Keterpenuhan Penggunaan Kriteria Dan Indikator Global Sustainable Tourism Council (Gstc) Dalam Peningkatan Ekonomi Masyarakat Lokal
on
Jurnal Destinasi Pariwisata p-issn: 2338-8811, e-issn: 2548-8937
Vol. 9 No 2, 2021
Keterpenuhan Penggunaan Kriteria Dan Indikator Global Sustainable Tourism Council (Gstc)
Dalam Peningkatan Ekonomi Masyarakat Lokal:
Studi Kasus Desa Wisata Kembang Arum Kabupaten Sleman Yogyakarta
Irma Kharisma Hatibie a, 1, Srilian Laxmiwaty Dai a, 2
1irma@umgo.ac.id, 2lyanlaxmiwaty@umgo.ac.id,
a Program Studi S1 Pariwisata, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Muhammadiyah Gorontalo, Jl. Prof. Dr. Mansoer Pateda, Gorontalo, Indonesia
Abstract
The emergence of the concept of tourist villages in various regions in Indonesia has become a stimulus for other villages to compete to make their villages into tourist villages that are competitive and prosper rural communities through tourism activities. This has an impact and is also used in the development of the Kembang Arum tourist village in Sleman Regency, Yogyakarta. Therefore, in order to improve the quality of tourist villages, the use of the GSTC indicator can be a reference for improving the quality of a tourist destination. The purpose of this study was to measure the quality of the Kembang Arum tourist village in Sleman Regency whether it was in accordance with the GSTC indicators as criteria and measurements of a standardized tourist destination. The research method used is descriptive qualitative with content analysis techniques and makes interpretations of the results of interviews and observations. The results of this study are that the Kembang Arum tourist village has fill the requirements as a tourist destination, according to GSTC criteria and indicators. This research proving that criteria and indicators of GSTC already being a reference and continue to be used to measure the quality of the destination gradually.
Munculnya konsep desa wisata di berbagai daerah di Indonesia menjadi stimulus bagi desa lain untuk berlomba-lomba menjadikan desanya menjadi desa wisata yang berdaya saing dan mensejahterakan masyarakat desa melalui kegiatan pariwisata. Hal ini berdampak dan juga dimanfaatkan dalam pengembangan desa wisata Kembang Arum di Kabupaten Sleman Yogyakarta. Oleh karena itu, dalam rangka peningkatan kualitas desa wisata, penggunaan indikator GSTC dapat menjadi acuan untuk peningkatan kualitas suatu destinasi wisata. Tujuan penelitian ini untuk mengukur kualitas desa wisata Kembang Arum Kabupaten Sleman apakah sudah sesuai dengan indikator GSTC sebagai kriteria dan ukuran destinasi wisata yang terstandar. Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitatif dengan teknik analisis isi dan melakukan interpretasi terhadap hasil wawancara dan observasi. Hasil dari penelitian ini adalah desa wisata Kembang Arum telah memenuhi syarat sebagai destinasi wisata, sesuai dengan kriteria dan indikator GSTC. Penelitian ini membuktikan bahwa kriteria dan indikator GSTC sudah menjadi acuan dan terus digunakan untuk mengukur kualitas destinasi secara bertahap.
Keywords: Desa wisata, GSTC, Ekonomi Masyarakat Lokal, Kembang Arum.
Untuk meningkatkan peran pariwisata di Indonesia, maka pemerintah dalam hal ini Kementrian Pariwisata Indonesia berupaya dalam membentuk dan mendukung program-program yang berhubungan dengan pengembangan pariwisata, seperti mendukung dan menyelenggarakan program-program untuk pemberdayaan masyarakat melalui program pengembangan pariwisata perdesaan. Kegiatan ekonomi perdesaan
memiliki potensi besar untuk menarik wisatawan dari daerah perkotaan yang ingin mencari tempat dan suasana yang berbeda dengan kawasan perkotaan (Damanik, 2015:6). Pengembangan pariwisata perdesaan yang disponsori oleh negara semakin nyata terutama sejak tahun 2009 (Damanik, 2015:12).
Munculnya konsep desa wisata di berbagai daerah di Indonesia menjadi stimulus bagi desa-desa lainnya untuk berlomba-lomba menjadikan desanya
Vol. 9 No 2, 2021
menjadi desa wisata yang berdaya saing dan mensejahterakan masyarakat perdesaan melalui aktivitas pariwisata. Hal ini dimanfaatkan dengan baik oleh Provinsi Yogyakarta, yang termasuk dalam salah satu destinasi pariwisata popular di Indonesia. Pada tahun 2016, di Kabupaten Sleman yang merupakan salah satu kabupaten di Yogyakarta telah memiliki 39 Desa Wisata dengan tiga klasifikasi yang berbeda yaitu Mandiri, Berkembang, dan Tumbuh (Laporan Akhir Dinas Pariwisata Kabupaten Sleman, 2018:41).
Secara teoritis sebuah destinasi khususnya desa wisata harus dikelola dengan baik untuk mempertahankan sumber daya pariwisatanya, maka produk tersebut harus berkualitas, memberikan layanan yang diinginkan oleh wisatwan, serta bersaing dengan kompetitor (Longjit, 2010:123). Ditinjau dari pengembangan desa wisata perlu adanya kajian mendalam dan juga penelitian yang dapat mematangkan sebuah desa wisata, yang dapat menjadi salah satu penggerak ekonomi dan memberdayakan masyarakatnya. Oleh karena itu, dalam rangka peningkatan mutu sebuah destinasi wisata terutama desa wisata di Kabupaten Sleman, dalam hal ini mengambil desa wisata Kembang Arum sebagai daya tarik wisata yang menjadi kajian peningkatan mutu destinasi wisata dengan menggunakan indikator Global Sustainable Tourism Council (GSTC).
