Cerek Elektrik Berbasis Flash Heat Treatment: Penerapan Teknologi Praktis Dalam Mencegah Transmisi HIV Dari Ibu Ke Bayi Di Masa Menyusui
on
ARTIKEL TINJAUAN PUSTAKA

ESSENTIAL:Essence of Scientific Medical Journal (2019), Volume 17, Number 1:39-44
P-ISSN.1979-0147, E-ISSN. 2655-6472
TINJAUAN PUSTAKA
CEREK ELEKTRIK BERBASIS FLASH HEAT TREATMENT: PENERAPAN TEKNOLOGI PRAKTIS DALAM MENCEGAH TRANSMISI HIV DARI IBU KE BAYI DI MASA MENYUSUI
Eddy Zulfikar,1
ABSTRAK
Pendahuluan: HIV/AIDS masih menjadi masalah kesehatan global, khususnya bagi populasi wanita. Wanita yang terinfeksi HIV memiliki risiko yang lebih besar untuk menularkan virus tersebut ke bayinya nanti melalui proses transmisi yang dikenal dengan istilah Mother to Child Transmission (MTCT) yang sebagian besar terjadi selama masa menyusui. Pencegahan MTCT dari HIV melalui substitusi ASI dengan susu formula masih kontroversial, mengingat ASI mengandung antibodi dan nutrisi protektif lain yang mampu melindungi bayi dari berbagai penyakit infeksi. Oleh karena itu, dibutuhkan metode terbaru yang efektif untuk mencegah transmisi HIV dari ibu ke bayi selama masa menyusui, salah satunya yaitu metode Flash Heat Treatment (FHT). Pembahasan: Dari total 30 sampel ASI yang diuji, diketahui rata-rata konsentrasi HIV pada ASI tanpa pemanasan ialah 8.266 copies/ml dengan mean log sebesar 3.45 copies/ml. Berbanding terbalik dengan ASI yang sudah dipanaskan (flash heated) yang menunjukkan konsentrasi HIV yang hampir tidak terdeteksi, yakni di bawah 400 copies/ml. Hal ini membuktikan bahwa pemanasan ASI dengan metode flash heated mampu menginaktivasi HIV pada ASI dan mencegah transmisi HIV dari ibu ke bayi selama masa menyusui. Di samping itu, penerapan FHT dalam wujud cerek elektrik mampu menjadi solusi dalam mencapai stabilisasi dan standardisasi FHT yang sesuai pada tingkatan ibu rumah tangga. Simpulan: Penggunaan cerek elektrik berbasis FHT pada ASI mampu menjadi metode efektif sekaligus terjangkau dalam mencegah transmisi HIV dari ibu ke bayi selama masa menyusui, khususnya di negara miskin hingga berkembang.
Kata kunci: cerek elektrik, FHT, HIV, MTCT
ABSTRACT
Introduction: HIV/AIDS is still become a major problem in global health, especially for the women population. HIV-infected women have a greater risk of transmitting HIV to their babies through the Mother to Child Transmission (MTCT) which mostly occurs during breastfeeding. Prevention of MTCT of HIV by replacing exclusive breastfeeding with formula milk is still controversial, considering that breast milk contains antibodies and other protective nutrients that can protect the babies from various infectious diseases. Therefore, the latest effective method is needed to prevent transmission of HIV from mother to child during breastfeeding, namely Flash Heat Treatment (FHT). Discussion: See above the total 30 breast milk samples tested, it was found that the average HIV concentration in breast milk without heating was 8,266 copies/ml with a mean log of 3.45 copies/ml, compared to flash heated milk which shows an almost undetectable level of HIV, which is under 400 copies/ml. This proves that breast milk with a flash heated method can inactivate HIV in breast milk and prevent the transmission of HIV from mother to child during breastfeeding. In addition, the application of FHT in the form of electric kettles can be promising to achieve stabilization and standardization of the use of FHT that is appropriate at the level of housewives. Conclusion: The use of FHT-based electric kettles in breast milk could become an effective and affordable method in preventing HIV transmission from mother to child during breastfeeding, especially in low to middle income countries.
1Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran, Universitas Hasanuddin, Makassar
Keywords: electric kettles, FHT, HIV, MTCT
PENDAHULUAN
HIV/AIDS sebagai penyakit yang disebabkan oleh virus HIV (Human Immunodeficiency Virus) masih menjadi masalah utama dalam kesehatan global. Berdasarkan data dari World Health Organization (WHO), pada tahun 2016 diperkirakan terdapat sekitar 36,7 juta jiwa penduduk di dunia yang terinfeksi HIV, 1,8 juta diantaranya merupakan kasus baru.[1] Dari total kasus baru tersebut, diketahui bahwa kasus infeksi lebih banyak dijumpai pada perempuan, yakni 44% lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki dengan total 360.000 kasus yang didominasi oleh perempuan kelompok usia 15-24 tahun.[2]
Perempuan usia reproduktif yang hidup dengan HIV kemungkinan besar dapat menularkan virus tersebut ke bayinya nanti melalui proses transmisi yang lebih dikenal dengan istilah “Mother to Child Transmission (MTCT)”. MTCT merupakan cara penularan HIV dari ibu yang HIV positif ke bayinya yang dapat terjadi selama masa mengandung
(pregnancy), bersalin (labor and delivery) dan menyusui melalui air susu ibu (ASI).[3] Terhitung sekitar 90% dari kasus infeksi HIV pada anak usia di bawah 15 tahun disebabkan oleh MTCT.[4] Selain itu, 40% dari total 700.000 anak yang terinfeksi HIV diketahui memperoleh virus tersebut melalui ASI saat proses menyusui.[5]
Menghindari pemberian ASI secara penuh melalui penggunaan susu formula merupakan pilihan yang tidak tepat khususnya bagi negara miskin dan negara berkembang. Hal ini dikarenakan biaya susu formula yang relatif mahal, faktor sosiokultural, kondisi air dan tingkat sanitasi lingkungan yang masih buruk di negara tersebut. Dibandingkan dengan susu formula, ASI mengandung komponen antibodi alami yang mampu menyediakan pertahanan tubuh untuk bayi dalam melawan berbagai penyakit, seperti diare, penyakit pernapasan dan penyakit infeksi lainnya.[6]
Berdasarkan alasan tersebut, WHO merekomendasikan bagi ibu HIV positif pada negara
miskin hingga berkembang sebaiknya memberikan ASI ekslusif terhadap bayi mereka selama minimal enam bulan, dilanjutkan hingga dua belas bulan diselingi dengan makanan tertentu. Hal itu dapat terhenti apabila diet aman dan adekuat dapat dipenuhi.[7]
Dalam rangka mengurangi risiko transmisi HIV dari ibu ke bayi, WHO merekomendasikan untuk memodifikasi proses pemberian ASI melalui metode pemberian panas (heat-treated), lebih tepatnya Flash Heat Treatment (FHT).[7] Dalam tulisan ini, akan dibahas mengenai gagasan FHT beserta prototipe produknya sebagai metode pemberian ASI yang mutakhir untuk mencegah transmisi HIV dari ibu HIV positif ke bayi di negara miskin hingga berkembang.
PEMBAHASAN
HIV/AIDS
Istilah HIV berbeda dengan AIDS. HIV merujuk pada virus, sedangkan AIDS yang merupakan singkatan dari Acquired Immunodeficiency Syndrome mencerminkan tingkatan paling akhir dari tahapan infeksi HIV. HIV mampu melemahkan sistem kekebalan tubuh dengan cara menyerang Sel T CD4 selaku komponen sel darah putih yang utama untuk melindungi tubuh dari infeksi berbagai patogen, kemudian mengambil alih komponen seluler dari CD4 tersebut untuk bermultiplikasi sebelum menyebar di dalam tubuh manusia.[3]
Setidaknya, terdapat tujuh tahapan yang mencerminkan siklus hidup dari HIV, yakni binding, fusion, reverse transcription, integration, replication, assembly, dan budding. Transkripsi terbalik (reverse transcription) merupakan tahapan krusial dari siklus hidup HIV karena pada tahap ini HIV yang sudah berada dalam Sel T CD4 akan melepas dan menggunakan enzim Reverse Transcriptase (RT) untuk mengkonversikan materi genetiknya, yakni dari HIV RNA ke HIV DNA. Proses konversi ini mengakibatkan HIV mampu memasuki inti sel CD4 yang kemudian bergabung dengan materi DNA dari CD4 tersebut. Melalui mekanisme kerja tersebut, keberadaan RT seringkali digunakan sebagai dasar dalam mengidentifikasi adanya infeksi HIV sekaligus sebagai langkah awal untuk mencegah transmisi dari virus tersebut.[3]
