Prostitusi dan Narkoba: Studi Etnografi Pariwisata Kelab Malam di Seminyak
on
Jurnal Destinasi Pariwisata p-issn: 2338-8811, e-issn: 2548-8937
Vol. 8 No 2, 2020
Prostitusi dan Narkoba: Studi Etnografi Pariwisata Kelab Malam di Seminyak
I Komang Ayis Winawana, 1, I Gusti Agung Oka Mahaganggaa, 2 , I Made Bayu Ariwangsaa, 3
-
a Program Studi Sarjana Destinasi Pariwisata, Fakultas Pariwisata, Universitas Udayana, Jl. Dr. R. Goris, Denpasar, Bali 80232 Indonesia
Abstract
This research aims to provide a description of prostitution and drugs in nightclubs in Seminyak. Honesty, thus research not to find out who is right or wrong, precisely to emphasize understanding the tourism phenomenon from a different side. The research paradigm is qualitative with ethnographic methods, field research and qualitative techniques. The results showed that sex workers and drug users in Seminyak were not simple problems. Related to the development of the tourism sector, on the one hand, the pursuit of economic growth and the welfare of the community. But on the other hand, it triggers a lot of intrigue and strategies of actors or agent to remain, survive or get stronger in tourism practices in nightclubs. The field research finding controlled abandonment concept have strength evidence that prostitution and drugs exist but are needed according to the agent's interests.
Keywords: drugs, etnography, nigthclubs, prostitution, tourism
Pulau Bali sudah dikenal sejak lebih dari seratus tahun lalu sebagai destinasi wisata utama di Indonesia bahkan di dunia. Turismemorfosis sebagai perkembangan pariwisata di Bali menunjukkan bahwa Bali sulit dipisahkan dari pembangunan sektor pariwisata. Sektor pariwisata telah menjadi ikon dan keunggulan pembangunan di Bali (Mahagangga, dkk., 2018).
Kabupaten Badung adalah salah satu kabupaten yang ada di provinsi Bali. Hampir seluruh wilayah di kabupaten Badung terutama di Badung Selatan adalah daya tarik wisata terkenal dunia diantaranya Pantai Nusa Dua, Kawasan Uluwatu, Pantai Kuta, Pantai Legian Pantai Canggu, dan Pantai Seminyak.
Pantai Seminyak berada di wilayah kecamatan Kuta yang masuk dalam wilayah kelurahan Seminyak. Secara adat masuk dalam wilayah Desa adat Seminyak. Kondisi eksisting menunjukkan bukan hanya pantai Seminyak yang menarik bagi wisatawan tetapi ragam akomodasi wisata dan fasiltas pendukung wisata lainnya ada di Seminyak. Seperti hotel, villa, spa restoran, bar, kafe dan art shop / toko souvenir dan sejenisnya serta night club (kelab malam).
Ragam kelab Malam yang serupa dengan di Kuta (tahun 1990-an hanya ada 2-3 kelab malam high class yang terkenal di Seminyak), kini mulai menjamur. Melihat Seminyak saat ini seperti menyaksikan Kuta di era tahun 1990-an.
Kelab malam didefinisikan sebagai restoran yang dibuka sampai larut malam, memiliki dekorasi mewah, pelayanan elit dilengkapi dengan band/musik. Para tamu berpakaian resmi dan rapi sehingga menaikkan gengsi (Wojowasito dan Poerwodarminto dalam Marsyangm, 1999).
Kemungkinan masih terdapat beberapa kelab malam yang masih sesuai dengan definisi di atas. Tetapi berdasarkan data di lapangan, tampak terjadi pergeseran. Telah terjadi perkembangan dalam kehidupan sosial-budaya sebagai dinamika yang mengikuti trend dan life style. Dinamika tersebut mungkin dapat bersifat positif atau negatif tergantung dari perspektif yang digunakan. Pariwisata yang rekat dengan pengaruh eksternal termasuk globalisasi memang peka terhadap perubahan. Terdapat banyak faktor yang seakan harus diikuti dan diakomodir dalam pariwisata jika tidak ingin dikatakan membosankan atau terancam ditinggalkan oleh wisatawan.
Gambar 1. Clubers dan alunan musik dari DJ di salah satu kelab malam Seminyak
Sumber: Dok. Penelitian, 2019
Adaptasi dari suatu daya tarik wisata diperlukan dengan dalih untuk keberlanjutan, terutama dari dimensi ekonomi yaitu kepentingan bisnis dan kesejahterahan masyarakat lokal. Kreatifitas, jejaring promosi dan keterlibatan institusi lokal disinergikan (secara sadar ataupun tidak dan secara langsung
Jurnal Destinasi Pariwisata Vol. 8 No 2, 2020
maupun tidak langsung) sebagai upaya memberikan kepuasan bagi wisatawan. Harapannya adalah daya tarik wisata selalu ramai dikunjungi dan memberikan dampak pendapatan meningkat bagi praktisi bisnis pariwisata, pemerintah daerah dan masyarakat lokal.
Banyaknya kelab malam di seluruh dunia tidak terlepas dari perkembangan gaya hidup masyarakatnya. Kelab malam tidak terlepas dari pariwisata atau hiburan malam yang ada di masing-masing negara (Marta, dkk., 2019). Rasa senang merupakan tujuan utama bagi mereka yang ingin mencari hiburan dan melepas kepenatan di tempat-tempat hiburan malam (Azmiardi, 2020). Clubbers datang ke kelab malam meniimati minuman, menikmati suasana, dan sosialisasi. Orang Singapura terbang ke Jakarta hanya untuk party di kelab malam (Thaeras, 2012).
Kelab malam dengan beraneka hiburan malam menghadirkan wanita-wanita bertubuh molek dan paras cantik menjadi keuntungan tersendiri. Terbukti, melansir dari elitereaders, hal itulah yang mendasari 10 negara populer dengan julukan 'wisata malamnya, antara lain: (1) Thailand, (2) Brazil, (3) Spanyol, (4) Indonesia, (5) Kolombia, (6) Filipina, (7) Kenya, (8) Belanda, (9) Kamboja, (10) Republik Dominika. Di sisi lain hukum yang berlaku mengenai legal atau ilegalnya sebuah prostitusi tergantung pada hukum yang melandasi pada negara tersebut (Valda, 2017).
Gambar 2. Clubers wisatawan mancanegara di salah satu kelab malam Seminyak
Sumber: Dok. Penelitian, 2019
Di sisi lain kelab malam seringkali dimanfaatkan sebagai tempat bertransaksi narkoba (Sugitha, dkk., 2012). Salah satu tempat rawan peredaran narkotika adalah tempat hiburan malam. Tempat-tempat hiburan malam tersebut kerap kali menjadi tempat tujuan berkumpulnya para pengguna dan pengedar narkotika. Hal ini dapat dilihat dari kegiatan razia yang dilakukan di tempat hiburan malam selalu di dapati narkotika diantara pengunjung maupun oknum hiburan malam dan banyak pengunjung yang dinyatakan positif mengonsumsi Narkotika.
Hal ini mengindikasikan bahwa tempat hiburan malam menjadi tempat bagi berkumpulnya pengguna dan pengedar (BNN, Laporan Akhir Survei Nasional Perkembangan Penyalahguna Narkoba, 2014; UN, 2016; Amanda dan Humaedi, 2017).
Penelitian ini tidak untuk membuktikan benar atau salah, bukan untuk mendeskreditkan pihak tertentu dan bahwa hasilnya adalah suatu kebenaran yang valid. Melainkan untuk pemahaman bahwa dalam pariwisata khususnya hiburan malam dalam konteks pariwisata terjadi fenomena yang unik yang dapat berimplikasi kepada dimensi lain selain pariwisata. Pemahaman atas makna menjadi penting bahwa terdapat praktik-praktik prostitusi dan narkoba, berpola dan bermakna di kelab malam.