Tujuan Penelitian
Penelitian ini sebagai bentuk dari urgensi pembangunan pariwisata daerah yang berkelanjutan dan tetap memperhatikan kearifan lokal. Namun, disatu sisi pengembangan pariwisata yang berbasis kearifan lokal seperti desa wisata membutuhkan diversifikasi produk yang berbeda dengan produk pariwisata lainnya. Diversifikasi produk pariwisata dibutuhkan agar sejalan dengan kebutuhan pasar dan sebagai upaya dalam memaksimalkan potensi yang ada disebuah destinasi. Lebih
dari 2 juta destinasi yang dikunjungi setiap harinya (Balakrishnan, 2008:32). Manajemen strategi destinasi seperti marketing pada wisata pedesaan atau rural tourism, membuktikan bahwa permintaan pasar pada produk seperti wisata perdesaan adalah peluang besar bagi industri pariwisata untuk dapat terus bertumbuh.
Disamping permintaan pasar yang besar, serta adanya diversifikasi produk pariwisata dibutuhkan standarisasi yang memungkinkan mengakomodir keinginan sebuah destinasi agar dapat bertahan dan dikelola secara berkelanjutan. Kriteria dan indikator GSTC dengan mengambil salah satu pilar kriteria dan indikator penilaian GSTC yaitu kriteria; Memaksimalkan Manfaat ekonomi untuk masyarakat lokal dan meminimalkan dampak negatif. Kriteria ini merupakan upaya yang didiharapkan dapat membantu desa wisata agar dalam mengevaluasi kualitas destinasinya, sehingga setingkat lebih baik dalam meningkatkan program keberlajutan desa wisata yang berdaya saing dan terus memberikan manfaat kepada masyarakat lokal.
Makalah ini sebagai elaborasi dari penelitian sebelumnya tentang bagaimana memaksimalkan potensi desa. Sebagai contoh pada penelitian sebelumnya masih sedikit indikator yang digunakan untuk mengukur kualitas sebuah destinasi wisata perdesaan agar sesuai dengan standar pasar wisatawan saat ini (Ariscasari, 2012;76). Kasus adanya praktik pengelolaan manajemen di destinasi masih pada tahapan perencanaan dan pengadaan standar fasilitas menjadikan destinasi dipertanyakan standar kualitas pelayanan di destinasi. Dugaan lainnya adalah bahwa dalam praktik manajemen di lapangan masih diteumukan pelaku usaha yang belum mematuhi persyaratan yang diberlakukan, sehingga menjadikan persaingan di destinasi tidak sehat (Isharyadi, 2018:36).
Vol. 9 No 2, 2021
Standar dari kriteria atau indikator GSTC dipilih untuk menyediakan inventaris aktivitas konkret yang dapat diberlakukan dengan prinsip-prinsip pengataturan tata kelola sebuah lembaga masyarakat di destinasi wisata, sehingga hal tersebut dapat memperlihatkan komitmen yang cukup tinggi terhadap tanggungjawab sosial (Pantelescu et al, 2019:657). Selain itu adanya indikator tersebut memungkinkan sebuah destinasi tidak hanya memiliki daya saing dan nilai jual yang tinggi terhadap wisatawan lokal, tetapi juga dapat menarik wisatawan mancanegara. Oleh karena itu, tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengukur kualitas desa wisata Kembang Arum di Kabupaten Sleman apakah sesuai dengan menggunakan indikator GSTC.
Kajian Pustaka
Desa adalah suatu kesatuan hukum dimana bertempat tinggal suatu masyarakat pemerintah tersendiri, (Kartohadikoesoemo, 1984:43). Dalam pembatasan penyebutan desa dapat dilihat dari dua bentuk. Pertama Berdasarkan statistic, pedesaan merupakan daerah yang mempunyai penduduk lebih dari 2500 orang. Kedua, berdasarkan dari segi psikologi sosial, desa merupakan daerah dimana pergaulan ditandai dengan keakraban dan keramah-tamahan (Darsono, 2005:27). Kemudian, kehidupan desa yang berbeda dengan daerah pemukiman padat penduduk seperti perkotaan inilah kemudian menjadikan desa wisata sebagai peluang untuk menarik pasar wisatawan tersendiri. Pada praktiknya aktivitas berwisata yang terdiri dari individu atau kelompok tertentu didasari pada tujuan untuk melakukan aktivitas perjalanan diluar dari kebiasaan sehari-hari (Pantelescu et al, 2019:659), untuk mencari pengalaman, dan untuk bersenang-senang. Kegiatan melakukan perjalanan ke tempat seperti desa wisata membantu wisatawan yang memiliki special interest berkunjung dan
mendapatkan pengalaman di kawasan perdesaan sebagai atraksi utamanya.
