The Corona virus disease (COVID-19) in Pregnant Women : Analyzing References of Infection Mechanism and The Effect of Treatment in Pregnancy
on
ARTIKEL TINJAUAN PUSTAKA

Essence of Scientific Medical Journal (2021), Volume 19, Number 1:10-18
P-ISSN.1979-0147, E-ISSN. 2655-6472
TINJAUAN PUSTAKA
INFEKSI CORONAVIRUS DISEASE 2019 (COVID-19) PADA WANITA HAMIL : ANALISA PUSTAKA MEKANISME INFEKSI DAN PENGARUH PENGOBATAN TERHADAP KEHAMILAN
Nurul Hidayah,1* Susan Indriani,1 Farida Rahmatika,1
ABSTRAK
Pendahuluan: Virus corona merupakan suatu virus penyebab infeksi yang menyerang saluran respirasi dan menimbulkan gejala ringan hingga berat (batuk, demam sesak napas/ ancaman henti napas).Telah dikaji banyak hal terkait terapi yang dapat digunakan untuk mencegah dan mengobati infeksi virus corona. Pasien dengan gejala berat dapat diberikan terapi menggunakan obat klorokuin. Tetapi belum banyak diketahui mekanisme infeksi dan efek klorokuin terhadap kehamilan pasien dengan infeksi virus corona.
Pembahasan: SARS-CoV-2 merupakan virus RNA penyebab penyakit COVID-19. Penyebaran virus pertama kali di Wuhan, China, berasal dari hewan berupa kelelawar yang kemudian dapat berpenetrasi langsung menuju sistem respirasi manusia yang berkontak dengan hewan terinfeksi. Wanita hamil dan janin merupakan populasi yang beresiko tinggi terinfeksi coronavirus akibat rendahnya pertahanan imun dalam tubuh. Komplikasi akibat infeksi virus corona antara lain IUGR, prematuritas, berat bayi lahir rendah (BBLR), hingga abortus. Salah satu rekomendasi pengobatan wanita hamil dengan infeksi virus korona adalah pemberian klorokuin. Klorokuin merupakan agen bioaktif yang dapat melawan berbagai virus RNA termasuk SARS-CoV-2 dengan menghambat replikasi virus melalui inhibisi quinone reductase-2. Penggunaan obat klorokuin (150 mg-500 mg) dapat membentuk proteksi pada janin.
Simpulan: Wanita hamil dan janin menjadi salah satu populasi resiko tinggi terkena infeksi virus corona. Hal yang penting untuk dilakukan adalah mengkonsumsi obat sebagai salah satu langkah meminimalisasi perburukan kondisi. Obat klorokuin menjadi opsi tepat untuk terapi infeksi virus corona pada ibu hamil. Tidak ditemukan adanya efek samping yang serius pada ibu hamil maupun bayi baru lahir setelah pemberian terapi klorokuin.
Kata Kunci: Infeksi Coronavirus Disease 2019 (COVID-19), Klorokuin, Kehamilan
ABSTRACT
Introduction: Coronavirus is a virus that affects the respiratory tract. It causes mild to severe symptoms such as coughing, shortness of breath / risk of apneu. There are many studies that are relate to therapy that can be used to prevent and cure coronavirus infection. Patients with severe symptoms can be given chloroquine; however, it is not known yet the infection mechanism and effect of using chloroquine on pregnant patients with corona virus infection.
Discussion: SARS-CoV-2 is an RNA virus that causes coronavirus disease (COVID-19). The virus was first spread in Wuhan, China, through bats. It can penetrate into the human respiration system by contacting directly with infected animals. Pregnant women and their fetuses are a high-risk population which are easily infected by coronavirus due to their low immune defenses in the body. In this case, complications caused by coronavirus infection are including IUGR, prematurity, low birth weight (LBW), and abortion. For now, Chloroquine is the most recommended treatment for pregnant women with coronavirus infection. Chloroquine is a bioactive agent that can fight various RNA viruses including SARS-CoV-2 by inhibiting viral replication through inhibition of quinone reductase-2. The use of chloroquine drugs (150 mg-500 mg) can form protection for the fetus.
