HUBUNGAN ANTARA SIKAP SLEEP HYGIENE DENGAN DERAJAT INSOMNIA PADA LANSIA DI POLIKLINIK GERIATRI RSUP SANGLAH, DENPASAR

Ni Made Putri Suastari1, Pande Nyoman Bayu Tirtayasa1, I Gusti Putu Suka Aryana2, RA Tuty Kusumawardhani2

1Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Udayana 2Divisi Geriatri, SMF Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar

ABSTRAK

Insomnia merupakan gangguan tidur yang paling sering dialami oleh lansia. Insomnia berpengaruh langsung terhadap penurunan kualitas hidup dan memiliki kecenderungan terhadap peningkatan angka morbiditas dan mortalitas pada lansia. Selama ini berbagai terapi pengobatan telah dikembangkan untuk membantu mengatasi keluhan, namun belum ditemukan suatu terapi pengobatan yang ideal bagi lansia penderita insomnia. Melihat fenomena di atas, maka diperlukan metode dalam penatalaksanaan insomnia pada lansia melalui pendekatan terapi nonfarmakologis dan hanya menggunakan obat-obatan pada saat yang mendesak. Terapi nonfarmakologis yang paling efektif adalah terapi perilaku, yaitu sleep hygiene. Sleep hygiene merupakan identifikasi dan modifikasi perilaku dan lingkungan yang mempengaruhi tidur. Sehubungan hal diatas, penulis tertarik untuk mengetahui hubungan antara sikap sleep hygiene dengan derajat insomnia pada lansia di Poliklinik Geriatri RSUP Sanglah. Penelitian ini merupakan studi analitik cross-sectional dengan sampel sebanyak 43 lansia yang berkunjung ke Poliklinik Geriatri RSUP Sanglah pada bulan Februari 2014. Data diperoleh dengan wawancara melalui kuisioner yang terstruktur meliputi identitas, sikap sleep hygiene, dan derajat insomnia menggunakan kuesioner Insomnia Severity Index. Penelitian ini memperoleh rerata jenis kelamin, pendidikan, dan pekerjaan pada masing-masing derajat insomnia adalah homogen. Berdasarkan uji korelasi diperoleh bahwa terdapat hubungan antara sikap sleep hygiene dengan derajat insomnia pada lansia di Poliklinik Geriatri RSUP Sanglah pada dua komponen, yaitu faktor diet (p=0,006) dan olahraga (p=0,010), sedangkan tidak terdapat hubungan antara sikap sleep hygiene dengan derajat insomnia pada lansia di Poliklinik Geriatri RSUP Sanglah pada dua komponen lainnya, yaitu faktor perilaku (p=0,374) dan lingkungan (p=0,222).

Kata kunci: sleep hygiene, derajat insomnia, lansia, RSUP Sanglah

THE CORRELATION BETWEEN SLEEP HYGIENE ATTITUDE AND THE DEGREES OF INSOMNIA ON ELDERLY IN GERIATRIC POLYCLINIC OF SANGLAH CENTER GENERAL HOSPITAL, DENPASAR

ABSTRACT

Insomnia is the most commonly sleep disorder in the elderly. Directly, insomnia has influences to decline the quality of life and has tendency to increased morbidity and mortality in the elderly. Many treatments have been developed to get over the complaints, but have not found an ideal therapy for insomnia in elderly. Based on that fact, its necessary a methods for management of elderly insomnia through non-pharmacological therapeutic approaches and only using drugs when urgency. The most effective non-pharmacological therapy is behavioral therapy, like sleep hygiene. Sleep hygiene is identification and modification of behavior and environment that affect sleep. As the result, this study aims to assess the correlation between sleep hygiene attitude and the degrees of insomnia on elderly in Geriatric Polyclinic of Sanglah Center General Hospital. This study was a cross sectional analytic with a total of 43 elderly who visited Geriatric Polyclinic of Sanglah Center General Hospital in February 2014. Data obtained by interview using structured questionnaire with identity, attitudes sleep hygiene, degree of insomnia use Insomnia Severity Index questionnaire. This study obtained mean sex, education, and work on each degrees of insomnia in homogeneity. Based on the correlation test, there is a correlation between sleep hygiene attitude and the degrees of insomnia on elderly in Geriatric Polyclinic of Sanglah Center General Hospital on two components, such as dietary factor (p=0.006) and exercise factor (p = 0.010), otherwise there is no correlation between sleep hygiene attitude and the degrees of insomnia on elderly in Geriatric Polyclinic of Sanglah Center General Hospital on two components, such as behavioral factor (p=0.374) and environment factor (p=0.222).

