Jurnal Destinasi Pariwisata                                           ISSN: 2338-8811

Vol. 4 No. 1, 2016

PENGALAMAN VOLUNTOURISM BAGI VOLUNTOURIST DAN MASYARAKAT LOKAL DI YAYASAN SARI HATI, UBUD, GIANYAR, BALI

Anak Agung Gde Rama Purwani Yogaa,1, Saptono Nugrohoa,2 1[email protected], 2[email protected]

a program studi s1 destinasi pariwisata, fakultas pariwisata,universitas udayana, jl. dr. r. goris, denpasar, bali 80232 indonesia

Abstract

This research located at Yayasan Sari Hati, Ubud that focus on voluntourism experience for the voluntourist and the local community. Voluntourism is a type of alternative tourism that can bring an unique and different experience not only for the voluntourist but also for the local community. Voluntourism experience considered as a cathartic experience that can make a positive difference for the voluntourist. The aim of this paper is to know the voluntourism experience that gained by the voluntourist and the local community also how that experience can make a difference for the voluntourist itself. Through participant observation, researcher participate actively in the voluntourism activity at Yayasan Sari Hati. Data also collected by literature review and indepth interview with two voluntourists and four local communities for then analyzed by qualitative technique. This paper reviews voluntourism experience for the voluntourist and the local community also the experience that make difference for the voluntourist. This paper concluded that voluntourism experience is a form of cathartic experience through tourism which is not only can bring a valuable knowledge for the voluntourist but also can change their personality and lifestyle.

Keywords: Voluntourism Experience, Voluntourist, Local Community

  • 1.    PENDAHULUAN

    • 1.1    Latar Belakang

Perkembangan industri pariwisata saat ini lebih mengarah pada pariwisata alternatif (Setyorini, 2004; Sirasoonthorn dan Coren, 2010). Kemunculan berbagai jenis pariwisata alternatif tersebut merupakan konsekuensi dari dampak negatif yang ditimbulkan oleh pariwisata massal (Lee, 2011). Salah satu jenis pariwisata alternatif yang mulai berkembang saat ini adalah voluntourism atau yang dikenal juga sebagai volunteer tourism (Wearing, 2001). Voluntourism pada intinya menggabungkan dua kegiatan berbeda yaitu kegiatan berwisata dan kegiatan volunteer yang merupakan kegiatan sukarela tanpa dibayar (Tourism Research and Marketing, 2008). Sehingga tak heran jika jenis pariwisata alternatif ini mampu memberikan pengalaman yang unik dan berbeda dari pariwisata massal yang tidak hanya dirasakan oleh wisatawan yang dalam hal ini disebut sebagai voluntourist, melainkan juga akan didapatkan oleh masyarakat lokal. Pengalaman unik tersebut muncul karena tingginya interaksi yang terjadi diantara keduanya, bahkan interaksi tersebut juga dianggap lebih mendalam (Wearing dan Grabowski, 2011). Demikian pula dengan kegiatan voluntourism di Yayasan Sari Hati, Ubud. Setiap voluntourist yang berkunjung ke yayasan ini mampu memberikan kenangan tersendiri bagi staf, orang tua siswa serta anak-anak Yayasan Sari Hati yang merupakan masyarakat lokal setempat. Hal yang sama pun dialami oleh para voluntourist.

Mereka juga mendapatkan pengalaman tak terlupakan dari kegiatan voluntourism yang telah dilakukan. Hal ini tidak terlepas dari kuatnya hubungan yang terjalin diantara mereka sebagai akibat dari tingginya intensitas pertemuan dan interaksi yang mereka alami.

Sejak didirikan 10 tahun yang lalu, yayasan ini telah menyelenggarakan kegiatan voluntourism dan telah dikunjungi oleh ratusan voluntourist dari berbagai penjuru dunia. Kegiatan voluntourism di Yayasan Sari Hati lebih berfokus pada bidang pendidikan khususnya bagi anak-anak dengan disabilitas mental dan fisik. Kegiatan pendidikan di Yayasan Sari Hati jelas jauh berbeda dengan kegiatan belajar mengajar di sekolah-sekolah formal pada umumnya. Mendidik anak-anak yang berkebutuhan khusus seperti yang ada di Yayasan Sari Hati, tentu memerlukan penanganan yang spesial. Bagi voluntourist hal ini tentu bukan keahlian mereka karena diperlukan proses pembelajaran tersendiri untuk mengetahui cara pengajaran yang tepat pada setiap karakter anak yang berbeda-beda. Proses pembelajaran tersebut secara tidak langsung akan didapatkan oleh setiap voluntourist yang menginjakkan kakinya di Yayasan Sari Hati. Para staf yayasan akan dengan senang hati mengajarkan para voluntourist tentang cara mengajar anak-anak disabilitas tersebut. Mereka pun tak segan untuk menjawab setiap pertanyaan yang ada di benak para voluntourist meski dengan kemampuan berbahasa asing yang sangat terbatas. Interaksi serupa akan terus menerus dialami oleh