Pengertian desa wisata secara sederhana dapat didefinisikan sebagai suatu wilayah pedesaan yang menawarkan keaslian baik dari segi sosial budaya, adat-istiadat, keseharian, arsitektur, tradisional, sturuktur tata ruang desa yang disajikan dalam suatu bentuk integrasi komponen pariwisata antara lain seperti atraksi, akomodasi, dan fasilitas pengunjung (Darsono; 2005:90, Zakaria, 2014:25). Konsep dasar desa wisata dibentuk dengan memperhitungkan dampak ekonomi, sosial dan lingkungan secara berkelanjutan dan dapat memenuhi kebutuhan pengunjung, industri pariwisata, sumber daya, serta lingkungan masyarakat setempat.
Konsep dasar pembangunan desa wisata yang diarahkan kepada pembanungan pariwisata yang berkelanjutan diadopsi dari konsep desa wisata hijau (Green Tourism). Konsep ini diarahkan agar mendorong tumbuhnya kegiatan wisata desa yang ramah, peduli lingkungan, produk pariwisata berbasis pelestarian, yang dikemas dengan wisata budaya, wisata pusaka, wisata alam dan mendorong tumbuhnya pariwisata berbasis komunitas (Kementrian Koperasi dan UKM, 2012:14).
Kriteria dan Indikator Pengukuran GSTC (Global Sustainable Tourism Council)
Global Sustainable Tourism Council atau GSTC adalah organisasi yang berada dibawah naungan organisasi UNWTO. Kriteria dan indikator GSTC diciptakan oleh masyarakat pariwisata, sebagai upaya yang perlu dicapai oleh setiap organisasi manajemen pariwisata (DMO) ketika mempertimbangkan keberlanjutan pariwisata, khususnya hal-hal yang bersifat praktik. Selain itu, kriteria dan indikator bertujuan untuk mengukur apakah sebuah destinasi memenuhi kriteria keberlanjutan demi pengentasan kemiskinan, kelestarian lingkungan dan dari media pengukuran ini diharapkan setiap pelaku pariwisata dapat
Vol. 9 No 2, 2021
memahami dan merespon isu-isu sektoral utama yang dapat melaui pengukuran yang telah ditetapkan GSTC.
Desa wisata merupakan bagian dari program kepariwisataan yang melibatkan kelembagaan pariwsata secara holistik. Pendekatan pada konsep penggunaan kriteria dan indikator GSTC agar setiap destinasi mampu bertahan dalam mengatasi krisis manajemen destinasi wisata. Konsep GSTC ini memiliki sub kategori yang mengambil pendekatan interdisiplin, holistik dan terintegrasi meliputi empat pilar utama:
Pertama, Mendemonstrasikan pengelolaan destinasi yang berkelanjutan, Kedua, Memaksimalkan keuntungan ekonomi untuk masyarakat dan meminimalkan dampak negatif, Ketiga, Memaksimalkan keuntungan untuk masyarakat, pengunjung dan budaya serta meminimalkan dampak negative, dan Keempat, memaksimalkan dampak negatif (GSTC, 2013:43). Keempat pilar dari kriteria yang telah dirancang oleh GSTC ini dapat digunakan oleh semua jenis dan skala destinasi wisata untuk mengukur kualitas sebuah destinasi wisata.
Penelitian ini mengambil salah satu kriteria dan indikator GSTC bagian kedua Poin B sebagai standar pengukuran peningkatan sektor ekonomi di destinasi yaitu; Memaksimalkan Manfaat ekonomi untuk masyarakat lokal dan meminimalkan dampak negatif. Kriteria ini memuat 9 indikator pertanyaan yang dibagi kedalam beberapa sub pertanyaan. Poin utama dari kesembilan pertanyaan ini berupa; (1) Pemantauan Ekonomi, Peluang kerja untuk masyarakat lokal, (2) Partisipasi masyarakat,(3) Opini masyarakat lokal, (4) Akses Bagi Masyarakat lokal, (5) Fungsi Edukasi Sadar Wisata, (6) Pencegahan Eksploitasi, (7) Dukungan untuk Masyarakat, (8) Mendukung pengusaha lokal dan (9) Perdagangan yang adil.
Penelitian ini digunakan untuk membuka persoalan baru dan sesuai
dengan pandangan subyektif mengenai realitas sosial (Mulyana, 2004:51).
Metode penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif yaitu mendeksripsikan dan mengemukakan hasil temuan penelitian berdasarkan pokok tujuan penelitian yaitu impelementasi kriteria dan indikator GSTC pada salah satu pilar di bagian B. Penelitian ini dilakasanakan di Desa Kembang Arum, Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Hasil penelitian yang dikemukakan berdasarkan penggunaan metode penelitian ini dengan melakukan teknik observasi di lapangan langsung dan mewawancarai pengelola desa wisata Kembang Arum. Hasil dari keterpenuhan indikator dan kriteria ini dihitung berdasarkan banyaknya bobot pertanyaan yang terpenuhi atau tidak. Apabila hasil keseluruhan dari sub indikator yang terpenuhi melebihi 50% maka, destinasi telah memenuhi standar GSTC tersebut.
Informan yang diwawancara dalam penelitian adalah pengelola desa wisata yang telah mengetahui desa wisata mulai dari sejarah, pengelolaan operasional sehari-hari hingga pada permasalahan yang dihadapi oleh destinasi wisata tersebut. Data dikumpulkan mengacu pada daftar wawancara dari butir-butir pertanyaan yang tertuang pada kriteria dan indikator GSTC Bagian B yaitu berdasarkan kesembilan indikator pertanyaan sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya.
