Current Trends in Aquatic Science V(1), 64-73 (2022)

Keanekaragaman dan Asosiasi Antarspesies Lamun di Perairan Pantai Samuh, Nusa Dua, Bali

Kadek Ayu Padma Sari a*, Nyoman Dati Pertami a, Made Ayu Pratiwi a

a Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Udayana, Bukit Jimbaran, Badung, Bali-Indonesia

* Penulis koresponden. Tel.: +62-877-616-010-89

Alamat e-mail: [email protected]

Diterima (received) 16 Agustus 2021; disetujui (accepted) 30 Agustus 2021; tersedia secara online (available online) 17 Februari 2022

Abstract

Seagrass are flowering plants which have rhizomes, leaves and true roots. Most types of seagrass in Indonesia are found in Bali. One of the distributions of seagrass in Bali is Samuh Beach. This study aimed to determine the diversity of seagrass and association patterns between seagrass in Samuh Beach. This research conducted on January-February 2021. There were three observation stations, namely station I (fishing boat landing sites), station II (tourist activities), and station III (hotel area locations). The method used in this research was descriptive method Observation of seagrass samples using a 50×50 cm quadratic transect. Data analysis was carried out by calculating density, cover percentage, diversity index, uniformity index, dominance index, and associations between seagrass species. There were eight types of seagrass in Samuh Beach (Enhalus acoroides, Cymodocea rotundata, Cymodocea serrulata, Halodule pinifolia, Halodule uninervis, Halophila ovalis, Syringodium isoetifolium, and Thalassodendron ciliatum). The diversity of seagrass in Samuh Beach from observations at stations I and II in balanced conditions with a value of 1.42 and 1.52. Station III was a low category (0.79). There were 14 association pairs species of seagrass in Samuh Beach. The 12 association pairs were not related and 2 association pairs were related at the 5% level, (3.48, 2 count> 2 table). The related association pairs have positive association types, namely Syringodium isoetifolium with Halophila ovalis and negative associations, and Syringodium isoetifolium with Halodule pinifolia.

Keywords: diversity; interspecies association; samuh beach; seagrass

Abstrak

Lamun (seagrass) merupakan tumbuhan berbunga (angiospermae) yang memiliki rhizoma, daun, dan akar sejati. Sebagian besar jenis lamun yang ada di Indonesia terdapat di perairan Bali. Sebaran lamun di perairan Bali salah satunya di perairan Pantai Samuh. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keanekaragaman dan pola asosiasi antarspesies lamun di Pantai Samuh. Penelitian dilakukan pada bulan Januari-Februari 2021. Terdapat 3 stasiun pengamatan yaitu stasiun I (lokasi pendaratan kapal nelayan), stasiun II (kegiatan wisatawan), dan stasiun III (kawasan hotel). Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode deskriptif. Pengamatan sampel lamun menggunakan metode transek kuadrat 50×50 cm. Analisis data dilakukan dengan menghitung kerapatan, persentase tutupan, indeks keanekaragaman, indeks keseragaman, indeks dominansi, dan asosiasi antarspesies lamun. Berdasarkan hasil pengamatan terdapat 8 jenis lamun di perairan Pantai Samuh yaitu Enhalus acoroides, Cymodocea rotundata, Cymodocea serrulata, Halodule pinifolia, Halodule uninervis, Halophila ovalis, Syringodium isoetifolium, dan Thalassodendron ciliatum. Keanekaragaman lamun di perairan Pantai Samuh pada stasiun I dan II dengan kondisi ekosistem perairan cukup stabil dengan nilai sebesar 1,42 dan 1,52; sedangkan pada stasiun III termasuk dalam kategori rendah dengan kondisi ekosistem perairan yang tidak stabil dengan nilai sebesar 0,79. Terdapat 14 tipe asosiasi antarspesies lamun di perairan Pantai Samuh. 12 tipe asosiasi bersifat tidak nyata dan 2 tipe asosiasi bersifat nyata pada taraf 5% yaitu 3,48 (2 hitung > 2 tabel). Tipe asosiasi yang bersifat nyata dibedakan menjadi asosiasi positif yaitu Syringodium isoetifolium dengan Halophila ovalis dan asosiasi negatif yaitu Syringodium isoetifolium dan Halodule pinifolia.

