TUBUH JOGET ALE-ALE SEBAGAI MODAL PERLAWANAN

Salman Alfarisi

Program Studi Seni Drama, Tari, dan Musik STKIP Hamzanwadi Selong email: [email protected].

ABSTRAK

Paper ini bertujuan untuk memahami bagaimana fenomena tubuh joget dalam kesenian Ale-ale. Kesenian ini muncul di tengah masyarakat Sasak, Lombok, tahun 1999. Ketiga unsur kesenian ini, yakni musik, lagu, dan tarian mencerminkan gagasan perlawanan terhadap kemapanan. Pembongkaran terhadap kebenaran tunggal Tuan Guru dan budayawan sebagai kelompok dominan di masyarakat Sasak tampak pada ekspresi tarian joget. Oleh karena itu, untuk memahami dimensi perlawanan joget tersebut digunakan metode kualitatif-interpretatif dengan rancangan penelitian berparadigma kajian budaya. Teori yang dipergunakan adalah teori sosial kritis, seperti teori praktik sosial Bourdieu, teori dekonstruksi Derrida, dan estetika postmodern sebagai tambahan. Pemerolehan data dilakukan dengan cara wawancara mendalam, observasi paratisipatoris, dan dokumentasi.

Temuan penting penelitian ini antara lain pertama, tubuh joget memerlihatkan kekayaan dimensi perlawanan kesenian Ale-ale karena dengan tubuh, joget dapat memerdekakan diri dari keterdesakan oleh relaitas mereka, baik keterdesakan dalam dimensi ekonomi maupun sosial yang dikonstruk oleh kelompok elite masyarakat Sasak. Dalam konteks ini, tubuh joget tidak hanya menjadi eskpresi personal joget, tetapi juga dapat menjadi arena praktik kuasa kelompok dominan di masyarakat Sasak, yakni Tuan Guru dan budayawan. Kedua, tubuh joget tidak hanya dapat dilihat sebagai ekpresi estetis semata melainkan sebagai bentuk pertarungan antara kelompok yang terpinggirkan yakni joget dengan kelompok dominan, yaitu Tuan Guru dalam soal keagamaan dan budayawan dalam konteks kebudayaan.

Kata-kata kunci: tubuh, joget, kebebasan, perlawanan.

PENDAHULUAN

Joget merupakan pusat magnet dalam pertunjukan kesenian Ale-ale, yakni kesenian yang muncul pada tahun 1999 di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Kesenian ini diambil dari judul lagu yang diciptakan Jamilah Adiningrat setelah sebelumnya Yah Kondang mengkreasikan kesenian tradisional Kamput menjadi Kamput modern yang menjadi cikal bakal kesenian Ale-ale, sehingga kedua seniman ini dapat disebut sebagai pencipta kesenian Ale-ale. Kesenian ini menjadi kontroversial karena dipandang bertentangan dengan agama dan nilai budaya oleh pemuka agama, yakni Tuan Guru dan pemangku budaya, yakni budayawan. Penentangan kedua figur ini semakin kuat manakala joget mempertunjukkan tarian mengandung unsur erotisme. Tuan Guru dan budayawan menghendaki agar joget selalu berpegang kepada nilai agama dan kesenian mainstream. Sementara joget bersikap sebaliknya.

Situasi yang berlawanan di atas telah memperhadapkan joget dengan Tuan Guru dan budayawan, sehingga joget mengoptimalkan tubuh sebagai modal perlawanan,

sedangkan Tuan Guru menjadikan nilai agama dan budayawan menggunakan nilai budaya adiluhung untuk menekan joget. Didorong oleh kehendak perlawanan terhadap Tuan Guru dan budayawan serta kehendak untuk memeroleh uang, joget pun memaksa tubuh mereka untuk bekerja dengan menghadirkan tarian sepanjang pertunjukan berlangsung. Atas dasar ini, maka fokus penelitian ini adalah pada bagaimanakah tubuh joget dipergunakan sebagai modal perlawanan. Tujuan penelitian ini untuk memahami dan menjelaskan fenomena tubuh joget yang dipergunakan sebagai modal perlawanan.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dirancang berparadigma Kajian Budayawa dengan menggunakan teori kritis untuk memahami persoalan yang ada. Metode penelitian yang dipergunakan adalah kualititaf interpretatif. Data penelitian diperoleh dengan wawancara mendalam, obeservasi partisipatoris, dan dokumentasi kemudian dideskripsikan melalui kalimat, tabel dan gambar.

