PERSOALANSAKRALISASI TARI ANDIR

DI DESA TISTA, KERAMBITAN,KABUPATEN TABANAN

Ni Made Arshiniwati

InstitutSeni Indonesia Denpasar Jalan Nusa Indah Denpasar email: [email protected]

ABSTRAK

Tariandir di Desa Tista adalah sebuah bentuk tarisejenis legong keraton yang oleh masyarakat Tista disebut dengan andir.Strukturkoreografinyasangatdekatdengantarilegongkeraton, tetapitari andir hanya berkembang di Desa Tista Kerambitan.Tari inidifungsikan sebagai seni wali dan bebali yang dalam pementasannya selalu melibatkan rangda sungsungan masyarakat, baikditampilkansebagaibagiandariceritamaupunhanyasebagai “saksi” pementasannya. Penelitian kualitatif dengan mengaplikasikan teori representasi,teori ideologi, teori estetika, dan teori semiotika ini mengkaji permasalahan pokok yaitu tari andirsebagai seni sakral di Desa Tista Kerambitan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagai seni sakraltari andir terkait dengan:(1) penggunaan peralatan (benda keramat) berupa pelibatan rangdasungsungan (Ratu Ayu Lingsir dan Ratu Ayu Anom), yangdipercayamemilikikekuatanmagis yang dapatmelindungimasyarakatTista;(2) setiap kegiatan yang dilakukan selalu melewati suatu proses upacara dengan berbagai upakara yang melengkapinya;(3) pelakunya adalah orang-orang pilihan(dipilih anak-anak gadis yang belum mengalami masa akil balik dan dipandang sebagai penari yang kesenengin yang dipilih dan direstui oleh Tuhan);(4) tempat pementasannya adalah tempat-tempat suci yang terkait dengan upacara yadnya di pura-pura setempat dan dilakukan tiap 210 hari sekali (tiap enam bulan Bali atau enam kali tiga puluh lima hari); (5) waktu pementasannya merupakan waktu yang dianggap kramat (sacred time) dan terkait dengan upacara yadnyadan (6) masyarakat pendukung (yang meyakini bahwa tari andir merupakan tari sakral yang kesakralannya bersumber dari rangda sungsungan.

Kata kunci: tariandir, senisakral.

PENDAHULUAN

Tariandir di Desa Tista merupakan salah satu tari tradisional Bali sejenis legong keraton yang oleh masyarakat Tista disebut dengan andir.SenitradisisepertidisampaikanolehWibowo (2000: 57-60) adalah “senikolektif yang hidup di masyarakatdanlahirdaridorongan spiritual masyarakatdanritus-rituslokal yang secararohanidan material sangatsignifikanbagikehidupan social

suatulingkunganmasyarakatataudesa”.Tariandir   yang hidupdanlahirdaridorongan

spiritual masyarakat Desa Tista ini memiliki prinsipkeindahan yang hamper samadenganlegong              keratin              dangambuhyaitungigelintabuh.

PrinsipngigelintabuholehDibia                      (1996:                      100)

dikatakanmengandungpengertianadanyasuatukeharmonisandanketerkaitanantaragerakta ridangamelan pengiring.

Tari andir dan tari legong keratonmemang merupakan bentuk tari yangsejenis, namun perkembangan dari kedua tari tersebut sangat berbeda.Tari legongkeraton dapat dijumpai hampir di semua Kabupaten dan Kota di Bali. Tari legongkeraton bahkan identik dengan Bali karena tari klasik ini telah mampu merepresentasikan Bali di mata masyarakat luas termasuk dunia internasional. Sementara tari andir hanya ada di desa Tista, itupun hanya berkembang di satu banjar yaitu Banjar Carik Desa Tista Kerambitan. Dengan demikian tari andir termasuk salah satu kesenian langka yang perlu dipertahankan agar tidak mengalami kepunahan. Namun kenyataan di lapangan memperlihatkan bahwa tari andirseringkalimengalami masalah dalam hal penggenerasian pemain, baik penari maupun penabuh. Apabila masalah ini tidak mendapatkan perhatian tentu upaya pemertahanan tidak tercapai sesuai harapan.