Penelitian pariwisata di Bali tampak didominasi oleh paradigma positivistik, metode kuantitatif dan pendekatan ekonomi. Penting untuk dipahami bahwa pendekatan sosial budaya juga diperlukan dalam pembangunan pariwisata. Pendekatan semacam transdisipliner (anthro-socio-tourism) dapat menjadi alternatif memberikan solusi problematika pariwisata terkait dengan dimensi sosial-budaya terutama ideologis dan praktiknya (Anom, dkk,. 2020). Artinya, pariwisata secara akademis dapat dilihat dari ragam dimensi seperti dimensi ekonomi, dimensi sosial, dimensi budaya dan dimensi lainnya (Fridgen, 1991; Hall, 2003; Anom, dkk., 2019). Terbukti saat pandemi covid-19 melanda dunia, semua sektor terpengaruh termasuk pariwisata dalam beragam dimensinya (Salazar, 2020).
Penelitian terdahulu yang menjadi acuan dalam penelitian ini, pertama oleh Saputra tahun 2008 berjudul, ”Makna Hidup pada Pekerja Seks Komersial (PSK)”. Hasil penelitiannya adalah profesi PSK memiliki beberapa tipikal makna mulai dari usaha bertahan hidup, tidak ada pilihan lain, kebutuhan ekonomi, suatu saat akan berhenti dan nasib atau takdir yang harus dijalani. Kedua, penelitian oleh Julianan Lisa tahun 2013 berjudul”Narkotika, Psikotropika dan Gangguan Jiwa” yang menyatakan kehidupan di jaman modern sangat jauh dari kata ramah, hal ini terlihat dari tingginya tingkat kesibukan masyarakat, tingginya angka depresi, banyaknya anak-anak yang kurang perhatian orang tua, dan begitu beragamnya kegiatan yang dilakukan sampai dengan ramainya kegiatan di jam-jam malam, ini terlihat dari banyaknya tempat hiburan malam yang buka dan berkembang. Hal ini sangat memengaruhi pola kehidupan masyarakat. Salah satunya adalah keberadaan obat bius dan zat-zat narkotika. Ketiga, penelitian yang dilakukan oleh Dio Pratama dan Saptono
Jurnal Destinasi Pariwisata Vol. 8 No 2, 2020
Nugroho pada tahun 2019 berjudul,”Motivasi Wisatawan dan Persepsi Masyarakat Lokal terhadap kelab Gay di Seminyak Bali: Studi kasus Bali Joe dan Mixwell Bar”. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa motivasi wisatawan berkunjung karena rasa ingin tahu tentang kelab gay dan tidak ada permasalahan dengan masyarakat lokal terhadap keberadaan kelab-kelab malam tersebut karena sudah terbiasa. Keempat, penelitian oleh Riko Agusman (dkk., 2018) berjudul,”Penciptaan Habitus Remaja Perkotaan di Kelab Malam Sky Garden, Badung”. Hasil penelitian menunjukkan implikasi positif dan dampak negatif dari clubbing oleh para remaja. Kelima, Penelitian oleh Brahmanto tahun 2015 berjudul,”Praktek Prostitusi dan Pengaruh Trend Kunjungan Wisatawan Mancanegara di Kota Yogyakarta”. Hasil penelitian menunjukkan terjadi pergeseran trend tujuan wisatawan mancanegara dan prostitusi menjadi bagian dari pariwisata sebagai wisata sex.
Teori yang digunakan sebagai acuan dalam penelitian ini adalah teori habitus dan beberapa konsep digunakan untuk mempertajam deskripsi dan pemahaman. Habitus merupakan tindakan yang dilakukan secara berulang-ulang yang terjadi dalam rentang waktu yang lama serta labil (durable, transposable disposition). Keadaan ini melatarbelakangi tindakan terstruktur dan terpadu secara objektif (Bourdieu dalam Harker, dkk., 1990).
Sedangkn konsep pendukung yang digunakan dalam penelitian ini adalah yaitu leisure dan recreation (Suryasih, 2019), wisatawan, pengunjung dan expatriate (Suwena, dkk., 2017), narkoba (Redjeki, 2014), prostitusi (Soekanto, 2006), kriminalitas pariwisata (Mahagangga, dkk., 2013), seks dan pariwisata (Wijayasa, 2006), tempat hiburan malam (Damarjati, 2001).
Lokasi penelitian dilakukan di beberapa kelab malam di wilayah Seminyak, Kuta, Bali. Desa Adat Seminyak berlokasi di Kelurahan Seminyak, Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung. Kelurahan Seminyak terdari atas dua banjar yaitu Banjar Basangkasa yang warganya masuk Desa Adat Kerobokan dan Banjar Seminyak yang warganya masuk Desa Adat Seminyak yaitu tempat penelitian ini dilaksanakan.
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kuantitatif dan data kualitatif (Sugiyono, 2008). Penelitian ini bersumber pada sumber data primer dan sekunder (Moleong, 2007).
Penelitian menggunakan metode etnografi sebagai pendekatan naturalis sebagai penelitian lapangan dengan upaya deskripsi fokus penelitian
yaitu prostitusi dan narkoba di kelab malam Seminyak dengan apa adanya dalam kurun waktu cukup lama dari penelitian kualitatif biasanya. Metode etnografi adalah cikal bakal serangkaian metode-metode kualitatif yang berkembang saat ini dalam penelitian ilmu sosial humaniora.
Penelitian etnografi pariwisata sebenarnya bukan hal baru. Ketika host dan guest menjadi ketertarikan para antropolog dan sosiolog, persepsi wisatawan menjadi penting dan dampak pariwisata secara positif maupun negatif terjadi, maka semakin dirasakan pentingnya penelitian etnografi dalam pariwisata (Adams, 2012; Hermawan, 2018; Nogués-Pedregal, 2019).
Tujuan utama penelitian etnografi adalah untuk menangkap native point of view, hubungannya dengan kehidupan, menyadari visinya dan dunianya. Penelitian etnografi melibatkan aktivitas belajar mengenai dunia orang yang telah belajar melihat, mendengar, berbicara, berpikir dan bertindak dengan cara yang berbeda. Jadi etnografi tidak hanya mempelajari masyarakat, tetapi lebih dari itu, etnografi belajar dari masyarakat. Perhatiannya pada tingkah laku, adat, objek, atau emosi untuk memperoleh pemahaman makna dari fenomena. Etnografer mengamati dan mencatat berbagai kondisi emosional, tapi lebih dari itu, dia juga menyelidiki makna rasa takut, cemas, marah dan berbagai perasaan lainnya (Muhadjir, 1996; Manan, 2015).
Instrumen kunci dalam penelitian adalah peneliti sendiri. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan teknik pengamatan berperan serta (Moleong, 2007), wawancara mendalam (Sugiyono, 2008) dan studi pustaka (Bungin, 2007). Teknik penentuan sampel menggunakan informan dengan teknik pursposive sampling (Koenjaraningrat, 1991; Adi, 2004; Arikunto, 2006).
Teknik analisis data dalam penelitian menggunakan analisis data kualitatif. Penelitian kualitatif cenderung lebih mampu mengungkap realitas ganda, hubungan wajar antara peneliti dengan informan karena penelitian ini lebih sensitif dan adaptif terhadap peran berbagai pengaruh timbal balik (Muhadjir, 2000).
Proses analisis data dimulai sejak di lapangan (key instrument), ketika melakukan observasi, wawancara dan studi pustaka. Hasil observasi berupa deskripsi-deskripsi, hasil wawancara berupa informasi-informasi dari para informan dan studi pustaka sebagai rujukan, pembanding, tesa, antitesa dan sintesa di cross check, direfleksikan dan baru kemudian dapat disebut sebagai data kualitatif.
Tahap terakhir sebelum penyajian data kualitatif adalah interpretasi. Interpretasi menjadi esensial dalam penelitian kualitatif
Jurnal Destinasi Pariwisata Vol. 8 No 2, 2020
karena merupakan perpaduan pengalaman empiris, penguasaan metodologi (konsep, teori, metode di lapangan, kepekaan, hubungan baik dengan informan, upaya kedalaman data dan analisis-interpretasi untuk pemahaman makna), penguasaan terhadap fokus penelitian sebagai the state of the art (studi pustaka dan kajian pustaka) dan kemampuan peneliti dalam memahami emik (data berdasarkan subyek penelitian/native point of view) dan etik (interpretasi peneliti terhadap emik berdasarkan kepakarannya).
