Perkembagan Wisata Mendaki Di Gunung Agung
on
Jurnal Destinasi Pariwisata p-ISSN: 2338-8811, e-ISSN: 2548-8937
Vol. 7 No 2, 2019
Perkembagan Wisata Mendaki Di Gunung Agung: Studi Kasus Gunung Agung,Kabupaten Karangasem,Provinsi Bali
Himsar Hutabarat a, 1, I Gusti Agung Oka Mahagangga a, 2
-
a program studi sarjana destinasi pariwisata, fakultas pariwisata,universitas udayana, jl. dr. r. goris, denpasar, bali 80232 indonesia
Abstract
Bali as one of the axes of Indonesian tourism, has two types of tourism, including mass tourism and special interest tourism. Both tours have each interested person or tourist that can be seen from the motivation of visiting tourists. The development of mass tourism in Bali experienced a good increase of the number of tourist destinations from the early days of tourism taken over by the Indonesian government from colonialism in the 1960s to the present time is the type of tourism that brought tourists the most. in contrast to special interest tourism, this type of tourism is not considered to be one of the sources of regional income because the characteristics of tourism activities tend to be carried out with a limited number of tourists. Like the potential of Mount Agung. Gunung Agung has the potential of nature and culture and has a high historical value. Until when tourism enters Bali, Gunung Agung has not been glimpsed to become one of the tourist attractions. At that time Mount Agung was still used as a place for carrying out Hindu spiritual activities. Along with the development of knowledge and technology at that time, a new activity was born in Mount Agung, namely outdoor climbing activities. Tourism then joins with the climbing activity so that the new tourism power will be called Gunung Agung for hiking activities.Related to the above matter, the formulation of the problem in this study was formed, raising about the potentials found in Mount Agung which was later linked to the formulation of the second problem, namely the development of tourism climbing Mount Agung. This study used the observation method, researchers in this topic also acted as one of the activists of hiking tourism activities and then looking for data by interviewing people who were considered relevant to the problem such as the head of the tourism conscious group, a climber in the 1970s, forestry agency the province of Bali, as well as a guide who guides tours up Mount Agung. As for the results obtained in this study, the first is the potentials found in Mount Agung are natural potential, cultural potential, and artificial potential. Natural potential in the form of cliffs, slopes, forests, and the crater of Mount Agung. cultural potential in the form of pelinggih and temples at certain points along the Besakih line and Pura Pasar Agung. while the artificial potential in the form of climbing activities, paragliding, and others. The results of the second question formulation question will then be presented using the tourismemorphosis analysis concept (Anom et al. 2018) which explains the development of using four stages including the introduction stage, reaction stage, institutionalization stage, and the Compromise stage.
Keywords: Bali tourism, Tourismemorphosis, Mount Agung, tourism special interests
Pariwisata di Indonesia memiliki berbagai jenis wisata, diantaranya ialah wisata alam, wisata budaya, dan wisata buatan yang termasuk kedalam wisata massal. Selain wisata massal, menurut Yuliana dalam yulianti (2002) terdapat bebagai jenis wisata alternatif sebagai Contoh adalah wisata pedesaan, wisata budaya, agrowisata, wisata memancing, ecotourism urban, wisata walking dan cycling, wisata canoeing, trekking, dan wisata hiking. Semua jenis kegiatan wisata tersebut dapat ditemui di Bali, dengan berbagai pengembangannya.
Kegiatan wisata hiking tersebut dapat ditemukan di Gunung Batur, Gunung Abang, Gunung Batukaru dan Gunung Agung. hiking, dari kosa kata yang diambil dari bahasa asing diartikan sebagai “gerak jalan” (Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah asing Inggris-Indonesia) dalam istilah di Indonesia kegiatan hiking biasa disebut “mendaki” yaitu suatu kegiatan menaiki atau memanjat sesuatu, seperti bukit dan gunung. Dari semua gunung
yang dijadikan sebagai daya tarik wisata mendaki di Bali, Gunung Agung memiliki keunikan nilai spritualitas, nilai budaya, historis, serta fungsi sebagai simbol kesucian bagi masyarakat Bali.
Gunung Agung merupakan tempat kegiatan spritualitas Umat Hindu Bali, pasca letusan Gunung Agung Tahun 1963 dan seiring masuknya pariwisata di Bali, Gunung Agung bertambah fungsi sebagai suatu daya tarik wisata mendaki. Hal ini mendorong peneliti melakukan penelitian dengan berfokus pada potensi yang terdapat di Gunung Agung dan Perkembagan Wisata Mendaki di Gunung Agung, Kabupaten Karangasem Provinsi Bali. Bertujuan untuk memeberikan pemahaman tentang eksistensi Gunung Agung sebagai wisata mendaki. Harapan, hasil penelitian dapat menjadi bahan acuan dalam pengembangan wisata mendaki sebagai daya tarik wisata.
