakukan Activities of Daily Living (ADL) pada Lansia di UPT PSLU Pasuruan. Universitas Airlangga; 2012.

  • 6.    Chertkow H, Feldman H, Jacova C, Massoud F. Definition of Dementia and Predementia States in Alzheimer’s Disease and Vascular Cognitive Impairment: Consensus from The Canadian Conference on Diagnosis of Dementia. BioMed  Central.  2013;

5(1):S2.

  • 7.    Sallam K, Amr M. The Use of The MiniMental State Examination and The Clock-Drawing Test for Dementia in a Tertiary Hospital. Journal of Clinical and Diagnostic Research. 2013;7(23):484-488.

  • 8.    Setiawan D, Bidjuni H, Karundeng M. Hubungan Tingkat Pendidikan Dengan

Kejadian Demensia pada Lansia di Balai Penyantunan Lanjut Usia Senja Cerah Paniki Kecamatan Mapanget Manado. Universitas Sam Ratulangi; 2014.

  • 9.    Sjahrir H, Ritarwan K, Tarigan S, Rambe A, Darfika I, Lubis, Bhakti I. The Mini Mental State Examination in Healthy Individuals in Medan, Indonesia by Age and Education Level. Neural J Southeast Asia. 2001:6;19-22.

  • 10.    Anas H. Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Sikap Terhadapa Iklan Partai Politik di Desa Banguntapan, Banguntapan, Bantul, Yogyakarta. Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta;2009.

  • 11.    Mongsidi R, Tumewah R, Kembuan M. Profil Penurunan Fungsi Kognitif pada Lansia di Yayasan-Yayasan Manula di Kecamatan Kawangkoan. Universitas Sam Ratulangi; 2012.

  • 12.    Huppert F, Gardener E, Williams B. Cognitive Fuction. University of Cambridge.2003:217-230.

  • 13.    Kaur J, Sidhu B, Sibia R, Kaur B. Prevalence of Mild Cognitive Impairment among Hospital Patiens aged 65 and Above. Delhi Psychiatry Journal. 2014;17(1):60-64.

11