TEKNIK OPERASI DUA TAHAP PADA KASUS PENYAKIT HIRSCHSPRUNG DIAGNOSIS TERLAMBAT DI RSUP SANGLAH:

STUDI DESKRIPTIF TAHUN 2010-2012

Putu Dewi Octavia1 dan I Made Darmajaya2

1Jurusan Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana 2SMF Bedah RSUP Sanglah

ABSTRAK

Latar Belakang: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana diagnosis tertunda pada pasien Hirschsprung di RSUP Sanglah serta masing-masing proporsi teknik operasi dua tahap pada pasien Hirschsprung diagnosis tertunda dihitung dari tahun 2010 sampai 2012.

Metode: Penelitian ini merupakan potong lintang deskriptif dengan data yang digunakan bersumber dari data sekunder yang diperoleh dari hasil pencatatan pasien penyakit Hirschsprung di RSUP Sanglah tahun 2010 sampai 2012.

Hasil: Dari 102 kasus Hirschsprung pada tahun 2010 sampai 2012, 76 pasien dilakukan penanganan dengan teknik operasi dua tahap. Proporsi penanganan pasien Hirschsprung masing-masing tahun didominasi dengan teknik operasi dua tahap. Teknik operasi dua tahap yang digunakan paling banyak adalah Duhamel Stapler.

Kesimpulan: Pasien Hrischsprung dengan diagnosis tertunda memiliki proporsi lebih banyak dibandingkan Hirschsprung diagnosis dini. Teknik operasi dua tahap lebih banyak dikerjakan mengikuti diagnosis penyakit Hirschsprung diagnosis terlambat.

Kata kunci: penyakit Hirschsprung, teknik operasi dua tahap, diagnosis tertunda, Duhamel, kolostomi

TWO STEPS OPERATION TECHNIQUE ON LATE DIAGNOSED HIRSCHPRUNG DISEASE AT SANGLAH HOSPITAL: A DESCRIPTIVE STUDY ON 2010-2012

ABSTRACT

Background: To know how the diagnosis of late diagnosed Hirschsprung Disease in General Hospital Sanglah and each two-stage surgery technique proportion in late diagnosed Hirschsprung Disease from 2010 to 2012.

Method: This study use cross-sectional descriptive with data from secondary data obtained from Hirschsprung Disease patient records in Sanglah General Hospital from 2010 to 2012.

Result: From 102 Hirschsprung case from 2010 to 2012, 76 patients were managed by two-staged surgery technique. The proportion of Hirschsprung Disease in each year is dominated by two-staged surgery technique. The most common choice of two-staged surgery technique is Duhamel Stapler.

Conclusion: Patients Hirschsprung Disease with late diagnosed Hirschsprung Disease have more proportion compared to early diagnosed Hirschsprung Disease. Two-staged

surgery technique is more frequently done following the diagnosis of late diagnosed Hirschsprung Disease.

Keywords: Hirschsprung disease, two stage surgery technique, late diagnosis,


Duhamel, colostomy

PENDAHULUAN

Penyakit Hirschsprung merupakan penyakit yang disebabkan oleh karena ketiadaan saraf enterik didalam pleksus myenterik dan submukosal rektum dan kolon1. Keadaan ini menyebabkan kondisi migrasi materi usus yang tertahan sehingga dihasilkan segmen aganglionik. Hirschsprung merupakan kondisi kongenital yang didapat setelah lahir atau neonatus yang biasanya ditandai dengan keterlambatan pengeluaran meconium lebih dari 24 jam1,2.

Angka kejadian penyakit Hirschsprung mendekati 1 per 5000 kelahiran, dimana kematian seluruhnya disebabkan oleh komplikasi enterocolitis 25-30%2. Penyakit ini biasanya terdeteksi pada saat bayi lahir namun tidak jarang muncul secara persisten dan nantinya menyebabkan konstipasi yang berat. Diagnosis dini sangat penting mengingat komplikasi sangat berpeluang untuk menyebabkan kematian3. Manajemen penyakit Hirschsprung dimulai dengan diagnosis, biasanya menggunakan biopsi rektal. Sebelumnya teknik awal yang digunakan adalah diverting colostomy pada saat diagnosis. Pada saat kondisi anak tersebut sudah stabil dan mencukupi, operasi definitif pun dikerjakan4.