-
II. KEPUSTAKAAN
Penelitian ini terinspirasi dari dua penelitian sebelumnya antara lain adalah sebagai berikut :
-
1. pada penelitian (Anom, dkk, 2017), Turismemorfosis tentang perubahan berupa perkembangan pariwisata bali dalam waktu seratus tahun kebelakang, dianalisis dalam empat tahapan antara lain adalah tahap pengenalan (1902-1913), tahap reaksi (1914-1938), tahap Pelembagaan I (19501968), tahap Pelembagaan II (1969-1990), tahap Pelembagaan III (1991-2011), dam tahap kompromi tahun 2012 sampai sekarang. Kesamaan penelitian adalah pada fokus penelitian yakni tentang perkembangan dan menggunakan konsep analisis turismemorfosis.
-
2. Penelitian oleh (Mudana,dkk,2017) menjelaskan tentangv kewirausahaan yang dilakukan oleh guide wisata mendaki di Gunung Agung. karangasem. Terdapat kesamaan dalam hal pemilihan lokasi penelitian yaitu keduanya dilakukan di Gunung Agung, Kabupaten Karangasem, Provinsi Bali.
Adapun landasan konsep analisis dan konsep pendukung yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
-
A. konsep analisis :
-
1. Tourismemorfosis
Konsep tourismemorfosis (anom,dkk,2017) digunakan dalam upaya penjabaran Perkembangan Wisata Minat Khusus Gunung Agung Kabupaten Karangasem Provinsi Bali kedalam 4 tahapan antara lain adalah Tahap Perkenalan, tahap reaksi, tahap kelembagaan, serta tahap Kompromi.
Konsep analisis menggunakan konsep marpaung (2002) membagai potensi wisata menjadi tiga, antara lain adalah potensi alam (tangible), potensi budaya (intangible), potensi wisata buatan.
-
B. Konsep Pendukung :
-
1. Pengertian Mendaki Gunung
Mendaki adalah kegiatan jalan kaki di pegunungan (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Terdapat tipelogi pendaki dalam aktivitas pariwisata menurut greenland tourism bookle (2015), ada sebelas pembagian tipelogi,
diantara sebelas tipelogi tersebut, Ada tiga yang relevan dengan peneletian, antara lain adalah Pecinta alam (Nature Lover), kedua adalah Pencari Alam Liar (Wilderness Seeker), Terakhir adalah tipelogi petualang minat khusus (Special Interest Adventurer).
Menurut (Oka A. Yoeti (2008: 167) dalam Anindita , 2015), daya tarik terbagi menjadi 4, yaitu Natural Attractions (atraksi alam), Cultural Attractions (atraksi Budaya), dan Sosial Attractions ( atraksi sosial)
Undang-Undang Nomor. 9 tahun 1990, tentang wisata minat khusus memiliki indikator berupa pemanfaatan sumber daya alam untuk kegiatan – kegiatan olahraga alam bebas, seperti arung jeram, panjat tebing, mountain hiking, (outbound) seperti berkemah, dan sebagainya. Sedangkan menurut (Weiler and Hall,1992 dalam Cahya Purnomo,2008) Wisata minat khusus berarti perjalanan wisata, dimana wisatawan mengunjungi suatu tempat karena memiliki minat khusus dari obyek atau kegiatan di daerah tujuan wisata.
Lokasi Penelitian dilaksanakan di Gunung Agung, kabupaten Karangasem, Provinsi Bali. Terdapat dua titik jalur pendakian yakni jalur Besakih dan Pura Pasar Agung. Dalam menjawab permasalahan, peneliti mengaplikasikan suatu ruang lingkup penelitian. Adapun ruang lingkup tersebut adalah sebagai berikut:
-
1. Pembahasan mengenai potensi wisata yang terdapat di Gunung agung dikaji menggunakan kosep marpaung (2002) yang membagi potensi wisata menjadi tiga yakni potensi alam, potensi budaya, dan potensi buatan.
-
2. Mengenai Perkembagan Wisata Mendaki di Gunung Agung, dikaji menggunakan konsep tourismemorfosis (Anom,dkk,2017), yang didalamnya terdapat 4 indikator antara lain adalah Diskursus (wacana), Institusi penopang (kelembagaan), Ketokohan, Problematika dan Paradigma.