Vol. 4 No. 1, 2016

voluntourist dan para staf Yayasan Sari Hati selama kegiatan voluntourism tersebut berlangsung. Setiap interaksi yang terjadi akan memunculkan pengalamannya tersendiri serta merupakan cikal bakal dari pengalaman unik dan berbeda yang akan didapatkan oleh voluntourist dan masyarakat lokal di Yayasan Sari Hati. Tak jarang bahkan pengalaman tersebut mampu membawa perubahan sikap dan kepribadian para voluntourist ke arah yang lebih positif. Keunikan inilah yang akhirnya menjadikan pengalaman voluntourism disebut sebagai salah satu bentuk dari cathartic experience (pengalaman katartik) yakni segala macam kegiatan yang mampu membawa perubahan ke arah yang lebih positif bagi seseorang dalam menjalani kehidupannya berdasarkan pengalaman yang didapatnya selama menjalani kegiatan itu (Zahra dan McIntosh, 2007). Oleh karena itu penelitian ini penting untuk dilakukan agar dapat diketahui pengalaman voluntourism yang didapatkan oleh voluntourist dan masyarakat lokal di Yayasan Sari Hati serta bagaimana perubahan yang dialami oleh voluntourist setelah mendapat pengalaman voluntourism tersebut.

  • 1.2    Rumusan Masalah

  • a.    Bagaimanakah pengalaman voluntourism yang didapat oleh voluntourist dan masyarakat lokal di Yayasan Sari Hati?

  • b.    Bagaimanakah perubahan yang dialami oleh voluntourist setelah memperoleh pengalaman voluntourism di Yayasan Sari Hati?

  • 2.    KEPUSTAKAAN

    • 2.1    Tinjauan Penelitian Sebelumnya

Terdapat dua penelitian tentang voluntourism yang terkait dengan penelitian ini. Penelitian pertama berjudul Host Community Perceptions of the Role of Short-Term International Volunteer in Development oleh Jane Mellet pada tahun 2010 yang berlokasi di India memiliki kesamaan fokus dengan penelitian ini yaitu menitik beratkan pada pengalaman yang didapat oleh voluntourist dan masyarakat lokal setempat. Selanjutnya penelitian kedua berjudul Disability Survey Sector in Bali oleh Brennan McCoy pada tahun 2012 yang mencoba menggambarkan eksistensi organisasi sosial disabilitas mental dan fisik di Bali, memiliki kesamaan lokus dengan penelitian ini yaitu berlokasi di Yayasan Sari Hati, Ubud.

  • 2.2    Landasan Konsep

  • a.    Voluntourism

Tourism Research and Marketing (2008) mendefinisikan voluntourism sebagai berikut:

“ Volunteer Tourism involves a combination of travel and voluntary (unpaid) work.“

Sementara itu Wearing (2004) berpendapat bahwa voluntourism bertujuan untuk mewujudkan pariwisata alternatif yang dapat berkelanjutan, sebagai berikut:

“ A form of tourism that makes use of holidaymakers who volunteer to fund and work on conservation projects around the world and which aims to provide sustainable alternative travel that can assist in community development, scientific research or ecological restoration.”

  • b.    Pengalaman Voluntourism

Wearing dan Grabowski (2011) berpendapat bahwa terdapat perbedaan dari pengalaman voluntourism dengan pengalaman pariwisata pada umumnya, yaitu sebagai berikut:

“ However, there is a distinct difference between the tourism experience and the volunteer tourism experience. The nature of the volunteer tourism experience is such that the volunteers work in collaboration with the community, usually in developing countries, to achieve development goals. In fact it is often argued that the nature of the volunteer tourism experience is such that the interaction between host and guest is more profound than in other forms of tourism.”

Lebih lanjut Zahra dan McIntosh (2007) menjelaskan pengalaman voluntourism sebagai pengalaman katartik. Menurut mereka pengalaman katartik adalah kegiatan yang mampu memberikan perubahan positif bagi seorang individu dalam mencapai dan menjalani tujuan hidupnya.

  • c.    Voluntourist

Menurut Wearing (2001) voluntourist dapat didefinisikan sebagai berikut:

“ Volunteer tourist applies to those tourists who, for various reasons, volunteer in an organized way to undertake holidays that might involve the aiding or alleviating the material poverty of some groups in society, the restoration of certain environments, or research into aspects of society or environment.”