Kata Kunci: asosiasi antarspesies; keanekaragaman; lamun; pantai samuh

  • 1.    Pendahuluan

Lamun (seagrass) merupakan tumbuhan tingkat tinggi dan berbunga (angiospermae) yang memiliki ciri berpembuluh, berdaun, berimpang, berakar, berkembangbiak secara generatif (biji) dan vegetatif (tunas) yang hidup serta tumbuh di lingkungan laut. Ekosistem padang lamun memiliki potensi penting bagi masyarakat lokal, sehingga masyarakat memanfaatkannya sebagai tempat mencari ikan dan biota laut lainnya (Pradnyani et al, 2018). Peranan padang lamun tersebut dipengaruhi faktor fisik, kimia, dan biologis lingkungan perairan yang berdampak terhadap interaksi diantara jenis lamun yang menghasilkan suatu asosiasi antar-spesies (Baransano et al., 2019). Pola asosiasi antara dua spesies atau lebih dalam satu komunitas dapat terjadinya interaksi antar sesama spesies atau dengan vegetasi lain (Lokollo et al., 2012). Menurut Feryatun et al. (2012), kondisi perairan tropis seperti di Indonesia, padang lamun yang tumbuh lebih didominansi oleh beberapa spesies (mix spesies) lamun.

Menurut Yusup dan Asy’ari (2010), di beberapa perairan Bali seperti perairan Serangan, Mertasari, Semawang, dan Merta Segara terdapat 8 spesies lamun diantaranya Enhalus acoroides, Halophila decipiens, Thalassia hempricii, Cymodocea rotundata, Cymodocea serrulata, Halodule uninervis, Syringodium isoetifolium, dan Thalassodendron ciliatum. Di perairan Indonesia terdapat 15 jenis lamun (Sjafrie et al., 2018). Sebagian besar jenis lamun yang ada di Indonesia terdapat di perairan Bali. Salah satu lokasi sebaran lamun yang sangat luas di Bali dengan jenis lamun yang cukup banyak yaitu di Pantai Samuh. Di Perairan Pantai Samuh terdapat beberapa jenis lamun yang tumbuh, sehingga diprediksi terjadi interaksi antarspesies lamun. Pantai Samuh memiliki beragam aktivitas manusia seperti dibidang pariwisata (diving, snorkeling, dan surfing), lalu lintas perahu wisata yang padat, kegiatan keagamaan (melasti), tempat mandi wisatawan, serta kegiatan nelayan dalam menangkap ikan. Kegiatan antropogenik ini diprediksi dapat mengganggu kelangsungan hidup lamun, sehingga dapat memengaruhi kestabilan komunitas lamun serta pola asosiasi antarspesies lamun. Oleh karena itu, maka perlu dilakukan penelitian mengenai keanekaragaman dan asosiasi antarspesies lamun di Perairan Pantai Samuh, Nusa Dua.

  • 2.    Metode Penelitian

    • 2.1    Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari-Februari 2021 di Pantai Samuh, Kelurahan Tanjung Benoa, Kecamatan Nusa Dua, Kabupaten Badung, Provinsi Bali. Pengambilan sampel dilakukan di tiga stasiun di sekitar perairan Pantai Samuh. Lokasi    stasiun    pengamatan    ditentukan

berdasarkan kriteria sebagai berikut: Stasiun I merupakan tempat pendaratan kapal nelayan, stasiun II merupakan area aktivitas wisatawan, dan stasiun III merupakan kawasan pantai yang dikelola hotel.

  • 2.2    Metode Pengambilan Data Lamun

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Penentuan stasiun dilakukan dengan metode purposive sampling yaitu teknik pengambilan sampel dengan pertimbangan tertentu dengan menetapkan pertimbangan atau kriteria tertentu yang harus dipenuhi oleh sampel yang digunakan dalam penelitian (Sugiyono, 2016).

  • 2.3    Prosedur Pengambilan Data

Setiap stasiun terdapat 10 transek pengamatan yang diamati secara tegak lurus ke arah laut dengan jarak 300 m. Pengambilan sampel lamun ke arah laut ditentukan berdasarkan kali pertama ditemukannya lamun, area tengah pantai, serta area dekat tubir pantai. Pengamatan sampel lamun menggunakan metode transek kuadrat berukuran (50×50 cm) yang dibagi kedalam 9 plot transek dan setiap plot berukuran 16,67×16,67 cm. Pengambilan data jumlah tegakan lamun dilakukan di 5 petak seperti pada Gambar 1.