HIV mampu ditularkan melalui kontak dengan cairan tubuh dari seseorang yang positif terinfeksi HIV. Cairan tubuh tersebut dapat berupa darah, air mani, sekret vagina, cairan pre-seminal, sekret rektum, dan ASI. Proses penularan HIV dari orang yang satu ke orang lainnya disebut transmisi HIV. Transmisi HIV paling sering terjadi melalui hubungan seksual serta penggunaan narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya (NAPZA) melalui jarum suntik. Selain itu, HIV juga dapat ditularkan dari ibu yang HIV positif ke bayi yang dikandungnya.[3]
MTCT dan Pencegahannya di Indonesia
MTCT merupakan penyebab utama dari banyaknya kasus anak yang terinfeksi oleh HIV. Di Indonesia, kasus pertama bayi yang tertular HIV dilaporkan pada tahun 1996 di Jakarta dari seorang ibu HIV positif yang mendapat pendampingan dari Yayasan Pelita Ilmu (YPI) dan melahirkan anaknya di RSUP Cipto Mangunkusumo, Jakarta.[8]
Penularan HIV dari ibu ke bayi saat ini terus bertambah seiring dengan meningkatnya jumlah perempuan yang terinfeksi HIV. Laporan triwulanan Direktorat Jenderal Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia bulan Juli-September 2014 menunjukkan jumlah kasus AIDS dengan faktor risiko transmisi perinatal sebanyak 1.506 kasus, meningkat dua kali lipat dari tiga tahun sebelumnya yang hanya sebesar 742 kasus.[9]
Program pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi dikenal dengan nama Prevention of Mother to Child Transmission of HIV (PMTCT). PMTCT relatif masih jarang dilaksanakan meskipun sudah ada buku pedoman yang telah dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan tahun 2011. Selain program ini relatif mahal, juga ada hal-hal yang sifatnya masih kontroversial seperti pemberian ASI yang diganti dengan susu formula kepada bayi dan perlu atau tidaknya dilakukan operasi caesar untuk persalinan.[10]
Program PMTCT pada dasarnya adalah suatu usaha untuk mencegah terjadinya penularan HIV dari ibu ke bayinya. Program PMTCT dalam pelaksanaanya ada empat pilar. Pertama, mencegah terjadinya penularan HIV pada perempuan usia reproduktif. Kedua, mencegah kehamilan yang tidak direncanakan pada ibu dengan HIV. Ketiga, mencegah terjadinya penularan HIV dari ibu hamil dengan HIV ke bayi yang dikandungnya. Keempat, memberikan dukungan psikologis, sosial, dan perawatan kepada ibu dengan HIV beserta bayi dan keluarganya.[10]
Flash Heat Treatment (FHT)
Pada negara dengan tingkat sumber daya yang rendah, modifikasi pada proses menyusui direkomendasikan oleh WHO untuk mengurangi risiko penularan HIV di samping tetap memberikan kekebalan tubuh terhadap anak-anak dalam melawan infeksi berbagai penyakit. Salah satu metode alternatif yang ditawarkan adalah ASI yang dipanaskan secara manual.[7] Setidaknya terdapat dua metode yang disarankan oleh WHO, yakni pemanasan secara langsung hingga mendidih (direct boiling) dan metode pasteurisasi. Namun, seiring berjalannya waktu, diketahui bahwa metode pemanasan dengan direct boiling dapat menyebabkan kerusakan nutrisi signifikan yang terkandung di dalam ASI sehingga perlahan mulai ditinggalkan. Pasteurisasi yang paling umum digunakan pada ASI adalah holder pasteurization yakni memanaskan ASI pada suhu 62,5o C selama 30 menit yang terbukti mampu menginaktivasi HIV dengan tetap mempertahankan nutrisi protektif dari ASI.[11] Namun metode tersebut memerlukan alat pengatur suhu dan waktu yang umumnya sulit tersedia di negara dengan tingkat sumber daya yang rendah.[12]
