PENILAIAN RISIKO KESEHATAN LINGKUNGAN KECAMATAN ABIANSEMAL, KABUPATEN BADUNG
on
Penilaian Risiko Kesehatan Lingkungan...
[Ni Ketut Sri Lestari, dkk]
PENILAIAN RISIKO KESEHATAN LINGKUNGAN KECAMATAN ABIANSEMAL, KABUPATEN BADUNG
Ni Ketut Sri Lestari1*), I Made Ady Wirawan2), Pande Putu Januraga2)
1)Program Studi Magister Ilmu Lingkungan, Universitas Udayana 2)Departemen Kesehatan Masyarakat dan Kedokteran Pencegahan, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
*Email: [email protected]
ABSTRACT
ENVIRONMENTAL HEALTH RISK ASSESSMENT IN ABIANSEMAL DISTRICT, BADUNG REGENCY
Environment, a variable that often gets special attention in assessing public health and environmental health, is an effort to prevent disease. Environmental Health Risk Assessment (EHRA) is a comprehensive study about sanitation facilities' conditions and risky behaviors on public health. Abiansemal District is one of the tourist destinations that has a very complex impact, especially on environmental health aspects. Behavior is a highly potential factor for health status, clean and healthy behavior is strongly influenced by the availability of sanitation facilities in order to control physical environmental factors that can harm health. This study determines the Health Risk Index and obtains an overview of the sanitation facilities condition and community behavior that has a risk for environmental health in Abiansemal District, Badung Regency. This study used stratified random sampling using a sample in the Abiansemal subdistrict which has been determined as the target study area. Households to be visited in each village were selected randomly by stratified random sampling. After finding the first household visited, an interview was conducted according to the available questionnaire and after it was completed it was forwarded to neighbors until it found 40 houses per village. SPSS 20.0 is used for the data analysis. The description of sanitation facilities and community behavior that poses a risk to health in strata 1 has the main problem in domestic waste with the highest score of 36, while strata 2 has the main problem in solid waste with a score of 43 and strata 3 has the main problem in domestic wastewater with a score of 45. Analysis results of the sanitation risk index for the category of low risk/less risky area for strata 1 (1 village), the category of high-risk area for Strata 2 (11 villages), and the category of moderate risk area is in Strata 3 (6 villages). The high-risk area is found in Strata 2 (11 villages).
Keywords: EHRA; Environmental health; Abiansemal; Badung.
gangguan kesehatan akibat risiko yang ditimbulkan lingkungan untuk mendapatkan kualitas sehat pada lingkungan dari berbagai aspek kehidupan yang mungkin terjadi pada manusia. Kesehatan terpadu perlu diupayakan secara menyeluruh yang memiliki tujuan mewujudkan derajat kesehatan bagi masyarakat. Perlu juga dilakukan usaha pembangunan berkelanjutan seperti rangkaian pembangunan yang menyeluruh (pembangunan kesehatan) untuk memenuhi tujuan nasional.
Tingginya kejadian penyakit di masyarakat yang berbasis lingkungan disebabkan minimnya pengetahuan masyarakat terhadap perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS). Perilaku adalah faktor yang paling penting yang dapat berpengaruh pada derajat kesehatan disamping lingkungan, pelayanan kesehatan dan keturunan. Untuk dapat berprilaku hidup bersih dan sehat sangat dipengaruhi dengan ketersediaan fasilitas sanitasi, adanya fasilitas sanitasi kualitas lingkungan dapat terpelihara dan faktor yang merugikan kesehatan pada lingkungan dapat dikendalikan. Fasilitas sanitasi mutlak harus tersedia di rumah tangga maupun tempat-tempat umum, sehingga lingkungan dapat terpelihara dan dapat menekan kejadian penyakit yang berbasis lingkungan di masyarakat. Interaksi dari perilaku dengan kualitas pelayanan kesehatan dengan faktor dominan dari lingkungan seperti sarana air bersih, adanya vektor penyakit, penanganan sampah, dan pembuangan tinja dapat berpotensi menyebabkan diare (Sudaryat, 2007; Kumala, 2011).
Penilaian risiko kesehatan lingkungan Environmental Health Risk Assessment (EHRA) adalah analisis yang menitikberatkan pada kondisi fasilitas sanitasi dan perilaku masyarakat yang memiliki resiko terhadap kesehatan. Studi EHRA meneliti tentang sumber air bersih (SAB), jamban, tempat sampah rumah tangga dan saluran pembuangan air limbah (SPAL) rumah tangga. Indikator perilaku masyarakat adalah kebiasaan cuci tangan pakai sabun (CTPS), pengelolaan sampah dalam rumah tangga, dan kebiasaan buang air besar. Studi ini juga melakukan pemetaan risiko kesehatan lingkungan (IUWASH, 2011).
Kecamatan Abiansemal adalah sebuah daerah tujuan wisata di Kabupaten Badung dan membawa dampak yang sangat kompleks khususnya pada aspek kesehatan lingkungan. Tumbuhnya pemukiman baru yang padat dan masih adanya kejadian penyakit di masyarakat yang berbasis lingkungan, disebabkan karena tidak semua masyarakatnya dapat berperilaku hidup bersih dan sehat. Perilaku merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap derajat kesehatan disamping lingkungan,
pelayanan masyarakat dan keturunan. Untuk dapat berperilaku hidup bersih dan sehat sangat dipengaruhi oleh ketersediaan fasilitas sanitasi, dengan adanya fasilitas sanitasi kualitas lingkungan dapat terpelihara dan faktor-faktor lingkungan fisik yang dapat merugikan kesehatan dapat dikendalikan. Fasilitas sanitasi mutlak harus tersedia di rumah tangga maupun tempat-tempat umum sehingga lingkungan dapat terpelihara dengan baik dan juga menekan kejadian penyakit yang berbasis lingkungan di masyarakat. Upaya pencapaian derajat kesehatan yang optimal di Kecamatan Abiansemal sangat dipengaruhi oleh kondisi-kondisi tersebut.