Gambar 1. Plot pengambilan sampel lamun

Pengamatan terhadap estimasi persentase luas tutupan lamun menggunakan metode Seagrass Percent Standards (McKenzie et al., 2003) seperti Gambar 2.


Kondisi padang lamun dikelompokkan menjadi beberapa kategori menurut KepMen LH No. 200


Gambar 2. Estimasi persentase tutupan lamun

Sumber: (McKenzie et al., 2003)


Tabel 2

Kondisi lamun berdasarkan persentase tutupan

No.      Persentase              Kondisi

Tutupan

1.

≥60

Kaya/sehat

2.

30-59,9

Kurang kaya/kurang sehat

3.

≤29,9

Miskin

Tahun 2004, seperti yang tersaji dalam Tabel 2.


  • 2.4.3 Indeks Keanekaragaman

Keanekaragaman suatu biota air dapat ditentukan dengan menggunakan teori Shannon-Wiener (H’) dengan rumus (Insafitri, 2010):


H' =


-


^ ni ^ ni


(2)


  • 2.4 Analisis Data


Keterangan:

H’: Indeks keanekaragaman ni: Jumlah individu spesies ke-i


  • 2.4.1    Kerapatan jenis

Kerapatan jenis yaitu jumlah individu didalam satu area pengukuran. Berikut merupakan rumus dari kerapatan jenis (Haris dan Gosari, 2012):

ni

(1)

Keterangan:

Di: Kerapatan jenis (i) (ind/m2) ni: Jumlah total individu

Tabel 1

Kondisi Lamun Berdasarkan Kerapatan Lamun

No.

Kerapatan Lamun (Ind/m2)

Kondisi

1.

<25

Sangat jarang

2.

25-75

Jarang

3.

75-125

Agak rapat

4.

125-175

Rapat

5.

>175

Sangat rapat

Sumber: (Haris dan Gosari, 2012) A: Jumlah luas area pengukuran

Tabel 3

Kriteria indeks keanekaragaman

Indeks                   Kondisi

Keanekaragaman

H’> 3         Keanekaragaman jenis tinggi

atau stabil

1<H’< 3       Keanekaragaman jenis sedang

H’<1         keanekaragaman jenis rendah

atau tidak stabil

Sumber: (Insafitri, 2010).

N: Jumlah total individu seluruh jenis

  • 2.4.4    Indeks Keseragaman

Keseragaman    dapat    dikatakan    sebagai

keseimbangan, yaitu komposisi individu tiap jenis yang terdapat dalam suatu komunitas. Keseragaman jenis dapat dihitung dengan menggunakan rumus berikut (Insafitri, 2010):

H

InS

(2)


  • 2.4.2    Persentase Tutupan Lamun

Persentase tutupan lamun merupakan proporsi luas substrat yang ditutupi vegetasi lamun dalam satuan luas yang diamati tegak lurus dari atas. Data estimasi persentase tutupan setiap plot dirata-rata perstasiun pengamatan (Wijana et al., 2019).

e       : Nilai keseimbangan antar jenis

H’     : Indeks keanekaragaman Shannon Wiener

S       : Jumlah spesies

Tabel 4

Kriteria indeks keseragaman

Indeks Keseragaman

Kondisi

e < 0,4

Keseragaman rendah, kondisi lingkungan tidak stabil karena mengalami tekanan

0,4 < e < 0,6

Keseragaman  sedang,  kondisi

lingkungan tidak terlalu stabil

e > 0,6

Keseragaman   tinggi,   kondisi

lingkungan dikatakan stabil

Sumber: (Insafitri, 2010).

2.4.5 Indeks Dominansi

Nilai indeks dominansi dapat dihitung menggunakan persamaan sebagai berikut (Rappe, 2010):

n

c=∑Vi2                                  (4)

i=ι

Keterangan:

C: Indeks dominansi

P: ni/N

ni: Jumlah individu jenis ke-i

N: Jumlah total individu dari seluruh jenis.

Tabel 5

Kriteria indeks dominansi

Indeks Dominansi

Kondisi

0 < C ≤ 0,4

Dominansi rendah, tidak terdapat spesies yang secara ekstrim mendominasi spesies lainnha, kondisi lingkungan stabil, tidak terjadi tekanan ekologis terhadap biota di lingkungan tersebut.