  • d.    Masyarakat lokal

Menurut Iver dan Page dalam Soekanto (2006), semua warga masyarakat merupakan masyarakat yang hidup dalam suatu tatanan pergaulan dan keadaan, ini akan tercipta apabila manusia melakukan hubungan.

  • 3.    METODE PENELITIAN

    • 3.1    Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini berlokasi di Yayasan Sari Hati, Jalan Rsi Markandya, Banjar Lungsiakan, Desa

Vol. 4 No. 1, 2016

Kedewatan, Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar. Batasan dari penelitian ini yaitu:

  • a.    Pengalaman voluntourism bagi voluntourist dan masyarakat lokal di Yayasan Sari Hati adalah semua pengalaman unik, menarik dan berkesan yang dirasakan setelah terjadi interaksi diantara kedua belah pihak.

  • b.    Perubahan yang dialami voluntourist setelah mendapat pengalaman voluntourism di Yayasan Sari Hati adalah setiap perubahan pandangan tentang kehidupan berdasarkan pada pelajaran berharga yang didapat oleh voluntourist dari pengalaman voluntourism tersebut yang juga mampu mempengaruhi gaya hidupnya.

  • 3.2    Teknik Pengumpulan Data

Peneliti terlibat langsung dalam kegiatan yang diteliti dengan menggunakan teknik observasi partisipan untuk melihat lebih dekat pengalaman yang dialami oleh voluntourist maupun masyarakat lokal setempat. Selama 11 hari sejak tanggal 8 Juni 2014 hingga 18 Juni 2014, peneliti menjalankan program voluntourism tersebut bersama dengan beberapa voluntourist bertempat di Yayasan Sari Hati, Ubud. Peneliti juga berinteraksi sosial intensif dengan masyarakat lokal yang diteliti, dan selama periode ini data yang diperoleh dikumpulkan secara sistematis serta hati-hati (Bogdan dan Taylor dalam Afandi, 1993).

Data-data primer yang dibutuhkan dalam penelitian ini juga digali melalui teknik wawancara mendalam yang dilakukan kepada dua orang voluntourist yang sedang menjalankan program voluntourism mereka di Yayasan Sari Hati serta dilakukan juga wawancara kepada empat orang masyarakat lokal yang dalam hal ini adalah staf yayasan, siswa dan orangtua siswa Yayasan Sari Hati. Wawancara mendalam tersebut dilakukan dengan berdasar pada pedoman wawancara yang telah dibuat, namun peneliti tetap berusaha menggali konteks yang ditemukan saat wawancara. Wawancara mendalam ini difokuskan pada pengalaman yang mereka dapat setelah berinteraksi dalam pelaksanaan program serta seberapa jauh pengalaman tersebut memberikan perubahan pada kehidupan voluntourist yang bersangkutan.

Sementara untuk kebutuhan data sekunder dalam penelitian ini akan digali melalui studi kepustakaan. Data sekunder yang dimaksud yaitu berupa profil kegiatan voluntourism di Yayasan Sari Hati.

  • 3.3    Teknik Analisis Data

Selama proses penelitian, data yang berhasil dikumpulkan terus-menerus dianalisis secara kualitatif untuk dijelaskan secara deskriptif. Berikut tahapan analisis menurut Sugiyono (2012):

  • a.    Mereduksi data, yaitu memilih hal-hal yang penting untuk kemudian dicari tema dan polanya.

  • b.    Penyajian data, yang dilakukan dalam bentuk uraian singkat, bagan dan sejenisnya,

  • c.    Penggambaran kesimpulan.

  • 4.    HASIL DAN PEMBAHASAN

    • 4.1    Pengalaman Voluntourism bagi

      Voluntourist dan Masyarakat Lokal

Berdasarkan wawancara yang telah dilakukan kepada dua orang voluntourist, diketahui bahwa mereka sesungguhnya tidak menyadari bahwa kegiatan yang telah dilakukannya ini adalah kegiatan voluntourism. Keduanya menganggap kegiatan sosial yang mereka lakukan tersebut hanyalah kegiatan volunteer biasa. Motivasi yang dimiliki oleh mereka pun mencerminkan hal tersebut. Amanda yang merupakan voluntourist asal Amerika Serikat memiliki motivasi untuk melakukan kegiatan sosial sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan pendidikannya di bidang psikologi spiritual, sedangkan satu voluntourist lainnya yang berasal dari Belanda yakni Fatim memiliki motivasi untuk melihat cara penanganan orangorang disabilitas mental di Bali. Hal ini didukung oleh hasil wawancara sebagai berikut:

“ I am in a graduate program of spiritual psychology with an emphasis in conciousness, health and healing and as part of the program we are required to do a service project. I would love to work in Bali with children for this project.”