PEMBAHASAN

Tubuh sebagai simbol sekaligus modal bagi joget untuk melakukan resistensi terhadap kekuasaan yang menekan mereka. Baik kekuasaan yang timbul akibat hasrat mereka yang melahirkan kehendak konsumtif maupun kekuasaan yang datang dari kelompok dominan dalam kehidupan sosial mereka, yakni Tuan Guru dan budayawan. Karena joget umumnya berasal dari kelas ekonomi rendah, maka untuk pemenuhan hasrat konsumtif, agar mereka merasakan kesetaran dengan kelompok dominan, tubuh mereka paksa untuk bekerja mencari uang di sepanjang pertunjukan kesenian Ale-ale. Dalam konteks ini, dapat dipahami bahwa tubuh juga menjadi wilayah di mana relasi kuasa berjalan di atasnya. Relasi-relasi kuasa itu melatih, memaksa, menyiksa, menandai, menanamkan kehendak dan menguasai tubuh (Foucault dalam Hardiyanta, 1997: 28-29).

Pertanyaannya, siapa penakluk tubuh yang mempolitisasi secara teknologis tubuh dalam konteks kesenian Ale-ale. Sebagai pusat magnet pertunjukan kesenian Ale-ale, jogetlah aktor utama dalam penaklukan tubuh tersebut. Tetapi dalam konteks relasi sosial yang berlangsung secara kolektif di kalangan pertunjukan kesenian Ale-ale, maka elemen lain juga berperan besar. Misalnya pengibing yang memaksa tubuh joget melampaui batas kekuatannya. Relasi-relasi tubuh tersebut tidak dapat dilepaskan dari resistensi pemilik tubuh terhadap kekuasaan dominan. Citra tubuh merupakan prasarat penting untuk melakukan tindakan sukarela karena menyatukan dan mengoordinasikan sensasi sikap tubuh, perabaan, gerak, dan pengelihatan, sehingga sensasi-sensasi ini dialami sebagai sensasi suatu subjek yang dikoordinasikan menjadi ruang tunggal (Grosz dalam Ritzer dan Smart, 2012: 893).

Sebagai modal joget, tubuh mula-mula diperlihatkan dengan gerakan-gerakan ala kadarnya, tetapi begitu memasuki fase di mana tubuh digerakkan untuk memancing gairah penonton guna mengibing, tubuh tidak lagi menjadi milik joget, melainkan tubuh sudah dipekerjakan oleh joget sebagaimana yang dikatakan Synott sebagai tubuh sosial dan Rogers menyebutnya sebagai tubuh budaya (dalam Atmadja, 2010: 72). Dengan kata lain, tubuh sudah bekerja pada penonton atas namanya sendiri untuk kepentingan joget. Oleh joget, tubuh dipacu, digoyang, digetarkan, ditarik maju mundur, ditekan ke bawah ke atas tanpa mengenal lelah agar tubuh mendapatkan bayaran yang banyak. Joget tidak peduli apakah tubuh mereka sudah merasakan letih, sepanjang masih ada waktu dan kesempatan, tubuh terus bekerja tanpa henti.

Dalam situasi tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa tubuh joget menemukan titik via negativa, yakni penyatuan psikis dan tubuh menjadi alat bagi joget untuk melakukan kontak dan berada lebih dekat dengan sisi dalam batin mereka (Yudiaryani, 1997: 202). Pada kondisi ini, joget sudah lepas dari tubuh mereka sendiri. Mereka masing-masing memiliki dunia sendiri. Joget dengan hasrat memeroleh bayaran yang lebih banyak, bahkan hasrat fantasi seksual sebagaimana yang difantasikan oleh penonton, sedangkan tubuh dengan hidupnya sendiri, bergerak mempertunjukkan kuasanya.