Data yang dikumpulkan kemudian diolah dan dibuat dalam bentuk interpretasi pada beberapa kategori indikator untuk dibuat simpulan setelah melakukan wawancara mendalam dengan pihak pengelola yang telah ditunjuk sebagai informan dalam penelitian.
Selain menggunakan analisis hasil wawancara mendalam kepada informan, makalah ini menggunakan konten analisis yang dapat memberikan perspektif level
Vol. 9 No 2, 2021
yang berbeda terhadap analisa masalah. Interpretatif dari analisis konten dapat memecah dan mengklasifikasi kebutuhan akan setiap indikator yang digunakan untuk memberikan interpretasi setiap poin indikator GSTC tersebut. Konten analisis digunakan sebagai alat yang dapat digunakan untuk menganalisa semua jenis teks (Esterberg, 2002:41). Penggunaan analisis konten popular digunakan dalam berbagai penelitian termasuk dalam komunikasi verbal yang dikumpulkan baik secara tertulis, wawancara, manuskrip artikel dalam jurnal, artikel surat kabar, FGD (Forum Group Discussion), observasi, jenis informasi berasal dari platform internet dan sejenisnya (Puvenesary et al, 2011; 98).
Untuk mencapai tujuan penelitian, fungsi-fungsi yang terdapat dalam Kriteria dan Indikator GSTC diperiksa secara kritis dan untuk menentukan indikator mana yang paling cocok dengan peran setiap pemangku kepentingan di desa wisata, sesuai dengan visi dan misi desa wisata tersebut. Secara garis besar, tujuan penelitian ini dicapai melalui analisis konseptual yang diadopsi dari indikator GSTC yang menjadi sumber rujukan dari masing-masing variabel. Demikian pula dengan teknis analisis data yang telah disebutkan dari metode penelitian. Indikator ini memungkinkan studi mengenai peran pemangku kepentingan dalam sistem tata kelola destinasi.
Analisis data dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif yang artinya penafsiran kembali atas observasi lapangan dan hasil semi wawancara yang tidak terstruktur. Uraian kriteria dan indikator GSTC pada desa Kembang Arum dihitung berdasarkan sub pertanyaan yang sesuai dengan poin keterpenuhan dalam pengukuran destinasi pariwisata.
Hasil analisis pada kriteria dan indikator bagian ini menunjukan bahwa
terdapat 13 indikator yang memenuhi indikator GSTC, sisanya 9 indikator lainnya tidak memenuhi kriteria atau tidak tersedia di destinasi wisata. Artinya, bahwa hanya terdapat selisih yang kecil untuk mengatakan bahwa kriteria penilaian manfaat ekonomi untuk masyarakat lokal terpenuhi. Keterpenuhan indikator ini dapat diamati pada tabel dibawah ini;
Tabel 1 Keterpenuhan Kriteria dan Indikator GSTC di Kembang Arum
No* |
Sub Kategori GSTC |
1 |
2 |
B.1.a |
Monitoring dan laporan tentang data pengeluaran pengunjung, pendapatan per kamar yang tersedia, pekerjaan dan investasi dilakukan secara teratur |
√ | |
B.1.b |
Monitoring dan laporan tentang kontribusi pariwisata secara langsung maupun tidak langsung dilakukan secara teratur setiap tahun |
√ | |
B.1.c |
Pengumpulan dan laporan terkait data tenaga kerja yang dipilah berdasarkan jenis kelamin dan kelompok umur dilakukan setiap tahun |
√ | |
B.2.a |
Peraturan atau kebijakan mendukung persamaan kesempatan kerja bagi semua, termasuk wanita, kaum muda, disabilitas, kaum minoritas dan kelompok rentan lainnya |
√ | |
B.2.b |
Program pelatihan yang menyediakan akses yang sama bagi semua termasuk wanita, kaum muda, disabilitas, kaum minoritas dan kelompok rentan lainnya. |
√ | |
B.2.c |
Peraturan atau kebijakan yang mendukung keselamatan kerja bagi semua masyarakat. |
√ | |
B.2.d |
Peraturan atau kebijakan yang mendukung upah kerja yang adil bagi semua, termasuk wanita, kaum muda, disabilitas, kaum minoritas dan kelompok rentan lainnya |
√ | |
B.3.a |
Sistem yang melibatkan pemangku kepentingan baik dari pemerintah, industri dan masyarakat dalam perencanaan manajemen destinasi dan pengambilan keputusan. |
√ |
Vol. 9 No 2, 2021
B.3.b |
Pertemuan setiap tahun dengan masyarakat untuk mendiskusikan tentang isu manajemen destinasi |
√ | |
B.4.a |
Pengumpulan, monitoring, pencatatan dan pelaporan tentang data mengenai aspirasi, keprihatinan dan kepuasan penduduk tentang manajemen destinasi dilakukan secara berkala |
√ | |
B.4.b |
Pengumpulan, monitoring, pencatatan dan pelaporan dilakukan tepat waktu. |
√ | |
B.5.a |
Program untuk memonitor, melindungi dan merehabilitasi atau mengembalikan akses publik kepada masyarakat lokal dan pengunjung domestik kepada situs alam dan budaya |
√ | |
B.5.b |
Memonitor tingkah laku dan karakter dari pengunjung lokal, domestik dan mancanegara terhadap situs dan atraksi pariwisata. |
√ | |
B.6.a |