(Amanda, Voluntourist, 11 Juni 014)

“ I would like to see the difference between the Netherlands and Bali. I’m curious of the different methods they work with.”

(Fatim, Voluntourist, 1 Juni 014)

Berdasarkan hasil wawancara tersebut dapat dilihat bahwa keinginan untuk melakukan kegiatan volunteer adalah faktor utama yang membuat keduanya datang ke Bali. Meski demikian, pada kenyataannya kedua wisatawan tersebut memang adalah seorang voluntourist yang melakukan kegiatan volunteer sekaligus menikmati atraksi serta fasilitas pariwisata yang disediakan oleh Bali sebagai sebuah destinasi wisata. Hal ini terbukti dari kunjungan wisata

yang dilakukan oleh keduanya ke Kuta, Mongkey Forest dan Gunung Batur serta penggunaan fasilitas-fasilitas pariwisata di Ubud mulai dari homestay hingga restoran.

Graefe dan Vaske dalam Hall dan Page (2014) menyatakan bahwa ekspektasi wisatawan sebelum melakukan perjalanan ke suatu destinasi wisata sangat menentukan puas tidaknya pengalaman wisatawan yang bersangkutan. Ketika ekspektasi tersebut tidak sesuai dengan kenyataan yang ada di destinasi wisata, maka dapat dipastikan pengalaman yang didapat wisatawan akan sangat buruk. Ekspektasi ini juga yang menentukan pengalaman berkesan yang akan didapatkan oleh voluntourist di Yayasan Sari Hati. Uniknya, Amanda yang telah berpengalaman dalam melakukan kegiatan volunteer ke beberapa destinasi seperti Peru, Mexico dan Costa Rica justru tidak banyak menciptakan ekspektasi dari perjalanan volunteer yang akan dilakukannya ke Bali. Beberapa pengalaman tersebut telah cukup baginya untuk memahami kegiatan volunteer itu sesungguhnya, termasuk dalam hal ekspektasi yang akan mempengaruhi pengalaman yang akan didapatkannya.

“ ... I also am looking forward to opening myself up to possibilities that I couldn’t imagined. I feel the power of having no expectation and I know what can come from that, so I intend to hold an open mind with this experience as well.”

(Amanda, Voluntourist, 11 Juni 014)

Pikiran yang terbuka menjadi satu hal yang perlu diperhatikan dari apa yang dikatakan oleh Amanda, karena hal ini akan mampu membuat seorang wisatawan dapat menerima segala pengalaman unik yang didapatkannya selama melakukan kegiatan wisata tersebut. Pikiran yang terbuka ini harus terus dipertahankan sejak pertama kali menginjakkan kaki di lokasi kegiatan voluntourism hingga ketika meninggalkan tempat tersebut. Meminimalisir ekspektasi dan menjaga agar pikiran selalu terbuka dapat menghindarkan para voluntourist dari shock culture yang mungkin akan ditemui saat berinteraksi dengan masyarakat lokal.

Program voluntourism yang dilakukan oleh kedua voluntourist tersebut berfokus pada proses belajar mengajar di Yayasan Sari Hati. Sehingga pengalaman yang dirasakan pun lebih banyak timbul karena interaksi mereka dengan anak-anak disabilitas mental dan fisik di yayasan ini. Meski memiliki keterbelakangan mental, para voluntourist ternyata merasakan sesuatu yang spesial dari anak-anak tersebut seperti yang

diungkapkan Amanda setelah dua minggu melaksanakan programnya sebagai berikut:

“ They give me a positive energy. The big positive energy from their smile, their gesture, their laugh, their hug and everything all they have. If there is no activity in the school I feel like miss my friend, but it’s more than that. So I don’t know what the true of that feel.”

(Wawancara pada 13 Juni 014)

Meski memiliki kekurangan, anak-anak disabilitas mental di Yayasan Sari Hati memang memiliki aura yang sangat positif. Aura penuh keceriaan dan kebahagiaan. Aura yang mampu membuat siapapun menjadi sama bahagia dan ceria seperti mereka. Pengalaman positif ini juga yang akhirnya mendorong Fatim yang melaksanakan program voluntourism selama tujuh minggu di Yayasan Sari Hati untuk mengajak wisatawan lain yang ditemuinya saat tinggal di homestay agar ikut melakukan kegiatan volunteer sepertinya di Yayasan Sari Hati.

“ Her name is Sarah. We stay at the same homestay. I ask her, ‘do you want to do something like volunteer work?’, she accept it. So I took her to come here, and we meet Miss Sari, and you see... she here now to take care the kids.”