Keywords: sleep hygiene, degrees of insomnia, elderly, Sanglah Center General Hospital

PENDAHULUAN                       adalah kebutuhan tidur yang akan

semakin berkurang seiring dengan

Penuaan merupakan suatu proses

bertambahnya usia. Kebutuhan tidur pada alamiah yang akan dialami oleh setiap

usia dua belas tahun adalah sembilan jam, manusia. Dalam proses ini terjadi

usia dua puluh tahun berkurang menjadi penurunan fisik, psikologis maupun sosial

delapan jam, usia empat puluh tahun kehidupan orang lanjut usia (lansia)

sebanyak tujuh jam, usia enam puluh sehingga dapat menyebabkan

keter antun an ke ada oran lain 1 Salah       tahun sebesar enam setengah jam, dan

usia delapan puluh tahun adalah enam satu perubahan yang terjadi pada lansia

jam. Secara fisiologis pada struktur tidur

lansia, terjadi peningkatan fase terjaga dan penurunan fase tidur mendalam sehingga jumlah tidur lansia menjadi berkurang.2 Kondisi ini cenderung mengakibatkan permasalahan kesehatan secara fisik ataupun kesehatan mental atau jiwa.1,3

Gangguan tidur yang paling sering dialami oleh lansia adalah insomnia.4 Di dunia, angka prevalensi insomnia pada lansia diperkirakan sebesar 13-47% dengan proporsi sekitar 50-70% terjadi pada usia diatas 65 tahun.5,6 Sebuah penelitian Aging Multicenter melaporkan bahwa sebesar 42% dari 9.000 lansia yang berusia diatas 65 tahun mengalami gejala insomnia.6,7 Di Indonesia, angka prevalensi insomnia pada lansia sekitar 67%. Namun sayangnya hanya satu dari delapan penderita insomnia yang diketahui karena mencari pengobatan ke dokter. 1

Insomnia merupakan sebuah gejala dari suatu penyakit tertentu. Etiologinya yang kompleks menyebabkan terdapat beberapa faktor risiko yang berhubungan dengan munculnya insomnia pada lansia. Sebesar 60-75% merupakan insomnia sekunder yang disebabkan oleh gangguan kesehatan fisik, mental, lingkungan, atau penggunaan obat-obatan.5,8 Penelitian

Marcel et al (2009) menyatakan bahwa lansia dengan penyakit yang mendasari, seperti depresi, hipertensi, penyakit jantung atau paru, stroke, diabetes mellitus, atau arthritis memiliki kualitas tidur yang lebih buruk dan durasi tidur yang kurang dibandingkan dengan lansia yang sehat. Sedangkan 25-30% sisanya merupakan insomnia primer yang dipengaruhi oleh gangguan endokrin, neurologi, dan perlaku.9

Sebagian masyarakat, utamanya para lansia belum terlalu mengenal gangguan tidur, khususnya insomnia sehingga jarang mencari pertolongan ke dokter sebab dianggap sebagai keluhan yang tidak terlalu serius.1 Padahal sesungguhnya insomnia akan berpengaruh langsung terhadap penurunan kualitas kehidupan lansia.7-9 Penelitian Tsou (2013) mendapatkan bahwa lansia dengan insomnia mengeluh rasa kantuk yang berlebihan di siang hari sehingga tubuh terasa lemah terutama pada ekstremitas, kelelahan, rasa tidak nyaman, kehilangan nafsu makan, sakit kepala, dan gangguan aktivitas.6 Insomnia juga mempengaruhi fungsi kognitif lansia meliputi gangguan perhatian dan konsentrasi, penurunan kemampuan mengingat, dan kesulitan berorientasi.8

Disamping itu, penelitian Sivertsen (2006) menyatakan bahwa insomnia pada lansia berhubungan dengan penurunan produktivitas dan sosial ekonomi.10 Hal ini menyebabkan kapasitas kerja menurun, ketidakpuasan dalam bekerja, meningkatnya level stress kerja, dan sering absen kerja karena sakit.11

Insomnia juga sering dikaitkan dengan gangguan psikiatri, seperti cemas dan depresi. Penelitian Ohayon et al. (2004) melaporkan bahwa 65% lansia depresi, 61% lansia gangguan panik, dan 44% lansia gangguan cemas menyeluruh mengalami insomnia.12 Selain itu, lansia dengan insomnia akan memiliki kemampuan bereaksi yang lebih lambat dan gangguan keseimbangan yang merupakan faktor risiko terbesar untuk terjatuh. Sebuah penelitian menyatakan bahwa insomnia meningkatkan risiko lansia untuk terjatuh sebesar 2,5-4,5 kali.8 Di Amerika Serikat, insomnia mengakibatkan sekitar 80 juta lansia sering mengalami jatuh atau kecelakaan yang berhubungan pula dengan peningkatan biaya pengobatan dan perawatan, yaitu sebesar 100 juta dolar per tahun.3 Durasi tidur yang kurang dari enam jam atau lebih dari sembilan jam per hari memiliki angka prevalensi

penyakit tidak menular, seperti kanker dan jantung serta kematian yang lebih tinggi dibandingkan durasi tidur tujuh sampai delapam jam per hari.1 Hal tersebut memperlihatkan bahwa insomnia memiliki kecenderungan terhadap peningkatan angka morbiditas dan mortalitas pada lansia.

Selama ini berbagai terapi pengobatan telah dikembangkan untuk membantu para lansia mengatasi keluhannya sehingga meminimalisasi dampaknya terhadap kehidupan. Namun hingga saat ini belum ditemukan suatu terapi pengobatan yang ideal bagi lansia penderita insomnia. Pengobatan farmakologis seperti golongan hipnotik sedatif dapat diberikan berdasarkan indikasi klinis. Namun dalam penggunaan jangka panjang, pengobatan ini tidak dianjurkan sebab memiliki efek samping yang berbahaya. Penelitian Glass et al. (2005) menyatakan bahwa golongan hipnotik sedatif meningkatkan risiko ataxia, gangguan kognitif, dan jatuh pada lansia.13

Melihat fenomena di atas, maka diperlukan metode dalam penatalaksanaan insomnia pada lansia melalui pendekatan terapi nonfarmakologis dan hanya

menggunakan obat-obatan pada saat yang mendesak. Terapi nonfarmakologis yang paling efektif untuk mengatasi insomnia adalah terapi perilaku, yaitu sleep hygiene. Sleep hygiene merupakan identifikasi dan modifikasi perilaku dan lingkungan yang mempengaruhi tidur.7 Penelitian LeBourgeois et al. (2005) menyatakan bahwa sleep hygiene berperan penting terhadap kualitas tidur sehingga kebiasaan tidur menjadi lebih baik.14 Sehubungan hal diatas, penulis tertarik untuk mengetahui hubungan antara sikap sleep hygiene dengan derajat insomnia pada lansia di Poliklinik Geriatri Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sanglah Denpasar.