Sekali waktu, dengan jelas terlihat, ekspresi wajah joget jauh berbeda dengan gerakan tubuh mereka. Wajah mereka seperti sedang berada jauh di luar kalangan pertunjukan kesenian Ale-ale. Meskipun mereka berusaha tersenyum dan tertawa. Hal itu semata-mata dilakukan sebagai bentuk profesionalitas. Akan tetapi, begitu wajah mereka ditarik ke tubuh, maka yang tampak adalah perasaan berbeda. Wajah joget seperti sedang tertimpa persoalan, sedangkan tubuh mereka tidak peduli, sehingga tubuh tersebut terus bergerak mencari mangsa, karena tubuh mereka sedang menemukan titik kulminasi yang tepat untuk menumpahkan kemarahan.

Tubuh di satu sisi menjadi topeng sekaligus modal joget, tetapi pada saat bersamaan, joget sebenarnya sedang disiksa oleh tubuh mereka sendiri, sehingga mereka merasakan sakit pada diri mereka sendiri dalam waktu yang lama. Persoalan hidup joget yang berada dalam ekonomi rendah, kelompok terpinggirkan yang di satu sisi juga memiliki hasrat untuk setara dengan kelompok domian merupakan pisau bagi tubuh untuk menyiksa joget dengan cara memacu joget terus ngibing. Dengan begitu, joget terus menerus merasakan sakit. Terlebih lagi, rasa sakit yang joget rasakan tidak digubris orang lain. Dalam konteks siksaan simbolik tubuh kepada joget ini, dapat diacu pula apa yang dikatakan Foucault, jadi siksaan merupakan seni menghasilkan sejumlah rasa sakit yang diatur berdasarkan kriteria tertentu (dalam Hardiyanta, 1997: 37).

Perbedaan kehendak tubuh joget dengan joget sendiri semakin tampak apabila pertunjukan sudah usai. Joget merasakan tubuh mereka letih, lalu mereka menangis di

belakang panggung karena mengingat persoalan hidup mereka atau mereka termenung, duduk dengan tatapan mata kosong meskipun sedang berada di tengah keramaian. Mereka tampak tidak memiliki daya apa pun. Tidak pula tampak bahwa baru saja mereka mengontestasikan ideologi kekebasan mereka di pertunjukan kesenian Ale-ale. Dalam konteks ini, tubuh diperbudak oleh hasrat joget, tetapi pada saat bersamaan tubuh juga sedang menumbangkan joget dengan cara memotong semua kemungkinan yang stabil pada hasrat joget (Ritzer, 2010: 228).

Lebih jauh lagi, ketika tubuh diperhadapkan dengan penonton, tubuh menebar kuasanya dengan berusaha menjaga stamina, melayani pengibing yang satu ke pengibing berikutnya yang jauh lebih bertenaga. Tubuh mesti melayani pengibing yang masih bertenaga baru tersebut, sedangkan sebelumnya tubuh sudah melakukan pemerasan tenaga yang masih tersedia. Namun demikian, kuasa tubuh telah mengikat pengibing dengan pesona tenaga yang terus terjaga, bahkan bagi sebagian penonton melihat bahwa pada saat tubuh tampak semakin lelah justru pesona tubuh semakin mereka rasakan. Hal senada diungkapkan oleh Joas, bahkan untuk mengidentifikasi persepsi atau sensasi yang datang dari dalam diri sendiri, diperlukan sikap terhadap tubuh orang itu sendiri yang diperantarai dengan isarat tubuh yang signifikan (dalam Ritzer dan Smart, 2012: 894).

Pada diri joget, sering tampak bahwa tubuh mereka memiliki dunia sendiri. Ideologi tubuh adalah memuaskan tuannya, yakni joget itu sendiri dan penonton. Nalar joget sering tampak tidak sejalan dengan tubuh mereka. Mereka mempunyai hasrat menguasai penonton dan memiliki obsesi memeroleh tujuan mengumpulkan uang bayaran sebanyak-banyaknya, sementara tubuh melayani tuannya meskipun dengan perubahan rupa, yakni dari tubuh tampak masih bertenaga dengan tubuh yang “harus” tampak bertenaga.