Gambar 1.
Peta Lokasi Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif untuk menilai risiko kesehatan lingkungan di Kecamatan Abiansemal, Kabupaten Badung. Dalam penelitian ini digunakan metode observasi dan wawancara yang dilakukan dengan pendekatan survei deskriptif menggunakan metode EHRA (Envinronmental Health Risk Assessment). Kondisi dari fasilitas sanitasi dan higienitas yang akan mempengaruhi kesehatan masyarakat dalam skala rumah tangga akan digambarkan dalam studi EHRA. Selain itu, EHRA juga dapat menggambarkan tingkat risiko fasilitas sanitasi dan perilaku masyarakat di tingkat kabupaten, kota, kelurahan ataupun desa.
Populasi dalam kajian ini merupakan rumah tangga yang ada di Kecamatan Abiansemal, sedangkan responden dalam
kajian ini adalah ibu/kepala rumah tangga yang sehat jasmani maupun kejiwaan. Sampel penelitian ditetapkan pada daerah dari populasi yang sudah direncanakan sebagai tujuan area penelitian. Akan dilakukan stratifikasi untuk memberikan klasifikasi desa/kelurahan yang sudah di sesuaikan dengan tingkat risiko dari kesehatan pada lingkungan yang dilihat dari faktor demografi serta geografi.
Strata ditetapkan berdasarkan 4 (empat) kriteria utama berdasarkan Program PPSP merupakan strata yang harus diikuti semua Pokja Sanitasi kabupaten/kota meneliti Studi EHRA. Kriterianya terdiri dari kepadatan jumlah penduduk, angka kemiskinan, daerah/wilayah yang teraliri saluran/sungai saluran irigasi/ drainase, serta daerah rawan banjir. Proses pengolahan dan analisis data dilakukan setelah semua data terkumpul. Pengolahandan analisis data dilakukan secara deskriptif dan univariat.
Pengolahan data dilakukan dalam
beberapa tahapan berupa editing, coding, entry data, dan tabulating. Editing merupakan tahap pemeriksaan data yang telah berhasil dikumpulkan. Tahap Editing bertujuan untuk mengoreksi kekeliruan dan kekurangan data yang ada pada catatan lapangan. Coding nerupakan proses pemberian inisial tertentu pada setiap data. Inisial ini merupakan sebuah kode yang berupa angka atau huruf ataupun kombinasinya untuk dapat membedakan identitas data. Entry data diperlukan untuk memasukan data yang sudah terkumpul ke dalam satu database untuk pengolahan data selanjutnya. Tabulating merupakan tahap penyusunan data dalam bentuk tabel sesuai dengan keperluan analisis.
Analisis data dilakukan secara deskriptif dan univariat. Penentuan IRKL didapatkan dalam beberapa tahapan sebagai berikut.
-
a) Indeks Risiko Kesehatan Lingkungan
Penghitungan IRKL awal dilakukan dengan mempersentasekan setiap komponen
[Ni Ketut Sri Lestari, dkk] yang menjadi sumber dan peluang paparan bahaya beserta komponen didalamnya per penduduk RT. Dengan demikian, IRKL dapat ditentukan dengan menggunakan persamaan berikut.
τ , τ . .τ Sumberbahaya . ∕ι∖
Indeks risiko = × 100% (1)
∑PendudukperRT
-
b) Kalkulasi Indeks Risiko Kesehatan Lingkungan
Tahap kedua adalah pembobotan komponen sumber bahaya dan peluang tingkat paparan bahaya. Pembobotan dilakukan dengan memberi bobot 100% pada setiap sumber bahaya dan peluang tingkat paparan bahaya. Hal ini dilakukan dengan ketentuan bobot 100% dibagi berdasarkan jumlah komponen dalam variabel bahaya dan peluang tingkat paparan bahaya. Kemudian dilanjutkan dengan takap penghitungan menggunakan persamaan berikut.
=
persentase indeks risiko(%)×
bobot per sumber baℎaya (%) (2)
-
c) Kumulatif Indeks Risiko Kesehatan
Lingkungan
Penghitungan kumulatif dilakukan dengan menjumlahkan IRKL berdasarkan perhitungan nilai yang didapatkan dari hasil langkah sebelumnya. Setiap komponen variabel yang menjadi sumber bahaya dan peluang tingkat paparan bahaya dijumlahkan untuk mendapatkan nilai kumulatif. Nilai kumulatif kemudian digunakan untuk menentukan kategori risiko kesehatan lingkungan dengan mengukur interval perhitungan total indeks risiko maksimum dan total indeks risiko minimum. Nilai interval dapat diperoleh dengan menggunakan persamaan berikut.
=
Nilai Indeksmax - nilai indeks min ∑ kategori risiko ()
Tahap selanjutnya adalah menentukan batas bawah dan batas atas dengan menjumlahkan nilai risiko minimum dan interval. Dari penjumlahan ini memperoleh batas atas untuk kategori pertama. Kemudian kategori kedua batas bawah ditentukan dengan menjumlahkan batas bawah dengan interval, dan berlanjut hingga sampai kategori ketiga.
-
d) Menentukan kategori area risiko skor IRKL dengan menyesuaikan nilai IRKL dalam rentan batas atas dan batas bawah pada kategori pertama hingga ketiga.