Flash Heat Treatment (FHT) merupakan metode pemanasan yang baru saja dikembangkan. Metode pasteurisasi sederhana ini diyakini mampu digunakan oleh seluruh ibu rumah tangga di negara berkembang, baik di dapur bahkan di luar rumah. Penelitian yang dilakukan oleh Israel et al, membuktikan bahwa metode flash heated mampu menginaktivasi cell free clade C HIV-1 dari sampel ASI yang diperoleh dari ibu dengan HIV positif di Amerika Serikat, dengan tetap mempertahankan
kandungan nutrisi dan sifat antimikroba dari ASI tersebut.[13,14]
Kemampuan FHT dalam Menginaktivasi HIV-1 pada ASI
Kemampuan FHT dalam menginaktivasi HIV-1 yang terkandung di dalam ASI dari ibu yang HIV positif berhasil dibuktikan oleh Israel-Ballard et al melalui penelitiannya yang dilakukan pada ibu hamil di kawasan pinggiran Afrika Selatan.[15] Sebelumnya, Israel telah menemukan bahwa metode pemanasan dengan FHT mampu mempertahankan kandungan vitamin A, B6, B12, C, folat, riboflavin, thiamin dan protein antimikroba seperti lactoferrin dan lysozyme dari ASI. Walaupun ditemukan penurunan konsentrasi untuk lactoferrin dan lysozyme setelah pemanasan, tingkat penurunannya yang diperoleh nyatanya tidak begitu signifikan, dan properti antimikroba dari protein tersebut nyatanya masih kuat untuk melawan infeksi dari bakteri yang diujikan, yakni E. Coli dan S. Aureus.[13]
Untuk menguji kemampuan FHT dalam menginaktivasi infeksi HIV-1, Israel mengumpulkan 98 sampel ASI yang diperoleh dari 84 ibu yang menetap di kawasan pinggiran Durban, Afrika. Wanita yang berpartisipasi dalam penelitian tersebut adalah ibu menyusui yang positif terinfeksi HIV dan belum pernah mendapatkan terapi antiretroviral (ARV) maupun antibiotik sebelumnya. Selama proses pengumpulan sampel, wanita tersebut diedukasi untuk mencuci tangan dengan sabun dan air sebelum mengeluarkan ASI secara manual hingga volume 75-150 ml untuk kemudian ditempatkan pada botol kaca steril yang disediakan. Sampel ASI yang terkumpul lalu ditempatkan pada wadah berisi air es dan segera diangkut menuju laboratorium untuk diproses lebih lanjut. Dari total tiap sampel ASI yang dikumpulkan, 50 ml dipanaskan dengan metode FHT, sedangkan sisanya digunakan sebagai kontrol (tanpa pemanasan). Adapun berdasarkan metode reverse transcriptase (RT) assay, hanya 30 dari 98 sampel ASI yang positif mengandung HIV RNA (kadar HIV >400 copies/ml), sehingga hanya 30 sampel ASI yang diujikan pada percobaan.[15]
Pada metode FHT, 50 ml ASI yang berada dalam botol kaca steril tanpa tutup (455 ml), ditempatkan pada panci aluminium yang berisi air sebanyak 450 ml, kemudian dipanaskan bersamaan di atas kompor gas bermata tunggal hingga air mendidih dan mencapai suhu 1000C. Botol kaca berisi ASI kemudian segera dipindahkan dari air mendidih dan didinginkan hingga suhu 370C. Saat proses pemanasan, data temperatur dari ASI dicatat tiap interval 15 detik dengan menggunakan termometer probes. Umumnya, metode FHT dicapai ketika suhu berada di atas 560C setelah 6 menit 15 detik pemanasan, dengan puncaknya berada pada 72,90C.[15]
Dalam rangka mengidentifikasi keberadaan HIV yang masih hidup setelah pemanasan, sekaligus membandingkannya dengan ASI tanpa pemanasan, digunakanlah metode reverse transcriptase (RT) enzymatic activity assay dengan sensitivitas 400 copies/ml yang mampu mendeteksi keberadaan cell free HIV-1 (HIV yang terlarut dalam plasma) . RT assay dipilih karena RT mencerminkan kuantifikasi dari RNA serta mengingat fungsinya yang dibutuhkan saat tahapan infeksi seluler. Sedangkan untuk menganalisis kemampuan inaktivasi dari FHT
dan membandingkan konsentrasi HIV pada ASI dengan pemanasan dan tanpa pemanasan, digunakan uji tanda (sign test).[15]