Penelitian menggunakan metode deskriptif kualitatif, dalam bentuk kata-kata (Kusmayadi dan Sugiarto,2000) misalnya penjelasan lokasi penelitian,data temuan-temuan berupa hasil wawancara, dokumen dan jurnal
Sumber data dalam penelitian ini ada dua yakni data primer dan data sekunder (Kusmayadi,2000). Pada data primer dalam penelitian diperoleh dari hasil wawancara, observasi partisipatif, dan dokumentasi foto dan GPS (global positioning system). Data sekunder atau data yang diperoleh secara tidak langsung dipenelitian adalah berupa data Zona Hutan Gunung Agung (RTK 8) Zona Hutan Bali Timur dari dinas kehutanan provinsi Bali.
Penentuan informan menggunakan teknik porposive sampling, mencari informan yang dianggap mampu memberikan informasi relevan seperti pemandu wisata,pendaki dan kelompok sadar wisata di Gunung Agung,dinas kehutanan provinsi Bali. Data dipaparkan melalui tahap analisis Reduksi data (data reduction), Pemaparan data (data display), Penarikan kesimpulan dan verifikasi (conclusion drawing/verifymg)
-
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
Gunung Agung merupakan gunung volcano aktif dengan ketinggian 3031 mdpl (meter diatas permukaan laut), terletak di Kabupaten Karangasem, Bali. Tercatat Erupsi Gunung Agung telah terjadi sebanyak 5 kali, yaitu pada tahun 1808, 16 Maret 1821,Tahun 1843, 18 februari 1963, dan tahun 2017, tepatnya bulan September- Oktober 2017. Gunung Agung sendiri masuk dalam Kawasan Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Bali Timur dengan luas Hutan lindung (RTK 8) Sebesar 12.836,03 Ha terletak di wilayah kecamatan Selat ,Rendang, manggis, Karangasem, abang, Kubu, dan Daya dalam SK. Menhut N0.28/Kpts-ll/1990, tanggal 19 Januari 1990.
Masyarakat yang tinggal disekitar Gunung Agung memiliki kesamaan etnis yakni etnis Bali, menggunakan Bahasa Bali sebagai bahasa sehari-hari begitu pun Agama yang dianut adalah Hindu. Matapencaharian masyarakat sebagian besar adalah petani. Dalam penentuan silsilah keluarga diatur alur keturunan berasal dari pihak ayah (patrelineal). warga desa masuk kedalam dua keanggotaan, yaitu desa dinas dengan wilayah administratif atau perbekel dan desa pekraman berdasarkan adat istiadat.
Gunung Agung kewenangan bagi Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Bali Timur. Dalam kebijakannya,yang memberikan wewenang pada pihak yang ingin megelola,
dengan syarat membangun kemitraan. masyarakat di desa selat dan besakih, melakukan kerjasama tersebut, Potensi wisata alam Gunung Agung dijadikan sebagai daya tarik wisata mendaki, Dengan mendirikan kelompok sadar wisata.
Menurut Marpaung (2002), Potensi wisata terbagi menjadi tiga, Berikut pengaplikasian konsep tersebut dedalam obyek Gunung Agung:
-
1. Potensi Alam
Terdapat berbagai macam potensi wisata digunung Gunung Agung, antara lain flora dan fauna, lereng,tebing, batas vegetasi, dan kawah. Potensi berupa flora berupa hutan, diantaranya adalah tanaman jenis Pinus, Ampupu, Puspa, seming, tengsek (dodonia viscosa),Alang-alang (limpereta cylindria),Tembelekan, Belantih, Keduduk dan tanaman Sonokeling. Sedangkanjenis fauna terdapat Ayam Hutan, Trenggiling, Babi Hutan, Landak, Burung Puyuh, Kera, dan kijang. Pada potensi lereng atau tebing, terletak di barat jalur pendakian, dan beberapa titik di kaki Gunung Agung.
Batas vegetasi, terletak diketinggian 2500 mdpl. Kawasan gersang yang tersusun dari batuan-batuan gunung berapi sebagai potensi wisata pengambilan background atau latar foto suasana gunung berapi.
Potensi kawah Gunung Agung, terletak di puncak Gunung Agung (2850-3031 Meter), menyajikan pemandangan volcano kawah luas dan dalam dengan penampakan asap dan warna batuan yang unik didasar kawahnya.
Potensi Budaya yang terdapat di Gunung Agung memiliki keunikan yang tidak akan ditemui digunung lain. Terdapat tiga kekhasan potensi budaya antara lain adalah sejarah tulisan peninggalan babad bercerita tentang legenda terbentuknya Gunung Agung, pelinggih atau pura dijalur pendakian, dan upacara-upacara keparcayaan masyarakat disekitar Gunung Agung.