-
e) Menghitung kejadian diare dilakukan dengan cara :
=
∑ kejadian kasus diare
∑ penduduk yang dikunjungi
(4)
Angka Kejadian Diare dalam dua minggu didapatkan dari jumlah kasus diare dalam dua minggu dibagi dengan jumlah populasi yang dikunjungi.
Menurut BPS Kabupaten Badung (2021) laju pertumbuhan penduduk pada tahun 2010-
2020 (data antar sensus) di kecamatan Abiansemal terdapat peningkatan laju pertumbuhan dengan rata-rata 1,12% per tahun. Hal ini menunjukkan bahwa kecamatan Abiansemal telah menjadi tumpuan harapan dari para migran yang datang ke Bali. Kecamatan Abiansemal terletak di Kabupaten Badung, memiliki 18 desa dengan total luas 69,01 Km2. Jumlah penduduk kecamatan Abiansemal per tahun 2019 92.34 ribu penduduk (BPS Kabupaten Badung 2020).
Kecamatan Abiansemal adalah suatu daerah tujuan wisata di Kabupaten Badung yang membawa dampak khususnya pada aspek kesehatan lingkungan. Tumbuhnya pemukiman baru yang padat dan terjadinya kejadian penyakit di masyarakat yang berbasis lingkungan disebabkan karena masyarakat yang belum melaksanakan PHBS.




Gambar 2.
Informasi responden penelitian
Responden pada penelitian ini adalah ibu menikah. Gambar 1 menunjukkan bahwa
rumah tangga atau anak perempuan yang telah responden yang menjadi narasumber dengan
rentang umur terbanyak yaitu pada usia 31 – 35 tahun sebanyak 27% dan dengan rentang umur >45 tahun merupakan jumlah responden terendah yaitu sebanyak 8%. Dari keseluruhan responden menunjukkan bahwa kepemilikan rumah sendiri adalah yang terbanyak yaitu sebesar 62,5%. Jika melihat dari status pendidikan dapat dilihat sebanyak 36,7% merupakan tingkat pendidikan SMA dan yang terbanyak selanjutnya Universitas/Akademi, SMK, dan SMP. Hal ini dapat dilihat dari responden bahwa pendidikan sudah menjadi prioritas yang cukup tinggi meskipun baru sampai tahap SMA. Sebesar 4,8% responden memiliki Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) sedangkan yang tidak memiliki SKTM sebanyak 95,2% hal ini menunjukkan hanya sedikit responden yang masuk ke dalam kategori miskin sesuai dengan kondisi Kabupaten Badung yang memiliki angka kemiskinan cukup rendah yaitu sebesar 2,02% pada tahun 2020 (BPS Kab. Badung). Hasil studi juga menunjukkan bahwa sebanyak 91,3% responden yang memiliki anak.
Hasil dari studi EHRA untuk area beresiko pengelolaan sampah dalam rumah tangga menggambarkan pengelolaan persampahan yang beresiko menimbulkan permasalahan berdasarkan pendapat masyarakat. Meliputi beberapa hal antara lain 1) untuk pengelolaan sampah sebanyak 51,3% responden menjawab tidak memadai dan hanya 48,7% yang mengatakan aman dan cukup memadai. Hal ini menunjukkan masih banyak masyarakat yang beranggapan bahwa pengelolaan sampah di daerah yang menjadi lingkup studi EHRA tidak memadai dan perlunya ada peningkatan pelayanan. Persentase yang menyumbang pelayanan tidak memadai ada pada strata 2 yaitu sebesar 69,8% dikarenakan daerah yang menjadi lokasi studi tidak mendapat pelayanan yang memadai sehingga pengelolaan sampah dilakukan sendiri oleh rumah tangga masing-masing. Variabel ke-2 adalah frekuensi pengangkutan sampah sebesar 8,7% responden menjawab tidak memadai dan sebesar 91,3% 195
responden mengatakan cukup memadai. Variabel ke-3 adalah ketepatan waktu pengangkutan sampah yang berkaitan erat dengan variabel 2, jika ada frekuensi pengangkutan sampah maka adanya ketepatan waktu pengangkutan yang hanya ada di strata 1 dan strata 3. Hasil analisis EHRA menunjukkan sebesar 90,5% responden menjawab tidak tepat waktu dan sebesar 9,5% responden mengatakan pengangkutan sampah sudah tepat waktu. Variabel terakhir dalam area beresiko persampahan yaitu pengolahan sampah setempat sebanyak 94,3% responden menjawab tidak mengolah sampah secara mandiri dan sisanya 5,7% melakukan pengolahan sampah secara mandiri pada masing-masing rumah tangga.
Membuang sampah di biopori di halaman atau di luar rumah disebutkan menjadi cara yang aman menurut beberapa ahli. Alternatif membuang sampah di biopori tidak berlaku di kawasan yang tergolong pulau kecil, terlebih jika tidak terdapat sarana pengangkutan sampah (Tim National Geographic, 2013). Sebagai bentuk dukungan untuk mengurangi penumpukan sampah sangat diperlukan perilaku masyarakat untuk mengolah sampah pada skala rumah tangga. Jumlah timbulan sampah dapat dikurangi dengan memilah menjadi 2 jenis yaitu sampah organik dan anorganik, setelah terpilah dilakukan pengolahan kembali. Pengolahan yang tepat dan bisa dilakukan oleh masyarakat yaitu dengan menggunakan kembali atau membuat produk baru barang tersebut yang memiliki nilai jual. Membuang sampah dengan tanpa pengolahan akan menjadi pencemar lingkungan dan akan berbahaya bagi masyarakat. Hal tersebut dapat menaikkan risiko pencemaran air laut atau pada air rumah tangga, dan bibit penyakit akan semakin tinggi pula.