(Fatim, Voluntourist, 18 Juni 014)

Gambar 1. Sarah yang melaksanakan kegiatan volunteernya di kelas seni, Yayasan Sari Hati

Sumber: Hasil observasi pada 18 Juni 2014.

Pengalaman positif yang dirasakan Fatim muncul karena lingkungan Yayasan Sari Hati yang dipenuhi oleh aura positif yang tentu saja akan membuat siapapun menjadi betah untuk berada di yayasan ini, tak terkecuali para voluntourist. Meski sesungguhnya lingkungan sosial tersebut jauh berbeda dari apa yang ditemui di negara asal mereka, nyatanya hal ini justru mampu membentuk karakter baru dalam diri mereka. Para voluntourist merasa dirinya tak ubahnya seperti masyarakat lokal setempat. Hal inilah yang dirasakan oleh Fatim seperti penggalan wawancara berikut:

“ All of the new experiences that I got make me have a new character, which is like the local.”

(Wawancara pada 18 Juni 014)

Sifat kekeluargaan yang diterapkan oleh semua staf Yayasan Sari Hati telah membuat hubungan mereka dengan voluntourist tersebut selayaknya keluarga. Tidak salah jika akhirnya para voluntourist menganggap diri mereka sama seperti orang-orang tersebut yang tidak lain adalah masyarakat lokal setempat. Suasana kekeluargaan ini juga yang membuat para staf, orang tua siswa dan anak-anak di Yayasan Sari Hati menjadi nyaman, hal ini tercermin dari beberapa hasil wawancara dengan masyarakat lokal berikut:

“ Mereka sosok yang patut di teladani dan dicontoh oleh orang lain termasuk masyarakat lokal.”

(ni komang sariadi, kepala yayasan, 8 juni 014)

“ Turis niki? Jeg pateh manten kayak keluarga panak tiyang nika. Yen ampun tua turisne, anggap’e ibu/bapak, yen kari bajang/truna, anggap’e mbok/bli, kenten...”

(Turis ini? Ya sama saja seperti keluarganya anak saya. Kalau sudah tua, dianggap ibu/ayah, kalau masih muda, dianggap kakak, begitu...)

(WS, Orang tua siswa, 9 Juni 014)

“ Mereka kayak kakak sendiri, mereka dibercandain gak marah, kita juga dibercandain gak marah Jarang lo ada bule yang mau peluk-pelukkan sama kita.”

(KJ, Anak disabilitas mental dan fisik, 9 Juni 014)

Meski pendapat masing-masing individu ini berbeda, namun tidak ada pandangan negatif yang terlihat. Mereka menyambut dengan baik segala program volunteer yang dilakukan oleh para voluntourist. Masyarakat lokal tidak hanya membantu tapi juga banyak mencontoh kebiasaan positif yang dilakukan oleh para voluntourist. Bahkan Risma menjadikan voluntourist yang datang sebagai role model baginya untuk terus semangat dalam menjalani kehidupannya.

Interaksi yang terus menerus terjadi selama pelaksanaan program akhirnya juga menimbulkan adanya cross culture (pertukaran kebudayaan) mulai dari bahasa, musik, keterampilan hingga tata cara makan. Bagi masyarakat lokal ini adalah pengalaman yang menyenangkan sekaligus membanggakan seperti yang diungkapkan oleh Sang Ayu Made Karniasih yang merupakan salah satu staf di Yayasan Sari Hati sebagai berikut:

“ Bangga rasanya bisa memperkenalkan budaya Bali kepada mereka. Melihat ekspresi mereka ketika mengetahui berbagai filosofi yang ada di

kebudayaan kita sangat membuat saya bangga menjadi orang Bali.”

(Wawancara pada 9 Juni 014)

Sifat ramah dan terbuka yang dimiliki oleh masyarakat lokal telah mempermudah terjadinya pertukaran budaya. Pertukaran kebudayaan ini tidak akan menghilangkan kebudayaan lokal setempat. Hal ini justru akan menjaga kebudayaan tersebut agar tidak punah dan bahkan dapat juga menghasilkan kebudayaan baru sebagai wujud akulturasi dengan budaya asing dari peristiwa pertukaran kebudayaan itu. Fenomena ini dapat terjadi karena rasa bangga pada diri masyarakat lokal dapat menjadi ‘candu’ yang ingin terus dirasakan oleh mereka. Selain itu, interaksi tersebut juga menjadikan para staf di Yayasan Sari Hati memahami karakter dari para voluntourist tersebut. Mereka menganggap voluntourist sebagai sosok yang memiliki jiwa sosial tinggi dan peduli dengan anak-anak.