Tubuh bagian betis tidak luput dari perhatian penonton. Mereka menilai betis tersebut putih atau tidak, panjang atau pendek, kokoh dan lincah bergerak atau tidak. Apabila betis tersebut memesonakan mereka, penonton tidak segan-segan langsung memberikan penilaian kemudian tidak malu-malu menampakkan keterpesonaan. Tidak merasa puas dengan tubuh bagian betis, penonton menggerayangkan mata mereka ke bagian paha. Paha yang dibiarkan terbuka sedikit dengan kain yang ditarik hingga ke atas lutut membuat penonton tidak tinggal diam.

Dalam situasi tersebut, tampak bahwa penonton sedang mengalami histeria, sehingga mereka terus mengikuti hasrat seksual mereka dengan media tubuh joget secara berpindah-pindah karena mereka sedang berada dalam situasi fantasi romantis yang meregresi mereka secara imajinatif dan emosional sehingga mereka merasakan diri dibawa ke suatu masa di mana mereka merasakan diri sebagai pusat perhatian (Radway dalam Storey, 2010: 59). Histeria ini yang menyebabkan penonton tidak bisa merasa terpuaskan dalam waktu lama, sehingga kuasa tubuh joget terus mencengkram penonton sampai batas-

batas yang mereka sendiri hadirkan dengan cara histeria. Penonton membentuk sensasi mereka sendiri dengan visualisasi tubuh joget. Sensasi dan inervasi yang jumlahnya tidak bisa dihitung, yang kita temui sebagai gejala histeria, dalam organ-organ yang tidak bisa dikaitkan dengan aspek seksualitas (Freud, 2009: 342-243).

Merasa tidak puas dengan bagian tubuh yang terbuka, penonton memamerkan hasrat mereka terhadap tubuh yang tertutupi pakaian joget. Pinggul, perut, buah dada, bahkan punggung pun menjadi objek hasrat penonton. Kuasa tubuh telah mengubah penonton melupakan ruang dan waktu tempat di mana mereka bisa jadi tidak dapat mengekspresikan diri secara bebas. Mereka berasal dari kelompok terpinggirkan sehingga hidup dalam tekanan sosial dan ekonomi kelompok dominan. Dengan itu, untuk sementara waktu mereka lupa bahwa mereka sedang berada di ruang publik. Hasrat untuk menyentuh, melihat, hingga merasakan tubuh joget dipamerkan secara merdeka dan berkelompok.

Joget yang memiliki tubuh menyadari bahwa mereka telah menguasai penonton. Dengan begitu, mereka pun dengan mudah “menjajah” penonton, mengubah mereka seperti orang gila, sehingga sanggup melakukan apa saja untuk memuaskan diri. Dalam konteks ini, kuasa tubuh telah membuat mereka merasa di puncak hasrat hanya dengan mereka melihat, sekali waktu memegang, dan hanya dengan menertawakan tingkah pengibing sekaligus menertawakan diri sendiri. Hal ini memerlihatkan salah satu bentuk kekuasaan, di mana kekuasaan joget dan pengibing berlabuh pada kenikmatan yang tidak terlindungi karena kenikmatan itu muncul manasuka (Foucault dalam Ritzer, 2010: 112).

Perayaan kemenangan yang dilakukan oleh kuasa tubuh dan pengibing terus berlanjut ke dalam ekspresi kebebasan berbentuk simbolik dengan beragam rupa dan gaya, tergantung karakter pengibing. Keduanya sama-sama saling menundukkan, sehingga tontonan pertunjukan kesenian Ale-ale tidak henti-hentinya menyihir penonton hingga pertunjukan usai, karena tubuh harus punya kuasa atau dikonstruk untuk memiliki kuasa, sehingga tubuh yang merasakan lelah pun tetap tampak memiliki kuasa.