-
A. Historis terbentuknya Gunung Agung dalam kepercayaan masyarakat Bali
Historis atau cerita tentang pembentukan Gunung Agung berdasarkan tulisan peninggalan babad pasek yang kemudian dikutip dalam penelitian (Stuart-Fox, D. J, 2014) yang menjelaskan bahwa Gunung Gunung Agung merupakan bagian dari Gunung Mahameru yang ada di India, dicabut oleh Dewa Pasupati
dan menaruhnya di Pulau Jawa yang sekarang menjadi Gunung Semeru di Jawa Timur. Kemudian memindahkan lagi bagian puncak Gunung Semeru ke Bali Dwipa (Pulau Bali) diangkut oleh sang kura-kura raksasa Badawangnala dibantu oleh Naga
Anantaboga,Naga Taksaka dan Naga Basuki sebagai pengikatnya sehingga tercipta Gunung Tohlangkir atau sekarang disebut Gunung Agung.
-
B. Pura dan pelinggih
Pura dalam bahasa sansekerta yaitu “pur” artinya kota,tembok,kekuatan atau benteng didefenisikan sebagai suatu tempat suci untuk melakukan persembahyangan agar memudahkan konsentrasi pikiran, dan rasa kedekatan diri kepada Hyang (Sang Hyang Widhi). Berikut Pura dan pelinggih yang ada di Gunung Agung, antara lain adalah:
-
a. Pura Pengubengan , terdapat pada jalur besakih, pada ketingian 1100 mdpl, merupakan pura Khayangan Tiga Pura persembahyangan pertama sebelum memasuki pintu masuk kawasan hutan.
-
b. Pelinggih Tirta Mas, terdapat pada ketinggian 1797 mdpl, Pelinggih yang terletak di dekat sungai musiman tirta mas. Sebagai tempat permohonan tirta atau air suci
-
c. Tirta Giri Kusuma, jalur Pura Besakih, ketinggian 2110. berfungsi untuk upacara bersembahyang, mengambil tirta atau air dari sumber air sungai musiman
-
d. Pelinggih telaga mas, Jalur Pura pasar Agung, ketinggian 2335 mdpl, terletak di sungai musiman telaga mas, sebagai tempat pengambilan tirta atau air suci
-
e. Pelinggih Kori Agung, pada ketinggian 2618 mdpl, pelinggih ini terbentuk dari kayu dengan fungsinya sebagai tempat penghaturan canang untuk keselamatan sampai puncak.
-
f. Pelinggih Giri Tohlangkir, terletak dijalur Pura Besakih, ketinggian 3031 mdpl, pelinggih berupa lahan datar terdapat wadah untuk canang disertai pemandangan kawah.
Upacara adalah sebuah kata berasal dari bahasa sansekerta yakni upa dan kara, dapat
diartikan suatu sarana mendekatkan diri kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Upacara Pekelem sendiri merupakan upacara yang menggunakan yadnya besar seperti sapi atau banteng, kambing, ayam, babi, angsa, itik, dan uang kepeng. Serta dilakukan pada momen-momen tertentu (dewasa). Di Gunung Agung, upacara dilakukan setahun sekali (tawur kesanga dan nyepi), upacara dalam waktu sepuluh tahun sekali (Panca Wali Krama), dan periode seratus tahun sekali dikenal dengan nama Eka Dasa Rudra, dengan tujuan menyeimbangkan bhuwana agung (alam semesta) dan bhuwana alit (manusia), memohon ketenangan dan kesenangan dalam kehidupan, memohon keselamatan alam semesta dan isinya, memohon kesuburan lahan pertanian kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa. (Arjaya. dkk, Caru Kearifan Lokal Bali “Tinjauan Manfaat Dalam Kesuburan Dan Biodiversitas Tanah”)
Perkembangan wisata mendaki di Gunung Agung dikaji menggunakan konsep turismemorfosis (anom,dkk, 2017). Dalam pengaplikasiannya, pada objek penelitian Gunung Agung, ditemukan bahwa hanya terdapat tiga dari empat tahapan yang terdapat dalam konsep, diantaranya adalah tahap pengenalan,tahap reaksi,tahap pelembagaan, berikut pemaparannya dalam gambar 4.1 dibawah ini.
Gambar 4.1
Analisis Perkembangan Wisata Mendaki Gunung Agung
Sumber : Hasil Penelitian
-
a. Diskursus
Menceritakan Kondisi pasca letusan Gunung Agung tahun 1963, kondisi jenis wisata yang tersedia di Bali tahun 1969, dan aktivitas mendaki di Bali pada tahun 1970-an.