0,4 < C ≤ 0,6

Dominansi     sedang,     kondisi

lingkungan cukup stabil

0,6 < C ≤ 1,0

Dominansi tinggi, terdapat spesies yang mendominasi spesies lainnya, kondisi lingkungan tidak stabil, terdapat suatu tekanan ekologis

Sumber: (Rappe, 2010)


Jenis B

Ada

a

b

a + b

Tidak

Ada

b

d

c + d

Jumlah

a + c

b + d

N (a + b + c + d)

Keterangan:

a : Jumlah unit sampling yang mengandung jenis A dan jenis B

b : Jumlah unit sampling yang mengandung jenis A saja, B tidak hadir

c   : Jumlah unit sampling yang mengandung jenis B

saja, A tidak hadir

d : Jumlah unit sampling yang tidak mengandung jenis A maupun jenis B

N : Jumlah unit sampling atau plot pengamatan

Berdasarkan tabel kontingensi tersebut maka asosiasi jenis dapat diketahui dengan Chi-square test (2) menggunakan rumus berikut (Fachrul, 2007):

N(ad-bc)2 (a+b)(c+d)(a+c)(b+d)

(5)


Nilai 2 hitung kemudian dibandingkan dengan nilai 2 tabel pada taraf kepercayaan 5% pada derajat bebas 1. Apabila nilai 2 hitung> nilai 2 tabel, maka asosiasi bersifat nyata dan apabila sebaliknya maka asosiasi bersifat tidak nyata. Selanjutnya untuk mengetahui tingkat kekuatan asosiasi (E(a)) digunakan rumus berikut (Khouw, 2009):

E(a) =


(a + b)(a + c)

N


(6)


Notasi untuk rumus diatas mengandung arti yang sama untuk rumus 2. Berdasarkan rumus tersebut, maka terdapat 2 tipe asosiasi yaitu (Bass et al., 2013):

2.4.7 Analisis Kualitas Air

  • 2.4.6 Asosiasi Antar-spesies Lamun

Asosiasi antarspesies diukur tabel kontingensi 2×2 (Khouw, 2009) sebagai berikut:

Tabel 6

Tabel Kontingensi 2×2

Jenis A

Ada

Tidak Ada

Jumlah


  • 1.    Kecepatan Arus

Perhitungan kecepatan arus menggunakan rumus (Bestari, 2019):

t


(7)

Keterangan:

V: Kecepatan arus

  • s:    Panjang lintasan parasut arus (m)

  • t:    Waktu tempuh (detik)

  • 2.    Kecerahan

Persamaan untuk mengukur kecerahan sebagai berikut (Effendi, 2003):

D=        ×100%                       (8)

Keterangan:

D: Kecerahan (%)

K1: Secchi disk masih terlihat jelas (cm)

K2: Secchi disk terlihat remang-remang (cm).

Hasil pengukuran parameter kualitas perairan yang    diperoleh    dilapangan    kemudian

dibandingkan dengan Baku Mutu Air Laut oleh Kementerian Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004, untuk mengetahui kualitas perairan pada lokasi penelitian.

  • 3.    Hasil dan Pembahasan

    • 3.1    Jenis-jenis Lamun

Jenis lamun yang ditemukan di perairan Pantai Samuh dalam penelitian ini sebanyak delapan jenis di tiga stasiun yang telah ditentukan diantaranya Enhalus acoroides, Syringodium isoetifolium, Cymodocea serrulata, Halodule uninervis, Halophila ovalis, Cymodocea rotundata, Thalassodendron ciliatum, dan Halodule pinifolia. Jenis lamun yang paling banyak ditemukan di stasiun I dan II adalah H. pinifolia. Hal tersebut dikarenakan substrat yang ditumbuhi jenis lamun H. pinifolia di stasiun I umumnya substrat berlumpur dan stasiun II memiliki substrat berpasir. Lisdawati et al. (2018), memaparkan bahwa H. pinifolia tergolong jenis lamun yang pertumbuhannya cepat dan umumnya dijumpai di daerah intertidal, dan tumbuh di substrat berpasir atau berlumpur.