Hasil observasi menunjukkan kelab malam di Seminyak mulai beroperasi sekitar jam 23.00 Wita sampai jam 04.00 Wita (pagi). Beberapa kelab mempunyai lounge yang beroperasi lebih awal mulai pukul 18.00 Wita. Adanya jam sore ini, wisatawan dapat melakukan dinner dan melanjutkan party di di malam sampai dini bahkan pagi hari.
Keadaan ini memungkinkan terjadi penyimpangan seperti prostitusi dan narkoba. Meskipun tidak semua pengunjung maupun wisatawan memiliki tujuan untuk menggunakan jasa prostitusi dan menggunakan narkoba, tetapi potensi terhadap penggunaan kedua variabel tersebut di kelab malam sangat besar.
Kelab malam dalam hal ini terkesan menjadi kambing hitam, tetapi harus diakui bahwa wisatawan sesuai dengan trend masa kini sangat berminat dengan keberadaan kelab malam. Clubing sudah dirasakan menjadi kebutuhan bahkan bagi sebagaian komunitas generasi milineal lokal di Denpasar, Badung dan sekitarnya. Argumentasinya, mulai dari menghilangkan kejenuhan, menghapus masalah, sampai kepada life style (“Kalau ndak dugem ndak keren”).
Tetapi perlu diperhatikan juga bahwa tidak semua pengunjung, wisatawan dan expatriate datang ke kelab malam untuk menggunakan jasa prostitusi dan penggunaan narkoba. Hal ini penting dicatat karena tidak diinginkan tercipta pemahaman sepihak bahwa kelab malam bersifat sangat negatif bagi kehidupan sosial kemasyarakatan.
Pelacur di Kelab Malam
Terdapat pelacur yang memiliki sasaran wisatawan asing, expatriate, wisatawan domestik maupun pengunjung lokal (yang terakhir jarang terlihat). Secara umum pelacur yang berusia mulai 16-38 tahun ada di kelab malam harus mampu berkomunikasi dalam bahasa Inggris. Jika tidak fasih menggunakan bahasa Inggris maka akan ada aktor-aktor yang memiliki peran sebagai penerjemah, fasilitasi dan transaksi.
Tetapi target utama para pelacur ini adalah wisatawan mancanegara. Wisatawan mancanegara
dipandang lebih menjanjikan secara materi daripada wisatawan domestik. Untuk wisatawan domsetik terutama pengusaha-pengusaha lokal biasanya mendekati pihak managemen untuk booking
sebelumnya.
Gambar 3. Penikmat Kelab Malam di Seminyak Sumber: Dok. Penelitian, 2019
Berdasarkan hasil penelitian, pelacur di kelab malam dapat dibedakan menjadi beberapa kategori. Pertama, pelacur kelas elit yaitu pelacur yang sudah memiliki asisten dalam pencarian targetnya. Berbeda dengan pelacur kelas menengah keatas. pelacur elit hanya tinggal datang, duduk dan menunggu kapan si pria yang menyewa ingin menggunakannya. Asisten pelacur yang akan bertindak cepat dan lebih aktif mengajak ngobrol pria yang menyewa pelacur tersebut. Pelacur kelas elit memiliki harga yang sangat tinggi. Targetnya adalah bos dan pengusaha pengusaha lokal. Berdasarkan wawancara peneliti kepada waitress berinisial OW yang sedang melayani meja penyewa pelacur. Peneliti memperoleh informasi bahwa harga pelacur kelas elit adalah Rp.5 juta sampai dengan 7 juta rupiah. Harga tersebut tidak termasuk dengan bercinta, hanya telanjang dada dan memegang bagian atas. Belum ada informasi bagaimana bila si pria ingin mengajak bercinta atau sejenisnya.
Kedua, pelacur freelance style, yang sulit untuk disebut sebagai pelacur karena sangat pemilih dan tidak sembarangan dalam menetapkan target konsumennya. Tarif pelacur kategori ini tidak jauh berbeda dengan pelacur kelas elit di atas.
Ketiga, pelacur kelas menengah ke atas yaitu pelacur yang datang ke kelab malam dengan bermodalkan bahasa, pakain sexy dan makeup. Pelacur kategori ini akan datang dengan membeli tiket masuk ke dalam kelab malam. Membeli segelas minuman dan berdansa di lantai dansa. Pelacur jenis ini akan mencari turis turis mancanegara dan mulai berdansa dengannya. Sangat cerdik wanita pemberi kepuasan tersebut akan menggoda dan memegang pria yang menjadi targetnya. Setelah berhasil menggaet targetnya maka pelacur akan mengajak targetnya keluar dari lantai dansa, memulai basa basi ringan untuk memulai topik tentang harga. Bila sudah cocok dengan harga yang disepakati maka pelacur akan mengajak pria tersebut untuk menyewa hotel ataupun sebaliknya si pria yang mengajak pelacur
Jurnal Destinasi Pariwisata Vol. 8 No 2, 2020
untuk berkunjung ke tempat menginap. Tarif pelacur jenis ini berkisar antara Rp.800 ribu sampai Rp. 2 juta.
Keempat, pelacur abu-abu yaitu sulit dikategorikan sebagai pelacur karena Pelacur kateori ini dapat dibedakan menjadi dua jenis. Jenis pertama, dapat dari kalangan oknum pelajar, oknum mahasiswa atau oknum pekerja swasta. Sulit mengatakan bahwa mereka “melacurkan diri” demi uang. Banyak dari pelacur kategori ini cukup mapan secara ekonomi. Lalu apa yang dicari, bukankah ini sangat konyol? Uang dirasakan penting juga bagi mereka ternyata, tetapi ada yang lebih penting life style dan kepuasan biologis dan psikologis ketika terjalin hubungan biologis bersama warga negara asing atau dengan oknum pengusaha atau orang terkenal yang mampu memberikan materi dan menjadi kebanggaan secara pribadi. Jenis kedua, adalah para pekerja di kelab malam tersebut yang memiliki semacam job desk sebagai greater atau bahkan dianggap sebagai PR (public relation). Para pelacur ini memiliki hubungan baik seperti relasi team work dengan hampir seluruh pekerja kelab malam (termasuk para pengisi acara di kelab malam tersebut seperti disc jokey/DJ, vokalis, pemain musik dan lainnya). Penampilan umumnya adalah sangat berkelas dan kembali terulang, apakah mereka memerlukan uang dan rela melacurkan diri? Tampak tidak jauh berbeda dengan jenis pelacur pertama sebelumnya. Tetapi untuk jenis pelacur ini, tampak mengarah kepada pencarian “kenyamanan” selain “uang”. Mereka memiliki harapan besar akan mendapatkan pendamping hidup yang serius. Sebagian besar pelacur jenis ini adalah janda-janda muda yang sebelumnya terikat oleh perkawinan namun kandas karena pernikahan usia muda atau pernah mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), ada yang pernah menjadi istri simpanan (istri tidak sah), atau pernah menjadi korban pelecehan-kekerasan seksual dan memang secara psikologis memiliki potensi kelainan seksual (hypersex).
Prostitusi di kelab malam sudah menjadi rahasia umum dan memang benar adanya. Para pelacur akan jelas terlihat jika sudah memahami situasi dan kondisi. Para pelacur sulit untuk dapat beroperasi secara mandiri di kelab malam (kecuali pelacur kelas elit). Setiap pelacur kelab malam telah memiliki jejaring dan managemen yang sebenarnya terkait secara laten dengan pengelola kelab malam (minimal diketahui keberadaannya oleh manajemen kelab malam).
Terutama para pelacur kelas elit dan para pelacur kelas menengah ke atas sangat jelas terlihat strukturnya. Terdapat aktor-aktor yang memiliki peran dalam mengatur, memasarkan, memfasilitasi dan menjamin keamanannya. Terdapat peran mami, biasanya berusia di atas 40 tahun, terkesan sebagai
seorang manager. Jika pria juga rata-rata berusia di atas 40 tahun disebut sebagai papi (umumnya adalah gay dan terkesan feminis).