Permasalahan yang dirumuskan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah hubungan antara sleep hygiene dengan derajat insomnia pada lansia di Poliklinik Geriatri RSUP Sanglah. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara sleep hygiene dengan derajat insomnia pada lansia di Poliklinik Geriatri RSUP Sanglah. Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai peluang untuk memperluas khazanah ilmu pengetahuan, khususnya di bidang ilmu kedokteran dan sebagai studi dasar untuk melakukan penelitian lanjutan mengenai

hubungan sikap sleep hygiene dengan derajat insomnia pada lansia.

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini dilakukan di Poliklinik Geriatri RSUP Sanglah pada bulan Februari 2014. Desain penelitian yang digunakan adalah analitik dengan pendekatan cross-sectional. Populasi pada penelitian ini adalah lansia yang mengunjungi Poliklinik Geriatri RSUP Sanglah dengan perhitungan besar sampel menggunakan rumus sebagai berikut.

2pq

n = jumlah sampel minimal yang diperlukan

= nilai Z untuk α = 95% yaitu 1,96

p = estimasi prevalensi di populasi yaitu 50 % q   = 1-p (0,5)

d   = ketepatan absolut / relatif

yang dipakai 15 %

ij962. 0,5.0,5

H “ ---------7---

0,0225-

π= 43

dari rumus tersebut, didapatkan n = 43 orang.

Kriteria inklusi adalah lansia yang mengunjungi Poliklinik Geriatri RSUP

Sanglah. Kriteria eksklusi adalah lansia yang mengunjungi Poliklinik Geriatri RSUP Sanglah yang menolak diwawancarai dan kesulitan dalam berbicara. Kriteria drop out merupakan lansia yang tidak menjawab pertanyaan wawancara dengan lengkap.

Adapun variabel bebas dalam penelitian ini adalah sikap sleep hygiene yang dilakukan lansia pengunjung Poliklinik Geriatri RSUP Sanglah, sedangkan variabel tergantung adalah derajat insomnia lansia pengunjung Poliklinik Geriatri RSUP Sanglah.

Definisi operasional variabel pada penelitian ini antara lain lansia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, penyakit saat ini, pengobatan saat ini, sikap sleep hygiene, dan derajat insomnia. Lansia merupakan seseorang yang berusia diatas 60 tahun.15 Jenis kelamin adalah identitas lansia berdasarkan kondisi biologis atau fisik, yaitu laki-laki dan perempuan. Pendidikan adalah ijazah sekolah formal terakhir yang dimiliki oleh lansia, yaitu tidak sekolah, tamat SD, SMP, SMA, dan D3/S1.Pekerjaan adalah aktivitas sehari-hari yang dilakukan lansia untuk mendapatkan uang. Penyakit saat ini adalah penyakit yang diderita lansia saat ini yang telah didiagnosis oleh dokter.

Pengobatan saat ini adalah obat yang digunakan untuk mengatasi penyakit saat ini yang diderita lansia. Sikap sleep hygiene adalah sikap yang dapat menyebabkan tidur lansia menjadi lebih nyenyak dengan melalui perubahan perilaku, lingkungan, diet, dan olahraga antara lain:

  • a.    Perilaku

  • 1.    Memiliki jadwal bangun dan tidur yang teratur setiap hari.

  • 2.    Membuat pikiran dan tubuh menjadi tenang dan relaks.

  • 3.    Berada tempat tidur hanya saat tidur dan mengantuk.

  • 4.    Tidur siang kurang dari 30 menit.2,16

  • b.    Lingkungan

  • 1.    Tidur dengan pencahayaan gelap.

  • 2.    Temperatur kamar tidur nyaman.

  • 3.    Menghindari suara ribut.

  • 4.    Membersihkan kamar tidur secara teratur.2,16

  • c.    Diet

  • 1.    Makan secara teratur setiap hari.

  • 2.    Tidak makan terlalu banyak sebelum tidur.

  • 3.    Tidak minum kopi atau kafein sebelum tidur.

  • 4.    Tidak minum alkohol sebelum tidur.