Stasiun III umumnya memiliki kondisi substrat batu karang dan pecahan karang. Di lokasi ini ditemukan 3 jenis lamun d iantaranya C. rotundata, H. pinifolia, dan H. ovalis, yang paling banyak ditemukan adalah C. rotundata. Menurut Mandasari (2014), C. rotundata merupakan jenis lamun yang memiliki adaptasi untuk hidup di berbagai substrat dengan baik. Jenis lamun H. pinifolia dan H. ovalis merupakan spesies pionir yang tumbuh dalam lingkungan yang tidak mendukung bagi spesies

lainnya, sehingga spesies ini dapat tumbuh dan berkembang dengan baik.

  • 3.2    Kerapatan Lamun

Nilai tertinggi kerapatan jenis lamun di Pantai Samuh ditemukan di stasiun I dengan rata-rata 345 tegakan/m2, sedangkan nilai terendah di stasiun II (4 tegakan/m2). Hasil kerapatan jenis lamun di Pantai Samuh dapat dilihat pada Tabel 7. Kerapatan jenis lamun yang paling tinggi di Perairan Pantai Samuh yaitu jenis H. pinifolia di stasiun I. Tingginya nilai kerapatan jenis lamun H. pinifolia karena perairan di stasiun I memiliki substrat pasir berlumpur hingga batu karang. Hal ini diperkuat dengan pernyataan oleh Hidayatullah et al. (2018), yang menyatakan bahwa jenis lamun H. pinifolia tumbuh di substrat berlumpur untuk menstabilkan substrat perairan. Nilai kerapatan jenis terendah ditemukan pada jenis E. acoroides dan H. ovalis di stasiun I dan II. Menurut Kiswara (2010), kerapatan tunas lamun per luasan area tergantung pada jenisnya, dimana jenis lamun yang memiliki morfologi besar seperti E. acoroides mempunyai kerapatan yang lebihrendah jika dibandingkan dengan jenis lamun yang memiliki mofologi lebih kecil seperti H. pinifolia.

Kerapatan lamun di perairan Pantai Samuh tergolong sangat rapat dengan kerapatan lamun di setiap stasiun mencapai >175 tegakan/m2. Hal tersebut menunjukkan bahwa lingkungan perairan di Pantai Samuh dalam kondisi baik. Parameter lingkungan perairan Pantai Samuh seperti suhu yang optimal dan kecepatan arus perairan yang tenang mendukung pertumbuhan lamun dan masih sesuai dengan standar baku mutu air laut untuk suhu lamun yaitu 28-30oC (KepMen LH

Tabel 7

Kerapan jenis lamun di Pantai Samuh

Jenis Lamun

Kerapatan Jenis (tegakan/m2)

St I

St II

StIII

Enhalus acoroides

15

24

-

Syringodium isoetifolium

160

76

-

Halophila ovalis

19

4

16

Cymodocea rotundata

236

186

301

Cymodocea serrulata

39

-

-

Halodule pinifolia

345

230

300

Halodule uninervis

17

39

-

Thalassodendron ciliatum

-

47

-

Jumlah

831

606

617

Keterangan: St adalah Stasiun

Tabel 8

Persentase Tutupan Lamun di Pantai Samuh

Stasiun

Persentase Tutupan Lamun (%)

T.1      T.2     T.3      T.4     T.5      T.6     T.7     T.8      T.9         Total

Stasiun I

40      80      95      80      95      80      55      40      95            73,33

Stasiun II

80      40      80      80      95      80      40      80      80            72,78

Stasiun III

80      80      80      80      80      65      95      80      30            74,44


No.51 Tahun 2004). Pernyataan ini diperkuat oleh Rosalina et al. (2018), yang menyatakan bahwa semakin tinggi kerapatan jenis lamun, maka kondisi lingkungan perairan tempat lamun tumbuh dalam keadaan baik. Selanjutnya, Posad (2017), menyatakan bahwa tingginya nilai kerapatan lamun menandakan bahwa kondisi perairan lingkungan dan habitat lamun tumbuh dalam keadaan baik, serta faktor yang memengaruhi seperti substrat, arus yang tenang, suhu dan salinitas masih layak untuk pertumbuhan lamun.