Dari total 30 sampel ASI yang diujikan setelah pemanasan, diperoleh data rata-rata jumlah kadar HIV pada ASI tanpa pemanasan sebesar 8.266 copies/ml dengan mean log sebesar 3,45 HIV copies/ml. Hal ini sangat berkebalikan dengan hasil yang diperoleh pada ASI dengan pemanasan (FHT) yang menunjukkan kadar HIV yang hampir tidak terdeteksi, yakni di bawah 400 copies/ml dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Perbandingan Skala Logaritma dari Konsentrasi (copies/ml) Free Cell HIV-1 yang Terdeteksi dengan Metode Reverse Transcriptase (RT) Assay dari 30 Sampel ASI yang Positif HIV dengan Pemanasan dan Tanpa Pemanasan. [15]
Gambar diatas menunjukkan bahwa pemanasan ASI dengan metode FHT terbukti mampu menginaktivasi HIV-1 pada ASI, dan mencegah transmisi HIV dari ibu ke bayi melalui proses menyusui.[15]
Cerek Elektrik dengan Flash Heat Treatment System sebagai Prototipe Produk
Mowbray Maternity Hospital merupakan sebuah rumah sakit ibu dan anak di Cape Town, Afrika Selatan telah menerapkan prosedur pemberian ASI melalui metode pemberian panas (FHT) sesuai dengan protokol dari penelitian Israel-Ballard et al dengan memberikan sejumlah modifikasi, yakni botol kaca yang kini berpenutup untuk alasan stabilitas dan kompor elektrik yang menggantikan keberadaan kompor gas. Pasien utama yang langganan menggunakan FHT sesuai protokol Mowbray Maternity adalah ibu dengan HIV positif yang tinggal di kawasan tertinggal dengan keberadaan susu formula yang bukan merupakan pilihan aman karena sanitasi air yang buruk dan beban penyakit berat yang terus meningkat.[16]
Berdasarkan wawancara personal yang dilakukan terhadap empat ibu HIV positif, mengindikasikan bahwa mereka puas dengan sistem pasteurisasi sederhana, yakni Flash Heat Treatment (FHT) yang diterapkan di Rumah Sakit Mowbray tersebut. Di sisi lain, berdasarkan observasi tidak jarang ditemukan adanya penyimpangan dari pengguna terhadap protokol pemanasan yang disediakan oleh pihak rumah sakit, seperti rasio air
dan ASI yang tidak sesuai atau lamanya waktu pemanasan yang tidak tepat sehingga risiko virus yang tetap aktif dapat ditemukan. Sebagai solusi dari kedua permasalahan tersebut, maka dikembangkanlah sebuah produk berbasis FHT yang sesuai dengan desain dan spesifikasi yang seharusnya.[16]
Seyogyanya, terdapat tiga syarat utama yang harus dipenuhi oleh prototipe produk berbasis FHT agar memenuhi kualifikasi, yakni dapat digunakan oleh ibu-ibu pada tingkatan rumah tangga, mempunyai indikator mendidihnya air, dan adanya keseragaman pada suhu ASI saat dipanaskan.[16]
Suresh et al, tahun 2012 mencoba mengembangkan alat pemanas yang sekiranya dapat memenuhi syarat. Dalam rangka menguji keseragaman suhu pada ASI selama pemanasan, Suresh melakukan analisis transfer panas model dua dimensi yang telah disederhanakan pada wadah berbahan dasar kaca yang terjangkau oleh masyarakat Afrika Selatan, yakni toples selai kacang merk “Black Cat” (83x115 mm) dan model toples selai standar dengan ukuran yang lebih kecil yakni (50x95 mm) dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Model dari Toples Selai Kacang “Black Cat” (Kiri: 83x115 mm) dan Toples Selai Standar (Kanan: 50x95 mm).[16]
Adanya pergerakan partikel pada ASI ketika dipanaskan menunjukkan model konduktif murni yang sudah cukup untuk menggambarkan terjadinya keseragaman. Dari analisis transfer panas yang diujikan, diketahui bahwa perbedaan temperatur panas terbesar ditemukan antara bagian dasar dengan bagian pertengahan dari toples kaca. Lebih lanjut, ditemukan bahwa keseragaman suhu selama pemanasan lebih banyak ditemukan pada toples selai ukuran yang lebih kecil.[16]