Limbah dari kegiatan rumah tangga yang merupakan limbah organik akan terdegradasi oleh mikroba yang akan menimbulkan bau busuk, karena proses terurainya limbah tersebut menjadi bagian yang lebih kecil yang akan melepaskan gas yang menimbulkan bau. Aktivitas tersebut akan berdampak pada kesehatan yang akan menimbulkan berbagai macam penyakit seperti penyakit yang ditimbulkan oleh tikus, diare yang berasal dari
pengolahan sampah yang tidak tepat (Hasibuan, 2016).
Di Kecamatan Abiansemal terdapat tempat usaha pengelolaan sampah swasta yang ada untuk membantu pengelolaan sampah masyarakat Abiansemal dan ada juga secara swadaya oleh banjar sekaligus sebagai media komunikasi penyuluhan tentang pengelolaan sampah yang baik kepada masyarakat untuk kebersihan lingkungan dan kesehatan masyarakat, juga menambah pendapatan perekonomian masyarakat dari pemilahan sampah dalam rumah tangga.
Indikasi penggunaan jamban yang tidak aman digunakan untuk lingkungan rumah tangga dapat dilihat dari tangki septik yang tidak pernah dikuras. Air dan lumpur didalam tangki septik dapat merembes dan
mengakibatkan pencemaran air dan tanah. Selain karena rembesan air dan lumpur ke lingkungan, pembuangan tinja dalam tangki septik yang dilakukan sembarangan akan mencemari lingkungan (Rahma, 2003). Kejadian tersebut akan menjadikan risiko kejadian penyakit akibat infeksi bakteri atau penyakit lain semakin besar.
Tangki septik yang kurang layak menyebabkan peningkatan pencemaran air tanah. Hingga saat ini masih terdapat tangki septik yang kurang ideal yang berada di area perkotaan padat penduduk (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, 2006). Seiring dengan pertambahan tangki septik disetiap bangunan dan didukung dengan Sebagian besar tangki septik yang tidak sesuai dengan standar teknis yang ditetapkan sehingga mengakibatkan kualitas air tanah menurun (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, 2006).
Tabel 1. Area Beresiko Air Limbah Domestik Berdasarkan Hasil Studi EHRA
Kategori |
Variabel |
Strata Desa/Kelurahan |
Total | ||||||
1 |
2 |
3 |
n |
% | |||||
n |
% |
n |
% |
n |
% | ||||
Tangki septik suspek |
Tidak aman |
2 |
4,6 |
26 |
10,2 |
0 |
0 |
28 |
8,2 |
aman |
Suspek aman |
41 |
95 |
170 |
86,8 |
102 |
100 |
313 |
91,8 |
Pencemaran karena |
Tidak, aman |
0 |
0 |
26 |
10,2 |
3 |
3 |
29 |
8,4 |
pembuangan isi tangki septik |
Ya, aman |
45 |
100 |
170 |
86,8 |
99 |
97 |
314 |
91,6 |
Pencemaran karena |
Tidak aman |
17 |
37,8 |
5 |
4 |
20 |
20,2 |
42 |
15,6 |
SPAL |
Ya, aman |
28 |
62,2 |
121 |
96 |
79 |
79,8 |
228 |
84,4 |
Tabel 1 menunjukkan area beresiko air limbah domestik untuk tangki septik suspek tidak aman sebesar 8,2% dan dinyatakan aman sebesar 91,8%. Untuk variable pencemaran karena pembuangan tangki septik hampir pada semua strata menunjukkan tidak aman sebesar 8,4% artinya mengalami pencemaran dan yang tidak mengalami pencemaran atau aman sebesar 91,6%. Persentase pencemaran yang cukup tinggi memerlukan penangan lebih lanjut untuk mengatasi permasalahan pencemaran yang ditimbulkan oleh pembuangan isi tangki septik. Persentase pencemaran karena SPAL yang tidak aman sebesar 15,6% dan yang aman sebesar 84,4%.
Hasil studi EHRA menunjukkan permasalahan pada drainase
lingkungan/selokan di sekitar rumah serta banjir disajikan secara lengkap pada hasil wawancara dari responden yang dijadikan sampel dalam penelitian ini. Hasil wawancara dari responden menunjukkan gambaran area beresiko dalam hal drainase
lingkungan/genangan air di Kecamatan Abiansemal Badung ditunjukkan pada Tabel 2. Hasil analisa area beresiko genangan air sebesar 83,3% tidak ada genangan air dan hanya 16,7% yang ada genangan air atau terjadi banjir.
Tabel 2. Area Beresiko Genangan Air | ||||||||
Genangan Air |
Strata Desa/Kelurahan |
Total | ||||||
n |
1 % |
2 n |
% |
3 |
n |
% | ||
n |
% | |||||||
Adanya genangan air Ada genangan air (banjir) |
11 |
28,9 |
19 |
10 |
24 |
25 |
54 |
16,7 |
Tidak ada genangan air |
27 |
71,1 |
171 |
90 |
72 |
75 |
270 |
83,3 |
Air yang dibuang dalam saluran drainase harus bersifat tidak membahayakan agar tidak menjadi sumber pencemar karena akan mengalirkan air di kawasan yang terbuka. Air buangan melalui saluran selokan rumah tangga/sarana umum lain yang tidak berbahaya dan bukan bersikap pencemar bisa dibuang langsung ke selokan. Air yan baku mutunya sudah memenuhi syarat yang bisa masuk dalam saluran selokan, agar lingkungan tidak tercemar (Suripin, 2004).