  • 5.    Tidak merokok sebelum tidur.2

  • d.    Olahraga

Berolahraga secara teratur selama 2030 menit sebanyak 3-4 kali seminggu.2,16

Derajat insomnia dapat dibedakan menjadi tidak mengalami insomnia, ringan, sedang, dan berat. Derajat ini ditentukan berdasarkan skor yang diperoleh setelah pengisian kuesioner dan disesuaikan dengan kriteria diagnosis insomnia. Kuisioner ini didasarkan pada Insomnia Severity Index. Hal-hal yang diteliti antara lain: kesulitan memulai tidur, kesulitan mempertahankan tidur, bangun tidur terlalu awal atau dini, kepuasan terhadap pola tidur sekarang, pandangan orang sekitar terhadap gangguan tidur yang mempengaruhi kualitas hidup, kecemasan, dan pengaruhnya terhadap aktivitas sehari-hari.17

Pada penelitian ini, jenis data yang diuji adalah data primer yang diperoleh melalui kuesioner terstruktur dengan tiga bagian, yaitu identitas, sikap sleep hygiene lansia, derajat insomnia dengan menggunakan kuesioner Insomnia Severity Index dimana setiap jawaban akan diberi nilai 0 sampai 4 kemudian hasilnya dikatagorikan ke dalam 4

katagori yaitu tidak mengalami insomnia (skor 0-7), mengalami insomnia ringan (skor 8-14), mengalami insomnia sedang (skor 15-21), dan mengalami insomnia berat (skor 22-28).17

Hipotesis pada penelitian ini adalah H1: ada hubungan antara sikap sleep hygiene dengan derajat insomnia pada lansia di Poliklinik Geriatri RSUP Sanglah, sedangkan Ho: tidak ada hubungan antara sikap sleep hygiene dengan derajat insomnia pada lansia di Poliklinik Geriatri RSUP Sanglah.

Alur pada penelitian ini adalah diawali dengan input berupa data kuisioner dari hasil wawancara. Data tersebut selanjutnya diproses dan dianalisis statistik dengan menggunakan program SPSS 17.0. Output yang dihasilkan berupa hasil uji korelasi antara sikap sleep hygiene dengan derajat insomnia pada lansia di Poliklinik Geriatri RSUP Sanglah. Beberapa uji statistic yang dugunakan, antara lain: karakteristik sampel disajikan secara deskriptif dengan menggunakan tabel dan narasi, uji One Sample Kolmogorov-Smirnov untuk mengetahui normalitas data dan Levene’s Test untuk uji homogenitas data, dan uji korelasi dengan menggunakan Uji Spearman.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dalam penelitian ini terdapat 43 sampel penelitian, yaitu lansia yang berkunjung ke Poliklinik Geriatri RSUP Sanglah pada bulan Februari 2014.

Pada penelitian ini dilakukan uji normalitas data dengan uji Kolmogorov-Smirnov dan uji homogenitas data dengan Levene’s Test terhadap variabel jenis kelamin, pendidikan, dan pekerjaan. Hasil

variabel jenis kelamin, pendidikan, dan pekerjaan berdistribusi normal (p>0,05) dan homogen (p>0,05), sedangkan untuk membandingkan nilai rerata masing-masing variabel digunakan uji One-Way Anova. Tabel 1 menunjukkan bahwa pada masing-masing derajat insomnia tidak memiliki perbedaan pada variabel jenis kelamin, pendidikan, dan pekerjaan, dengan nilai p>0,05.

analisis menunjukkan bahwa data pada

Tabel 1

Distribusi Jenis Kelamin, Pendidikan, dan Pekerjaan Lansia pada Masing-Masing Derajat Insomnia

Variabel

Derajat Insomnia

p

Tidak Insomnia (n=9) rerata±2SD

Insomnia Ringan (n=24) rerata±2SD

Insomnia Sedang (n=10) rerata±2SD

Jenis Kelamin

1,67±0,50

1,46±0,50

1,50±0,52

0,564

Pendidikan

4,33±1,00

3,71±1,08

4,00±1,63

0,037

Pekerjaan

1,56±1,13

2,17±1,12

2,30±1,25

0,393

Dari penelitian ini didapatkan sebanyak 9 dari 43 (20,9%) lansia tidak mengalami insomnia, 24 dari 43 (55,8%) lansia mengalami insomnia ringan, dan 10 dari 43 (23,3%) lansia mengalami insomnia sedang. Sedangkan pada insomnia berat tidak ditemukan satu pun

lansia yang menderita derajat insomnia tersebut.

Pada penelitian ini rerata jenis kelamin pada kelompok tidak insomnia adalah 1,67±0,50, insomnia ringan adalah 1,46±0,50, dan insomnia sedang adalah 1,50±0,52. Secara keseluruhan lansia berjenis kelamin wanita lebih

mendominasi pada masing-masing derajat insomnia. Penelitian ini sesuai dengan penelitian studi cohort yang dilakukan oleh Foley et al. (2004) di Amerika Serikat dalam follow up selama tiga tahun ditemukan bahwa perbandingan wanita dan pria lansia yang mengalami insomnia sebesar 25%:20%, 31%:21%, dan 36%:29%.18 Hal serupa juga diperoleh Tsou (2013) dalam penelitiannya di Taiwan Utara mendapatkan bahwa wanita lansia lebih rentan mengalami insomnia dibandingkan pria dengan proporsi 63,3% dan 36,7%.6 Begitu pula penelitian Wiyono et al (2010) di Panti Wredha Dharma Bhakti Surakarta mendapatkan bahwa frekuensi wanita lansia yang mengalami insomnia adalah sebesar 70%.19