METODE PENULISAN

Tulisan ini bertujuan untuk mendeskripsikan tari andir sebagai seni sakral di Desa Tista, Kerambitan. Aspek-aspek yang dikaji menyangkut masalah fungsi tariandir, kepentingan-kepentingan     yang     ingindicapai,      maupunsistem     yang

digunakanuntukmencapaikepentingantersebut. Penyajian data dan penafsirannya dikaitkan dengan berbagai faktor yang melingkupi tari andir sepertikemunculan dan perkembangannya, keberadaan dan perannya dalam masyarakat, kaitannya dengan pelaku-pelaku seni, kaitannya dengan sistem dalam masyarakat, maupun kaitannya dengan berbagai kepentingan.Dengan demikian penelitian ini memerlukan pendekatan secara sinkronis maupun diakronis.

Soedarsono (1999: 20) mengatakan bahwa apabila objek penelitian masih hidup dan seorang peneliti akan mengungkap tahap-tahap perkembangannya, maka dapat digunakan pendekatan diakronis dan sinkronis atau menggunakan pendekatan tekstual

dan sekaligus kontekstual. Penarikan kesimpulan dilakukan dengan mengadakan interpretasi terhadap permasalahan yang diajukan dengan mengaplikasikan teori Representasi,teori Ideologi, teori Estetika, dan teori Semiotika. Hasil analisis data memuat deskripsi secara informal dan formal. Deskripsi informal menyajikan hasil analisis secara naratif, sementara deskripsi formal menyajikan hasil analisis dalam bentuk gambar, bagan, ataupun foto-foto yang digunakan untuk mendukung kualitas penarasian hasil analisis.

PEMBAHASAN

TariandirdiDesaTista,

Kerambitandulunyadifungsikansebagaisenibebalidanbalih-balihan, namunbelakangantariinidifungsikansebagaiseniwalidanbebali.Dibia               dkk.

(1997/1998-1999/2000: 7-8) mengatakan bahwa kesenian wali merupakan salah satu aspek vital dari kehidupan spiritual masyarakat. Oleh sebab itu, kesenian seperti ini sangat disucikan karena dianggap serta dipercaya memiliki kekuatan magis serta mengandung nilai-nilai religius yang dipentaskan sebagai persembahan suci (yadnya) untuk kepentingan suatu upacara ritual.

Berdasarkankonseptersebuttariandiryang dalam setiap pementasannya selalu melibatkan rangdasungsungan  (Ratu  Ayu Lingsir dan Ratu Ayu  Anom),

baikditampilkansebagaibagiandariceritamaupunhanyasebagaisaksipementasan.merupak ansubjek                                                                yang

dipandangsakralolehmasyarakatDesaTistaKerambitan.Sakraldiartikankeramat,     suci,

kerohanian (Partanto, 1994: 689).Tari andirdipandangsebagai seni sakral karena sesuai dengan fungsinya sebagai seni wali maupun bebali. Ciri-ciri seni wali sepertidikatakan oleh Dibia dkk. (1997/1998-1999/2000: 7-8) antara lain melibatkan benda-benda kramat yang disucikan (sacred object); memerlukan upacara-upacara ritual yang dilaksanakan dengan sesajen; terdiri dari orang-orang pilihan (selected performers); hanya boleh dipentaskan ditempat-tempat suci (sacred space) seperti halaman pura, perempatan jalan, dan tempat-tempat lain dimana sebuah upacara yadnya dilaksanakan; serta pertunjukannya selalu diikat oleh waktu tertentu yang dianggap kramat (sacred time).