Teknik operasi terkini yang banyak digunakan adalah prosedur pull through primer tanpa diverting colostomy sudah banyak dikerjakan. Teknik operasi yang digunakan secara bertahap mengalami perubahan dari prosedur tiga tahap menjadi hanya satu tahap. Teknik satu

tahap yang banyak digunakan adalah operasi transanal endorectal. Pasien pun mendapat beberapa keuntungan dari teknik ini dari segi biaya dan lama rawat yang lebih murah, serta komplikasi pasca operasi yang lebih sedikit dibandingkan teknik sebelumnya5.

Akan tetapi untuk beberapa kasus terdapat kontraindikasi terhadap penggunaan teknik operasi satu tahap ini, seperti misalnya usus proksimal yang berdilasi secara massif, adanya perforasi enterocolitis yang berat, malnutrisi, dan ketidakmampuan secara akurat untuk menentukan daerah transisi dengan menggunakan frozen section4. Demikian halnya juga dengan Rumah Sakit Sanglah dimana sudah menggunakan teknik operasi satu tahap untuk penanganan Hirschsprung, namun juga masih menggunakan teknik operasi dua tahap pada kasus-kasus yang memang tidak dapat untuk dilakukan teknik operasi satu tahap.

Dengan adanya hal tersebut yang melatarbelakangi, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaiamana diagnosis tertunda pada pasien Hirschsprung di RS Sanglah tahun 2010 sampai 2012 dan bagaimana proporsi dan jenis masing-masing teknik operasi dua tahap yang masih digunakan di RS Sanglah untuk penanganan penyakit Hirschsprung yang tertunda dari tahun 2010-2012.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini adalah potong lintang (cross sectional) deskriptif. Sumber

data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dari hasil pencatatan pasien penyakit Hirschsprung yang datang ke RSUP Sanglah pada tahun 2010-2012 baik yang dilakukan teknik operasi dua tahap maupun teknik operasi satu tahap. Jenis data yang diperoleh berupa data sekunder yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah studi dokumentasi, yaitu dengan mengumpulkan data dan informasi dari buku- buku, internet, dan skripsi yang telah teruji validitasnya, berhubungan satu sama lain, relevan dengan topik permasalahan yang dibahas dan berkaitan dengan penelitian serta mendukung uraian dan analisis masalah. Pengumpulan data dilaksanakan di RS Sanglah pada tanggal 18-20 November 2013 di bagian SMF Bedah RSUP Sanglah FK UNUD. Setelah data yang diperlukan terkumpul, dilakukan pengolahan data dengan menyusun secara sistematis dan logis. Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis deskriptif argumentatif. Setelah proses analisis rumusan masalah, tujuan penelitian, dan pembahasan dihubungkan untuk menarik kesimpulan umum dan beberapa rekomendasi sebagai transfer gagasan.

HASIL

  • 1.    Diagnosis terlambat pada pasien Hirschsprung di RSUP Sanglah

Pasien terbanyak yang datang ke RSUP Sanglah dilakukan prosedur dengan teknik 2 tahap. Dari data yang ada didapatkan bahwa usia pasien terdiagnosis untuk teknik operasi 2 tahap ini adalah minimal 1 bulan 10 hari pada tahun 2011 dan maksimal 13 tahun pada tahun 2012. Ini menunjukan bahwa kasus penyakit Hirschsprung yang datang ke RS Sanglah dengan

teknik operasi 2 tahap sebagian besar terdiagnosis terlambat (Late Diagnosis Hirschsprung).

Tabel 1. Usia minimal dan maksimal kasus Penyakit Hirschsprung dengan teknik 2 tahap dari tahun 2010-2012 di RSUP Sanglah

Teknik

Operasi

Tahun 2010

Tahun 2011

Tahun 2012

Usia

Minimal

3 bulan

40 hari

4 bulan

Usia

Maksimal

10 tahun

10 tahun

13 tahun

  • 2.    Proporsi dan Jenis Masing-Masing Teknik Operasi Dua Tahap Yang Masih Digunakan Di RSUP Sanglah Untuk Penanganan Penyakit Hirschsprung Diagnosis Terlambat

Dari data yang didapat dari tahun 2010 sampai 2012, terdapat total 102 pasien penyakit Hirschsprung yang datang ke Rumah Sakit Sanglah. Pasien yang datang sebanyak 76 kasus dilakukan tindakan 2 tahap operasi yaitu dengan kolostomi dan selanjutnya dilakukan teknik operasi kedua atau ketiga seperti Duhamel Stapler, Duhamel Adang, Soave, Potong Stump/Septum, dan Myektomi Posterior.