Insomnia yang terjadi sebagian besar pada kalangan wanita lansia ini dikarenakan kelompok ini lebih rentan mengalami kecemasan dan stress yang akan mengganggu tidurnya. Salah satu penyebabnya adalah karakteristik wanita yang lebih sensitif, seperti pada siklus reproduksi dan menopause. Wanita menopause mengalami penurunan produksi hormon estrogen oleh ovarium yang dapat mempengaruhi kondisi psikologisnya dimana terjadi perubahan

suasana hati menjadi lebih emosional, cemas, dan gelisah yang dapat mengakibatkan gangguan tidur.20,21 Di samping itu, menurut Hidayat (2012) rasa cemas akan meningkatkan kadar norepinephrin dalam darah melalui stimulasi sistem saraf simpatis. Keadaan ini mengakibatkan meningkatnya fase terjaga dan berpengaruh terhadap perubahan irama sirkadian dan pola tidur.22 Di sisi lain, kecemasan yang merupakan salah satu pencetus insomnia ini dipengaruhi pula oleh faktor kognitif. Wanita memiliki kecenderungan melihat sesuatu hal dengan mendetail, sedangkan pria melihat sesuatu hal dengan menyeluruh atau tidak mendetail. Seseorang yang melihat sesuatu lebih mendetail akan lebih mudah merasa cemas karena pemikirannya yang komplek.23

Pada penelitian ini rerata pendidikan pada kelompok tidak insomnia adalah 4,22±1,56, insomnia ringan adalah 3,58±1,31, dan insomnia sedang adalah 4,00±1,63. Secara keseluruhan, lansia berpendidikan lebih tinggi yang lebih banyak terlihat pada masing-masing derajat insomnia. Penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Tsou (2013) di Taiwan Utara diperoleh

bahwa lansia tamatan SMA dan Universitas ke atas yang banyak mengalami insomnia yaitu sebesar 26,1% dan 20,2%.6 Hal serupa juga didapatkan dalam penelitian Dewi (2010) bahwa lansia berpendidikan lebih tinggi berisiko mengalami insomnia akut daripada lansia berpendidikan rendah.24

Lansia berpendidikan tinggi yang sudah tidak bekerja atau pensiun dan tidak memiliki kesibukan akan cepat merasa bosan yang mengakibatkan terjadinya kecemasan sehingga akhirnya sulit tidur atau insomnia. Hal tersebut terjadi karena lansia sudah terbiasa untuk beraktivitas dan bekerja setiap harinya untuk mencari nafkah dan akan merasa cepat bosan apabila kesehariannya tidak diisi dengan aktivitas.

Pada penelitian ini rerata pekerjaan pada kelompok tidak insomnia adalah 1,56±1,13, insomnia ringan adalah 2,17±1,12, dan insomnia sedang adalah

2,30±1,25. Secara keseluruhan terlihat bahwa lansia yang bekerja sebagai wiraswasta lebih banyak mendominasi pada masing-masing derajat insomnia. Penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Dewi (2010) diperoleh bahwa lansia pekerja yang menderita insomnia kronis sebesar 56,4%. Lansia yang bekerja ini memiliki risiko sebesar 0,58 kali lebih besar untuk menderita insomnia dibandingkan dengan lansia yang tidak bekerja. Lansia akan merasakan kelelahan, baik secara fisik maupun mental sehabis bekerja sehingga waktu istirahat yang dibutuhkan untuk mengembalikan energi dan stamina menjadi lebih lama. Kelelahan tersebut dapat pula menyebabkan lansia menjadi susah jatuh tertidur akibat beban fisik 24

ataupun mentalnya.

Tabel 2

Uji Korelasi antara Sikap Sleep Hygiene dengan Derajat Insomnia pada Lansia di Poliklinik Geriatri RSUP Sanglah


Korelasi

R

P

Derajat Insomnia-Perilaku

0,139

0,374

Derajat Insomnia-Lingkungan

0,190

0,222

Derajat Insomnia-Diet

0,413

0,006

Derajat Insomnia-Olahraga

0,389

0,010


Penilaian terhadap hubungan antara sikap sleep hygiene dengan derajat insomnia pada lansia di Poliklinik Geriatri RSUP Sanglah dilakukan dengan menggunakan uji korelasi Spearman. Hasil analisis tersebut disajikan dalam Tabel 2 yang menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara faktor perilaku dan lingkungan lansia dengan derajat insomnia (p>0,05), sedangkan terdapat hubungan antara faktor diet dan olahraga lansia dengan derajat insomnia (p<0,05).

Setelah dilakukan analisis statistik, maka tidak diperoleh adanya hubungan antara faktor perilaku dengan derajat insomnia dengan nilai p = 0,374 (p>0,05). Penelitian ini didukung oleh Ancoli-Israel et al. (2006) yang menyatakan bahwa tidur siang dengan rata-rata selama 81 menit, tidak berpengaruh negatif terhadap tidur malam hari tetapi berpengaruh terhadap peningkatan total waktu tidur dalam sehari dan meningkatkan kemampuan kognitif dan psikomotor setelah tidur siang dan hari berikutnya. Disamping itu, tidak ditemukan pula adanya perbedaan jumlah waktu dan kualitas tidur malam hari pada seseorang yang memiliki kebiasaan tidur siang dibandingkan dengan seseorang yang tidak terbiasa untuk tidur siang.26