Untuk memenuhi keberadaan indikator mendidihnya air, Suresh berpatokan pada bunyi siulan (peluit) yang umum dihasilkan oleh cerek teh ketika cairan mencapai titik didih. Agar bunyi peluit dapat dihasilkan, cerek harus dalam kondisi benar-benar tertutup. Pemanasan dengan metode FHT melibatkan sistem yang sebagian terbuka untuk mempertahankan agar temperatur ASI tetap berada di kisaran 720 C ketika air mendidih. Apabila digunakan sistem tertutup penuh layaknya cerek teh, maka temperatur ASI akan terus meningkat sehingga dikhawatirkan dapat merusak kandungan antibodi dan protein yang terkandung di dalam ASI. Oleh karena itu, Suresh merekomendasikan penggunakan cerek elektrik yang walaupun menerapkan sistem tertutup, tetapi tidak sepenuhnya tersegel rapat, sehingga diharapkan ASI dapat mengikuti profil panas dari FHT yang sesuai. Di samping itu, cerek elektrik telah banyak digunakan dan tersedia di kawasan pinggiran hingga pusat perkotaan.[16]
Sebagai penyempurna dari rangkaian alat yang diciptakan, Suresh menerapkan sedikit modifikasi pada cerek elektrik dengan memberikan sistem suspensi agar alat mampu menyesuaikan diri secara penuh dengan metode FHT dilihat pada Gambar 3. Sebuah kerangka kawat didesain untuk menggantungkan toples ASI dari tutup cerek listrik. Dua buah karet gelang kemudian dihubungkan dengan kerangka kawat pada salah satu sisinya, sedangkan sisi lainnya direkatkan melintas di atas tutup cerek listrik sehingga posisi toples ASI tetap tergantung stabil saat dipanaskan. Untuk lebih jelasnya, prototipe cerek elektrik dengan metode FHT yang dirangkai oleh Suresh et, al terlihat pada Gambar 4.[16]
Gambar 3. Kerangka Kawat (Kiri) dan Modifikasi Tutup Cerek Listrik dengan Menggunakan Karet Gelang sebagai Penahan Kawat (Kanan).[16]
Untuk memastikan bahwa rangkaian alat yang diciptakan telah sesuai dengan protokol FHT, maka dilakukan sebuah tes untuk menguji ketepatan alat dengan profil suhu dan waktu pemanasan metode FHT yang benar. Sesuai dengan protokol dari Israel-Ballard et al, 50 ml ASI ditempatkan pada toples kaca. Sebanyak 1,6 liter air kemudian ditambahkan ke dalam cerek elektrik, hingga tingginya mencapai dua buku jari di atas permukaan ASI. Toples kaca kemudian dipindahkan dari cerek ketika bunyi peluit terdengar, menandakan air telah mendidih.[16]
Gambar 4. Prototipe Cerek Elektrik dengan Flash
Heat Treatment System.[16]
Sesuai dengan grafik pada Gambar 5, diketahui bahwa temperatur ASI selama pemanasan mengikuti profil suhu FHT yang sesuai meskipun penurunan temperatur yang terjadi tidak secepat FHT konvensional. Proses penurunan temperatur yang cenderung lambat ini dapat berujung pada berkurangnya kandungan nutrisi dan antibodi aktif yang terkandung di dalam ASI. Oleh karena itu,
penelitian lebih lanjut terkait kandungan nutrisi dan zat antimikroba pada ASI pasca pemanasan dibutuhkan untuk memastikan kejadian tersebut.
Gambar 5. Profil Temperatur dari Cerek Elektrik dengan Flash Heat Treatment System (Warna Merah) Dibandingkan dengan Metode Flash Heat Treatment Konvensional Israel-Ballard et al (Warna Ungu).[16]
SIMPULAN
Penularan HIV dari ibu ke bayi (Mother to Child Transmission) melalui ASI masih menjadi penyebab utama dari banyaknya kasus anak yang terinfeksi dengan HIV. Substitusi ASI dengan susu formula masih menjadi kontroversi bagi negara-negara miskin hingga berkembang, dikarenakan susahnya memperoleh susu formula yang terbukti aman juga fungsi protektif dari ASI itu sendiri yang tak akan pernah bisa tergantikan. Pemanasan ASI dengan metode Flash Heat Treatment (FHT) mampu mencegah transmisi HIV dari ibu ke bayi selama proses menyusui dengan tetap mempertahankan kandungan nutrisi dan antibodi protektif yang terkandung dalam ASI tersebut sehingga dapat menjadi solusi dalam mencegah penularan HIV dari ibu ke bayi di negara dengan tingkat ekonomi rendah. Fungsi metode FHT dapat dikemas dalam sebuah rangkaian alat sederhana, yakni cerek elektrik yang mudah dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat, dan dapat dipraktekkan secara langsung oleh ibu-ibu di rumah.