Pasca letusan, kondisi lingkungan alam rusak sehingga menghambat mata pencaharian masyarakat bertani, keadaan tersebut menjadi salah satu faktor yang mendorong warga melakukan transmigrasi, tercatat hampir 23.000 jiwa berpindah kebeberapa daerah di Indonesia.
Pada tahap yang sama tahun 1970, kondisi alam, dan sosial masyarakat kembali berjalan seperti semula. Beberapa aktifias dilakukan kembali dilakukan di Gunung Agung seperti misalnya masyarakat kembali bertani, aktivitas wisata Pura Besakih sudah berjalan normal, serta kemunculan aktivitas baru mendaki Gunung Agung sebagai kegiatan pengembangan diri mulai dilakukan oleh anak-anak muda di Bali.
-
b. Tokoh
Kepala sekolah, almarhum Bapak Wayan Sudama yang berperan dalam “doktrin” positif kepada siswanya untuk melakukan aktivitas outdoor mendaki gunung, siswa SMA N 1 Denpasar yang melakukan pendakian di Gunung Agung Sebagai cikal bakal lahirnya wisata mendaki. Tokoh tersebut berperan penting dalam pemebentukan wisata mendaki Gunung Agung.
-
c. Paradigma dan Problematika
Paradigma dalam tahap ini adalah paradigma pengembangan diri, yakni terjadi penambahan fungsi Gunung Agung awalnya untuk aktivitas spritual agama Hindu Bali menjadi suatu lokasi melakukan aktivitas mendaki.
Problematika yang ada dalam tahap ini adalah Gunung Agung belum menjadi atraksi wisata mendaki. Berkaitan dengan situasi dalam tahap perkenalan, pariwisata masih fokus pada Pura Besakih saja. Sementara untuk kegiatan mendaki Gunung Agung sebagai suatu daya tarik wisata belum lahir. Dapat disimpulkan bahwa telah terjadi Penambahan
fungsi (perubahan) namun perubahan tersebut belum mengarah ke sasaran, menjadi suatu produk pariwisata.
Gunung Agung memiliki hubugan erat dengan daya tarik wisata Pura Besakih, Pura Besakih pada masa ini, menjadi salah satu tujuan wisata religi mancanegara, sejak kemunculannya pada tahun 1931, mengalami perkembangan dari berbagai aspek seperti misalnya akses, dalam catatan, butuh waktu lama bagi traveler untuk berjalan atau naik kuda ke pura. Ketika pariwisata Bali mulai meningkat pada akhir 1960-an dan awal 1970-an, Besakih kembali menjadi salah satu tujuan wisata religius. Pada 1980-an jumlah wisatawan asing dan domestik, rata-rata sekitar 40.000 per tahun. Adanya daya wisata Pura Besakih memberikan manfaat kepada masyarakat desa sekitar pura, beberapa berprofesi sebagai pengantar wisatawan dari tempat parkir ke Pura, beberapa sebagai pemandu wisatawan (guide), pemungut biaya parkir dan masuk resmi, anak-anak menjual pisang atau memberi payung saat hujan, dan beberapa pria dipekerjakan oleh pemerintah daerah sebagai penjaga kebersihan area publik.
Munculnya aktivitas mendaki gunung sebagai daya tarik wisata diawali dengan kunjungan wisata ke Pura Besakih. Sebelum kegiatan mendaki dijadikan sebagai aktivitas wisata, reaksi pertama yang dialakukan ialah siswa-siswi SMA 1 Denpasar mengajak guide Pura Besakih untuk melakukan pendakian Gunung Agung sebagai kegiatan waktu luang. Kemudian setelah turun, secara spontan guide di Pura Besakih menawarkan kegiatan mendaki Gunung Agung kepada wisatawan Pura Besakih.
Kemunculan wisata medaki di Gunung Agung menimbulkan dampak antusias dari masing-masing desa seperti desa pempatan, besakih, selat, jungutan, datah, dan dusun yeh kori untuk menciptkan paket wisata mendaki Gunung Agung. b. Tokoh
Siswa SMA yang bereaksi untuk mengajak guide Pura Besakih melakukan aktivitas
mendaki sebagai kegiatan untuk bersenang-senang dan menikmati alam, guide besakih sebagai penemu Wisata Mendaki Gunung Agung. empat orang pendaki, menggunakan media website membuat paket wisata mendaki Gunung Agung.
-
c. Paradigma dan Problematika
Dalam tahap reaksi, yang terjadi adalah guide Pura Besakih sebagai tokoh pertama yang melakukan penjualan aktivitas mendaki kepada wisatawan. Paradigma pada tahap ini adalah paradigma perubahan, yakni terjadi perubahan antara kegiatan pendakian ( pengembangan diri) menjadi suatu produk pariwisata. Problematika yang terdapat pada tahap ini adalah belum adanya kejelasan tentang badan usaha yang menjalankan kegiatan wisata mendaki di Gunung Agung, tarif, persiapan teknis sebelum mendaki, dan standart perjalanan pendakian yang belum jelas.