Dari Tabel 3 dapat dilihat untuk variabel sumber air terlindungi 86,7% sumber air berasal dari sumber air terlindungi dan 13,3% berasal dari sumber air yang tidak terlindungi. Variabel ke-2 yaitu Penggunaan sumber air tidak terlindungi sebesar 87% berada dalam kategori aman dan 13% saja yang tidak aman. Variabel terakhir untuk kelangkaan air sebesar 82,3% tidak pernah mengalami dan 17,7% pernah mengalami kelangkaan air. Hal ini menunjukkan sumber air di Kecamatan Abiansemal masih cukup memadai baik dari sumber air terlindungi dan sumber air tidak terlindungi serta jarang terjadi kelangkaan air.
Dalam wawancara secara lisan dengan beberapa orang di tempat pengambilan air di beberapa tempat pengambilan air di mata air, masih ada masyrakat mengkonsumsi air langsung dari mata air yang ditampung tanpa direbus terlebih dahulu, mereka mengganggap kualitas air yang mereka ambil setara dengan mengkonsumsi air mineral dalam kemasan. Hal ini mempunyai potensi ternjadinya penyakit diare serta penyakit lainnya.
Untuk hal ini perlu ditingkatkan penyuluhan tentang konsumsi air yang digunakan sehari-hari kepada masyarakat
kesehatan mereka dan perlu juga ditambahkan spanduk yang ditaruh pada tempat penampungan mata air yang diambil oleh masyarakat tentang cara konsumsi air yang sehat. Pengawasan rutin terhadap sarana air bersih serta membina masyarakat mengenai pengolahan air minum dan kerjasama dengan sektor PU dan PDAM sangat diperlukan untuk program penyediaan air bersih. Untuk pemeriksaan air yang ada di wilayah Kecamatan Abiansemal sudah pula dilakukan pemeriksaan air baik itu air dalam tanah, PDAM, mata air kolaborasi antara Dinas Kesehatan Provinsi, Pemerintah Kabupaten Badung dan Puskesmas di wilayah Kecamatan Abiansemal.
Tabel 4 menunjukkan beberapa variabel terkait perilaku hygiene dan sanitasi masyarakat. 57,6% responden mengatakan CTPS di lima waktu tidak penting dan sebanyak 42,4% yang menjawab penting. Sebanyak 81,4% lantai dan dinding jamban yang terbebas dari tinja dan 18,6% tidak bebas dari tinja. Kondisi jamban yang bebas dari kecoa dan lalat 80,1% dan yang masih terdapat kecoa dan lalat sebesar 11,9%. Apabila menggunakan tipe WC duduk maka keberfungsian penggelontor sebesar 88,1% dan yang tidak berfungsi 11,9%. Penggunaan sabun di sekitar jamban sebesar 87,2% dan yang tidak ada sabun di sekitar jamban sebesar 12,8%. Sebanyak 4,1% terjadi pencemaran pada wadah penyimpanan dan penenganan air serta 95,9% terbebas dari pencemaran sehingga aman digunakan sebagai sumber air bersih. Untuk perilaku BABS sebesar 23,8% dan yang tidak memiliki perilaku BABS sebesar 76,2%.
Tabel 3. Area Beresiko Sumber Air Bersih
Strata Desa/Kelurahan |
Total | ||||||||
Variabel |
Kategori |
1 n |
% |
2 n |
% |
3 n |
% |
n |
% |
Sumber air terlindungi |
Tidak, sumber air berisiko tercemar |
1 |
2,6 |
18 |
9,2 |
26 |
24,8 |
45 |
13,3 |
Ya, sumber air terlindungi |
38 |
97,4 |
177 |
90,8 |
79 |
75,2 |
294 |
86,7 | |
Penggunaan sumber air tidak |
Tidak Aman |
0 |
0 |
12 |
6,2 |
32 |
30,5 |
44 |
13 |
terlindungi. |
Ya, Aman |
39 |
100 |
183 |
93,8 |
73 |
69,5 |
295 |
87 |
Kelangkaan air |
Mengalami kelangkaan air |
0 |
0 |
38 |
19,5 |
22 |
21,0 |
60 |
17,7 |
Tidak pernah mengalami |
39 |
100 |
157 |
80,5 |
83 |
79,0 |
279 |
82,3 |
Tabel 4. Area Beresiko Perilaku Higiene dan Sanitasi Berdasarkan Hasil Studi EHRA
Kategori |
Variabel |
Strata Desa/Kelurahan |
Total | ||||||
1 |
2 |
3 |
n |
% | |||||
n |
% |
n |
% |
n |
% | ||||
CTPS di lima waktu penting |
Tidak |
6 |
15,4 |
172 |
90,5 |
20 |
17,4 |
198 |
57,6 |
Ya |
33 |
84,6 |
18 |
9,5 |
95 |
82,6 |
146 |
42,4 | |
Lantai dan dinding jamban |
Tidak |
12 |
30,8 |
44 |
23,2 |
8 |
7 |
64 |
18,6 |
bebas dari tinja |
Ya |
27 |
69,2 |
146 |
76,8 |
107 |
93 |
280 |
81,4 |
Jamban bebas dari kecoa dan |
Tidak |
11 |
28,2 |
13 |
6,8 |
17 |
14,8 |
41 |
11,9 |
lalat |
Ya |
28 |
71,8 |
177 |
93,2 |
98 |
85,2 |
303 |
88,1 |
Keberfungsian penggelontor. |
Tidak |
11 |
28,2 |
9 |
4,7 |
21 |
18,3 |
41 |
11,9 |
Ya, |
28 |
71,8 |
181 |
95,3 |
94 |
81,7 |
303 |
88,1 | |
berfungsi | |||||||||
Ada sabun di dalam atau di |
Tidak |
1 |
2,6 |
17 |
8,9 |
26 |
22,6 |
44 |
12,8 |
dekat jamban |
Ya |
38 |
97,4 |
173 |
91,1 |
89 |
77,4 |
300 |
87,2 |
Pencemaran pada wadah |
Ya, tercemar |
0 |
0 |
10 |
5,3 |
4 |
3,5 |
14 |
4,1 |
penyimpanan dan |
Tidak |
39 |
100 |
180 |
94,7 |
111 |
96,5 |
330 |
95,9 |
penanganan air |
tercemar | ||||||||
Perilaku BABS |
Ya, BABS |
15 |
38,5 |
39 |
20,5 |
28 |
24,3 |
82 |
23,8 |
Tidak |
24 |
61,5 |
151 |
79,5 |
87 |
75,7 |
262 |
76,2 |
Masalah kebersihan dikarenakan pencemaran tinja (feses) pada sumber air dan lain-lain merupakan sumber yang utama penyebaran virus, bakteri, dan patogen yang menyebabkan penyakit diare. Rute pencemaran hingga kontaminasi bisa sampai ke dalam mulut manusia dan juga balita yaitu dengan 4F melalui air, tanah, hewan kotor, dan jari (ISSDP, 2007). Upaya yang bisa dilakukan manusia untuk memutus rute tersebut adalah dengan cara mencuci tangan
dengan sabun. Curtis (2001) mengatakan bahwa penyakit diare dapat menurun 42-47% dengan mempraktekkan cuci tangan menggunakan sabun, dan cara tersebut bisa menyelamatkan satu juta anak di dunia.