Conclusion: Pregnant women and their fetuses become one of the high-risk populations who are easily affected by coronavirus infection. The important thing to do is to take medicine as one of the steps to minimize worsening conditions. Chloroquine drug has become the right choice for the treatment of coronavirus infection in pregnant women. No serious side effects were found in pregnant women or newborns after giving chloroquine therapy.
Keywords: Coronavirus disease 2019 (COVID-19), Chloroquine, pregnancy
1Program Studi Pendidikan Dokter, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta *Corresponden Author, nurulhidayah484@ gmail.com
PENDAHULUAN
Virus corona (Human coronavirus) merupakan suatu virus penyebab penyakit pada saluran respirasi manusia. Infeksi ini dapat memunculkan gejala serius seperti demam, batuk dan sesak napas[1]. Hingga saat ini penyakit tersebut menjadi perhatian khusus karena tingkat kematian akibat infeksi virus corona meningkat setiap harinya. Tercatat sebanyak 1.878.489 kasus infeksi coronavirus per 15 April 2020 dengan jumlah kematian sebanyak 119.044[2]. Virus corona menyerang berbagai usia dari usia anak anak hingga usia tua. Dilaporkan kasus terbanyak adalah pada orang lanjut usia (>60 tahun) dan orang dengan imunitas rendah seperti anak-anak dan wanita hamil. Akan tetapi tidak sedikit orang dengan usia produktif menjadi agen pembawa virus corona tersebut[2,3].
Maka dari itu, infeksi virus corona menjadi suatu masalah kesehatan yang serius dan perlu penanganan segera. Telah dikaji banyak hal terkait terapi yang dapat digunakan untuk mencegah maupun mengobati. Pasien dengan infeksi virus corona yang memiliki gejala berat dapat diberikan terapi medikamentosa seperti obat klorokuin[4]. Pemberian obat klorokuin terbukti aman bagi seluruh pasien berbagai usia[4]. Akan tetapi belum diketahui secara pasti efek pengobatan terutama klorokuin terhadap perkembangan janin. Oleh karena itu, penulis melakukan pembuatan artikel ini dengan tujuan untuk mengetahui mekanisme infeksi virus corona dan efek pengobatan klorokuin terhadap kehamilan.
PEMBAHASAN
Infeksi Virus Corona
Kejadian luar biasa (KLB) infeksi pada saluran pernapasan akibat dari virus corona bermula pada tahun 2003 di kota Guangdong, China. Pada tahun tersebut muncul permasalahan pernapasan yang memiliki gejala khas pneumonia disertai kerusakan menyeluruh dari alveolus dan memicu terjadinya acute respiratory distress syndrome (ARDS). Oleh pemerintah China penyakit ini dinamakan severe acute respiratory syndrome (SARS) dengan virus penyebabnya terkonfirmasi sebagai subgrup betacoronavirus, lebih lanjut dinamakan SARS-CoV[5]. KLB SARS-CoV terjadi dalam durasi waktu 8 bulan dengan individu yang terinfeksi berjumlah 8000 orang dan 776 meninggal dunia[5,6]. Beberapa dekade telah berlalu, selanjutnya pada tahun 2012 seorang warga negara Arab Saudi menderita penyakit saluran pernapasan dengan kondisi utama berupa gangguan di saluran napas atas dengan tanda khas pneumonia yang diikuti dengan ARDS dan gagal ginjal[7]. Kondisi tersebut diketahui disebabkan oleh virus corona dengan subgrup betacoronavirus atau Middle East Respiratory Syndrome
Coronavirus (MERS-CoV) [6,7]. Berdasarkan hasil laporan dari World Health Organization (WHO) diketahui bahwa sebanyak 2428 orang terinfeksi dan 838 meninggal dunia akibat dari MERS-CoV[8]. Akhir bulan Desember 2019, muncul penyakit pernapasan dengan gejala menyerupai pneumonia akan tetapi dengan virus penyebab yang berbeda dari corona sebelumnya. Oleh seorang peneliti dari China, virus tersebut dinamakan Wuhan Coronavirus atau 2019 novel coronavirus (2019-nCoV). Sedangkan oleh International Committee on Taxonomy of Viruses (ICTV) memberikan nama pada virus sebagai SARS-CoV-2 dan penyakitnya bernama corona virus infection disease 2019 (COVID-19)[6].