Masyarakat desa di Desa Selat yang tergabung dalam profesi pemandu wisata Gunung Agung mendirikan badan mandiri, yang mengelola bidang jasa wisata mendaki. Pada tahun 2003, mereka membentuk kelompok sadar wisata “Organisasi pemandu wisata alam Gunung Agung” menjadikan Desa selat (Pura Pasar Agung) dan Besakih sebagai dua jalur pendakian wisat yang paling sering dilalui, disamping itu, POKDARWIS masih berdiri begitu saja tanpa adanya regulasi. Tahun 2013, usulan penerbitan surat keputusan untuk pendirian kelompok sadar wisata dilakukan, dalam hal ini, ditemukan jarak waktu yang cukup jauh dari masa pendirian POKDARWIS, hal tersebut terjadi karena kurangnya pengetahuan tentang sistem administrasi dan pentingnya suatu surat keputusan pendirian. Tahun 2015 surat keputusan diterbitkan oleh pemerintah daerah, semakin memantapkan pembangunan kawasan wsiata mendaki Gunung Agung baik dari sisi akses seperti perbaikan jalan menuju titik awal pendakian, sarana prasarana seperti toilet,
lahan parkir, pos registrasi, pengadaan jaringan wifi, dan rehabilitasi pura.
-
b. Tokoh
I wayan mudita sebagai pelopor yang mengajak kelompok guide desa selat dan pionir pembentuk lahirnya “Organisasi pemandu wisata alam Gunung Agung”.
I wayan Widiasa yang berperan sebagai ketua Kelompok sadar wisata Gunung Agung terhitung sejak tahun 2013 yang mengajukan penerbitan surat keputusan pendirian kelompok sadar wisata. c. Institusi
Dalam hal ini, yang menaungi perizinan akses ke Gunung Agung dilakukan oleh Dinas Kehutanan Provinsi Bali khususnya Kawasan Pengelolaan Hutan Lindung Bali Timur (KPHL) sebagai lembaga d. Paradigma dan Problematika
Paradigma pada tahap ini adalah paradigma matrealisme. Penerbitan surat keputusan kelompok sadar wisata telah berimplikasi pada pengakuan bahwa kelompok sadar wisata Gunung Agung, telah menjadi satu-satunya akses jasa wisata mendaki Gunung Agung.
Berbanding lurus dengan hal tersebut, beberapa oknum menjadikan hal tersebut menjadi suatu keuntungan untuk menciptakan persaingan harga. Disis lain masalah sumberdaya manusia (guide) yang kurang berkompeten menjadi salah satu problematika yang dihadapi,
Saat ini, Kelompok sadar wisata Gunung Agung menjadi semacam elite yang mendominasi kegiatan-kegiatan pariwisata di Gunung Agung. Akhir tahun 2018, kelompok tersebut bergeser membangun kepada wisata massal yang semula hanya wisata mendaki (minat khusus).
Memanfaatkan potensi wisata alam berupa tebing dan lereng, Dibuat suatu perencanaan atraksi baru. I Wayan Widiasa menjelaskan, “sudah banyak warga yang ingin bergabung dan menanamkan modal dalam pengadaan
“swing” ini, ada 58 orang, dan terus bertambah, kita kewalahan membatasi antusias itu, kita juga sudah mulai mencari mitra yang ingin berinvestasi contohnya dalam hal pengadaan alat”. “saya membayangkan apabila atraksi wisata swing atau flyingfox dapat berjalan di Gunung Agung ini, pasti akan menjadi suatu sumber pemasukan menguntungkan bagi desa dan pemerintah karena kalau hanya mengandalkan wisata mendaki Gunung Agung, tidak menentu apalagi dengan keadaan Gunung Agung seperti sekarang”.
Dari pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa pergeseran tersebut akan menimbulkan berbagai macam dampak, salah satunya ialah dampak lingkungan fisik, yang akan mengalami kerusakan apabila tidak dilakukan perencanaan matang. Selain itu, kesan Gunung Agung sebagai simbol kesucian dan pusat tempat spritual keagamaan bagi masyarakat Bali seiring berjalannya waktu akan tergerus.
-
V. PENUTUP
Berdasarkan uraian pemaparan tentang potensi wisata dan perkembangan wisata di Gunung Agung, maka dapat disimpulkan bahwa:
-
1. Gunung Agung memiliki potensi wisata alam dan Budaya. Potensi alam antara lain adalah potensi hutan, batuan tebing atau lereng, serta pemandangan alam berupa kawah pada puncak Gunung Agung dikedua jalur pendakian.