Hasil yang berbeda didapatkan dalam penelitan Tamaki et al dalam Ancoli-Israel et al (2006) menyatakan bahwa tidur siang yang kurang dari 30 menit dapat membuat suasana perasaan menjadi lebih menyenangkan dan menyegarkan.26 Waktu tidur siang yang berlebihan memiliki hubungan dengan terjadinya gejala insomnia, sleep inertia (rasa lelah sejenak), rasa kantuk berlebihan, fragmentasi tidur, kualitas tidur buruk, gangguan irama sirkardian, dan dementia.2,16

Selain itu, penelitian berbeda lainnya ialah penelitian Erliana et al (2009) pada sebuah Panti Werdha di Bandung memperoleh bahwa membuat pikiran dan tubuh menjadi tenang dan relaks memiliki hubungan yang signifikan dengan derajat insomnia pada lansia. Terjadi penurunan derajat insomnia setelah dilakukan relaksasi otot progresif selama 30 menit dalam sehari selama seminggu. Terjadi perubahan pada sistem saraf otonom setelah dilakukan relaksasi otot progresif ini, seperti berkurangnya kebutuhan oksigen, denyut nadi, frekuensi nafas, ketegangan otot, tekanan darah, dan perubahan gelombang otak menjadi alfa sehingga timbul keadaan rileks dan tenang serta mampu memudahkan dalam

proses tidur. Relaksasi otot progresif juga menyebabkan pelepasan neurotransmitter serotonin dan endorphin yang membuat seseorang merasa nyaman dan senang.4

Hasil penelitian lain yang juga tidak mendukung hasil penelitian ini didapatkan oleh Drake et al. (2004) yang menyatakan bahwa sistem kerja shift berhubungan secara signifikan dengan gejala-gejala insomnia.27 Ketidakteraturan akan mempengaruhi irama sirkardian tubuh yang menyebabkan insomnia, seperti pada pekerja dengan sistem shift atau pada orang bepergian yang melewati zona waktu berbeda. Tubuh akan sulit beradaptasi dengan perubahan lingkungan yang cepat sehingga mengakibatkan terjadinya gangguan homeostatis. Disamping itu, perlu dilakukan pembatasan waktu di tempat tidur dengan berada di tempat tidur hanya apabila mengantuk dan tidur saja. Hal ini menyebabkan otak akan mengenali tempat tidur hanya sebagai tempat untuk relaks dan tidur.2,16

Hasil penelitian ini tidak menemukan adanya hubungan faktor perilaku dengan derajat insomnia diduga karena perilaku sleep hygiene lansia yang salah akan susah untuk diubah sebab perilaku tersebut sudah menjadi kebiasaan lansia

sehari-hari yang dianggap benar. Disamping itu, karena kemampuan berpikir lansia yang telah mengalami penurunan sehingga akan cukup sulit untuk mengingat hal-hal baru, begitu pula sulit untuk kepatuhan dalam mengubah kebiasaannya.

Untuk faktor lingkungan, pada penelitian ini tidak ditemukan adanya hubungan antara faktor lingkungan dengan derajat insomnia dengan nilai p = 0,222 (p>0,05). Hal yang berbeda diperoleh dalam penelitian Dewi (2010) diperoleh bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara pengaruh lingkungan, yaitu pencahayaan dan kebisingan dengan insomnia.24 Pencahayaan yang gelap dan tingkat kebisingan yang rendah dapat mempermudah lansia dalam proses tidur. Temperatur kamar tidur dan kebersihan kamar tidur dapat berpengaruh pula terhadap kondisi tidur.2,16

Pada penelitian ini tidak ditemukannya hubungan antara faktor lingkungan dengan derajat insomnia, hal ini kemungkinan disebabkan karena lansia memiliki kebiasaan yang berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya. Penelitian yang dilakukan oleh Kozier et al (2011) menyatakan bahwa faktor lingkungan dapat berperan sebagai

pendukung maupun penghambat proses tidur.25 Sebagian lansia menyukai cahaya gelap dan sebagian lainnya lebih suka dengan cahaya remang-remang maupun cahaya terang selama tidur.24 Di satu sisi, terdapat orang yang terbiasa tidur dengan pencahayaan gelap atau meminimalisasi suara, seperti dengan mematikan televisi agar lebih tenang. Namun di sisi lain, dijumpai kebiasaan orang tidur dengan pencahayaan terang atau tidak meminimalisasi suara, seperti dengan menghidupkan televisi agar suasana tidak terasa terlalu sunyi. Berdasarkan fenomena tersebut, dapat dilihat bahwa dengan adanya stimulus ataupun tidak adanya stimulus dapat mempengaruhi proses tidur seseorang. Seiring berjalannya waktu, orang tersebut mampu menyesuaikan diri atau beradaptasi dan tidak terlalu terpengaruh dengan kondisi lingkungan tidurnya.