Perlu diketahui, apa sebenarnya yang sedang terjadi pada saat tubuh merayakan kuasanya kepada joget dan termasuk pula memperdayai penonton. Kalau dalam konteks psikoanalisis, yang tampak adalah bagaimana bawah sadar joget berperan penting, yakni mereka memiliki banyak persoalan yang membuat mereka membiarkan diri dikuasai oleh tubuh mereka sendiri. Ekonomi, posisi sosial yang rendah, lemahnya akses kuasa, sehingga berimplikasi pada kurangnya perasaan bahagia mereka pada saat berada di luar kalangan pertunjukan kesenian Ale-ale. Dalam hal menarik dicermati analogi Ritzer, logika psikonalisisnya adalah, contoh bahwa, penutur memeroleh kenikmatan dari selip lidah. Dan kemudian mengeluarkan ide yang tertekan, namun dalam proses penutur juga mengacaukan makna yang diucapkan. Jadi kata-kata yang dikeluarkan dalam selip lidah harus ditafsirkan sebagai gejolak pokok bahkan realitas alam bawah sadar (2010: 48).

Sebenarnya, baik tubuh dan joget sama-sama lelahnya, sehingga tampak pula telah terjadi krisis dalam situasi tersebut karena secara simbolik telah terjadi konflik terbuka dalam individu joget antara kebutuhan-kebutuhan budaya objektif tubuh mereka dengan perjuangan diri untuk ekspresi kehidupannya sendiri (Weinstein dan Weinstein, 2008: 131).

Jadi, tubuh dipergunakan oleh joget untuk memeroleh hasrat kebebasan, yakni joget berusaha membebaskan diri dari berbagai persoalan sosial dan ekonomi yang menghimpit. Dengan mempergunakan tubuh, joget memeroleh kekuasaan dan menjadikan penonton sebagai objek kekuasaannya, terutama pengibing.

SIMPULAN

Pada ranah pertunjukan kesenian Ale-ale, joget membentuk sistemnya sendiri dengan tubuh yang dipacu terus untuk bekerja agar mereka mampu melepaskan diri dari tekanan realitas, di mana mereka tidak dapat menjadi subjek pada realitas tersebut. Karena mereka berlatar belakang ekonomi lemah dan sosial yang terpinggirkan, mereka menjadi objek dari kelompok dominan, sehingga merasa memiliki posisi yang kuat di ranah pertunjukan kesenian Ale-ale, joget menggunakan modal yang paling realistis pada diri mereka, yakni tubuh mereka sendiri.

UCAPAN TERIMA KASIH

Terima kasih kepada Ketua STKIP Hamzanwadi Selong yang telah memberikan bantuan pendidikan. Penulis menyampaikan kebanggaan mendalam kepada kelompok kesenian Aleale yang ada di Lombok, Nusa Tenggara Barat.

DAFTAR PUSTAKA

Alafarisi, Salman. 2014. “Kesenian Ale-ale sebagai Kontestasi Ideologi Masyarakat Sasak”, disertasi Program Doktor, Program Studi Kajian Budaya, Program Pascasarjana, Universitas Udayana.

Atmadja, Nengah Bawa. 2010. Komodifikasi Tubuh Perempuan Joged “Ngebor” Bali. Denpasar: Program Studi Magister dan Doktor Kajian Budaya Universitas Udayana dan Pustaka Larasan.

Freud, Sigmund. 2009. Pengantar Umum Psikoanalisis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Hardiyanta, Petrus Sunu. 1997. Michel Foucault Disiplin Tubuh Bengkel Individu Modern.

Yogyakarta: LKiS.

Ritzer, George dan Barry Smart. 2012. Handbook Teori Sosial. Jakarta: Nusa Media.

Ritzer, George. 2010. Teori Sosial Postmodern. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Storey, John. 2010. Cultural Studies dan Kajian Budaya Pengantar Komprehensif Teori dan

Metode. Yogyakarta: Jalasutra.

Weinstein, Deena dan Weinstein, Michael A. 2008. “Simmel dan Teori Masyarakat Postmodern” dalam Teori-teori Sosiologi Modernitas Postmodernitas Pasca Marxis Pasca Liberal. Bryan S. Turner (ed). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Yudiaryani. 1997. “Metode Transformasi, Sistem via Negativa, dan Teknik Trance dalam Proses Kreatif Jerzy Grotowski” (dalam SENI, Jurnal Pengetahuan dan Penciptaan Seni, V/03-04). Yogyakarta: BP ISI Yogyakarta.

7