SARS-CoV-2 merupakan jenis baru dari beta coronavirus dengan subgenus adalah sarbecovirus dan keluarga Coronaviridae. Virus tersebut memiliki protein spike (S) (180-220 kDa), protein membran (M) (25 – 35 kDa), dan kapsul (E) (10-12 kDa), berbentuk variatif dari bulat, oval, dan beberapa berupa polimorfik (Gambar 1).[9,25]

Gambar 1. Gambaran Struktur Virus SARS-CoV-2 dan Mekanisme Kerja Klorokuin pada Virus[6,25]
Diameter virus antara 60-140nm[9]. SARS-CoV-2 dinamakan sebagai virus baru dikarenakan di dalam struktur genetik terkandung substansi gen yang berbeda dari SARSr-CoV dan MERSr-CoV[9,10,11]. Secara genetik virus corona mengandung RNA rantai tunggal sebagai komposisi utama di dalam nukleusnya[6]. Penelitian terbaru oleh Zhou, et al (2020) SARS-CoV-2 memiliki kesamaan indentik sebesar 96% dengan coronavirus kelelawar TG13 pada level gen secara keseluruhan[12].
Transmisi penyebaran virus pertama kali dikemukakan oleh pemerintah China berasal dari
hewan yang berada di pasar Hunan, China. Hewan tersebut antara lain kelelawar, katak, ular, burung, marmut, dan kelinci[6,13]. Hasil analisa lebih lanjut oleh Departemen Kesehatan China menyatakan bahwa transmisi lanjutan setelah terpapar dari hewan adalah penyebaran antar individu manusia melalui kontak secara langsung, terpapar droplet dari batuk, bersin, dan lain-lain yang dapat berpenetrasi secara langsung di paru-paru melalui inhalasi oleh mulut atau hidung [6,13,14] (Gambar 2).

Gambar 2. Model Transmisi Persebaran Virus Corona[6]
*Transmisi virus pertama kali adalah antar hewan ke hewan antara lain kelelawar, katak, ular, burung, marmut, dan kelinci. Selanjutnya penularan antar individu manusia melalui kontak secara langsung, terpapar droplet dari batuk, bersin, dan lain-lain. Virus yang masuk akan berpenetrasi secara langsung di paru-paru melalui inhalasi oleh mulut atau hidung[6]
Mekanisme virus corona menginvasi tubuh manusia dibantu oleh struktur yang mengelilingi kapsulnya berupa tonjolan (spikes) glikoprotein. Tonjolan tersebut memudahkan virus corona untuk menempel dan masuk ke sel inang[15]. Mekanisme masuknya virus corona bergantung pada protease selular antara lain human airway trypsin-like protease (HAT), cathepsins, dan transmembrane protease serine 2 (TMPRSS2) yang memecah tonjolan protein dan menjaga kestabilan penetrasinya[16,17]. Sedangkan reseptor untuk masuk ke sel manusia adalah dengan melakukan identifikasi aminopeptidase atau karbohidrat, khusus SARS-CoV dan MERS-CoV melalui eksopeptidase, sedangkan HCoV-NL63 dan SARS-CoV-2 melalui angiotensin-converting enzyme-2 (ACE-2)[18]. Keistimewaan yang dimiliki oleh SARS-CoV-2 berupa protein spike dari virus mengandung struktur 3-D di regio receptor-binding domain (RBD) yang berguna untuk mengatur tekanan van der Waals[19] dan residu dari glutamin pada regio RBD SARS-CoV-2 dapat deteksi reseptor ACE-2[20].
COVID-19 pada Ibu Hamil
Wanita hamil dan janin merupakan populasi berisiko tinggi terhadap infeksi SARS-CoV-2. Sebanyak 55 wanita hamil dan 46 neonatus telah dilaporkan terinfeksi COVID-19, tanpa ada bukti pasti adanya transmisi vertikal[1]. Berdasarkan uji laboratorium ditemukan pada bayi yang dilahirkan secara caesar mengalami peningkatan kadar IgM. Namun setelah dilakukan 5 kali uji PCR secara
berantai ditemukan hasil negatif[21]. SARS-COV-2 tidak ditemukan di dalam ASI, cairan ketuban, swab tenggorokan neonatal, dan darah di tali pusat pada ibu positif COVID-19[1,21].