Sebaliknya berdasarkan uji statistik, diperoleh bahwa adanya hubungan antara faktor diet terhadap derajat insomnia dengan nilai p = 0,006 (p<0,05). Penelitian Subedi (2010) di Nepal mendapatkan hasil yang serupa dengan penelitian ini. Sebagian besar lansia yang memiliki kebiasaan minum kopi, alkohol, merokok, dan makan berdekatan dengan

waktu tidur yang berhubungan secara signifikan dengan terjadinya insomnia.11

Minum kopi dalam 6-8 jam sebelum tidur dapat mengganggu pola tidur sebab kafein menghambat pelepasan adenosin dan meningkatkan pelepasan serotonin, dopamin, epinefrin, dan norepinefrin sehingga fase terjaga meningkat dan terjadi insomnia.28 Minum alkohol dalam 3-5 jam sebelum tidur menyebabkan timbulnya depresi atau penekanan pada aktivitas fungsional sistem saraf pusat. Penurunan aktivitas fungsional sistem saraf pusat ini mengakibatkan menurunnya beberapa fungsi organ, seperti pusat kesadaran, nyeri, nadi, dan pernapasan serta mengganggu pola tidur. Merokok sebelum tidur menyebabkan insomnia karena nikotin berefek menstimulasi neuron serotoninergic di otak sehingga kadarnya meningkat dibanding normal yang meningkatkan fase terjaga dan sulit tidur. Pada keadaan normal, neuron serotoninergic banyak terdapat pada keadaan terjaga kemudian menurun pada stadium tidur Non Rapid Eye Movement (NREM) dan akhirnya kadarnya menjadi sedikit pada stadium tidur Rapid Eye Movement (REM). Makan secara tidak teratur dan makan terlalu banyak sebelum tidur

menyebabkan tubuh mengeluarkan energi lebih besar dan waktu lebih lama dalam mencerna makanan malam sehingga tubuh terasa tidak nyaman, terus terjaga dan sulit tidur.

Begitu pula untuk faktor olahraga yang memiliki hubungan dengan derajat insomnia dengan nilai p = 0,010 (p<0,05). Penelitian ini memperoleh hasil yang serupa dengan penelitian yang dilakukan oleh Landers (2004) dimana dengan menggerakan tubuh hanya selama 10 menit setiap hari dapat meningkatkan kesehatan mental. Disamping itu, olahraga dapat mempertajam kemampuan dan kekuatan otak. Olahraga meningkatkan pompa darah yang kaya oksigen ke seluruh tubuh sehingga respon fisik dan mental meningkat pula.29 Hal yang sama juga ditemukan oleh Sumedi et al. (2010) di sebuah Panti Wredha Dewanata Cilacap dimana didapatkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara senam bugar lansia yang dilakukan secara teratur tiga kali dalam seminggu terhadap penurunan skala insomnia.30

Olahraga menimbulkan rasa santai dan relaks tubuh dari ketegangan otot dan aktivasi saraf simpatis yang terjadi akibat peningkatan kecemasan atau stress yang menyebabkan gangguan tidur. Dengan

olahraga, pikiran menjadi lebih jernih dan tenang, lebih mudah berkonsentrasi serta hidup terasa lebih menyenangkan karena terjadi peningkatan pelepasan neurotransmitter otak seperti serotonin, endorphin, adrenalin, dan dopamin. Diharapkan pula dengan kelelahan akibat olahraga, mempermudah lansia untuk jatuh tertidur.30

SIMPULAN DAN SARAN

Adapun simpulan pada penelitian ini adalah terdapat hubungan antara sikap sleep hygiene dengan derajat insomnia pada lansia di Poliklinik Geriatri RSUP Sanglah pada dua komponen sleep hygiene, yaitu faktor diet dan olahraga, sedangkan tidak terdapat hubungan antara sikap sleep hygiene dengan derajat insomnia pada lansia di Poliklinik Geriatri RSUP Sanglah pada dua komponen sleep hygiene lainnya, yaitu faktor perilaku dan lingkungan.

Beberapa rekomendasi yang diajukan oleh penulis melalui penelitian ini, antara lain:

  • 1.    Oleh karena penelitian ini menilai hubungan antara sikap sleep hygiene dengan derajat insomnia pada lansia, maka diperlukan pula penelitian lebih lanjut mengenai hubungan faktor

risiko lainnya, seperti gangguan fisik atau psikologis dan sebagainya yang mempengaruhi derajat atau tingkat keparahan insomnia.

  • 2.    Bagi lansia agar mengaplikasikan sikap sleep hygiene agar terhindar dari gangguan tidur atau insomnia yang dapat berdampak terhadap kualitas hidupnya.

  • 3.    Bagi panti wredha agar memberikan penyuluhan dan pengarahan kepada lansia yang ditinggal disana untuk menerapkan sikap sleep hygiene.

DAFTAR PUSTAKA

  • 1.    Anwar,     Zainul.     Penanganan

Gangguan Tidur pada Lansia. Fakultas    Psikologi    Universitas

Muhammadiyah Malang. 2010

  • 2.    Prayitno, A. Gangguan Pola Tidur pada Kelompok Usia Lanjut dan Penatalaksanaannya.          Jurnal

Kedoktean Trisakti Jan-April 2004. Vol.21 No.1:23-30

  • 3.    Kurniawan, Tommy. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Gangguan Tidur (Insomnia) pada Lansia di Panti Tresna Werdha Kabupaten Magetan. Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Ponorogo. 2012

  • 4.    Erliana E, Haroen H, Susanti RD. Perbedaan Tingkat Insomnia Lansia Sebelum dan Sesudah Latihan Relaksasi Otot Progresif (Progressive Muscle Relaxation) di BPSTW Ciparay Bandung. 2009.