Para pelacur freelance style tidak memiliki mami atau papi. Memang mereka ini tidak terikat dengan “mami” dan “papi” tetapi biasanya memiliki “pegangan” yaitu orang-orang kuat di dalam kelab malam. Seperti oknum security, oknum ormas tertentu, atau aktor-aktor kuat di luar kelab malam tetapi menaungi wilayah tersebut.
Untuk para pelacur abu-abu dalam dua jenis tersebut tidak termasuk dalam kelompok “mami dan papi”. Tetapi jasa prostitusinya dikenal dari mulut ke mulut atau bantuan yang tidak wajib dari pekerja di kelab malam. Uniknya, pengguna jasa seperti wisatawan mancanegara, wisatawan domestik atau pengunjung lokal biasanya sudah mengetahui dari gaya dan action pelacur kategori ini. Beberapa dari pelacur ini mengaku sebenarnya uang bukan yang utama melainkan jalinan one night show atas dasar “suka sama suka” merupakan keistimewaan. Terlebih hubungan dapat berlanjut dan secara material sangat terpenuhi adalah merupakan keadaan yang diidamkan.
Narkoba di Kelab Malam
Sulit dipisahkan pelacuran dan penggunaan narkoba di kelab malam di Seminyak. Sebagai bisnis haram kedua hal ini ada dan menjadi hal biasa di kelab malam. Pengakuan dari seorang pengedar narkoba di kelab malam meyakini bahwa pengunjung dan wisatawan yang datang ke kelab malam tidak akan puas hanya dengan mabuk minuman. Mereka akan mengkonsumsi narkoba agar badan terasa fit sehingga dapat melantai (dancing/disco) selama berjam-jam dan jika tidak memiliki pasangan yang ikut maka seks (menyewa pelacur) adalah pilihan yang dianggap rasional.
Data di lapangan menunjukkan terdapat beberapa jenis narkoba yang beredar dan laris-diminati di kelab malam di Seminyak. Yaitu mushroom, ganja, sinte (tembakau sintetis) inex/ekstasi dan sabu-sabu. variasi harga berbeda tiap jenis dengan rentang mulai Rp. 50 ribu sampai Rp. 1 juta untuk sekali konsumsi.
Perolehan dan penggunaannya beragam tergantung dari kebutuhan dan keberanian pengguna. Masing-masing jenis narkoba berbeda cara dan tempat menggunakannya. Di kelab malam ada beberapa jenis narkoba yang berani digunakan di hall (memanfaatkan remang-remang suasana), ada yang di toilet dan ada yang keluar sejenak (di dalam kendaraan) baru kemudian masuk kembali ke kelab malam. Termasuk ada yang membeli di kelab malam, tetapi menggunakannya di luar kelab malam. Di dalam kelab yang bersangkutan hanya mengkonsumsi minuman beralkohol dan menikmati musik (terdapat dogma narkoba jenis tertentu
Jurnal Destinasi Pariwisata Vol. 8 No 2, 2020
berguna sebagai penawar mabuk minuman beralkohol dan membuat kondisi tetap fit).
Gambar 4. Pengunjung menikmati kelab malam di Seminyak
Sumber: Dok. Penelitian, 2019
Pengakuan salah seorang pekerja di kelab malam bahwa transaksi dan penggunaan narkoba adalah lumrah di tempat ia bekerja. Sudah ada pengedar-pengedar yang beroperasi di dalam kelab malam (“beh be biase to transaksi ubat dini. Liu tamu-tamu nakon sik iang, ditengah mare bek nak ngadep”. terjemahan: “biasa transaksi narkoba disini, banyak wisatawan bertanya kepada saya, di dalam kelab banyak yang menjual).
Pengakuan dari salah seorang pekerja lain di kelab malam merasa khawatir dengan traffic narkoba di tempatnya bekerja. Tetapi apa pemikrian rasional harus dikedepankan, dirinya bukan siapa-siapa dan hanya buruh/pekerja di sana (“risih saya dengan pecandu-pecandu kayak gitu, belagu mereka! kalau dilaporin polisi ntar malas saya yang dipecat sama bos, benar kan? hahaha.....biarin saja”).
Semakin ramai pengunjung kelab malam maka bonus yang diterima (di luar gaji) akan semakin besar. Para pekerja di kelab malam memiliki tanggung jawab untuk menafkahi keluarga. Ketika ada laporan dan berurusan dengan pihak kepolisian di kelab malam makan akan berdampak terhadap pendapatan mereka (terjadi pemerikasaan rutin, keamanan diperketat, pengunjung dan wisatawan tidak nyaman). Menurunnya kunjungan akan sangat berdampak kepada pendapatan para pekerja di kelab malam. Semakin ramai pengunjung kelab malam maka semakin besar bonus yang diperoleh (meskipun terdapat oknum pekerja kelab malam terindikasi sebagai pengedar atau membantu pemasarannya tetapi hanya sebagian kecil).
Terjadi “pembiaran terkendali” terhadap transaksi narkoba di kelab malam tersebut
(pembiaran terkendali juga tampak pada pelacuran di kelab malam). “Pembiaran terkendali” menjadi hal “biasa” asalkan tidak mengancam pribadi mereka, tidak mengganggu keamanan secara umum di tempatnya bekerja, tidak ada keributan, atau tidak ada “kejadian-kejadian” yang tidak diharapkan akibat transaksi tersebut. Tampak “urusan” akan menjadi “kacau” jika “suatu transaksi narkoba” sampai kedatangan pihak berwajib, Polisi Pamong Praja,
Kelurahan, urusan dengan organisasi masyarakat (ormas), teguran dari management dan peringatan dari desa adat Seminyak.
Jam operasional kelab malam sampai dini hari (bahkan ada yang sampai pagi hari) menyebabkan peredaran narkoba sangat bebas dan pengedar merasa aman untuk beroperasi (selain tampak mendapat banyak sokongan dari oknum-oknum). Jam larut dipandang tepat karena aparat keamanan dianggap sedikit bertugas (kecuali ada operasi / razia yang jarang dilakukan dan meskipun terjadi biasanya telah bocor informasinya).
Tampak peredaran narkoba di kelab malam tidak sesederhana yang dibayangkan masyarakat awam. Terdapat “hubungan kompleksitas”, “jejaring” dan terutama “peredaran uang” yang menguntungkan oknum-oknum dan segelintir orang secara langsung dan terdapat aktor-aktor yang diuntungkan secara tidak langsung.
Pandangan dari salah satu pengelola kelab malam tampak sangat pragmatis. Pengakuannya tempat hiburan malam sangat menjanjikan dilihat dari dari dunia bisnis. Terlebih Bali yang sudah pasti banyak wisatawan berkunjung. Selain itu, dunia moderen membutuhkan tempat untuk meluangkan waktu. Sudah menjadi lifestyle kelab malam yang menyediakan ragam hiburan malam adalah tempat yang tepat bagi berbagai profesi dan hal wajar pula bagi pelajar dan mahasiswa yang ingin eksis. Asalkan sesuai ketentuan umur dan tidak melupakan kewajibannya bersekolah. Termasuk berhati-hati dengan seks bebas, tidak mengkonsumsi miras berlebihan dan jangan mengkonsumsi narkoba.
Sejak lama Bali telah dikenal sebagai tempat “night party”, terutama para wisatawan dari Australia dan beberapa negara yang familiar dengan Bali (termasuk Jepang). Kuta misalnya, sejak dahulu menarik perhatian para peselancar yang relatif berusia muda. Sampai sekarang kelab malam di Kuta didatangi oleh kebanyakan wisatawan muda yang agresif, dengan kelab malam ukuran besar, tersedia musik yang sedang hits, reggae, R and B atau alunan musik house music dance. Minuman terutama miras di kelab malam di Kuta juga rata-rata terbilang murah bagi wisatawan mancanegara.