Tabel 2. Proporsi Pasien dengan Tindakan Operasi 1 Tahap dan 2 Tahap dari tahun 2010-2012 di RS Sanglah

Jenis Tindakan Operasi

Jumlah

Persentase

1 Tahap (Transanal)

36

35.2%

2 Tahap

(Kolostomi+Teknik Lain)

76

74.5%

Total

102

100%

Data pasien penyakit Hirschsprung yang datang pada tahun 2010 tercatat total 36 pasien, 26 pasien dilakukan tindakan operasi 2 tahap, dan sisanya dengan teknik transanal.

Tabel 3. Proporsi Jumlah Pasien dengan Tindakan Operasi 1 Tahap dan 2

Tahap tahun 2010 di RS Sanglah

Jenis Tindakan Operasi

Jumlah

Persentase

1 Tahap (Transanal)

10

27.7%

2 Tahap

(Kolostomi+Teknik Lain)

26

72.2%

Total

36

100%

Data pasien penyakit Hirschsprung yang datang pada tahun 2011 tercatat total 38 pasien, 22 pasien dilakukan tindakan operasi 2 tahap, dan sisanya dengan teknik transanal.

Tabel 4. Proporsi Jumlah Pasien dengan Tindakan Operasi 1 Tahap dan 2

Tahap tahun 2011 di RS Sanglah

Jenis Tindakan Operasi

Jumlah

Persentase

1 Tahap (Transanal)

16

42.1%

2 Tahap (Kolostomi+Tekni

k Lain)

22

57.8%

Total

38

100%

Data pasien penyakit Hirschsprung yang datang pada tahun 2012 tercatat total 38 pasien, 28 pasien dilakukan tindakan operasi 2 tahap, dan sisanya dengan teknik transanal.

Tabel 5. Proporsi Jumlah Pasien dengan Tindakan Operasi 1 Tahap dan 2 Tahap tahun 2012 di RS Sanglah

Jenis Tindakan Jumlah Persentase Operasi

1 Tahap (Transanal)

10

26.3%

2 Tahap

(Kolostomi+Teknik Lain)

28

73.6%

Total

38

100%

Dari data penyakit Hirschsprung masing-masing tahun 2010 sampai 2012, tindakan operasi yang banyak dilakukan setiap tahunnya adalah teknik 2 tahap.

Grafik 1. Perbandingan teknik operasi 1 tahap dan 2 tahap dari tahun 2010 sampai 2012

Tindakan operasi 2 tahap terbanyak yang dilakukan pada masing-masing tahun adalah Duhamel Stapler, dan sisanya Duhamel Adang, Soave, Potong Septum, dan Myektomi Posterior.

Tabel 6. Jenis operasi 2 tahap yang dilakukan di RS Sanglah dari tahun 2010-2012

Tindakan

Operasi 2 Tahap

Tahun

2010

Tahun

2011

Tahun

2012

Kolostomi

8

6

10

Duhamel Stapler

11

14

12

Duhamel

Adang

2

1

2

Soave

1

-

-

Potong

Stump/Septum

2

1

2

Myektomi Posterior

2

-

2

Total


26


22


28


bersamaan dengan operasi penanganan Hirschsprung di RS Sanglah.