  • 3.3    Persentase Lamun

Persentase tutupan lamun berdasarkan hasil pengamatan di perairan Pantai Samuh memiliki nilai yang berbeda-beda di setiap stasiun pengamatan. Nilai persentase tutupan lamun tertinggi terdapat di stasiun III yaitu 74,44% dan nilai terendah di stasiun II yaitu 72,78%. Persentase tutupan lamun di Perairan Pantai Samuh mencapai >60% termasuk dalam kondisi sehat (KepMen LH No. 200 Th. 2004). Persentase tutupan lamun di stasiun II lebih rendah daripada stasiun I dan stasiun III. Hal tersebut dapat disebabkan karena aktivitas manusia lebih tinggi dibandingkan stasiun lainnya. Menurut Adli. (2016), bahwa daerah yang telah terganggu dengan adanya aktivitas manusia memiliki persentase tutupan paling kecil dibandingkan dengan daerah yang masil alami.

Persentase tutupan lamun di tiap stasiun memiliki nilai yang berbeda-beda. Adanya perbedaan nilai persentase tutupan lamun pada transek pengamatan mengindikasikan bahwa substrat habitat lamun tumbuh di masing-masing stasiun berbeda. Stasiun I memiliki nilai tutupan transek terendah di beberapa areanya dikarenakan lokasi tersebut memiliki substrat pecahan karang yang tidak merata. Komposisi jenis, luas tutupan, dan sebaran lamun dapat dipengaruhi oleh keadaan substrat yang tidak merata, sehingga lamun tumbuh hanya di titik tertentu saja. Lebih lanjut dijelaskan bahwa, besaran nilai tutupan

lamun yang bervariasi di stasiun II juga dikarenakan jenis lamun menutupi substrat tempat tumbuh lamun. Nilai persentase tutupan lamun tidak hanya dilihat dari nilai kerapatan lamun saja, melainkan dapat dilihat juga dari lebar helaian daun lamun. Lebar daun lamun dapat memengaruhi luas penutupan substrat, semakin besar helaian daun, maka semakin besar kemampuan jenis lamun untuk menutupi substrat (Fahruddin et al., 2017).

Perbedaan nilai tutupan lamun yang berbeda di masing-masing transek stasiun III dipengaruhi oleh keberadaan jenis alga yang menutupi substrat sebesar 30% di habitat tempat lamun tumbuh. Menurut Roem et al. (2017), komunitas lamun umumnya merupakan habitat bagi pertumbuhan alga dengan substrat yang mendukung pertumbuhan makroalga seperti substrat berpasir, pecahan karang, dan karang berbatu. Hal ini sesuai dengan kondisi stasiun III yang memiliki substrat pecahan karang, dan karang berbatu. Rendahnya nilai persentase tutupan lamun di stasiun III (transek pengamatan 9) disebabkan karena jenis lamun yang ditemukan dekat dengan tubir. Semakin ke arah laut, keberadaan jenis lamun mulai berkurang, sehingga nilai tutupan lamun juga menjadi rendah. Selain itu, dipengaruhi oleh adanya nutrien karena semakin ke arah laut, kandungan nutrien di substrat semakin kecil (Fahruddin et al., 2017).

  • 3.4    Keanekaragaman, Keseragaman, dan Dominansi

Nilai indeks keanekaragaman, keseragaman, dan dominansi di perairan Pantai Samuh berbeda-beda. Secara berurutan nilai indeks keanekaragaman pada stasiun I, II, dan III yaitu 1,42; 1,53; dan 0,79. Nilai keseragaman tertinggi terdapat pada stasiun II yaitu 0,79 dan nilai terendah terdapat pada stasiun III yaitu 0,41. Secara berurutan nilai dominansi pada stasiun I, II, dan III yaitu 0,29; 0,27; dan 0,48. Indeks keanekaragaman menggambarkan beragamnya jenis lamun yang ada di suatu komunitas (Yusuf et al., 2013). Indeks

Tabel 9

Indeks Keanekaragaman, keseragaman, dan dominansi

No.

Stasiun

Indeks                                                                 Kategori

1

2

3

Keanekaragaman (H’)        1,42         1,53          0,79              Rendah Sedang

Keseragaman (e)             0,73         0,79           0,41               Sedang Tinggi

Dominansi (C)              0,29         0,27         0,48               Rendah Sedang


keanekaragaman di Perairan Pantai Samuh di masing-masing stasiun memiliki nilai yang berbeda-beda yaitu rendah dan sedang (Tabel 9).