Gambar 5. Lighting, music, pelacur dan narkoba di salah satu kelab malam Seminyak
Sumber: Dok. Penelitian, 2019
Jurnal Destinasi Pariwisata Vol. 8 No 2, 2020
Di Seminyak, untuk kelab malam semula kebanyakan dinikmati oleh pengunjung lokal (Denpasar, Badung dan sekitarnya) dan para expatriat (tetapi sekarang sudah banyak bercampur dengan wisatawan mancanegara).
Tetapi, keistimewaan kelab-kelab malam di Seminyak adalah rata-rata memiliki tempat tidak terlalu besar, terkesan lebih private, tersedianya makanan berkelas, minuman mewah (soft drink dan miras), music, lighting dan suasana yang khas dalam satu lokasi / dalam satu kelab malam. Suasana yang khas ini adalah sentuhan seni dari para professional International DJ dengan trend musik update seperti dubstep, techno, electronic dan genre bergengsi lainnya.
Pengakuan salah seorang pengelola kelab malam lainnya di Seminyak mengatakan bahwa kelab-nya menawarkan konsep “ringan-ringan” kepada wisatawan mancanegara. Konsep “ringan-ringanya” adalah wisatawan mancanegara “menemukan” apa yang ada di negara asal mereka ketika mengunjungi kelab malamnya. Termasuk target pasar wisatawan domestik tidak jauh berbeda seperti itu konsepnya. Jakarta, Surabaya dan Bali memiliki nama besar di mata clubers yang masing-masing memiliki ciri khas. Bagi orang-orang Bali, kelab malam dapat menjadi alternatif untuk bersantai, menghilangkan kepenatan, relasi bisnis dan bersosialisasi.
Pertanyaan selanjutnya adalah apakah konsep “ringan-ringan” di atas adalah termasuk pelacuran dan narkoba? Pengakuan pengelola kelab malam menyatakan pertanyaan tersebut sulit untuk di jawab. Berikut petikan hasil wawancaranya:
“Hati-hati lho nanya gitu....kayak kamu nggak tahu saja. Hahaha itu seram masalahnya....ada yang megang dan banyak orang diuntungkan lho...salah ngomong entar gue yang kenak. Enak di loe nggak enak di gua...udah...udah tanya yang lain ngapa? sekarang gue nanya ama loe....doyan kan ke kelab malam, terus kenapa doyan?....bingung kan?!?”.
Jika sudah akrab dengan kehidupan malam maka sudah tidak asing bahwa Kuta adalah pusatnya narkoba dan pelacuran. Sebenarnya tidak jauh berbeda dengan Seminyak terkait dengan kehidupan malam. Hanya berdasarkan hasil observasi, tempat-tempat hiburan malam di Seminyak tampak lebih bergengsi untuk “kelas narkoba” dan “kelas pelacur”.
Para wisatawan mancanegara yang akan berkunjung ke Bali dengan segmentasi tertentu (terutama warga negara yang familiar di Bali dan berusia muda) terlihat bertujuan datang ke Bali adalah untuk menikmati pantai, sunset, dan sensasi“crazy party“ di tempat hiburan malam yaitu
“menikmati suasana dunia barat dari dunia timur”. Mereka sangat menginginkan “crazy party” di Bali, tepatnya di wilayah Kuta dan sekitarnya yang sudah familiar sejak zaman orang tua dan generasi sebelumnya.
Gambar 6. Wisatawan “happy” di salah satu kelab malam di Seminyak
Sumber: Dok. Penelitian, 2019
Tampak terdapat banyak pandangan tentang “crazy party” di mata mereka, seperti happy di Bali sebagai pulau surga (couple), minum miras dan disco sampai pagi-mabuk (pria maupun wanita), menikmati musik, lighting, miras dan narkoba serta menikmati musik, lighting, miras, narkoba sambil mencari teman kencan pria/wanita Bali atau sesame warga asing (persepsi mereka pria dan wanita berkulit lokal adalah orang Bali).
Terdapat kecenderungan bahwa kebanyakan wisatawan dengan segmentasi tersebut sebagian besar menikmati minuman keras. Bahkan terdapat dogma diantara mereka bahwa efek dari minum minuman keras dapat dinetralisir dengan mengkonsumsi narkoba jenis tertentu. Setelah banyak mengkonsumsi alkohol maka menjelang dini hari akan dilanjutkan dengan konsumsi narkoba jenis tertentu. Mereka yakin dengan cara ini jika orang pada umumnya mabuk minuman keras maka badan akan terasa lemas, kepala pusing dan kurang bertenaga maka dengan mengkonsumsi jenis narkoba tertentu setelahnya maka sebaliknya badan terasa fit dan sanggup menari (dance/disco) sampai pagi hari.
Jadi, berbicara masalah konsumsi narkoba termasuk pelacuran di kelab malam bagi wisatawan mancanegara khususnya dengan segmentasi di atas adalah masalah lifestyle. Crazy party adalah tujuan mereka datang ke Bali selain pantai, sunset dan budaya. Tampak mereka merasakan perasaan bebas dan lepas di tempat-tempat hiburan malam di Bali. Terdapat kepuasan yang didapat yang sulit dimengerti jika tidak menggunakan point of view-nya.
Peredaran dan penggunan narkoba (termasuk pelacuran) di kelab malam mengarahkan kepada beberapa pemikiran. Pertama, jelas terjadi dan diketahui peredaran narkoba dan pelacuran di kelab malam. Kedua, peredaran narkoba terkait langsung atau tidak langsung dengan keberadaan tempat hiburan malam. Ketiga, terdapat kesepakatan tidak tertulis bahwa peredaran narkoba termasuk
Jurnal Destinasi Pariwisata Vol. 8 No 2, 2020
pelacuran diperbolehkan, asalkan tidak mengganggu kenyamanan. Keempat, aspek bisnis menjadi yang utama. Kelima, terdapat banyak oknum-oknum yang terlibat dan bukan hanya seorang atau dua orang pengedar, bandar, mucikari, aparat keamanan dan “aktor-aktor” besar lainnya.
Pemikiran di atas hendaknya tidak langsung serta merta “meng-judge” atau memberikan pendapat bahwa terjadi kesalahan secara hukum, etika dan dampak negatif pariwisata secara sepihak. Data-data tersebut di atas menurut pandangan peneliti adalah merupakan dampak yang tidak hanya terjadi dalam waktu singkat, bukan hanya permasalahan pariwisata, dan merupakan produk yang telah berproses.
Temuan penelitian jelas terdapat struktur yang cukup mapan dengan fungsinya masing-masing. Di suatu kelab malam terdapat kelompok-kelompok “mami dan papi” dan aktor-aktor lain yang terkait erat dengan keberadaan kelab malam tersebut. Terdapat fungsi bisnis dan fungsi teritorial yang dijaga keberlanjutannya terkait dengan kepentingan ekonomi.
Artinya, peredaran dan penggunaan narkoba dan pelacuran di kelab malam sudah diketahui oleh pihak manajemen, termasuk security, pihak kepolisian dan warga masyarakat lokal di Seminyak. Permasalahannya adalah terkait dengan kepentingan bisnis, citra pariwisata dan kembali kepada individu masing-masing terutama pengunjung dan wisatawan di kelab malam (apakah tertarik atau tidak?).
Habitus pelacuran dan narkoba kelab malam di Seminyak bukan lahir secara tiba-tiba. Melainkan berproses dan tampak berawal dari Kuta dan Legian selama 25-30 tahun (mulai awal tahun 1990an). Proses ini semula diawali oleh beberapa kelab malam dan kemudian secara masif berkembang di Seminyak mulai tahun 2010 ke atas.
Hal ini erat kaitannya dengan terjadinya pergeseran titik pusat pariwisata yang berpotensi menyebar pengaruhnya atau bahkan berpindah pusatnya ke luar dari titik sebelumnya (Dari Kuta ke Seminyak, Canggu dan Munggu). Pergeseran ini dapat diakibatkan oleh kejenuhan, kepadatan, dan keinginan wisatawan mencari sesuatu yang baru.