DISKUSI

Diagnosis untuk penyakit Hirchsprung pada umumnya dilakukan dengan tiga cara, yaitu berdasarkan klinis, pemeriksaan radiologis, dan patologi anatomi secara definitif. Diagnosis penyakit Hirschsprung pun pada diagnosis dini berbeda dengan diagnosis Hirschsprung yang terlambat. Pada diagnosis Hirschsprung dini diagnosis pada bayi neonates umumnya dilakukan berdasarkan klinis seperti gagal untuk menghasilkan meconium pada 24 jam awal kehidupan (90%), dan kesulitan pergerakan usus, susah mencerna, dan distensi abdominal progresif serta diikuti muntah berwarna hijau (80%). Pada diagnosis Hirschsprung yang terlambat gejala klinisnya lebih menggambarkan konstipasi progresif kronis, sumbatan feses yang berulang, gagal tumbuh, dan malnutrisi5. Sepertiga kasus Hirschsprung diagnosis terlambat muncul dengan adanya enterocolitis pada diare dibandingkan dengan konstipasi6.

Pemeriksaan radiologis yaitu dengan kontras enema digunakan untuk diagnosis lanjut penyakit Hirschsprung dan akan muncul gambaran berupa transitional zone pada sebagian besar kasus Hirschsprung dini (85-90%), namun untuk kasus pada diagnosis terlambat gambaran megacolon lebih sering terlihat dan biasanya diikuti dengan gejala enterocolitis5. Diagnosis penyakit Hirschsprung di RSUP Sanglah sudah dilakukan berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan radiologis. Namun dari gejala klinis dan pemeriksaan radiologis, biopsi tetap menentukan diagnosis definitif penyakit Hirschsprung dan biasanya dilakukan

Pasien penyakit Hirschsprung yang datang ke Sanglah sebagian besar (73.6%) adalah penyakit Hirschsprung dengan keadaan diagnosis terlambat. Keadaan ini diikuti dengan karakteristik pasien yang rata-rata berusia diatas 1 bulan sampai dengan 13 tahun. Karakteristik pasien lainnya selain umur belum didata secara pasti dan perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk karakteristik pasien Hirschsprung terutama pasien dengan diagnosis terlambat.

Beberapa faktor dapat mempengaruhi diagnosis terlambat pada penyakit Hirschsprung. Keterlambatan diagnosis dikarenakan memang gejala yang baru terlihat setelah usia anak-anak atau remaja dapat menjadi salah satu penyebabnya. Hal lain yang berhubungan dengan keterlambatan diagnosis adalah kesadaran dan pengetahuan orang tua sendiri tentang penyakit Hisrchsprung dimana penyakit Hirscsprung ini dapat diturunkan jika dalam satu garis keturunan pernah memiliki riwayat penyakit serupa sebelumnya. Dengan demikian untuk kedepannya dirasa perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang adanya hubungan pengetahuan dan kesadaran orang tua akan diagnosis awal penyakit Hirschsprung khususnya pada keluarga yang memiliki riwayat penyakit serupa sebelumnya.

Data pada operasi dua tahap pada pasien di RSUP Sanglah menunjukan bahwa pasien Hirschprung yang dilakukan tindakan operasi selanjutnya setelah kolostomi sebelumnya tidak semua melakukan kolostomi di Rumah Sakit Sanglah. Terdapat ketidaksesuaian jumlah antara pasien yang dilakukan tindakan kolostomi dan prosedur

operasi selanjutnya. Terdapat beberapa kemungkinan seperti pasien pertama kali datang dan didiagnosis bukan di RS Sanglah akan tetapi merupakan rujukan dari RS lainnya. Kemungkinan lain yang dapat terjadi adalah pasien yang melakukan kolostomi dilakukan prosedur operasi selanjutnya bukan pada tahun yang sama saat dilakukannya kolostomi, dan juga pelaksanaan operasi selanjutnya tidak dilakukan di RS Sanglah. Tidak terdapat data pasti mengenai jumlah pasien yang merupakan rujukan dari RS lain dan perlakuan operasi selanjutnya di RS lain.

Semua kasus penyakit Hirscsprung membutuhkan operasi sebagai penanganan definitif. Operasi yang digunakan dibagi menjadi dua tahap yaitu operasi sementara dan operasi definitif, dilakukan setelah keadaan pasien stabil dan waktu mencukupi setelah dilakukannya operasi sementara atau kolostomi sehingga teknik ini disebut dengan teknik dua tahap. Teknik lainnya yang tidak memerlukan kolostomi atau hanya dengan satu tahap adalah transanal endorectal pullthrough5.