Program untuk meningkatkan kesadaran akan peran dan potensi berkontribusi dalam pariwisata bagi masyarakat, sekolah dan institusi pendidikan tinggi. |
√ | |
B.7.a |
Hukum dan program untuk mencegah praktik komersialisasi, seks atau segala macam bentuk eksploitasi, diskriminasi atau pelecehan terhadap penduduk atau wisatawan. |
√ | |
B.7.b |
Hukum dan program dikomunikasikan kepada publik. |
√ | |
B.8.a |
Program bagi industri, wisatawan dan masyarakat publik untuk berkontribusi donasi terhadap masyarakat dan inisiatif konservasi keanekaragaman hayati dan/atau pengembangan infrastruktur. |
√ | |
B.9.a |
Program yang mendukung dan membangun kapasitas penduduk lokal, pengusaha kecil dan menengah. |
√ | |
B.9.b |
Program yang mendorong industri untuk membeli produk dan pelayanan dari area setempat. |
√ | |
B.9.c |
Program yang mendorong industri untuk membeli produk dan pelayanan dari area |
√ |
setempat. | |||
B.9.d |
Program yang mempromosikan dan mengembangkan produk lokal yang berkelanjutan berdasarkan alam dan budaya lokal. |
√ | |
B.9.a |
Program yang melibatkan perajin, petani dan penyedia lokal di dalam rantai nilai pariwisata. |
√ |
*Penomoran Kriteria dan Indikator mengacu pada buku pedoman GSTC
Keterangan :
1 : Terpenuhi
2 : Tidak Terpenuhi
Interpretasi Hasil Temuan
Hasil wawancara dan observasi mengemukakan bahwa destinasi wisata Kembang Arum terdapat beberapa komponen-komponen penilaian yang telah sesuai dengan standar penilaian GSTC. Oleh karena itu, hasil dari temuan ini menjelaskan;
Pertama, desa wisata Kembang Arum telah memenuhi syarat sebagai destinasi wisata yang sesuai dengan kriteria dan indikator GSTC, karena bobot kriteria dan indikator yang sesuai standar GSTC > 50% dari hasil penilaian yang diharapkan. Keterpenuhan yang melebihi target ketercapaian kriteria dan indikator ini mengindikasikan bahwa destinasi Kembang Arum mampu bersaing dengan kompetitornya.
Kedua, meskipun terdapat selisih kecil antara keterpenuhan indikator yang tersedia dan tidak tersedia, namun desa wisata masih tetap harus meningkatkan daya saing desa wisata dengan terus mengembangkan desa wisata agar sesuai dengan standar keberlanjutan destinasi wisata.
Ketiga, kriteria dan indikator GSTC dapat menjadi rujukan dan atau menjadi bagian dari perencanaan dalam peningkatan kualitas mutu destinasi yang membantu destinasi wisata bertumbuh sesuai dengan tujuan dari pengembangan destinasi.
Vol. 9 No 2, 2021
Pembahasan Kriteria dan Indikator Destinasi yang Tidak Terpenuhi
Sebuah destinasi membutuhkan Standar keberlanjutan dipengaruhi oleh salah satu indikator penilaian GSTC yang tidak terpenuhi di destinasi. Diantaranya adalah, pada poin (B.2.a) tentang Peraturan atau kebijakan mendukung persamaan kesempatan kerja bagi semua, termasuk wanita, kaum muda, disabilitas, kaum minoritas dan kelompok rentan lainnya. Indikator ini merupakan bagian dari pemberdayaan sumber daya manusia dikalangan tertentu untuk memberikan ruang-ruang partisipasi public secara luas serta memberikan peluang yang sama dalam dunia kerja (Aji dan Haryani, 2017:84). Akses yang sama dibutuhkan kepada mereka yang bekerja pula pada industri pariwisata demi pemerataan kesempatan kerja dan penambahan nilai di destinasi wisata tersebut.
Setiap indikator dapat mempengaruhi indikator lainnya dan memperlihatkan hasil yang berkesinambungan satu dengan lainnya. Setiap pengambilan keputusan membutuhkan kebijakan dan ukuran yang tepat agar meminimalkan resiko yang berdampak pada keberlanjutan sebuah destinasi. Begitupun dengan poin (B.3.b) tentang Pertemuan setiap tahun dengan masyarakat untuk mendiskusikan tentang isu manajemen destinasi, tidak terpenuhi dengan pengalihan status destinasi yang dikelola secara mandiri bukan lagi dalam bentuk manajemen berbasis masyarakat.
Selain itu, pada poin B.7.a yang mengatur Hukum dan program untuk mencegah praktik komersialisasi, seks atau segala maca bentuk eksploitasi dan seterusnya, tidak memiliki landasan hukum dalam manajemen yang mengelola. Begitupun pada poin setelahnya (B.7.b) yang tidak disampaikan pada ruang publik.
Indikator dan kriteria yang tidak terpenuhi juga melingkupi pada poin B.9.a yaitu Program yang mendukung dan
membangung kapasistas penduduk lokal serta mendorong industri untuk membeli produk dan pelayanan dari area setempat. Program ini menjadi terhenti karena partisipasi pada masyarakat lokal dialihfungsikan kepada karyawan yang ditunjuk dalam manajemen desa wisata Kembang Arum. Peran dan pengelola desa wisata yang pada awalnya adalah sebagian besar berdasarkan asas gotong-royong menjadi bias.