Terdapat ragam intrik dalam pelacuran dan narkoba yang tidak melibatkan aktor tunggal, melainkan banyak aktor yang berjejaring secara manifest maupun laten. Terdapat struktur tetapi sangat tidak stabil karena terdapat persaingan-persaingan didalamnya.
Mekanisme dan dominasi aktor-aktor yang memiliki modal ekonomi dan modal kekuasaan yang kuat selalu aktif untuk mempertahankan posisinya. Pelacur mungkin mudah diamati, peredaran narkoba dapat ditelusuri tetapi untuk aktor-aktor pemegang modal tampak sulit dilacak karena memiliki struktur bayang-bayang.
Pembuktian melalui praktik strategi pelacur dan narkoba di kelab malam adalah bukti bahwa terdapat dominasi modal ekonomi yang memberikan kekuasaan dan keleluasaan para aktor pemegang modal. Buktinya, pelacuran dan narkoba ada dan terjadi di kelab malam di Seminyak. Peran aktor pemegang modal ekonomi yang tersembunyi namun terbayang dari gerak pion-pionnya membuktikan bahwa habitus dengan berbagai kelebihannya (modal ekonomi, kekuasaan dan trajektori) mampu memanfaatkan peluang bisnis dalam hal ini hiburan malam dalam kaitannya dengan pariwisata.
Aktor pemegang modal ekonomi akan selalu unggul karena tidak terlepas dari habitusnya. Habitus adalah merupakan hasil keterampilan yang menjadi tindakan praksis / praktis meskipun tidak selalu disadari. Kemampuan ini “terlihat alamiah” dan berdinamika dalam lingkungan sosial tertentu (Takwin, 2006). Habitus semata-mata memberikan pengetahuan apa yang sebaiknya yang dipikirkan agen dan apa yang dipilih dan yang terbaik menurut agen. Keadaan ini tidak terlepas dari riwayat masa lalu (Ritzer, dkk., 2003).
Perspektif ini jika digunakan untuk meneropong wisatawan mancanegara, wisatawan domestik, pengunjung di kelab malam juga tidak berbeda. Para clubers tidak terlepas dari habitusnya terkait dengan menikmati kelab malam. Dapat berupa trend, gengsi, atau sekedar ikut-ikutan (dapat berkembang menjadi kecanduan kelab malam). Termasuk penggunaan jasa pelacuran dan penggunaan narkoba di kelab malam, memiliki keterkaitan habitus masing-masing.
Masyarakat lokal di Seminyak dan oknum-oknum penegak hukum terkait dengan pelacuran dan penggunaan narkoba di kelab malam memiliki habitus masing-masing. Sulit dibantah bahwa masyarakat lokal dan penegak hukum di Seminyak tidak mengetahui adanya pelacuran dan Narkoba di kelab malam. Pengetahuan terhadap pelacuran dan narkoba di kelab malam akhirnya terjawab oleh habitus mereka masing-masing. Masyarakat lokal sangat mengandalkan pariwisata terkait dengan faktor-faktor ekonomi (semasih tidak mengganggu tradisi, ritual keagamaan dan kenyamanan territorial adat, masyarakat desa adat Seminyak berupaya menerima). Oknum-oknum penegak hukum sebenarnya lebih kompleks karena selain terkait dengan tugas juga strategi yang rumit dalam penanganan pelacuran dan narkoba.
Resiko lain yang terlihat biasa tetapi sebenarnya mengkhawatirkan adalah dampak dari pelacuran dan narkoba di kelab malam Seminyak bagi generasi muda lokal (yang dimaksud bukan generasi muda / milineal di wilayah desa adat Seminyak). Generasi yang berusia antara 15-25 tahun ini (pelajar dan mahasiswa). Terlihat bahwa faktor lingkungan, faktor media (televisi, film dan ragam medsos) faktor keluarga dan faktor psikologis adalah faktor kuat
Jurnal Destinasi Pariwisata Vol. 8 No 2, 2020
generasi milineal datang ke kelab malam (pengaruh trend ini bersifat relative tergantung faktor dominan yag mempnegaruhi). Melalui perspektif habitus terungkap bahwa untuk pelacuran sangat jarang generasi muda milineal lokal ini terlibat. Tetapi lebih rentan kepada penggunaan narkoba dan minuman beralkohol. Terindikasi terdapat trend sebagian kecil generasi milineal putri menjad pelacur karena ingin merasakan memiliki hubungan dengan orang asing (dikemudian hari biasanya baru berfokus kepada materi melalui pelacuran). Seberapa besar pengaruh pelacur dan narkoba bagi generasi milineal, diperlukan penelitian kuantitatif untuk mengukurnya terutama pendekatan psikologi dan sosiologi.
Untuk masyarakat lokal atau generasi milineal di Seminyak justru minim terkena pengaruh negatif sebagai dampak pelacuran dan narkoba di kelab malam. Habitus generasi milineal di Seminyak tampak kuat memberikan batasan-batasan dan secara tidak sadari menjadi pemahaman mereka bahwa “itu” untuk tamu, bahwa dari “itu” akan menghasilkan uang (melalui sewa tanah, hasil sewa kost dan pendapatan lain secara langsung maupun tak langsung) dan “itu” tidak cocok untuk kita serta banyak lainnya (“itu” dimaksud untuk pelacur dan narkoba serta hal negatif lainnya di wilayahnya). Terdapat pandangan buruk sebenarnya tetapi tampak memiliki ranah masing-masing.
Aktor-aktor kelab malam seperti pekerja, security, pengelola, aparat keamanan, desa adat, pelacur, pengedar narkoba, clubers (wisatawan mancanegara, wisatawan domestik, pengunjung) memiliki arena sosialnya masing-masing dan habitusnya yang khas. Jika dapat dikatakan terdapat sub-sub arena sosial (ranah-ranah) maka kelab malam dengan pelacuran dan narkoba adalah inti dari arena sosialnya.
Temuan “pembiaran terkendali” menjadi poin sikap aktor-aktor untuk tetap eksis (mulai dari pekerja kelab malam, oknum security, aparat penegak hukum, pihak pemerintah / kelurahan, desa adat dan masyarakat lokal/desa adat Seminyak) sehingga pelacuran dan narkoba kelab malam di Seminyak dan mungkin di tempat lain tetap eksis.
Konsep “pembiaran terkendali” bukan diam, tetapi mengawasi. Bukan tidak bertindak tetapi akan tegas jika diperlukan. Bukan memudahkan tetapi memperhatikan situasi dan kondisi yang sangat labil dan terkait dengan kepentingan-kepentingan seperti ekonomi, politik, keamanan, kenyamanan, stabilitas, kepentingan pribadi, bahkan image pariwisata sebagai ikon di Seminyak.
Pembiaran terkendali adalah pengendalian sosial secara pasif sebagai bentuk manajemen konflik / pengelolaan perbedaan kepentingan antar aktor yang mengesampingkan konflik terbuka. Terjadi persaingan-persaingan tetapi pemenang sudah diketahui yaiu aktor yang memiliki modal ekonomi
terbesar. Tetapi, aktor-aktor yang memiliki modal ekonomi sedikit namun memiliki modal sosial besar atau modal lainnya yang juga dominan tidak diam. Dengan kata lain “pembiaran terkendali” sangat halus dan laten bahkan mungkin akhirnya menjadi semacam naluri/reflek agar masing-masing kepentingan berjalan.
Night club (kelab malam) di Seminyak meskipun disadari memiliki lebih banyak dampak negatif daripada dampak positifnya tetap sulit untuk dihilangkan. Segenap pihak seperti stakeholders pariwisata mulai dari pemegang kebijakan (pemerintah daerah), aparat keamanan, pihak desa adat dan masyarakat lokal sudah mengetahui terdapat kerentanan tindak kriminal pada wisata malam seperti night club. Seperti peredaran narkoba, prostitusi, perkelahian akibat Miras dan yang lainnya.