Gambar 2. Voluntourist yang peduli anak-anak,

Amanda yang melindungi anak disabilitas dari terik matahari (kiri) dan Fatim yang menggandeng anak disabilitas saat kesulitan berjalan (kanan)

Sumber: Hasil observasi pada 13 Juni 2014.

Suasana kekeluargaan yang sangat kental terasa dari kegiatan voluntourism di Yayasan Sari Hati memang sengaja diterapkan oleh pihak yayasan agar dapat menimbulkan suasana yang hangat dan nyaman bagi anak-anak disabilitas mental dan fisik yang ada. Penerapan sistem keterbukaan layaknya keluarga memang sangat tepat digunakan di yayasan ini yang pada akhirnya akan menciptakan pengalaman tak terlupakan bagi semua pihak yang terlibat. Suasana kekeluargaan ini juga bertujuan menghilangkan batas yang biasanya timbul diantara orang lokal – orang asing ataupun orang lama – orang baru yang bertemu untuk pertama kalinya. Menghilangkan batas ini sangat penting untuk mempermudah mengetahui latar belakang voluntourist tersebut. Sejak awal berdirinya

yayasan ini, suasana kekeluargaan memang telah diterapkan. Hingga kini hal positif tersebut masih terus dipertahankan meski semakin banyak voluntourist yang datang ke yayasan ini, bahkan nilai-nilai keluarga yang sesungguhnya juga tidak dihilangkan. Hal ini dikatakan oleh Ni Komang Sariadi sebagai berikut:

“ Kami sangat terbuka dan disini sistemnya kekeluargaan, sehingga semua yang datang kesini akan kami anggap sebagai keluarga, asalkan mereka tahu bagaimana caranya untuk memperlakukan anggota keluarga lainnya dengan baik.”

(Wawancara pada 8 Juni 014)

Eratnya hubungan kekeluargaan ini juga yang menjadikan perpisahan adalah hal yang sangat berat bagi mereka. Kedekatan mereka satu sama lain terkadang juga menyebabkan mereka meneteskan air mata. Setiap tetes air mata yang jatuh tersebut merupakan bukti yang berasal dari pribadi terdalam masing-masing pihak yang menunjukkan telah terjalin hubungan yang sangat dekat diantara keduanya.

Gambar 3. Amanda berpelukan dengan KJ di hari terakhir program voluntourismnya

Sumber: Hasil observasi pada 13 Juni 2014.

Para voluntourist pun sebenarnya tidak ingin berpisah dengan anak-anak serta staf di Yayasan Sari Hati, ini tercermin dari penggalan wawancara dengan Fatim sebagai berikut:

“ It’s very hard to leave these beautiful kids. I really hate to say good bye. I think I’ll miss the family atmosphere.”

(Wawancara pada 18 Juni 014)

Perasaan yang sangat berat saat meninggalkan Yayasan Sari Hati ini pun berhasil membuat para voluntourist berkeinginan untuk datang kembali ke yayasan ini. Baik Amanda ataupun Fatim, keduanya berkomitmen ingin menghabiskan lagi beberapa minggunya demi melakukan kegiatan voluntourism di yayasan ini suatu saat nanti.

“ Of course, someday I’ll visit them again with my friends and share our love again to these beautiful kids.

(Amanda, Voluntourist, 13 Juni 014)

“ Yes... I really want to play with them again. If I have a chance to go to Bali next time, this place will be my first place to visit in Bali.”

(Fatim, Voluntourist, 16 Juni 014)

Adanya keinginan untuk melakukan kunjungan ulang ke Yayasan Sari Hati membuktikan bahwa kegiatan voluntourism di yayasan ini mampu memenuhi ekspektasi voluntourist. Terpenuhinya ekspektasi mereka itu akhirnya memicu rasa puas yang akan dialami oleh voluntourist yang bersangkutan. Hal inilah yang kemudian merangsang kunjungan ulang tersebut karena para voluntourist ingin mengenang dan merasakan kembali rasa puas yang pernah dialaminya setelah melakukan kegiatan voluntourism di Yayasan Sari Hati.

Bagi staf dan orang tua siswa di Yayasan Sari Hati, perpisahan juga merupakan saat-saat yang berat. Ini adalah saat-saat terakhir bagi mereka untuk mengucapkan terima kasih kepada para voluntourist tersebut. Pelukan dan jabat tangan erat yang diberikan oleh mereka kepada para voluntourist ini merupakan bentuk ucapan terima kasih yang dapat mereka berikan.