Meskipun begitu, peran dari pengelola desa wisata dapat berbentuk lembaga independen atau dapat bernaung dibawah DMO (Destination Management Organization) yang artinya subyek dari penelitian ini dapat terus menarik perhatian penelitian dan praktisi pariwisata.
Diskusi Hasil dan Pembahasan
Upaya mengembangan sebuah destinasi wisata terutama desa wisata yang ada di Indonesia membutuhkan penelitian empiris mengenai peran sebuah organisasi yang dikelola di destinasi dalam membangun daya saing masih kurang dan terbatas (Volgger dan Pechlaner, 2014:23). Dalam banyak literature pembahasan ini memiliki penetrasi atau dampak yang terbatas pada setiap mekanisme dan praktik di lapangan (Pike dan Page, 2014: 223).
Konsep penggunaan kriteria dan indikator GSTC memberikan penetrasi yang dapat membantu desa wisata agar dapat berkembang yaitu dengan berpedoman konseptualisasi dari arah pengembagan desa wisata yang mengarah kepada paradigma baru tentang asas kebutuhan wisatawan yang bersesuaian dengan kondisi geografis desa wisata beserta dengan kearifan lokal yang dimiliki.
Pada kasus desa wisata Kembang Arum diatas, terlihat adanya pergeseran paradigma lama tentang pemaknaan desa wisata. oleh lembaga pemerintah dalam hal ini, yaitu Dinas Pariwisata Kabupaten
Vol. 9 No 2, 2021
Sleman, Paradigma ini berkaitan dengan kebijakan dari pengelolaan desa wisata yang tertuang dalam laporan akhir data desa wisata Dinas Pariwisata Kabupaten Sleman, menyatakan bahwa setiap desa wisata dikelola secara bersama-sama dengan perangkat desa dan menjadikan masyarakat desa sebagai bagian dari manajemen destinasi.
Diskusi pada substansi peraturan pada praktik harian ini misalnya program atraksi wisata yang diharapkan dapat menopang dan pemberdayaan masyarakat lokal tidak lagi menjadi fokus utama dari eksistensi desa wisata, melainkan bergeser berorientasi pada pengembangan bisnis yang dikelola secara perorangan. Profesionalitas pengelola destinasi menjadi alasan utama mengapa destinasi tak lagi berfokus pada pemanfaatan pemberdayaan SDM lokal sebagai pengelola utama. Sementara dari pengertian desa wisata itu sendiri menurut Dinas Pariwisata Sleman merupakan kegiatan yang lebih berorientasi kepada pemberdayaan masyarakat lokal sebagai penggerak utama manajemen desa wisata.
Hasil lainnya dari penelitian ini menunjukan bahwa ada kebutuhan untuk penyesuaian indikator desa wisata dengan kriteria dan Indikator GSTC di setiap destinasi wisata perdesaan. Temuan ini juga menunjukan identifkasi peran manajemen dan bagaimana indikator diaplikasikan untuk menunjang keberlanjutan dari sebuah destinasi. Tujuan ini sejalan dengan konsep Pike (2008;97) bahwa setiap manajemen desa wisata lokal harus dibentuk untuk tujuan pedesaan, yaitu untuk mengelola sumber daya daerah dan bagaimana memasarkan produk pariwisatanya. Berdasarkan dari hasil penelitian empiris, makalah ini juga menemukan bahwa kegiatan pengelola desa wisata dan organisasi pemasaran di destinasi melakukan tugas terpisah dengan yang lebih berorientasi pada pengembangan destinasi secara mandiri tanpa intervensi dari Dinas Pariwisata
Daerah, dalam hal ini sebagai sektor pemerintah daerah yang berfungsi sebagai pengontrol dan evaluator dalam suatu wilayah terlaksana.
Kedudukan Kriteria dan Indikator GSTC dalam Pengelolaan Destinasi
Tanggung jawab atas hukum yang mengatur desa wisata masih bersifat tradisional dan masih dalam tahapan elementer. Kendali atas penetapan sistem punishment dalam kegiatan operasional sehari-hari masih mengandalkan instruksi dari pimpinan desa wisata. Padahal, desa wisata yang berada di lingkup Kabupaten Sleman, diatur berdasarkan peraturan daerah yang tertuang dalam laporan akhir desa wisata tahun 2018 tentang status pengelolaan desa wisata, yang berorientasi pada pemberdayaan masyarakat lokal sebagai pengelola utama atas segala aktivitas pariwisata per wilayah kabupaten. Ketika terdapat interpretasi yang berbeda mengenai bagaimana sebuah destinasi itu dikelola dan siapa yang bertanggungjawab penuh atas destinasi tersebut, maka pihak ketiga harus dilibatkan untuk mencapai kesepakatan dan mencari solusi yang dibutuhkan. Namun, pada praktiknya lembaga yang berperan dan masuk dalam sistem tata kelola desa wisata tidak memiliki kekuatan hukum yang dapat memperkuat posisi masing-masing lembaga. Jalan tengah jika terjadi solusi antar kelembagaan adalah dengan jalan musyawarah. Hal ini menyiratkan bahwa solusi dapat ditempuh dengan diskusi secara kolektif atau menyerahkan kepada pihak berwenang jika tidak dicapai kesepakatan.