Beberapa literatur mengatakan jika fasilitas sanitasi yang bersih mampu mengurangi penyebaran penyakit yang menyebabkan penyakit diare dengan memblok pencemaran lingkungan dikarenakan
terkontaminasi kotoran manusia. Fasilitas sanitasi juga perlu ditingkatkan agar dapat mengurangi kejadian diare hingga 36%.
Beberapa peneliti mengatakan kejadian diare berukurang sebesar 30% dengan penggunaan jamban efektif (Rahma, 2003).
Perubahan perilaku melalui strategi STBM merupakan upaya yang dapat ditempuh untuk meningkatkan akses sanitasi di Puskesmas wilayah Kecamatan Abiansemal. Dengan demikian masyarakat dangat diharapkan dapat mengakses jamban sehat dan bisa membangun di kawasan rumah sendiri.
Penelitian ini juga mengajukan pertanyaan mengenai kejadian diare pada responden. Tabel 5 dan 6 menunjukkan frekuensi waktu dan kejadian penyakit diare di Kecamatan Abiansemal. Tabel 5
menunjukkan rentang waktu paling dekat terkena penyakit diare 26,9% dari total responden mengatakan tidak pernah terkena penyakit diare. Tabel 6 menunjukkan bahwa rata-rata responden mengatakan tidak memiliki gejala penyakit diare sekitar 80% dari total responden dan persentase tertinggi untuk responden yang mengatakan memiliki penyakit diare pada anak remaja laki-laki sebesar 20,3% dari total responden.
Tabel 5. Kejadian Penyakit Diare pada Penduduk Berdasarkan Waktu Terkena Diare
Kategori |
Variabel |
Strata Desa/Kelurahan |
Total | ||||||
1 |
2 |
3 |
N |
% | |||||
n |
% |
n |
% |
n |
% | ||||
Waktu paling dekat |
Hari ini |
0 |
0 |
2 |
1 |
3 |
2,6 |
5 |
1,4 |
anggota keluarga ibu |
Kemarin |
2 |
4,4 |
2 |
1 |
1 |
0,9 |
5 |
1,4 |
terkena diare |
1 minggu terakhir |
2 |
4,4 |
11 |
5,5 |
13 |
11,3 |
26 |
7,2 |
1 bulan terakhir |
6 |
13,3 |
15 |
7,5 |
5 |
4,3 |
26 |
7,2 | |
3 bulan terakhir |
9 |
20 |
45 |
22,5 |
7 |
6,1 |
61 |
16,9 | |
6 bulan yang lalu |
5 |
11,1 |
32 |
16 |
9 |
7,8 |
46 |
12,8 | |
Lebih dari 6 bulan |
8 |
17,8 |
53 |
26,5 |
33 |
28,7 |
94 |
26,1 | |
yang lalu | |||||||||
Tidak pernah |
13 |
28,9 |
40 |
20 |
44 |
38,3 |
97 |
26,9 |
Tabel 6. Kategori Penyakit Diare pada Penduduk Berdasarkan Usia dan Jenis Kelamin
Strata Desa/Kelurahan |
Total | ||||||||
Kategori |
Variabel |
1 |
% |
2 |
% |
3 |
% |
N |
% |
n |
n |
n | |||||||
Anak-anak balita |
Tidak |
35 |
77,8 |
183 |
91,5 |
78 |
67,8 |
296 |
82,2 |
Ya |
10 |
22,2 |
17 |
8,5 |
37 |
32,2 |
64 |
17,8 | |
Anak-anak non balita |
Tidak |
29 |
64,4 |
163 |
81,5 |
102 |
88,7 |
294 |
81,7 |
Ya |
16 |
35,6 |
37 |
18,5 |
13 |
11,3 |
66 |
18,3 | |
Anak remaja laki-laki |
Tidak |
31 |
68,9 |
153 |
76,5 |
103 |
89,6 |
287 |
79,7 |
Ya |
14 |
31,1 |
47 |
23,5 |
12 |
10,4 |
73 |
20,3 | |
Anak remaja perempuan |
Tidak |
23 |
51,1 |
168 |
84 |
100 |
87 |
291 |
80,8 |
Ya |
24 |
53,3 |
32 |
16 |
15 |
13 |
71 |
19,7 | |
Orang dewasa laki-laki |
Tidak |
43 |
95,6 |
159 |
79,5 |
88 |
76,5 |
290 |
80,6 |
Ya |
2 |
4,4 |
41 |
20,5 |
27 |
23,5 |
70 |
19,4 | |
Orang dewasa perempuan |
Tidak |
40 |
88,9 |
171 |
85,5 |
83 |
72,2 |
294 |
81,7 |
Ya |
5 |
11,1 |
29 |
14,5 |
32 |
27,8 |
66 |
18,3 |
Penelitian yang serupa juga dilakukan oleh Semba, dkk (2011), mengatakan anak dari keluarga tidak memiliki jamban akan berisiko 1,32 kali terkena diare parah yang tingkat kematian balita sebesar 1,43 kali. Perilaku buang air besar sembarangan dapat dipengaruhi dengan berbagai faktor.