Semua pengalaman unik, menarik dan tak terlupakan yang didapatkan oleh masing-masing pihak muncul karena didukung oleh beragam faktor, mulai dari individu, keadaan lingkungan, situasi hingga tingkat komunikasi mereka (Graefe dan Vaske dalam Hall dan Page, 2014). Faktor lain yang juga tidak dapat dipungkiri membantu membentuk pengalaman ini adalah jenis kegiatan voluntourism yang menuntut interaksi yang tinggi diantara kedua belah pihak serta lama tinggal dari voluntourist yang mencapai berminggu-minggu.

  • 4.2 . Pengalaman yang Membuat Perubahan

bagi Voluntourist

Merawat anak-anak disabilitas mental dan fisik yang berkebutuhan khusus ini memang diperlukan kesabaran ekstra. Ketika emosi mereka tidak terkontrol, anak-anak tersebut bisa saja berteriak, mencengkram, memukul bahkan menggigit orang-orang disekitarnya. Namun, bagi voluntourist ini bukanlah sesuatu yang dapat menyurutkan langkah mereka untuk melanjutkan program volunteernya. Mereka justru belajar dari semua pengalaman tersebut, berikut adalah pernyataan Amanda yang menegaskan hal ini:

Vol. 4 No. 1, 2016

“ Here, I also learn to reduce my ego. If we response their anger with a smile, they gradually will forget it.”

(Wawancara pada 13 Juni 014)

Banyak hal baru yang diperoleh dari kegiatan voluntourism yang dilakukan oleh para voluntourist. Hal baru tersebut diperoleh berdasarkan pengalamannya sendiri dan tak jarang hal tersebut merupakan respon yang mereka berikan terhadap keadaan lingkungan yang berbeda. Salah satunya seperti yang dilakukan oleh Amanda yang tetap tersenyum kepada anak disabilitas yang sedang marah sebagai bentuk responnya terhadap situasi tersebut. Tak hanya sekedar mengurangi keegoisan dalam dirinya sendiri, panjangnya durasi lama tinggal yang dimiliki oleh para voluntourist ini juga membuat Amanda merasa lebih bijak dalam memandang segala kehidupan di dunia termasuk selalu berusaha untuk menolong sesama.

“ From this experience I gain a larger view of our world. I feel this experience is my way to contribute and give back to others.”

(Amanda, Voluntourist, 13 Juni 014)

Pola pikir dan kesadaran untuk membantu sesama seperti yang dirasakan Amanda merupakan bukti bahwa sebagai salah satu jenis pro-poor tourism, tujuan mulia dari voluntourism untuk memberikan kontribusi positif bagi orangorang yang membutuhkan ternyata telah merasuk pada diri setiap vountourist. Tak hanya Amanda, Fatim pun juga mendapatkan pelajaran berharga dari apa yang telah dilakukannya. Termasuk mensyukuri apa yang telah dimilikinya dan semua perhatian yang telah diberikan oleh pemerintah di negaranya. Ia juga sangat prihatin dengan kurangnya perhatian pemerintah Indonesia pada generasi-generasi penerus bangsa mereka seperti anak-anak disabilitas mental dan fisik yang ada di yayasan ini. Berikut adalah hasil wawancara dengan Fatim yang menyatakan hal tersebut:

“ I appreciate everything that the government in my country gave to me, including their attention to the kids. I hope the government in Indonesia will do the same thing to take care these mental disability children and also the NGOs like Yayasan Sari Hati.”

(Wawancara pada 18 Juni 014)

Pelajaran-pelajaran berharga yang didapat oleh voluntourist tersebut mampu memberi perubahan nilai dan kesadaran yang kemudian mempengaruhi gaya hidupnya masing-masing (Wearing, 2001). Fenomena transformasi

kepribadian inilah yang disebut sebagai pengalaman katartik. Temuan yang diperoleh berdasarkan penelitian di Ubud, Bali ini ternyata juga serupa dengan hasil penelitian Zahra dan McIntosh (2007) yang menemukan bahwa pengalaman voluntourism bukan lagi sekedar pengalaman berwisata pada umumnya, namun pengalaman yang mampu memberi perubahan hidup. Temuan Zahra dan McIntosh bahkan membuktikan bahwa perubahan positif yang dialami oleh voluntourist setelah melakukan kegiatan voluntourism tersebut mampu bertahan selama berpuluh-puluh tahun mengingat penelitian tersebut dilakukan kepada voluntourist berusia 23-40 tahun yang telah menyelesaikan program voluntourismnya pada usia 17-26 tahun.