Perubahan sistem kekebalan tubuh dan kardiorespirasi dalam kehamilan meningkatkan kerentanan terhadap infeksi berat dan kemungkinan terjadinya hipoksia. Saat hamil terjadi penurunan imunitas yang disebabkan transisi lingkungan Th2 sebagai agen anti-inflamasi ke dalam fetus. Aktivasi Th1 meningkatkan sekresi sitokin proinflamasi seperti interferon gamma (IFN-γ), interleukin (IL)-1α, IL-1β, IL-6 dan IL-12 pada pasien SARS-CoV-2 menyebabkan kerusakan paru-paru yang luas selama dua minggu setelah timbulnya gejala[1].
Gangguan kardiorespirasi seperti rhinitis gestasional, dsypneu, anemia, dan kapasitas paru menurun secara fisiologis ditemukan pada ibu hamil. Rhinitis gestasional ditandai dengan hidung tersumbat, hiperemis nasofaring yang dimediasi oleh esterogen. Kapasitas paru yang menurun saat kehamilan aterm akan menyebabkan ketidakmampuan pembersihan sekresi paru secara efektif sehingga virus atau bakteri dapat berkembang secara masif. Gambaran pneumonia karena virus SARS-CoV-2 akan terlihat dari konsolidasi fokal menjadi difus bilateral. Hal ini memicu terjadinya gejala gagal nafas (hypoxemic respiratory failure). Sama seperti pasien tidak hamil, gejala predominan yang ditimbulkan akibat COVID-19 saat kehamilan adalah demam, batuk, dyspnea, dan limfopenia (Tabel 1)[1] .
Tabel 1. Gambaran Klinis dari COVID-19 dibandingkan SARS dan MERS pada ibu hamil[1]
Karakteristik |
COVID-19 |
SARS |
MERS |
Jumlah kasus |
55 |
17 |
12 |
Umur (tahun) |
23-40 |
27-44 |
31-39 |
Usia kehamilan saat terinfeksi (minggu) |
Semua berada pada trimester ketiga kecuali 2 wanita yang kurang dari 28 minggu usia kehamilan |
4-32 |
4-38 |
Penyakit penyerta pernafasan |
Tidak ada |
Asma |
Asma, Fibrosis Paru |
Gejala | |||
Demam (%) |
84 |
100 |
58 |
Batuk (%) |
28 |
76 |
67 |
Dyspneu (%) |
18 | ||
Investigasi | |||
CXR/CT bukti pneumonia |
76 |
100 |
100 |
Leukositosis (%) |
38 |
40 |
50 |
Limfopenia (%) |
22 |
67 |
50 |
Trombositopenia (%) |
13 |
36 |
50 |
Komplikasi Maternal | |||
Mortalitas (%) |
0 |
18 |
25 |
Ventilasi mekanik (%) |
2 |
35 |
41 |
Komplikasi fetal | |||
Keguguguran/Lahir Mati (%) |
2 |
25 |
18 |
IUGR (%) |
9 |
13 |
9 |
Kelahiran preterm (%) |
43 |
25 |
27 |
Komplikasi Neonatal | |||
Kematian Neonatal (%) |
2 |
0 |
9 |
Tabel 1. Efek Pengobatan Klorokuin pada Kehamilan
Peneliti |
Intervensi |
Dosis |
Hasil Uji |
Kesimpulan |
Clinical Trial Identifier |
DIvala, T.H., et al (2018) |
Klorokuin |
600 mg |
Angka kejadian infeksi pada plasenta adalah 34%; Efek samping berat bayi lahir rendah (n = 41; p = 0.28) |
Pemberian klorokuin sebagai profilaksis aman bagi pertumbuhan dan perkembangan janin |
NCT01443130. |
Kimani, J. et al (2016) |
Klorokuin kombinasi dengan azithromisin |
KQ/AZ (155 mg/250 mg) |
Tidak didapatkan pengaruh yang signifikan antara pemberian klorokuin dengan kejadian BBLR (57/1138 [5.0%], p = 0.44] |
Hasil akhir penggunaan klorokuin tidak memberikan efek samping yang berarti pada janin |
NCT01103063 |
Phiri, K., et al (2016) |
Klorokuin kombinasi dengan azithromisin |
KQ/AZ (155 mg/250 mg) |