Tetapi merupakan rahasia umum bahwa dalam pariwisata membutuhkan pertumbuhan ekonomi, perputaran ekonomi, pendapatan, kesejahterahaan dan yang sejenisnya. Tampaknya hal ini yang menjadi kendala sehingga meskipun dampak negatif sudah diketahui, tetapi tidak dapat secara tegas melakukan penindakan. Seperti menutup, membatasi atau mengendalikan sepenuhnya kelab malam. Terdapat hukum ekonomi yang sangat “akrab” dengan pariwisata yaitu supplay dan demand yang akan dianggap “konyol” jika menghentikan jenis wisata malam di wilayah pariwisata yang sudah maju seperti di Seminyak, Badung (jika ditelaah, dampak negatif ini justru menjadi dampak positif?).
Akhirnya, tampak tepat pariwisata di Bali telah berada pada tahap kompromi dari turismemorfosis sebagai evolusi atau perkembangan pariwisata. Segala sesuatu jenis-tipe pariwisata dapat dilakukan di Bali. Melalui kompromi, problematika pariwisata Bali dalam berbagai dimensinya (ekonomi, politik, hukum, keamanan, sosial, budaya, lingkungan dan yang lainnya) dapat “terkesan” diselesaikan walaupun bersifat labil. Semasih tidak mengganggu tradisi dan nilai keagamaan Hindu di Bali maka kompromi dapat tetap eksis.
Hegemoni dapat dilakukan oleh institusi apa pun ketika mampu memberikan bukti nyata bahwa upaya dan usahanya dalam pariwisata telah mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi Bali, pembangunan Bali semakin maju dan masyarakat Bali semakin sejahtera. Akan terjadi sinergi ketokohan yang terlihat secara manifes saling mengisi namun sebenarnya memiliki resiko laten yang dapat meletus sewaktu-waktu jika kompromi dikesampingkan (Anom, dkk., 2016; Anom, dkk., 2017; Vandenberg, dkk., 2020).
Berbekal pemahaman yang terbatas tentang penelitian kebudayaan oleh para antropolog yaitu bahwa kebudayaan sebagai cara hidup masyarakat bukan lahir begitu saja seperti jasmaniah, melainkan terbentuk melalui proses-proses sosial seperti
Jurnal Destinasi Pariwisata Vol. 8 No 2, 2020
internalisasi, sosialisasi, akulturasi dan enkulturasi (Koenjaraningrat, 1998). Baik dan buruk bagi suatu masyarakat, belum tentu baik bahkan dapat berarti buruk bagi masyarakat lain dengan budaya berbeda.
Di era digital ini, sudah saatnya semua kalangan menyadari hal ini. Kebudayaan merupakan proses dan menentukan bagaimana cara pandang tentang dunia, cara mengaplikasikan sesuatu dan kemampuan adaptasi dengan lingkungan fisik dan non fisik yang berdinamika. Sudah saatnya ditinggalkan pandangan awam bahwa kebudayaan atau budaya adalah kesenian dan tradisi semata. Melainkan bersifat kompleks dan memberikan jawaban-jawaban terhadap segala problematika masyarakatnya (budaya pariwisata, budaya politik, budaya kesehatan, dan masih banyak lainnya).
Melalui data-data yang telah dipaparkan, dipahami bahwa terdapat fenomena yang mungkin tidak disangka oleh kebanyakan orang sebagai sub budaya atau cara hidup kelompok kecil masyarakat tetapi memiliki dampak besar jika tidak diwaspadai. Atau dengan kata lain pelacuran, narkoba, kelab malam di Seminyak sebagai aktifitas pariwisata tidak sederhana keadaannya.
Simpulan hasil penelitian berdasarkan data-data yang diperoleh adalah sebagai berikut:
-
1. Pandangan pariwisata adalah bisnis dan harus mengupayakan meningkatkan
pendapatan mencirikan bahwa aktor-aktor dengan modal ekonomi kuat akan mengendalikan aktor lain yang lebih lemah. Aktor yang lebih lemah tetapi memiliki modal selain ekonomi yang kuat tidak diam (seperti kaya dengan modal sosial), tetapi berupaya berpraktik sesuai dengan kemampuannya dalam arena sosial seperti “pembiaran terkendali”.
-
2. Pelacuran dan Narkoba di kelab malam di Seminyak sulit untuk diatasi dilihat dari perspektif hukum, perspektif etika dan moral terlebih perspektif agama. Habitus memperlihatkan bahwa pelacuran dan narkoba sangat kompleks dan telah melalui proses sejak lama. Mulai dari Kuta dan Legian sampai ke Seminyak dan pengaruh eksternal
DAFTAR PUSTAKA/REFERENSI
Adams, K. M. 2012. Ethnographic methods. In Handbook of research methods in tourism. Edward Elgar Publishing.
Adi, Rianto. 2004. Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum.
Jakarta: Granit.
Agusman, R., Nugroho, W. B., & Kamajaya, G. PENCIPTAAN
HABITUS REMAJA PERKOTAAN DI KLUB MALAM SKY GARDEN, BADUNG.
Aliman, N. K., Hashim, S. M., Wahid, S. D. M., & Harudin, S. (2016).
Tourist Satisfaction with a Destination: An
seperti trend global, lifestyle dan kemapanan yang dikonsumsi dari multi media (termasuk ragam media sosial) yang begitu cepat, mudah dan murah diterima. Pandangan pengelola kelab malam yaitu menghadirkan tempat-kondisi hiburan malam seperti di negara asal wisatawan, memberi lampu hijau bagi pelacur dan narkoba beroperasi atas nama pariwisata.
-
3. Dampak negatif dari pelacuran dan narkoba pada kelab malam di Seminyak ternyata tidak kepada generasi milineal di desa Adat Seminyak. Melainkan mempengaruhi
generasi milineal dari luar desa Adat
Seminyak seperti dari Denpasar, Badung dan sekitarnya. Kuat dugaan fenomena ini terkait dengan habitus yang berbeda.
Saran utama berbasis data dari penelitian adalah penting untuk mewaspadai pergerakan pusat pariwisata dalam hal ini kelab malam atau tempat hiburan malam. Semula di Kuta, Legian, kemudian sekarang Seminyak. Akan menyebar ke Canggu dan Munggu atau daerah lainnya sebagai pusat-pusat pariwisata baru. Jika fenomena ini sudah dipahami maka upaya pencegahan dampak negatif dapat dilakukan lebih cepat dan tepat oleh para stakeholders dan masyarakat lokal.
Era pandemi covid-19 adalah kesempatan berbenah seluruh komponen pariwisata Bali. Sebagai masa jeda pariwisata Bali sangat memungkinkan untuk recovery dengan mulai berpikir tentang masa depan pariwisata Bali. Pembangunan pariwisata berkelanjutan terlebih Bali yang memiliki Tri Hita Karana agar dapat dipraktikkan secara real dan tidak hanya wacana.
Kehadiran Pariwisata seperti di banyak negara maju sudah terbukti memberikan dampak positif, tetapi dampak negatif juga sulit dihindari. Pertumbuhan ekonomi dan kesejahterahaan masyarakat penting, tetapi eksploitasi sumber daya pariwisata secara berlebihan akan berakibat buruk bagi generasi penerus pariwisata Bali masa depan. Sumber daya pariwisata sangat terbatas yang dapat berakibat pada kejenuhan wisatawan sehingga berpotensi suatu destinasi wisata dapat ditinggalkan.
Investigation on Visitors to Langkawi Island. International Journal of Marketing Studies, 8(3), 173188.
Amanda, M. P., Humaedi, S., & Santoso, M. B. (2017).
Penyalahgunaan narkoba di kalangan remaja (adolescent substance abuse). Prosiding Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, 4(2). google scholar link.
Anom, I.P., dkk. 2016. Problematika Pariwisata Bali, Membangun Paradigma Pariwisata Bali Masa Depan. Laporan
Jurnal Destinasi Pariwisata Vol. 8 No 2, 2020
Penelitian yang Tidak Dipublikasikan, Unggulan Udayana. Bukit Jimbaran: LPPM Universitas Udayana
Anom, I. P., Suryasih, I. A., Nugroho, S., & Mahagangga, I. G. A. O. (2017). Turismemorfosis: Tahapan selama seratus tahun perkembangan dan prediksi pariwisata Bali. Jurnal Kajian Bali (Journal of Bali Studies), 7(2), 59-80. google scholar link.