Aplikasi dari ciri-ciri tersebut di dalam tari andir adalah sebagai berikut. (1) Tari andir menggunakan peralatan (benda keramat) berupa pelibatan rangdasungsungan (Ratu Ayu Lingsir dan Ratu Ayu Anom).Rangdasungsunganmerupakanbendasuciyangsangatdikeramatkandandipercayam emilikikekuatanmagis yang dapatmelindungimasyarakatTista.Selain rangda sungsungan, benda-benda terkait dengan tari andir yang juga dianggap keramat adalah: gelungan,keris, umbul-umbul dan gamelan (instrumen pengiringnya).(2) Setiap kegiatan yang dilakukan selalu melewati suatu proses upacara dengan berbagai upakara yang melengkapinya. Ritual-ritual yang dilakukan diantaranya: nuasen latihan (terutama pada acara penggenerasian pemain), pamelaspasan (ritual untuk peralatan baru dan penari-penari baru yang akan digunakan dan ditampilkan), dan ritual yang dilakukan dalam setiap pementasan. (3) Pelakunya adalah orang-orang pilihan, biasanya dipilih anak-anak gadis yang belum mengalami masa akil balik. Pemilihan selanjutnya dilakukan berdasarkan seleksi pada waktu pelaksanaan latihan. Penari-penari yang bisa mengikuti proses latihan sampai bisa membawakan koreografinya secara utuh dipandang sebagai penari yang kesenengin (dipilih dan direstui oleh Tuhan). (4) Tempat pementasannya adalah tempat-tempat suci yang terkait dengan upacara yadnya di pura-pura setempat dan dilakukan tiap 210 hari sekali (tiap enam bulan Bali atau enam kali tiga puluh lima hari).(5) Waktu pementasannya merupakan waktu yang dianggap kramat (sacred time) dan terkait dengan upacara yadnya seperti: tiap Kamis Pon Uku Kuningan dipentaskan di pura Paempatan;tiap Jumat Uku Kuningan dipentaskan di pura Puseh; tiap Kamis Uku Paang dipentaskan di pura Prajapati; tiap Selasa Kliwon Uku Perangbakat dipentaskan di pura Batu Belig; tiap Sabtu Kliwon Uku Wayang dipentaskan di pura Taman; dan tiap Senin Wage Uku Dukut dipentaskan di Pura Dalem. Pementasan tari andir di pura-pura setempat dilakukan tiap 210 hari sekali (tiap enam bulan Bali atau enam kali tiga puluh lima hari).

Selain ke lima ciri tersebut ada satu hal penting yang membuat seni tersebut dikatakan sakral, yaitu masyarakat pendukung yang meyakini kesakralannya. Masyarakat Desa Tista sebagai masyarakat pendukung tari andirmemang meyakini bahwa tari andirmerupakan seni sakral.Kesakralannya bersumber dari rangda sungsungan.

Menjadikan tari andir sebagai seni sakral tentu mempunyai tujuan.Hal ini sejalan dengan pandangan Bandem (1995: 15) yang mengatakan bahwa manusia

mencipta untuk berbagai kepentingan, sehingga hasil ciptaannyapun mengalami fungsi yang berbeda pula. Salah satu tujuan dalam menjadikan tari andir sebagai seni sakral adalah untuk dapat mengatasi permasalahan penggenerasian pemain.Keyakinan terhadap rangda sungsungan yang selalu dilibatkan dalam tari andirmemilikikekuatanmagis                                               yang

dapatmelindungimasyarakat,setidaknyaakanmendorongsemangatmasyarakatuntuktetap melibatkandiri di dalamkeseniantersebut.

Senitersatupadukandemikianeratdenganlingkungankehidupan yang dari situ senitimbuldan di dalamlingkunganitusenidinikmati(Gie, 1996: 38).Perubahan fungsi tari andirdari tidak sakral menjadi sakralmerepresentasikan adanya perubahan nilai-nilai spiritual, sosial, dan kultural dari masyarakat pendukung atau pemiliknya. Representasi seperti dikatakan oleh Jodelet(2006:   4) selalu terkait dengan ideologi.

Ideologimerupakansistemkepercayaandansistemnilaisertarepresentasinyadalamberbagai media      dantindakansosial      (Piliang,      2006:      20).Menganalisisbentuk-

bentuksimbolsebagaiideologiberartimenganalisisbentuk-bentukrelasi              yang

digunakandandikendalikandalamkontekssosialhistoristertentu (Thompson,2003:   17-

18).Berpijak dari pandangan tersebut, perubahan fungsi dalam tari andir merupakan bagian dari ideologi yang bertujuan agar nilai-nilaibudaya,mitos, normasertakonsep-konsepdalammasyarakat yang direpresentasikanmelaluitariandirdapatdipertahankan.