Sebanyak 144/160 (91.7%) bayi lahir dengan keadaan normal, sedangkan 9 (6.6%) bayi memiliki berat lahir rendah. |
Pemberian kombinasi klorokuin dan azithromisi dapat memberikan respon kuat terhadap kejadian infeksi pada wanita hamil |
NCT01103063) |
Villegas, S. et al (2007) |
Klorokuin |
500 mg/ minggu |
Bayi lahir meninggal 0.2 (1/438); p = 0.35), lahir dengan abnormalitas 1.1 (5/438); p=0.97. Berat bayi lahir rendah pada primigravida dan multigravida 13.6 (49/360); p = 1.00 |
Klorokuin aman dan efektif digunakan sebagai profilaksis terhadap infeksi selama kehamilan |
NA* |
*NA = Not Available
Anjuran Terapi Wanita Hamil dengan COVID-19
Berdasarkan Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia/POGI (2020) memberikan rekomendasi penanganan wanita hamil dengan COVID-19 terbagi atas 3 tingkatan yaitu pada masa antenatal care (ANC), persalinan, dan postpartum. Prinsip manajemen pada kehamilan dengan COVID-19 antara lain isolasi awal, penerapan prosedur pencegahan infeksi, pemberian oksigenasi, terapi cairan, pemberian antibiotk empiris, terapi antiviral, pemeriksaan SARS-CoV-2, serta kemungkinan infeksi penyerta yang lain, selain itu dilakukan pemantauan janin dan kontraksi uterus[22].
Pada pemberian antiviral direkomendasikan obat korokuin fosfat, dan ribavirin. Penggunaan ribavirin dianjurkan untuk kombinasi dengan interferon atau lopinavir dan diberikan secara intravena. Sedangkan klorokuin fosfat diberikan secara peroral dengan dosis untuk dewasa 500 mg
dua kali per hari, dengan lama terapi maksimal 10 hari[23]. Berdasarkan laporan dari Departemen Sains dan Teknologi Provinsi Guangdong dan Komisi Kesehatan Provinsi Guangdong menyatakan bahwa klorokuin fosfat meningkatkan keberhasilan pengobatan COVID-19, meningkatkan temuan pencitraan paru, memperpendek perjalanan penyakit, dan mempersingkat lamanay tinggal di rumah sakit. Sehingga pada 17 Maret, Badan farmasi Italia menggunakan klorokuin sebagai salah satu obat-obatan yang positif untuk pengobatan COVID-19[23,24].
Pada pasien dengan curiga infeksi COVID-19 dilakukan proses stratifikasi dengan membagi pasien menjadi 3 kelompok yaitu risiko rendah, risiko sedang, dan risiko berat. Pada masing-masing kelompok mendapatkan penatalaksanaan dan terapi yang berbeda-beda (Bagan 1)1.
Bagan 1. Alur Penanganan Pertama dan Stratifikasi Pasien Melahirkan dengan Curiga COVID-19[1]

Farmakodinamik dan Kinetik Obat Klorokuin
Klorokuin adalah bentuk asidotropik amine dari quinine yang ditemukan pada batang kayu pohon Cinchona. Sudah sejak lama, klorokuin digunakan sebagai terapi pilihan dan profilaksis malaria. Namun sayangnya, efikasi klorokuin menurun karena sering ditemukannya resistensi berulang terhadap strain P. falcifarum[25]. Secara in vitro, klorokuin merupakan agen bioaktif untuk melawan RNA virus yang beragam seperti virus rabies, virus Zika, virus influenza A H5N1, virus Ebola, virus dengue, dan virus hepatitis. Karena spektrumnya yang luas, terapi ini bahkan digunakan untuk pengobatan sebagian besar corona virus, khusunya SARS-CoV-1 dan SARS-CoV-2[25].
Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa klorokuin memiliki beberapa mekanisme aksi yang berbeda pada masing-masing patogen. Berdasarkan mekanismenya, klorokuin dapat menghambat pre-entri virus dengan cara menginhibisi quinone reductase-2, dan struktur UDP-N-acetylglucosamine 2-epimerase yang terlibat dalam biosintesis asam sialat. Asam sialat adalah asam monosakarida yang ditemukan di ujung rantai glukosa pada protein sel transmembran dan komponen penting untuk pengenalan ligan. Penelitian secara in vitro menggunakan sel Vero menunjukkan hasil berupa deficit glikosilasi pada reseptor permukaan sel virus yaitu ACE 2[25]. Selain itu, klorokuin dapat mengganggu tahap awal
replikasi virus dengan menginterfensi pH-dependent endosome sehingga pembentukan kapsul dari virus menjadi terganggu[25]. Penelitian oleh Yao, et al (2020) dengan menggunakan sel Vero didapatkan hasil effective concentration (EC50) klorokuin adalah 5,47 µM dengan dosis pemberian 500 mg dua kali sehari selama 5 hari[26]. Analisa farmakokinetik pada
klorokuin didapatkan hasil peningkatan secara signifikan pada paru-paru, plasma, dan darah setelah pemberian dosis pertama, dan mencapai kestabilan pada hari ke-10 (Gambar 3)[26]. Sehingga hal ini menunjukkan klorokuin cepat mengalami gastrointestinal absorption dan eliminasi renal[25,26].

IOOOOO-
Regimen A (CQ)
Regimen B (HCQ)
Regimen C (HCQ)
Regimcn D (HCQ)
Regimen E (HCQ)
Regimen F (HCQ)
Regimen A (CQ)
Regimen B (HCQ)
Regimen C (HCQ)
Regimen D (HCQ)
Regimen E (HCQ)
Regimen F (HCQ)
Regimen A (CQ)
Regimen B (HCQ) Regimen C (HCQ) Regimen D (HCQ) Regimen E (HCQ) Regimen F (HCQ)
Gambar 3. Konsentrasi distribusi klorokuin (CQ) pada plasma, darah, dan paru-paru subjek dengan infeksi virus corona (SARS-CoV-2)[26
Efek Klorokuin terhadap Kehamilan
Klorokuin menjadi salah satu obat pilihan untuk pengobatan dan pencegahan infeksi virus, bakteri, maupun parasit. Secara umum, kloroquin aman dikonsumsi termasuk bagi wanita hamil. Berdasarkan penelitian oleh Akintowa, et al (1988) klorokuin diketahui dapat melewati plasenta janin[27].
Hasil penelitian oleh Divala, et al (2018) pemberian obat klorokuin dengan dosis 600 mg pada wanita hamil minggu ke 20–28 (trimester 1 dan 2) serta negatif HIV didapatkan hasil berupa resiko infeksi pada plasenta janin sebesar 34% (RR = 0,66, CI 95%, 0,46 – 0,95). Hasil lain adalah efek samping yang terjadi pada bayi berupa berat bayi lahir rendah (BBLR; <2500 g) menunjukkan hasil yang tidak signifikan (n = 41, p = 0,28)[4].
Oleh Kimani, et al (2016), dengan menggunakan obat klorokuin yang dikombinasi dengan azitromisin (155 mg/250 mg) diberikan
kepada wanita hamil minggu ke 4-8 menunjukkan hasil proteksi pada janin berupa angka BBLR pada kelompok intervensi adalah 57/1138 [5,0%], dengan RR 0,87, CI 95%, 0,62-1,23; p = 0,44[28]. Kemudian oleh Phiri (2016), pemberian klorokuin dikombinasi dengan azithromisin (155 mg/250 mg) pada
trimester 2 sampai 3, menunjukkan hasil sebanyak 144 (91,7%) kelahiran bayi dengan kondisi normal, sedangkan sebanyak 9 bayi memiliki BBLR (6,6%)[29].
Terakhir oleh Villegas, S. et al (2007), dengan pemberian klorokuin 500 mg/minggu didapatkan hasil tidak terdapat hubungan antara pemberian klorokuin dengan efek samping pada bayi. Hal ini ditunjukkan dengan bayi meninggal 0,2 (1/438); p = 0,35, bayi lahir dengan abnormalitas adalah 1.1 (5/438); p = 0,97, Sedangkan pada berat bayi lahir rendah (BBLR) pada primigravida dan multigravida adalah 13,6 (49/360); p = 1,00[30].