Anoma, I. P., Mahagangga, I. G. A. O., Ariwangsaa, I. M. B., & Wulandari, I. G. A. A. Reidentifikasi Konsep dan Teori Dalam Memahami Fenomena Blind Spot Penelitian Pariwisata di Bali. google scholar link.
Anoma, I. P., Mahaganggab, I. G. A. O., & Suryawanc, I. B. (2020). Emerging Transdisciplinary Theory on Tourism Research: A Case from Bali. International Journal of Innovation, Creativity and Change, 11(1), 390-404.
Arikunto.2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Azmiardi, A. (2020). Pengaruh Perilaku Merokok, Konsumsi Alkohol dan Hiburan Malam Terhadap Risiko Penggunaan Narkotika. Faletehan Health Journal, 7(1), 30-36.
B.N.N. 2014. Laporan akhir survei nasional perkembangan penyalahgunaan narkoba tahun anggaran
2014. Jakarta: BNN.
Brahmanto, E. (2015). PRAKTEK PROSTITUSI DAN PENGARUH TREND KUNJUNGAN WISATAWAN MANCA NEGARA DI KOTA YOGYAKARTA. Jurnal Pariwisata, 2(1), 1-7.
google scholar link.
Bungin, Burhan. 2007. Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik dan Ilmu Sosial lainnya.Jakarta:Putra Grafika
Damardjati, R. S. (2001). Istilah Dunia Pariwisata. Pradnya Paramita, Jakarta.
Fridgen, Joseph. 1991. Dimension of Tourism. East Lansing : American and Hotel Association.
Hall, Colin Michael. 2003. Introduction To Tourism : Dimension, and Issues. South Melbourne : Hospitality Press.
Harker, Richard, Cheenlen Mahar, Chris Wilkes. 2009. (Habitusx Modal) + Ranah= Praktik, Pengantar Paling Komprehensif Kepada Pemikiran Pierre Bourdieu. Mizer P, penerjemah. Yogyakarta (ID): Jalasutra. An Introduction to the Work of Pierre Bourdiue: The Practice Theory.
Koentjaraningrat.1991. Metode-metode penelitian masyarakat.
Gramedia Pustaka Utama.
Koentjaraningrat. 1998. Pengantar Antropologi (Jilid 2). Jakarta: Rineka Cipta
Lisa, J., & Sutrisna, N. 2013. Narkoba, psikotropika dan gangguan jiwa. Yogyakarta: nuha medika.
Marta, R. F. (2019). KOMUNIKASI PARIWISATA EVENT MANAGING KLUB MALAM DI JAKARTA DAN BANGKOK. OMNICOM Jurnal Ilmu Komunikasi FIKOM UNSUB, 5(2), 1-13. google scholar link.
Muhadjir, Noeng. 1996. Metodologi Penelitian Kualitatif : Pendekatan Positivistik, Rasionalitik, Phenomenologi, dan Realisme Metaphisik Telaah Studi Teks dan Penelitian Agama. Yogyakarta : Rake Sarasin
Muhadjir, Noeng. 2000. Metode Penelitian Kualitatif. Yogyakarta : Rake Sarasin
Manan, A. 2015. “Metode Etnografi” dalam buku Dimensi
Metodelogis Ilmu Sosial dan Humaniora. Banda Aceh: Lhee Sagoe Press dan Fakultas Adab dan Humaniora UIN Ar Raniry.
Mahagangga, I. G. A. O., & Oka, G. A. (2013). dkk,“Keamanan dan Kenyamanan Wisatawan di Bali (Kajian Awal Kriminalitas Pariwisata)”. Jurnal Analisis
Pariwisata, 13(1), 97-105.
Mahagangga, I., & Oka, G. A. Suryawan, Ida Bagus. Anom, I Putu dan Kusumanegara, I Made. 2018. Evolusi Pariwisata di Indonesia, Turismemorfosis di Kabupaten Badung, Kabupaten Banyuwangi dan Kabupaten Luwu Timur.
Marsyangm. 1999. Manajemen jasa Pendekatan Terpadu. Bogor: Ghalia
Moleong, Lexy J. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Offset.
Nogués-Pedregal, A. M. 2019. Anthropological contributions to tourism studies. Annals of Tourism Research, 75, 227237.
Redjeki, S. (2014). Penanggulangan Narkoba Di Kalangan Remaja. PAWIYATAN, 21(1). google scholar link.
Ritzer, G. dan Goodman, D.J. 2003. Teori Sosiologi Moderen. Jakarta: Prenada Media.
Salazar, N.B. 2020. “Which Future (s) for Tourism After the Coronavirus Pandemic?” in Presentation The 4th Bali International Tourism Conference 2020 (online conference) with theme: “Tourism and Creative Economy in Repsonse To Pandemic Covid-19, 7 November 2020. Denpasar: PUPAR/PUI Universitas Udayana.
Saputra, J. Y. S. (2008). MAKNA HIDUP PADA PEKERJA SEKS KOMERSIAL (PSK) (Doctoral dissertation,
UNIVERSITAS AIRLANGGA). google scholar link.
Soerjono Soekanto. 2006. Sosiologi suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Press.
Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: ALFABETA.
Sugitha, dkk. 2012. Studi Tingkat Penyalahgunaan Narkoba Pada Mahasiswa Di Denpasar Dan Badung. Indonesian Journal of Legal and Forensic Sciences. google scholar link.
Suryasih, Ida Ayu. 2019. Buku Ajar Leisure & Recreation. Ponorogo: UWAIS Inspirasi Indonesia.
Suwena & Widiatmaja. 2017. Pengetahuan Dasar Ilmu Kepariwisataan. Denpasar: Pustaka Larasan.
Takwin, B. (2009). Proyek Intelektual Pierre Bourdieu: Melacak Asal-usul Masyarakat, Melampaui Oposisi Biner dalam Ilmu Sosial. Dalam: Harker, Richard, dkk.(ed.).(Habitus X Modal)+ Ranah= Praktik: Pengantar Paling
Komprehensif kepada Pemikiran Pierre Bourdieu.
Yogyakarta: Jalasutra. Habitus x modal)+ ranah=
praktik, 109-138.
Vandenberg, Andrew and Mahagangga, I Gusti Agung Oka. 2020. Power and the Security Organisations in Bali: Drug Gangsters, Neighbourhood Watch Groups, or What? In Book Democracy, and Society in Bali, Trouble with Protection. Andrew Vandenberg and Nazrina Suryani (Eds.). Edition 1. Singapore: Palgrave Macmillan Springer Nature Singapore Pte Ltd.
Wijayasa, I Wayan. 2006. Seks Dalam Pariwisata: kajian Awal Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap
Berkembangnya Seks dalam Pariwisata. Jurnal Analisis Pariwisata. 7 (2).
Wulanningrum, S. D. (2014). Elemen-elemen Pembentuk Kota yang Berpengaruh terhadap Citra Kota (Studi Kasus: Kota Lama Semarang). Jurnal Pembangunan Wilayah & Kota, 10(2), 197-204. Google scholar link.
Sumber Lain:
Thaeras, Ferdy. 2012. Yang Dilakukan Saat Clubbing: Minum & Sosialisasi. Wolipop. diambil dari
https://wolipop.detik.com/read/2012/05/22/0932 08/1921441/856/yang-dilakukan-saat-clubbingminum--sosialisasi. diakses tanggal 23
Desember 2019.
United Nations. World Drug Report. Diunduh dari http://www.unodc.org/doc/wdr2016/W DR_2016_ExSum_english.pdf. 20 September 2019
Valda Claudia, Lolita. 2017. 10 Negara yang Populer dengan
Suguhan ‘Wisata Malam’. Tribunnews. diambil dari http://jogja.tribunnews.com/2017/08/10/10- negara-yang-populer-dengan-suguhan-wisatamalam?page=all. diakses tanggal 10 September 2019.
284
Discussion and feedback