Dalam daripada itu, dalam sistem aturan tata kelola desa wisata, maka hukum kepada siapa yang berhak mengelola tidak bersifat absolut dan masih mengandalkan sistem tradisional sebagai jalan keluar. Dilain pihak, standar kriteria dan indikator GSTC dapat menjadi lemah, diabaikan atau menjadi lemah kedudukannya sebagai alat untuk pengembangan destinasi wisata
Vol. 9 No 2, 2021
berkelanjutan di desa wisata karena peran hukum paling fundamental dalam sistem manajemen destinasi tidak memiliki kejelasan. Meskipun terdapat peraturan hukum yang mengacu pada peraturan pemerintah sebagai sektor publik dan payung besar terhadap aktivitas kepariwisataan, namun hal ini tidak menyentuh sampai pada aspek paling terkecil praktik pariwisata di destinasi.
Pertambahan Nilai Ekonomi pada Desa Wisata Menggunakan Indikator GSTC
Pada dasarnya nilai ekonomi yang menggunakan standar ini memiliki tujuan untuk membawa keuntungan pada ekonomi lokal dan untuk membawa dampak kesejahteraan sosial bagi masyarakat yang berada di destinasi wisata. Pada kasus desa wisata Kembang Arum indikator seperti Program bagi industri, wisatawan dan masyarakat publik untuk berkontribusi donasi terhadap masyarakat dan inisiatif konservasi keanekaragaman hayati dan/atau pengembangan infrastruktur dan Program yang mendukung dan membangun kapasitas penduduk lokal, pengusaha kecil dan menengah digunakan untuk menunjang pertambahan nilai ekonomi atas desa wisata menjadi penting. Program bagi industri, wisatawan dan masyarakat akan berpengaruh pada keberlanjutan dari siklus destinasi, sementara program yang mendukung pembangunan kapasitas penduduk lokal akan membantu masyarakat lokal untuk menjadi mandiri dan mengandalkan sektor ini menjadi sumber pendapatan daerah.
Pertambahan nilai dari penggunaan indikator memberikan kelangsungan ekonomi, hal itu pula berdampak pada kepastian daya saing desa wisata, manajemen yang mengelola, sehingga dapat memberikan keuntungan jangka panjang. Selain itu hal ini dapat menaikkan taraf hidup masyarakat lokal dengan memberikan kesejahteraan masyarakat melalui kegiatan pariwisata. Kontribusi
lainnya adalah melalui kegiatan pariwisata perdesaan maka akan memberikan kualitas pekerja lokal yang ada di daerah, termasuk kenaikan upah buruh, fasilitas umum, dan jenis pelayanan yang lebih berkualitas yang terstandarisasi. Hal ini pula dapat memberikan kepercayaan kepada wisatawan maupun khalayak umum mengenai standar pelayanan berwisata sebuah destinasi.
Pada kasus di beberapa negara lain, industri pariwisata khususnya pada sektor pariwisata yang dikelola mandiri oleh masyarakat lokal bahkan telah terlebih dahulu untuk meminta ditambahkannya kriteria dan indikator keberlanjutan destinasi yang mencakup alat untuk mengukur energi, limbah, air dan kepuasan pelanggan (Bricker, 2015:81). Artinya walaupun beberapa indikator GSTC masih belum dapat diterapkan langsung di desa wisata Kembang Arum, namun setiap pemangku kepentingan harus sudah memikirkan dan merancang starategi baru untuk meningkatkan daya saing pariwisatanya dengan memperhatikan sumber daya keberlanjutan desa melalui alat pengukuran kriteria dan indiaktor yang dimaksud.
Pada banyak literatur akademis, kriteria dan indikator GSTC tidak hanya memberikan peningkatan nilai ekonomi, namun secara langsung memberikan kontribusi terhadap peningkatan peran dari pihak manajemen destinasi baik dikelola secara mandiri atau perorangan maupun secara kelembagaan. Peran pemangku kepentingan dan pengelola dibutuhkan karena destinasi memiliki tanggungjawab yang akan dilakukan terhadap desa wisata sebagai bagian dari rantai nilai pariwisata secara keseluruhan. Tanggungjawab pada pengelolaan desa wisata pedesaan memiliki ekspektasi tidak hanya kepada wisatawan yang berkunjung, melainkan masyarakat lokal, yaitu memberikan nilai manfaat kepada lingkungan atau pihak pemangku
Vol. 9 No 2, 2021
kepentingan, serta tidak merugikan masyarakat yang berada di lokasi desa wisata berada.
Temuan dalam studi ini memperlihatkan gambaran bahwa destinasi pada desa wisata dalam penelitian dapat mengikuti standar Kriteria dan Indikator GSTC yang menjadi standar umum di berbagai destinasi yang telah maju. Fenomena ini dapat mengungkapkan bahwa proses transfer implementasi kategori dalam Kriteria dan Indikator GSTC pada setiap destinasi khususnya desa wisata meskipun tidaklah semudah berdasarkan teoritikal namun, dapat diimplementasikan sepanjang kriteria dan indiaktor tersebut bersesuaian dengan arah pengembangan destinasi wisata.