Pelajaran berharga ini diperoleh dari proses learning by doing yang dimulai sejak mereka melakukan kegiatan voluntourism yang kemudian mendapatkan pengalaman tak terlupakan hingga akhirnya mereka simpulkan sendiri pelajaran yang dapat diambil. Kepekaan dan penafsiran seorang voluntourist dalam mengambil berbagai pelajaran dalam setiap kegiatan voluntourism yang telah dilakukan tentu akan berbeda satu sama lain. Sehingga meski dua orang voluntourist melakukan kegiatan volunteer yang sama, pelajaran yang didapatkan oleh masing-masing dari mereka akan berbeda tergantung dari pandangannya terhadap pengalaman tersebut. Learning by doing merupakan cara yang efektif untuk mendapatkan lebih banyak pengetahuan baru dari kegiatan yang telah dilakukan (United Nations, 2003).

  • 5.    PENUTUP

Tingginya interaksi yang terjadi antara voluntourist dan masyarakat lokal di Yayasan Sari Hati telah menimbulkan berbagai pengalaman unik bagi kedua belah pihak. Pengalaman voluntourism dapat disimpulkan sebagai bentuk pengalaman katartik yang ternyata memberikan pelajaran berharga bagi para voluntourist yang mampu merubah kepribadian dan gaya hidup mereka. Pengalaman unik tersebut didapat melalui proses learning by doing, yakni proses yang mengharuskan para voluntourist untuk menafsirkan sendiri pengalaman-pengalaman yang didapat setelah melakukan program voluntourismnya. Pengalaman-pengalaman unik tersebut kemudian dibingkai oleh hangatnya suasana kekeluargaan yang akan menjadi kenangan manis bagi semua pihak yang terlibat.

Penelitian ini masih memiliki beberapa kekurangan, salah satunya yaitu kurangnya voluntourist yang diwawancarai. Sehingga pada penelitian selanjutnya diharapkan dapat lebih memperbanyak informan yang diteliti. Selain itu, terdapat pula beberapa isu yang perlu dikaji lebih mendalam pada penelitian voluntourism selanjutnya diantaranya    seberapa    lama

Daftar Pustaka

Afandi, A. Khosin. (1993). Kualitatif, Dasar-Dasar

Penelitian. Surabaya: Usaha Nasional.

Hall, C. Michael & Stephen J. Page. (2014). The Geography of Tourism and Recreation: Environment, Place and Space. London: Routledge.

Lee, Seungwoo John. (2011). Volunteer Tourists’ Intended Participation: Using The Revised Theory of Planned Behaviour. Disertasi, Department of Hospitality and Tourism Management: Virginia Polytechnic Institute and State University.

McCoy, Brennan. (2012). Disability Survey Sector in Bali. Denpasar: Annika Linden Centre.

Mellet, Jane. (2010). Host Community Perception of the Role of Short-term International Volunteers in Development. Tesis, Kimmage Development Studies Centre.

Setyorini, Timang. (2004). Kebijakan Pariwisata Dalam Rangka Meningkatkan Pendapatan Ekonomi Masyarakat Kabupaten Semarang. Tesis, Pasca Sarjana: Universitas Diponegoro.

Sirasoonthorn, Patcharin & Nathalie Coren. (2010). A Comparative Analysis of Volunteer Tourism in Two Conservation Areas in Thailand and Vietnam. Proceeding of 4th Asian Rural Sociology Association (ARSA) International Conference, 201-211, Legazpi City: Universitas Naresuan Thailand.

Soekanto, Soerjono. 2006. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Raya Grafindo Persada.

Sugiyono. (2012). Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta.

Tourism Research and Marketing. (2008). Volunteer Tourism: a Global Analysis. Arnhem: ATLAS Publications.

United Nations. (2003). Poverty Alleviation Through Sustainable Tourism Development. United Nations Publication.

Wearing, Stephen. (2001). Volunteer Tourism: Experiences That Make Differences. New York: CABI Publishing.

. (2004). Examining Best Practice in Volunteer Tourism. International Assessment of Volunteering as Leisure/Leisure as Volunteering, 209-224. Wallingford: CABI Publishing.

______________ & Simone Grabowski. (2011). International Volunteer Tourism: One Mechanism for Development.   Revista   Migrações-Número

Temático Migrantes e Voluntariado, 9, 145-165.

Zahra, A. & A. J. McIntosh. (2007). Volunteer tourism: Evidence of Cathartic Tourist Experiences. Tourism Recreation Research, 32(1), 115-119.

pengalaman voluntourism tersebut dapat bertahan dan mempengaruhi gaya hidup individu yang bersangkutan, adakah implikasi yang ditimbulkan dari kegiatan voluntourism bagi masyarakat lokal setempat dan bagaimana peranan voluntourism dalam mewujudkan pariwisata berkelanjutan di Bali.

53