Indeks keseragaman di perairan Pantai Samuh termasuk kategori sedang dan tinggi. Keseragaman tinggi berarti bahwa kestabilan jumlah individu tiap jenisnya dan kondisi lingkungan perairan dalam keadaan stabil. Menurut Nainggolan (2011), nilai keseragaman yang tinggi menunjukkan bahwa jumlah spesies yang ditemukan tersebar merata atau tidak ada spesies yang mendominasi, serta berada dalam kondisi lingkungan yang stabil dan tidak terjadi tekanan ekologis. Indeks keseragaman menunjukkan kriteria sedang yang menandakan bahwa jumlah spesies yang tersebar kurang merata di lokasi tersebut. Keberadaan lamun yang hampir dijumpai di tiap stasiun pengamatan adalah jenis H. pinifolia dan C. rotundata. Menurut Hidayat et al. (2012), jenis lamun tersebut menyukai perairan yang terpapar sinar matahari dan tumbuh di perairan yang dangkal. Berdasarkan hasil pengamatan, kondisi lingkungan perairan Pantai Samuh memiliki kecerahan perairan yang tinggi dengan kedalaman perairan yang dangkal, sehingga cahaya dapat menembus kolom perairan. Menurut Stella (2011), lamun dapat tumbuh dengan baik di perairan yang relatif dangkal dan cerah dengan penetrasi cahaya yang tinggi.

Nilai indeks dominansi di tiga stasiun berbeda-beda dengan kategori berdasarkan hasil penelitian adalah sedang dan rendah. Menurut Wijana et al. (2019), rendahnya nilai dominansi menunjukkan bahwa tidak terdapat spesies yang mendominansi keberadaan spesies lainnya, kondisi lingkungan yang stabil. Sementara itu, kategori sedang menunjukkan bahwa kondisi suatu perairan cukup stabil, namun sudah mulai terjadi adanya perubahan kondisi lingkungan dan terdapat spesies yang mendominasi di perairan tersebut. Berdasarkan hasil pengamatan, kondisi lingkungan di stasiun III, memiliki nilai salinitas terendah dibandingkan dengan stasiun lainnya, namun lamun dapat mentolerir kisaran salinitas yang luas

(Hartati et al., 2017). Selain itu, variasi jumlah spesies yang ditemukan sedikit, sehingga spesies tersebut mendominasi perairan di stasiun tersebut. Menurut Latuconsina et al. (2012), apabila terdapat beberapa jenis dalam komunitas yang memiliki dominansi yang besar, maka keanekaragaman jenis dan keseragamannya rendah.

  • 3.4    Asosiasi Antarspesies Lamun

Asosiasi antar spesies lamun bertujuan untuk mengetahui pola interaksi dua spesies lamun dalam

Tabel 10

Asosiasi Antarspesies Lamun di Pantai Samuh

No.

Pasangan Asosiasi

2 Hitung

2

Tabel

1.

C. rotundata + H. ovalis

0,36tn

3,48

2.

C. rotundata + S. isoetifolium

0,82tn

3,48

3.

C. rotundata + H. pinifolia

0,22 tn

3,48

4.

C. rotundata + H. uninervis

2,22 tn

3,48

5.

C. serrulata + H. ovalis

2,47 tn

3,48

6.

C. serrulata + S. isoetifolium

1,77 tn

3,48

7.

E. acoroides + H. pinifolia

0,34 tn

3,48

8.

E. acoroides + S. isoetifolium

0,92 tn

3,48

9.

E. acoroides + H. uninervis

0,01 tn

3,48

10.

S. isoetifolium + H. ovalis

5,74*

3,48

11.

S. isoetifolium + H. uninervis

3,84*

3,48

12.

S. isoetifolium + H. pinifolia

0,14 tn

3,48

13.

H. pinifolia + H. ovalis

0,14 tn

3,48

14.

H. uninervis + H. ovalis

0,02 tn

3,48

suatu habitat yang sama untuk mengetahui daya penolakan ata u daya tarik atau bahkan tidak berinteraksi/berpengaruh sama sekali (Lokollo et al., 2012). Hasil analisis asosiasi antarspesies lamun di perairan Pantai Samuh menunjukkan bahwa dari 14 asosiasi jenis terdapat 2 asosiasi bersifat nyata.