Penurunan terhadap kualitas tubuh, kesehatan, dan lingkungan akibat minimnya akses seperti layanan sektor sanitasi dan PHBS dapat disebut sebagai risiko sanitasi. Manfaat dari penghitungan Indeks Resiko Sanitasi (IRS) yaitu sebagai komponen penentu untuk area yang beresiko sanitasi.
Tabel 7. Tabel Indeks Risiko Sanitasi Kecamatan Abiansemal 2019
Strata
Strata 1 |
Strata 2 |
Strata 3 | |
Genangan Air |
13 |
10 |
8 |
∞ Persampahan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat 5 (PHBS) Z Air Limbah Domestik |
33 |
43 |
35 |
28 |
32 |
28 | |
36 |
40 |
45 | |
Sumber Air Rumah Tangga |
31 |
36 |
33 |
Total |
141 |
161 |
149 |
Kategori |
Kurang Beresiko |
Resiko Tinggi |
Resiko Sedang |

Gambar 3.
Grafik Indeks Risiko Sanitasi Kecamatan Abiansemal 2019
Tabel 7 dan Gambar 2 memberikan gambaran kondisi sanitasi berdasarkan studi EHRA, dapat disimpulkan beberapa permasalahan utama pada tiap strata adapun penjabaran permasalahan tersebut adalah sebagai berikut: Strata 1 terdiri dari 1 desa memiliki permasalahan utama limbah domestik dengan skor tertinggi 36, kemudian persampahan dengan skor 33, sumber air dengan skor 31, dilanjutkan permasalahan perilaku hidup bersih dan sehat dengan skor 28 dan genangan/banjir dengan skor 13. Strata 2 yaitu terdiri dari 11 desa memiliki
permasalahan utama persampahan dengan skor 43, kemudian air limbah domestik dengan skor 40, dilanjutkan lalu permasalahan sumber air dengan skor 36, permasalahan perilaku higiene dan sanitasi sebesar 32 dan genangan/ banjir dengan skor 10. Strata 3 yaitu terdiri dari 6 desa memiliki permasalahan utama air limbah domestik dengan skor 45, kemudian persampahan dengan skor 35, sumber air dengan skor 33, perilaku higiene dan sanitasi dengan skor 28 dilanjutkan permasalahan genangan/ banjir dengan skor 8.
Tabel 8. Hasil scoring EHRA Kecamatan Abiansemal
S es X es S es ≡ es Z |
Nilai IRS f ∙⅛ £ m S g ® ⅛ ⅛ M^ ‰ ⅛ ⅛ H - |
Strata Sibang Gede 1 |
13 33 28 36 31 142 Kurang Beresiko 1 |
Darmasaba Jagapati Angantaka Sibang Kaja Mekar Bhuwana Strata Dauh Yeh Cani 2 Ayunan Blahkiuh Punggul Bongkasa Sangeh |
10 43 32 40 36 161 Resiko Tinggi 3 10 43 32 40 36 161 Resiko Tinggi 3 10 43 32 40 36 161 Resiko Tinggi 3 10 43 32 40 36 161 Resiko Tinggi 3 10 43 32 40 36 161 Resiko Tinggi 3 10 43 32 40 36 161 Resiko Tinggi 3 10 43 32 40 36 161 Resiko Tinggi 3 10 43 32 40 36 161 Resiko Tinggi 3 10 43 32 40 36 161 Resiko Tinggi 3 10 43 32 40 36 161 Resiko Tinggi 3 10 43 32 40 36 161 Resiko Tinggi 3 |
Sedang Mambal Strata Abiansemal Taman Selat Bongkasa Pertiwi |
8 35 28 45 33 149 Resiko Sedang 2 8 35 28 45 33 149 Resiko Sedang 2 8 35 28 45 33 149 Resiko Sedang 2 8 35 28 45 33 149 Resiko Sedang 2 8 35 28 45 33 149 Resiko Sedang 2 8 35 28 45 33 149 Resiko Sedang 2 |
Keterangan Area Beresiko
Kurang Beresiko |
(138 – 147) |
1 |
Resiko Sedang |
(148 – 157) |
2 |
Resiko Tinggi |
(158 – 167) |
3 |
Resiko Sangat Tinggi |
(168– 176) |
4 |
Tabel 8 menunjukkan hasil analisa IRS kategori area berisiko rendah/ kurang beresiko pada anggota Srata 1 yang memiliki skor 142, dengan risiko sanitasi paling tinggi merupakan air limbah domestik 36, persampahan sebesar 33, sumber air rumah tangga dengan skor 31, PHBS 28, dan sumber air serta genangan air 13. Kategori area berisiko tinggi pada anggota Strata 2 memiliki nilai/skor 161 degan risiko sanitasi paling tinggi adalah masalah persampahan dengan skor 43, air limbah domestik dengan skor 40, kemudian permasalahan sumber air rumah tangga 36,
permasalahan perilaku higiene dan sanitasi sebesar 32 lalu permasalahan genangan/ banjir dengan skor 10. Kategori area berisiko sedang ada pada anggota Strata 3 yang memiliki nilai/skor 149, dengan risiko sanitasi paling tinggi adalah air limbah domestik sebesar 45, persampahan 35, sumber air rumah tangga 33, perilaku higiene dan sanitasi dengan skor 28, lalu permasalahan genangan/ banjir dengan skor 8.