SARAN
Walaupun terbukti efektif, efek inaktivasi HIV dari FHT yang diteliti sejauh ini masih terbatas pada cell-free HIV-1 (HIV yang terlarut dalam plasma), sedangkan pada setiap transmisi HIV selalu melibatkan dua jenis infeksi yang berlangsung berdampingan, yakni cell-free HIV-1 dan cell-associated HIV (HIV yang terdapat dalam sel) sehingga diperlukan penelitian lebih lanjut penelitian lebih lanjut mengenai efek inaktivasi FHT terhadap infeksi jenis cell-associated HIV. Sedangkan untuk memperoleh alat berbasis FHT yang benar-benar aman, diperlukan kajian lebih lanjut terkait kandungan nutrisi dan substansi antibakteri yang terkandung dalam ASI pasca pemanasan dengan menggunakan cerek elektrik berbasis Flash Heat Treatment System.
DAFTAR PUSTAKA
-
1. World Health Organization
http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs360
/en/. [Online] Diakses pada 23 Desember 2017 pukul 20:32
-
2. Global AIDS monitoring 2017: indicators for monitoring the 2016 United Nations Political
Declaration on HIV and AIDS.
Geneva: UNAIDS; 2017 (http://www.unaids.or g/sites/default/files/media_asset/2017-Global-AIDS-Monitoring_en.pdf)
-
3. United Nations Programme on HIV/AIDS (UNAIDS) info. HIV overview. Updated August 2017. Diakses pada 23 desember 2017 pukul 20.58 di laman
https://aidsinfo.nih.gov/understanding-hiv-aids/fact-sheets/19/45/hiv-aids--the-basics
-
4. UNAIDS. Global AIDS Response Progress Reporting. Geneva: (2011).
-
5. Kourtis, Athena P,. et al. Mother-to-child
transmission of HIV-1: timing and implications for prevention. The Lancet infectious diseases 6.11 2006: 726-732.
-
6. Creek, T., C. Luo, and T. Quick. HIV-exposed children highly affected by deadly outbreak of diarrhea and severe acute malnutrition-Botswana, 2006. Late Breaker Abstract. 2006: 1.
-
7. World Health Organization. Guidelines on HIV and infant feeding. Principles and
recommendations for infant feeding in the context of HIV and a summary of evidence Geneva: World Health Organization. 2010.
-
8. Yayasan Pelita Ilmu. Jejak dua
dekade Yayasan Pelita Ilmu. Jakarta: Yayasan Pelita Ilmu. 2009.
-
9. Kementerian Kesehatan. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan. Laporan perkembangan situasi HIV dan AIDS di Indonesia Triwulan III. Jakarta: Kementerian Kesehatan. 2014.
-
10. Departemen Kesehatan. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan. Pedoman nasional
pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia Direktorat Jenderal
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan. 2011.
-
11. Lawrence, Ruth A., and Robert M. Lawrence. Breastfeeding e-book: a guide for the medical professional. Elsevier Health Sciences, 2010.
-
12. Chantry CJ, Israel-Ballard K et al. Feasibility of using flash-heated breastmilk as an infant feeding option for HIV-exposed, uninfected infants after 6 months of age in urban Tanzania. J Acquir Immune Defic Syndr. 2012 May 1; 60 (1): 43-50.
-
13. Chantry CJ, Israel-Ballard K et al. Effect of flashheat treatment on antimicrobial activity of breastmilk. Breastfeed Med. 2011 jun; 6(3): 111.
-
14. Israel-Ballard K, Abrams BF, et al. Vitamin content of breast milk from HIV-1-infected mothers before and after flash-heat treatment. J Acquir Immune Defic Syndr. 2008 Aug 1; 48 (4): 444.
-
15. Israel-Ballard K, Volk ML, Hanson CV, Chantry CJ. Inactivation of cell-associated and cell-free HIV-1 by flash-heat treatment of breast milk. J Acquir Immune Defic Syndr. 2010 Apr; 53(5): 656.
-
16. Suresh, Aneesha, et al. Novel device to conduct flash-heat treatment in efforts to reduce mother-
to-child HIV transmission in low-resources areas. Engineering in Medicine and Biology Society
(EMBC), 2012 Annual International Conference of the IEEE. IEEE, 2012.
44
Discussion and feedback