-
2. Potensi wisata budaya berupa tulisan peninggalan Babad Pasek yang bercerita tentang terbentuknya Gunung Agung, Pura dan pelinggih, serta upacara Keagamaan Hindu Bali Pekelem.
-
3. Perkembagan wisata mendaki Gunung Agung menggunakan konsep
tourismemorfosis menghasilkan 3 tahapan yaitu Tahap pengenalan (1963-1981) tentang kondisi pariwisata Bali, kondisi masyarakat pasca erupsi Gunung Agung tahun 1963, serta aktivitas mendaki sebagai sarana pengembangan diri. Tahap Reaksi (1981- 2002), aktivitas mendaki Gunung Agung berubah menjadi suatu produk pariwisata. Tahap Pelembagaan (20022019) menjelaskan tentang pembentukan
kelompok sadar wisata mendaki Gunung Agung.
Merujuk pada permasalahan mengenai perkembangan wisata mendaki Gunung Agung, saran yang dapat diberikan, sebagai berikut:
-
1. Saran kepada pihak pengelola wisata
Gunung Agung:
-
a. membuat catatan atau dokumentasi berisi tentang sejarah, asal muasal wisata Gunung Agung, organisasi, dan aktivitas mendaki itu sendiri. Agar dapat menjawab permasalahan yang ditemui dalam pengelolaan aktivitas wisata Gunung Agung.
-
b. mengawasi serta melakukan tindakan terhadap wisatawan yang berperilaku menyimpang pada saat mendaki contohnya adalah melakukan vandalism, dan membuang sampah sembarangan.
-
c. produk wisata mendaki di Gunung Agung sebaiknya mengusung konsep spritual (spritual hiking),Karena terdapat nilai spritual dan budaya yang tinggi. Hal ini juga mempertegas aturan-aturan pada saat melakukan pendakian. selain itu, berdampak positif terhadap pelestarian lingkungan fisik dan peninggalan-
peninggalan kebudayaan Gunung Agung.
-
d. Kegiatan dipandu oleh pemandu wisata kompeten yang memberikan cerita dan pengenalan spritualisme Gunung Agung (something to learn) saat melakukan pendakian.
-
2. Saran kepada pemerintah :
-
a. agar lebih mempertegas daerah cakupan wisata Gunung Agung karena dalam kasus lapangan, lembaga pemerintah yang menaungi aktivitas mendaki Gunung Agung masih samar-samar.
-
b. memberikan perhatian lebih baik dalam pemenuhan administratif, sarana prasarana, akses, dan pendidikan pariwisata yang kepada masyarakat kreatif yang memberdayakan potensi lingkungan tempat tinggalnya sebagai daya tarik wisata.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim ,2007. Undang-Undang RI No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil
Anonim, 2009. Undang-Undang RI No.10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan.
Anonim,2013. Analisis Pariwisata . Jurnal : Fakultas Pariwisata Universitas Udayana
Afiffudin Yunus, Barus Indah Sekar Putri, Patana Pindi, (2015), Analisis Potensi Obyek Wisata dan Kesiapan Masyarakat dalam Pengembangan Desa Wisata Berbasis Masyarakat di Kawasan Danau Linting Kabupaten Deli Serdang. Jurnal onine Universitas Sumatera Utara,2015
Anindita, M., & Gunanto, E. Y. A. (2015). Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Tingkat Kunjungan Ke Kolam Renang Boja (Doctoral Dissertation, Fakultas Ekonomika Dan Bisnis).
Anom, I. P., Suryasih, I. A., Nugroho, S., & Mahagangga, I. G. A. O, 2018 Turismemorfosis: Tahapan selama seratus tahun perkembangan dan prediksi pariwisata Bali. Journal of Bali Studies, 7(2), 59-80.
Asmarajaya, I. M. (2017). Sistem Kekerabatan Kepurusa di Bali. Jurnal Advokasi, 7(1). Berbasis Masyarakat di Kawasan Danau Linting Kabupaten Deli Serdang. Jurnal onine Universitas Sumatera Utara
Bhaskara, G. I. Gunung Berapi Dan Pariwisata: Bermain Dengan Api. Jurnal Analisis Pariwisata, 17(1), 31-40.
Budaarsa, K., Budiasa, K. M., & Hindu, U. (2013, October). Jenis Hewan Upakara dan Upaya Pelestariannya. In Makalah disampaikan pada seminar hewan upakara Fakultas Peternakan Universitas Udayana, Denpasar (Vol. 29).