Selain itu desa wisata Kembang Arum memeiliki katakterisitik tersendiri dan memiliki permasalahan yang berbeda dengan desa wisata lainnya. Pengukuran keberlanjutan tentang desa wisata dalam beberapa aspek yang diuraikan pada sub kategori kriteria dan indikator GSTC dianggap masih lemah. Misalnya, dalam pengukuran Hukum dan program untuk mencegah praktik komersialisasi, seks atau segala macam bentuk eksploitasi, diskriminasi atau pelecehan terhadap penduduk atau wisatawan. Belum ada hukum tertulis di RT/RW pengelolaan destinasi wisata mengenai hal tersebut, akan tetapi hukum secara adat ada. Hukum tersebut diterapkan dalam bentuk teguran secara lisan, kalau dilakukan masih dalam pelanggaran ringan. Tetapi untuk pelanggaran berat, itu dikembalikan ke ranah hukum negara yang berlaku. Hukum dan program inipun masih dinilai membingungkan karena membutuhkan kejelasan dalam teknis pelaksanaan program yang dimaksud.
Penggunaan kriteria dan indikator GSTC dapat berfungsi sebagai alat pengukur untuk meningkatkan kualitas sebuah
destinasi, namun memiliki tantangan seperti masih banyak perangkat desa wisata yang tidak terbiasa dengan penggunaan indikator dan kriteria GSTC terstandar internasional tersebut. Oleh pemerintah setempat, yaitu Dinas Pariwisata Kabupaten Sleman Yogyakarta masih menggunakan indikator yang telah ditetapkan dan disusun untuk setiap destinasi wisata dilingkup kerja masing-masing perangkat lembaga. Di satu sisi, indikator milik pemerintah baik digunakan dengan menyesuaikan dengan kebutuhan dan memperhatikan kebutuhan dan kearifan budaya lokal, namun disisi yang lain, standar tersebut tidak memiliki kenaikan status perbaikan sebuah destinasi seperti yang sudah dilakukan negara-negara maju. Hal ini dapat menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah desa untuk sama-sama meningkatkan kualitas daya saing pariwisatanya.
DAFTAR PUSTAKA/REFERENSI
Aji, Abdul Latief Danu., & Haryani, Tiyas Nur. (2017). Diversitas dalam Dunia Kerja: Peluang dan Tantangan
Disabilitas. Jurnal Spirit Publik, 12 (2), 83-93
doi: https://doi.org/10.2096/sp.v12i2.16246
Ariscasari, Victris. (2017). Analisis Pengelolaan Objek Wisata Menara Pakaya Kabupaten Gorontalo Berbasis Indikator Kelembagaal Global Sustainable Tourism Council (GSTC). Tesis: Universitas Gadjah Mada
Balakrishnan, M. S. (2008). Dubai-A Star in The East: A Case Study in Strategic Destination Branding. Journal od Place Management and Development 1 (1), 62-91. https//: Doi:10.1108/17538330810865345
Bricker, Kelly. (2015). Demystifying Theories in Tourism Research. USA: University of Utah
Damanik, Janianton et al., (2015). Membangun Pariwisata dari Bawah Catatan penelitian terhadap Desa Wisata Penerima PNPM Mandiri Pariwisata. Yogyakarta: UGM Press
Darsono, (2005). Pengertian Desa, Retrieved, June 12 2019
http//desasentonorejo.wordpress.com/bab-ii/, Bandung: Angkasa Zakaria, 2014
Esterberg, K.G. (2002). Qualitative Research Methods in Social Research. Boston: McGraw-Hill Inc.
GSTC, Global Sustainable Tourism Council., (2013. Global Sustainable Tourism Council Criteria; Indikator Kinerja yang Disarankan Bagi Destinasi Versi 2.0. Retrieved June 20, 2020, From https://www.gstcouncil.org
Isharyadi, Febrian., (2018). Pemenuhan Persyaratan Standar Pengelolaan Wisata Selam Rekreasi. Jurnal Standardisasi, 20(1), 33-48. DOI: 10.31153/js.v20i1.603
Kartohadikoesoemo, Soetardjo. (1984). Desa. Jakarta: Balai
Pustaka
Laporan Akhir Dinas Pariwisata Sleman. (2018). Kajian Klasifikasi Desa Wisata Kabupaten Sleman Yogyakarta
Vol. 9 No 2, 2021
Longjit, Chootima. (2010). Managing Mature Coastal Tourism Destination: The Case of Pattaya Thailand, Disertasi, Victoria University of Wellington
Mulyana, Deddy. (2004). Metodologi Penelitian Kualitatif.
Bandung: PT Remaja
Pantelescu, Marin Andrea. (2019). Role Tour Operators and Travel Agencies in Promoting Sustainable Tourism. Journal Amfiteatru Economic; Bucharest, 21 (52), 654669. https://doi.org/ 10.24818/EA/2019/52/654
Kementrian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, (2015). Buku Panduan Pengembangan Desa Wisata Hijau
Pike, S., & Page, S.J. (2014). Destination Marketing Organization and Destination Marketing: a Narrative Analysis of the Literature. Tourism Management, 41(April), 201-227. Doi: https://doi.org/10.1016/j.tourman.2013.09.009
Puvenesary et al. (2011). Qualitative Research: Data Collection
and Data Analysis Techniques. Sintok: Universiti Utara Malaysia Press
Volgger, M & Pechlaner, H. (2014). Requirements for Destination Management Organization in Destination Governance: Understanding DMO Success. Journal of Tourism Management, 41, 67-75.
https://doi.org/10.1016/j.tourman.2013.09.001
321
Discussion and feedback