Diagnosis dini kasus Hirschsprung neonates dapat langsung menjadi indikasi untuk dilakukannya operasi dengan teknik transanal endorectal pullthrough. Pada beberapa kasus dengan kontraindikasi dilakukannya transanal endorectal pullthrough seperti enterocolitis dan megacolon yang sering terjadi pada Hirschsprung diagnosis terlambat, teknik operasi dua tahap kembali digunakan sebagai pilihan5.

Diagnosis dini kasus Hirscsprung tetap memiliki keuntungan dalam hal manajemen kedepannya, seperti biaya rumah sakit, lama rawat inap, dan

resiko komplikasi yang ditimbulkan pasca operasi. Dari data meta-analisis yang ada, antara teknik melalui transabdominal dan transanal, teknik transanal endorectal pull through memiliki keunggulan dalam ketiga hal tersebut, yaitu waktu yang lebih singkat untuk rawat inap, biaya perawatan rumah sakit yang lebih murah, dan komplikasi pasca operasi, khususnya enterocolitis, yang dapat diminimalisir7.

Masalah-masalah yang dapat muncul setelah operasi definitif adalah kebocoran anastomosis, striktur, obstruksi usus, abses pelvis, dan infeksi jaringan. Pada penelitian yang membandingkan teknik transanal dan transabdominal terdapat penurunan insidensi komplikasi terkait teknik operasi dan enterokolitis lebih baik pada prosedur transanal7.

Kontinensi fekal tidak menunjukan perbedaan yang signifikan antara teknik satu tahap dengan dua tahap pada anak-anak usia lebih dari 3 tahun. Secara sederhana dapat dilihat bahwa kualitas hidup pasien Hirschsprung pasca operasi masing-masing teknik tidak terdapat perbedaan signifikan pada kemampuan untuk melakukan defekasi kedepannya8.

KESIMPULAN

Pasien penyakit Hirschsprung yang datang ke RS Sanglah sebagian besar adalah kasus dengan diagnosis yang tertunda atau late diagnosed. Mengikuti kasus yang banyak ditemukan ini teknik operasi 2 tahap dengan diawali oleh kolostomi dilakukan lebih banyak untuk setiap tahunnya dari tahun 2010 sampai dengan 2012. Tidak semua yang dilakukan teknik operasi 2 tahap didiagnosis di RS Sanglah, begitu pula dengan dilakukannya kolostomi. Pendataan lebih lanjut perlu dilakukan

untuk mengetahui penyebab pasti dari ketidaksesuaian kolostomi dan teknik operasi setelahnya serta karakteristik lain pasien Hirschsprung diagnosis tertunda selain umur.

DAFTAR PUSTAKA

  • 1.    Lee, Steven L. 2012. Pediatric Hirschsprung          Disease.

Available:

http://emedicine.medscape.com/ article/929733-overview#a0104.

Last Update: May 8, 2012

  • 2.    Neville Holly L. 2012. Pediatric Hirschsprung          Disease

http://emedicine.medscape.com/ article/929733-overview#a0104.

Last Update: May 8, 2012

  • 3.    Kessmann,            Jennifer.

Hirschsprung’s        Disease:

Diagnosis And Management.

Am Fam Physician. 2006. Vol. 74(8):1319-1322

  • 4.    Wester and Gunnarsdóttir. Modern Treatment of Hirschsprung’s Disease. Scandinavian Journal of

Surgery. 2011. Vol: 100. pp 243–249

  • 5.    Kartono, Darmawan, 2004. Penyakit Hirschsprung. Jakarta : Sagung Seto, 3-82

  • 6.    Chen Y et al. Transanal endorectal pull-through versus transabdominal approach for Hirchsprung’s disease: a systematic review and metaanalysis. J Pediatric Surg. 2013. Vol. 48(3):642-51

  • 7.    El-Sawaf et al. Are the Long Term Results of The Transanal pull-through equal to those of the transabdominal pull-through? A comparison of the 2 approaches for Hirschsprung disease. J Pediatric Surg. 2006. Vol. 42(1):41-7

  • 8.    Stensrud et   al. Functional

Outcomeafter   operation for

Hirscsprung disease-transanal vs trans-abdominal approach. J Pediatric Surg. 2010. Vol. 45(8):1640-4

7