  • 5.    Doghramji, Karl. The Epidemiology and Diagnosis of Insomnia. The American Journal of Managed Care. Vol. 12, No. 8, Sup. S214-S220. 2006

  • 6.    Tsou, MT. Prevalence and Risk Factors For Insomnia in CommunityDwelling Elderly in Northern Taiwan. Journal of Clinical Gerontology & Geriatrics 4. 2013: 75-79

  • 7.    Roepke SK & Ancoli-Israel S. Sleep Disorders in The Elderly. Indian Journal Medical Research 131 February 2010: 302-310

  • 8.    Galimi, R. Insomnia in The Elderly: An Update and Future Challenges. Società Italiana di Gerontologia e Geriatria (G Gerontol) 2010. 58:231247

  • 9.    Marcel, Gaharu M, Lumempouw SF. Gangguan Tidur pada Usia Lanjut. [cited: 2013 December 20]. Available from

http://www.perdossi.or.id/show_file. html?id=146

  • 10.    Sivertsen, B. Insomnia in Older Adults, Consequences, Assessment And Treatment. Dissertation For The Degree of Philosophiae Doctor (PhD). University of Bergen, Norway. 2006.

  • 11.    Subedi, RK. Prevalence of Insomnia and Factors Associated with It Among The Elderly People of Sarangdanda VDC in Panchthar District. Dhaulagiri Journal of Sociology and Anthropology Vol. 4, 2010:129-142

  • 12.    Ohayon MM, Roth T. What are The Contributing Factors For Insomnia in The General Population? Journal Psychosomatic           Research

2004:51:745-55.

  • 13.    Glass J, Lanctot KL, Herrmann N, Sproule BA, Busto UE. Sedative Hypnotics in Older People with Insomnia: Meta-Analysis of Risks and Benefits. British Medical Journal:331:1169. 2005

  • 14.    LeBourgeois MK, Giannotti F, Cortesi F, R Amy, Wolfson, John and American Adolescents. The Relationship Between Reported Sleep Quality and Sleep Hygiene in

Italian and American Adolescents Pediatrics 2005:115:257

  • 15.    Saragih, Robinson W. Perenungan dalam Bulan Lanjut Usia Tahun 2012. Widyaiswara Kementerian Sosial RI. [cited: 2013 December 20].                       Available

fromhttp://www.kemsos.go.id/modul es.php?name=Content&pa=showpag e&pid=111

  • 16.    Nami, Torabi. Sleep Hygiene The Gateway for Efficient Sleep: A Brief Review.    2011. [cited:    2013

December 20]. Available from http://www.webmedcentral.com

  • 17.    American Thoracic Society (ATS). Insomnia Severity Index (ISI). 2013. [cited: 2013 December 20]. Available from http://www.thoracic.org/assemblies/s rn/questionaires/isi.php

  • 18.    Foley DJ, Monjan A, Simonsick EM, Wallace RB, Blazer DG. Incidence and Remission of Insomnia Among Elderly Adults: An Epidemiologic Study of 6,800 Persons Over Three Years. Sleep;22(Suppl.2):S366-72. 2004.

  • 19.    Wiyono W, Widodo A. Hubungan antara Tingkat Kecemasan dengan Kecenderungan Insomnia pada

Lansia di Panti Wredha Dharma Bhakti Surakarta. FIK UMS. 2010

  • 20.    Kahn DA, Moline ML, Ross RW, Altshuler LL, Cohen LS. Depression During The Transition to Menopause: A Guide for Patients and Families. American Menopause Foundation, Inc. (Amf) and North American Menopause Society. 2010.

  • 21.    Simon H. Menopause. University of Maryland Medical Center. 2013. [cited: 2014 February 20]. Available from

https://umm.edu/health/medical/repor ts/articles/menopause

  • 22.    Hidayat BUA. 2012. Hubungan antara Stress dan Insomnia. Semarang: Universitas Diponegoro

  • 23.    Noor SR. Tetap Bergairah Memasuki Usia Menopause: Sebuah Tinjauan Psikologis. Fakultas Psikologi Uiversitas Gajah Mada. 2006.

  • 24.    Dewi MP. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Insomnia pada Lansia yang Dirawat di Lantai IV Perawatan Umum RSPAD Gatot Soebroto Jakarta. Universitas Keperawatan Universitas Indonesia Depok, 2010.

29. Landers D, Petruzzello, Salazar W. Exercuse And Anxiety Reduction:

Pembangunan Nasional Veteran. 2010

  • 25.    Kozier, B. Buku Ajar Fundamental Keperawatan (Konsep, Proses, dan Praktik). Jakarta: EGC. 2011

  • 26.    Ancoli-Israel S; Martin JL. Insomnia and Daytime Napping in Older Adults. J Clin Sleep Med;2(3):333-342. 2006

  • 27.    Drake CL, Roehrs T, Richardson G, Walsh JK, Roth T. Shift Work Sleep Disorder:      Prevalence and

Consequences Beyond That of Symptomatic Day Workers. SLEEP, Vol. 27, No. 8, 2004

  • 28.    Rosdiana, Ida. Analisis Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Insomnia pada Pasien Gagal Ginjal Kronik yang Menjalani Hemodialisis di Rumah Sakit Umum Daerah Kota Tasikmalaya dan Garut. Tesis: Program Pascasarjana Fakultas Ilmu

Examination of Temperature as an Explanation Effective Change, Journal of Exercise and Sport Psychology. 2004

30. Sumedi T, Wahyudi, Kuswati A. Pengaruh Senam Lansia Terhadap Penurunan Skala Insomnia pada Lansia di Panti Wredha Dewanata

Cilacap. Jurnal Keperawatan Soedirman Volume 5, No.1, Maret 2010

18