SIMPULAN
Kejadian infeksi coronavirus menjadi masalah serius karena tingkat penyebaran dan kematian
sangat tinggi. Gejala yang muncul dari infeksi
coronavirus bermacam macam dari ringan hingga ancaman henti napas. Infeksi corona sendiri dapat menyerang berbagai usia, termasuk ibu hamil. Penting bagi ibu hamil untuk mengkonsumsi obat sebagai salah satu langkah meminimalisasi perburukan kondisi yang muncul. Obat klorokuin menjadi opsi tepat untuk terapi infeksi coronavirus pada ibu hamil. Tidak ditemukan adanya efek samping yang serius pada ibu hamil maupun bayi baru lahir setelah pemberian terapi klorokuin. .
DAFTAR PUSTAKA
-
1. Dashraath P, Jing Lin Jeslyn W, Mei Xian Karen L, Li Min L, Sarah L, BiswasA, Arjandas Choolani M, Mattar C, Lin SL, Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) Pandemic andPregnancy, American Journal of Obstetrics and Gynecology. 2020.
-
2. WHO.int [database on the internet], Coronavirus disease (COVID-19) Pandemic. [akses pada 15 April 2020]. Tersedia di
https://www.who.int/emergencies/diseases/novel-coronavirus-2019
-
3. World Meter Info [database on the internet] Age, Sex, Existing Condition of COVID-19 Cases and Deaths. [diakses pada 15 April 2020]. Tersedia di https://www.worldometers.info/coronavirus /coronavirus-age-sex-demographics/
-
4. Divala, T.H., Mungwira, R.G., Mawindo, P.M., et al. A Randomized, Controlled Clinical Trial of Chloroquine as Chemoprophylaxis or Intermittent Preventive Therapy to Prevent Malaria in Pregnancy in Malawi. Lancet Infect Dis 2018 October; 18 (10): 1097-1107.
-
5. Peiris, J., Guan, Y., Yuen, K. Severe acute
respiratory syndrome. Nat Med. 2004; 10
(12):88-97
-
6. Shereen, M. A., Khan, S., Kazmi, A., Bashir, N., Siddique, R. COVID-19 Infection: Origin,
transmission, and characteristicas of human coronaviruses. Journal of Advanced Research. 24 (2020) 91-98.
-
7. Memish, Z.A., Zumla, A.I., Al-Hakeem, R.F., Al-Rabeeah, A.A., Stephens, G.M. Family cluster of Middle East Respiratory Syndrome coronavirus infections. N Engl J Med. 2013; 368 (26): 248794.
-
8. Rahman, A., Sarkar, A. Risk factors for fatal fatal middle east respiratory syndrome coronavirus indection in Saudi Arabia: Analysis of the WHO line list 2013-2018. Am J Public Health. 2019; 109(9): 1288-93.
-
9. Chinese Pharmaceutical Association. Coronavius 2019-nCoV Infection: Expert consensus on
guidance and prevention strategies for hospital pharmacists and the pharmacy workforce. Ed 1. Feb, 2020
-
10. National Health Commission of the People’s Republic of China. Clinical management of human infection with novel coronavirus(2019-nCoV) (trial guidance v5) [EB/OL]. [2020-02-04]. http://www.nhc.gov.cn/xcs/zhengcwj/202002/3b0 9b894ac9b4204a79db5b8912d4 440.shtml
-
11. Lu R,Zhao X,Li J,et al. Genomic characterisation and epidemiology of 2019 novel coronavirus: implications for virus origins and receptor binding[J][published online ahead of print 2020 Jan 30]. Lancet, 2020.
-
12. Zhou P,Yang XL,Wang XG,et al. A pneumonia outbreak associated with a new coronavirus of probable bat origin[J]. Nature. 2020.
-
13. Wang, C., Horby, P.W., Hayden, F.G., Gao, G.F. A novel coronavirus outbreak of global health concern. The Lancet. 2020
-
14. Riou, J., Althaus, C.L. Pattern of early human-to-human transmission of Wuhan 2019 novel coronacirus (2019-nCoV) December 2019 to January 2020. Eurosurveillance. 2020; 25(4).