Chhetri, P., Arrowsmith, C., & Jackson, M. (2004). Determining hiking experiences in nature-based tourist destinations. Tourism management, 25(1), 31-43.
D i n a s K e h u t a n a n UPT KPH Ba l i T i m u r. rencana pengelolaan Dissertation, Fakultas Ekonomika Dan Bisnis).
Evita, R., Sirtha, I. N., & Sunartha, I. N. (2012). Dampak perkembangan pembangunan sarana akomodasi wisata terhadap pariwisata berkelanjutan di bali. Jurnal Ilmiah Pariwisata. Denpasar: Universities Udayana.(16 Juni 2014, 6: 05 PM).
Greenland tourism booklet (2015). Market Segmentation in Greenland
Gunawan Imam , metode penelitian kualitatif teori dan praktek. Jakarta: Bumi Aksara ,2014
Hidayat, M. (2016). Strategi Perencanaan Dan Pengembangan Objek Wisata (Studi Kasus Pantai Pangandaran Kabupaten Ciamis Jawa Barat). The Journal: Tourism and Hospitality Essentials Journal, 1(1), 33-44.
Hidayat, M. R., & Masykur, A. M. (2018). Experiences To Go On International Expeditions (Study of Phenomenology in Students Outdoor Club). Empati, 6(4), 72-86.
Howe, L. (2006). The changing world of Bali: religion, society and tourism. Routledge
I Gede Mudana, I Ketut Sutama, Cokorda Istri Sri Widhari, 2017, Model Kewirausahaan Memandu Wisata Mendaki Gunung Agung Di Desa Selat, Karangasem.. Jurnal : Politeknik Negeri Bali
I Made, J. (2017). Pencitraan Gunung Dalam Budaya Bali: Kajian Fungsi Dan Makna Simbolik Bentuk Motif Hias Pada Padmasana.
Kusmayadi dan Sugiarto, Endar. 2000. Metodologi Penelitian dalam Bidang Kepariwisataan. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.
Mahdayani, W. (2009). Ekowisata: Panduan Dasar Pelaksanaan. Disparbud, Nias Selatan.
Makiyah, D. Makna dan fungsi sanggah dalam agama Hindu: studi kasus dalam masyarakat Hindu Jawa.
Marpaung, H., & Bahar, H. (2002). Pengantar Pariwisata. Bandung: Alfabeta.
Nugroho, A. (2006). Kawasan Wisata
Minat Khusus Watu Tedeng Di
Pramudya, R. A., & Hidayat, S. (2017). Perancangan Buku Panduan Mendaki Gunung Untuk Pemula. eProceedings of Art & Design, 4(3).
Stuart-Fox, D. J. (2014). Pura Besakih: A study of Balinese religion and society.
Sugiyono, M. P. P. P. K. (2007). Kualitataif dan R&D, Bandung: Alfabeta, 2010. Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif kualitatif dan R&D Bandung:
Wawancara pribadi dengan I Wayan Anandya Putra, Denpasar 12 Desember 2018
Wawancara pribadi dengan I Wayan Widiasa, Karangasem 8 Desember 2018
Widnyana, I. K., Raka, D. N., Javandira, C., Sukerta, I. M., Arjaya, I. B. A., & Press, U. M. Caru Kearifan Lokal Bali “Tinjauan Manfaat Dalam Kesuburan Dan Biodiversitas Tanah”.
Williams, S. W. (2002). Tourism Geography. Routledge. Wonosobo (Doctoral dissertation, Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik).
Yusuf, A. M. (2016). Metode penelitian kuantitatif, kualitatif & penelitian gabungan. Prenada Media. Sutedjo, A., & Murtini, S. (2007). Geografi pariwisata
Sumber lainnya :
-
1. https://scholar.google.co.id/scholar?q=related:JK2W7jiyS_EJ:scholar.google.com/&hl=id&a s_sdt=0,5 (diakses pada tanggal 10 maret 2017)
-
2. http://kbbi.web.id/vandalisme (diakses pada tanggal 9 maret 2017)
-
3. (www.findlaw.co.uk, (diakses pada tanggal 12 maret 2017)
-
4. http://www.disparda.baliprov.go.id/id/Stati stik4 (diakses pada tanggal 5 juni, 2018)
-
5. https://www.jnto.go.jp/eng/topics/2011.ht ml (diakses pada tanggal 5 juni 2018)
-
6. Kemenpar.go.id (diakses pada Tanggal 17 Juni 2018)
-
7. https://historia.id (diakses pada Tanggal 4 Maret 2019)
-
8. westcoastpeaks.com/Peaks/agung1 (diakses pada tanggal 14 Maret 2019)
225
Discussion and feedback