Pendidikan perilaku didapatkan dalam keluarga, karena di dalam sebuah keluarga akan memiliki komunikasi serta interaksi yang
akan meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat. Penerapan PHBS sedini mungkin dalam keluarga bisa mewujudkan keluarga yang sehat dan aktif pada setiap usaha kesehatan dalam masyarakat. Peningkatan presentase rumah tangga yang melakukan PHBS dilakukan Pusat Promosi Kesehatan Kemenkes untuk meningkatkan kesehatan anggota keluraga.
sanitasi dan selalu menerapkan pola hidup bersih dan sehat; dan pada peneliti studi EHRA yang akan datang agar dapat mengembangkan studi EHRA seperti penambahan beberapa variabel yaitu permeabilitas dan porositas tanah, arah aliran tanah, jenis dan jumlah sumber pencemar dan kedalaman permukaan air tanah agar hasil yang diperoleh lebih spesifik.
Pengelolaan sampah di Kecamatan Abiansemal yang dianalisis menggunakan metode EHRA menyatakan bahwa pengelolaan sampah di Kecamatan Abiansemal masih belum memadai. Pada pembuangan limbah air tinja manusia dan lumpur tinja dari hasil studi EHRA masih dinyatakan dalam kondisi aman dan drainase menunjukkan tidak ada genangan (aman banjir). Pada pengelolaan air minum rumah tangga dinyatakan sudah cukup memadai dan terkait perilaku hygiene dan sanitasi masyarakat, sebanyak 57,6% responden mengatakan CTPS di lima waktu tidak penting, namun hasil tersebut dinyatakan tidak berisiko karena pada variabel perilaku hygiene dan sanitasi lainnya masih dinyatakan aman, sedangkan kejadian penyakit diare selama 6 bulan kebelakang di Kecamatan Abiansemal menunjukkan persentase yang rendah.
Hasil analisa indeks risiko sanitasi kategori area berisiko rendah/kurang beresiko pada anggota strata 1 (1 desa) dengan nilai/skor 142, kategori area berisiko tinggi pada anggota Strata 2 (11 desa) dengan nilai/skor 161 dan kategori area berisiko sedang ada pada anggota strata 3 (6 desa) dengan nilai/skor 149.
Pelaksanaan dari studi EHRA akan optimal, jika melakukan beberapa saran antara lain: Kepada Dinas Kesehatan Kabupaten Badung diharapkan melakukan studi EHRA secara berkala dan melakukan penyuluhan kepada masyarakat tentang pentingnya kesehatan sanitasi dan lingkungan; Kepada masyarakat agar dapat meningkatkan kualitas
DAFTAR PUSTAKA
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional.
2006. Petunjuk Teknis Pengajuan Usulan Kegiatan Yang Dibiayai Dari Pinjaman Dan/Atau Hibah Luar Negeri. Jakarta.
BPS Kabupaten Badung. 2020. Abiansemal Dalam Angka 2020. Badan Pusat Statistik Kabupaten Badung.
BPS Kabupaten Badung. 2021. Abiansemal Dalam Angka 2021. Badan Pusat Statistik Kabupaten Badung.
Curtis. 2001. Evidence of behaviour change following a hygiene promotion programme in Burkina Faso. Bulletin of the World Health Organization. Vol. 79 (6): 00429686.
Hasibuan, Rosmidah. 2016. Analisis Dampak Limbah/Sampah Rumah Tangga Terhadap Pencemaran Lingkungan Hidup. Jurnal Ilmiah “Advokasi” Vol. 04. No. 01. Nomor 2337-7216
Indonesia Urban Water, Sanitation, and Hygiene (IUWASH). 2011. Sanitasi dan Kebersihan Perkotaan Indonesia. Sulawesi Selatan.
ISSDP. 2007. Penilaian Resiko Kesehatan Lingkungan Kota Blitar. Jakarta: Indonesia Sanitation Sector
Development Program.
Kumala, 2011. Meningkatkan Pengetahuan, Sikap dan Perilaku Ibu dalam Tatalaksana diare. Yogyakarta: Pustaka Belajar http://www.ampl.or.id/digilib/read/pend erit a-diare-meningkat/46677. Diakses Tanggal 15 Juli 2021.
Rahma, S. 2003. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian
Kecacingan Pada Anak SD Di SD Bustanul Islamiyah. [Tesis].
Pascasarjana Universitas Hasanuddin. Makassar.
Semba, R, et al. 2011. Relationship of the Presence of a Household Improved Latrine with Diarrhea and Under-Five Child Mortality in Indonesia. The American Society of Tropical Medicine and Hygiene. Vol. 84. No. 3. p. 443–50.
Sudaryat, Suraatmaja. 2007. Kapita Selekta Anak. Jakarta
Suripin. 2004. Sistem Drainase Perkotaan yang Berkelanjutan. Yogyakarta: Andi
Tim National Geographic. 2013. Indonesia Negara dengan Sanitasi Terburuk Kedua di Dunia. [Online]. [Diakses 29 Januari 2021].
http://nationalgeographic.co.id/berita/20 13/10/indonesianegara-dengan-sanitasi-terburuk-kedua-di-dunia
203
ECOTROPHIC • 15(2): 191-203 p-ISSN:1907-5626,e-ISSN: 2503-3395
Discussion and feedback