Rangdasungsungan(sebagaisarana agama) dantariandir(sebagaisebuahseni) yang bersinergimerupakanideologiuntukmempertahankaneksistensitaritersebut.Dengandemiki anpenomenayang    terjadidalamtariandirtidakjauhberbedadenganpandanganMumford

(dalamMangunwijaya, 1985: 33) yang mengatakanbahwaupacara, kesenian, puisi,

drama, musik, tari-tarian, ilmupengetahuan, mitos, dan agama, semuanyasama-samahakikidalamkehidupanmanusia.Halitutidaksajamencakupaktivitas-aktivitaskerja yang      langsungmenunjangkehidupannya,      melainkanjugamencakupkegiatan-

kegiatansimbolis yang memberiarti, baikkepada proses-proses kerjadanhasil-hasilnyamaupunkepadapenyelesaiannya.

Sebagai sebuah kesenian yang lahir dari suatu masyarakat desa yang dinamis, tari andiryang merupakan perwujudan ekspresi budaya, simbol kebanggaan masyarakat, dan sarana integrasi sosial dalam masyarakat Desa Tista diharapkan untuk tetap dapat bertahan di tengah-tengah arus globalisasi.Kebertahanan tari andir yang merupakan salah satu kesenian khas daerah Tabanan iniakan menunjang kebertahanan khasanah kekayaan seni budaya Bali.

UCAPAN TERIMA KASIH

TerimakasihdiucapkankepadaProf. Dr. Ir. Sulistyawati, MS., M.M., M.Mis.,D.Th.; Prof. Dr. I WayanDibia, SST.,M.A; Prof. Dr. I NyomanWedaKusuma, M.S.; di sampingkepada Dr. I GedeMudana, M.Sidarie-journal of cultural studies (www.ojs.unud.ac.id)       atassegalailmudanbimbingan      yang      diberikan,

sehinggaartikelinidapatdiselesaikandenganbaik.

DAFTARPUSTAKA

Arshiniwati, Ni Made. 2014. ”Sakralisasi Tari Andir di Desa Tista, Kerambitan, Kabupaten Tabanan”, disertasi Program Doktor, Program Studi Kajian Budaya, Program Pascasarjana, Universitas Udayana.

Bandem, I Made. 1995. “Tari Bali Dalam Upacara Agama Hindu”. Makalah disajikan Dalam Rangka Pengabdian Masyarakat/Pembinaan Kesenian oleh Dosen dan Mahasiswa STSI Denpasar di Propinsi Lampung. Denpasar: Sekolah Tinggi Seni Indonesia.

Dibia, I Wayan. 1996.“Prinsip-prinsip Keindahan Tari Bali” dalam Jurnal Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia (MSPI) cetakan pertama 1996. Yogyakarta: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia,Yayasan Bentang Budaya.

Dibia, I Wayan, dkk.1997/1998-1999/2000.Tari Wali Sanghyang, Rejang, Baris.

Denpasar: Dinas Kebudayaan Propinsi Daerah Tingkat I Bali.

Gie, The Liang.1996. Filsafat Seni. Yogyakarta: Pusat Belajar Ilmu Berguna (PUBIB).

Jodelet, Denise. 2006. LatarBelakangTeoriRepresentasiSosial (Representation Sociales).Diterjemahkandari “Le Dictionnaire des Sciences Humaines”, Paris, PUF, 2006.Depok:   DepartemenSusastra FIPB-UI. http://www.9icsr-

Indonesia.net.ina.

Mangunwijaya,    Y.B.    1985.    TeknologidanDampakKebudayaannya.Jakarta:

YayasanObor Indonesia. Soedarsono. 1999. Metodologi Penelitian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa.Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia.

Piliang, Yasraf Amir. 2006. Dunia Yang Dilipat, Tamasya Melampau Batas-Batas Kebudayaan. Yogyakarta: Jalasutra.

Thompson, J.B. 2003. Analisis Ideologi Kritik Wacana Ideologi-ideologi Dunia. (Haqqul Yakin Penerjemah). Yogyakarta: IRCiSoD.

Wibowo, Fred. 2000. “SeniTradisi di Tengah KemajuanTeknologiTinggi”. Dalam: JurnalEkspresiVolume   II Tahun I, September 2000. Yogyakarta:

LembagaPenelitianInstitutSeni Indonesia.

7