-
15. van Boheemen, S., de Graff, M., Lauber, C., Bestebroer, T.M., Raj, V.S., Zaki, A.M., et al. Genomic characterization of a newly discovered coronavirus associated with acute respiratory distress syndrome in humans. MBio. 2012; 3(6): e00473-e512.
-
16. Glowacka, I., Bertram, S., Muller, M.A., Allen, P., Soilleux, E., Pfefferle, S., et al. Evidence that TMPRSS2 activates the severe acute respiratory syndrome coronavirus spike protein for membrane fusion and reduces viral contrl by the humoral immune response. J Virol. 2011; 85(9): 4122-34.
-
17. Bertram, S., Glowacka, I., Muller, M.A., Lavender, H., Gnirss, K., Nehlmeier, I., et al. Cleavage and activation of the severe acute respiratory syndrome coronavirus spike protein by human airway trypsin-like protease. J Virol. 2011; 85(24): 13363-72.
-
18. Wang, N., Shi, X, Jiang, L., Zhang, S, Wang, D., Tong, P., et al. Structure of MERS-CoV spike receptor-binding domain complexed with human receptor DPP4. Cell Res. 2013; 23(8):986
-
19. Xu, X., Chen, P., Wang, J., Feng, J., Zhou, H., Li, X., et al. Evolution of the novel coronavirus from the ongoing Wuhan outbreak and modelling of its spike protein for risk of human transmission. Science China Life Sciences. 2020; 63(3):457-60.
-
20. Wan, Y., Shang, J., Graham, R., Baric, R.S. Li, F. Receptor recognition by novel coronavirus from Wuhan: an analysis based on decade-long structural studies of SARS, J Virol. 2020
-
21. Dong, L., Tian, J., He S., et al. Possible Vertical Transmission of SARS-CoV-2 From an Infected Mother to Her Newborn. JAMA. Published online March 26, 2020.
-
22. Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI). 2020. Rekomendasi penanganan infeksi virus corona (COVID-19) pada maternal (hamil, bersalin, dan nifas). Surabaya.
-
23. Ministry of Health RRC. Guidance for corona virus disease 2019: Prevention, Control,
Diagnosis and Management. 2020. China: People’s Medical Publishing House.
-
24. Tim Kerja Kementerian Dalam Negeri. Pedoman Umum Menghadapi Pandemi COVID-19 Bagi Pemerintah Daerah: Pencegahan, Pengendalian, Diagnosis, dan Manajemen. 2020. Jakarta:
Kementerian Dalam Negeri.
-
25. C.A. Devaux, J.-M. Rolain and P. Colson et al., New insights on the antiviral effects of chloroquine against coronavirus: what to expect for COVID-19?. International Journal of Antimicrobial Agents. 2020
-
26. Yao X., Ye F., Zhang M., Cui C., Huang B., et al. In Vitro Antiviral Activity and Projection of Optimized Dosing Design of Hydroxychloroquine for the Treatment of Severe Acute Repiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-CoV-2). Oxford University Press. 2020.
-
27. Akintowa, A., Gbajumo, S.A., Biola Mabadeje, A.F. Placental and milk transfer of chloroquine in humans. Ther Drug Monit. 1988; 10: 147-9.
-
28. Kimani, J., Phiri, K., Kamiza, S., Duparc, S., Ayoub, A., et al. Efficacy and safety of azithromycin-chloroquine versus sulfadoxine-pyrimethamine for intermittenr preventive treatment of plasmodium women in Africa: An open label, Randomized Trial. Plos One. 2016.
-
29. Phiri, K., Kimani, J., Mtove, G.A., Zhao, Q., Rojo, R., Robbins, J., et al. Parasitological clearance rates and drug concentrations of a fixed dose combination of azithromycin-chloroquine in asymptomatic pregnant women with plasmodium falciparum parasitemia: An open-label, NonComparative study in Sub Sahara Africa. Plus One. 2016.
-
30. Villegas, L., McGready, R., Htway, M., Paw, M.K., Pimanpanarak, M., Arunjerdja, R., et al. Chloroquine prophylaxis against vivax malaria in pregnancy: a randomized, double-blind, placebo-controlled trial. Tropical Medicine and International Health. 2007; 12 (2): 209-218.
18
Discussion and feedback