Tabel 11

Tipe Asosiasi antarspesies lamun di Pantai Samuh

Pasangan Asosiasi

a

E(a)

Tipe Asosiasi

S. isoetifolium + H. ovalis

3

1,11

Positif

S. isoetifolium + H. + pinifolia

2

4,44

Negatif

Tabel 12

Parameter Lingkungan Perairan

Parameter

Rata-rata

Stasiun I

Stasiun II

Stasiun III

Suhu (oC)

28,35

28,46

28,42

Salinitas (ppt)

31

31,26

30,81

Kecepatan Arus (m/s)

0,1

0,09

0,1

Kecerahan (%)

100

100

100

Kedalaman (m)

1,33

1,23

1,31


Hasil asosiasi di Pant ai Samuh berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Baransano et al. (2019), di perairan Manggari Pulau Numfor, ditemukan 28 asosiasi jenis dengan 13 asosiasi bersifat tidak nyata dan 15 asosiasi bersifat nyata. Perbedaan jumlah asosiasi yang didapat karena adanya perbedaan kondisi lingkungan perairan. Perairan Manggari Pulau Numfor, memiliki tipe substrat yang sama yaitu bersubstrat lumpur, pasir kasar, dan pasir berlumpur, sehingga keberadaan jenis lamun ditemukan kembali di substrat yang sama. Selain itu, kehadiran tipe asosiasi cenderung hadir bersama dalam plot pengamatan.

Asosiasi jenis yang bersifat tidak nyata (nonsignificant) berarti bahwa asosiasi tersebut tidak memiliki pengaruh yang cukup berarti dan atau tidak selalu hadir bersama dalam plot pengamatan. Menurut pernyataan Ramili et al. (2018), jenis-jenis lamun dapat ditemukan hidup bersama-sama namun, menunjukkan asosiasi yang berbeda-beda. Dalam suatu komunitas, faktor lingkungan perairan baik itu fisik maupun biologis dapat memengaruhi distribusi, kelimpahan, dan interaksi antarspesies di vegetasi lamun (Paillin, 2009).

Asosiasi jenis yang bersifat nyata menunjukkan bahwa terdapat tipe asosiasi lamun yang bersifat positif yaitu S. isoetifolium dengan H. ovalis. Tipe asosiasi positif berarti bahwa kedua spesies lebih sering muncul bersama daripada kekuatan asosiasi. Menurut Baransano et al. (2019), interaksi antar jenis lamun akan menghasilkan suatu asosiasi yang bersifat positif. Tipe asosiasi ini memilih untuk bersama di habitat yang sama atau bersifat negatif yaitu tipe asosiasi memilih untuk tidak hidup berdampingan.

  • 3.6    Parameter Lingkungan Perairan

Kondisi lingkungan perairan di Pantai Samuh berdasarkan penelitian yang dilakukan dapat diuraikan sebagai berikut. Suhu di tiga stasiun Pantai Samuh berkisar antara 28,35oC-28,46oC.

Salinitas tertinggi didapat di stasiun I dengan rata-rata 31,26 ppt sedangkan salinitas terendah didapat di stasiun III yaitu 30,81 ppt. Nilai kecepatan arus di tiga stasiun pengamatan berkisar antara 0,09m/s-0,1 m/s. Kecerahan perairan pada stasiun I, II, dan III memiliki nilai kecerahan 100%. Tipe substrat yang terdapat di Pantai Samuh berdasarkan hasil pengamatan visual yaitu substrat berpasir, pasir berlumpur, pecahan karang, dan batu karang.

  • 4.    Simpulan

Jenis lamun yang ditemukan di Perairan Pantai Samuh sebanyak delapan jenis meliputi Enhalus acoroides, Syringodium isoetifolium,   Cymodocea

serrulata, Halodule uninervis, Halophila ovalis, Cymodocea rotundata, Thalassodendron ciliatum, dan Halodule pinifolia. Pantai Samuh memiliki kondisi lamun yang sangat rapat dan sehat. Indeks keanekaragaman dan dominansi termasuk dalam kriteria rendah hingga sedang, sedangkan indeks keseragaman tergolong sedang hingga tinggi. Terdapat 14 tipe asosiasi antarspesies lamun di Perairan Pantai Samuh, 1 tipe asosiasi yang berpengaruh yaitu Syringodium isoetifolium dengan Halophila ovalis. Interaksi antarspesies positif berarti bahwa kedua spesies lebih sering hadir bersama daripada kekuatan asosiasi.

Ucapan Terimakasih

Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penelitian ini, mulai dari penyusunan proposal, pelaksanaan penelitian sampai penulisan laporan sehingga penulis dapat menyelesaikan dengan baik dan tepat waktu.

Daftar Pustaka

Adli, A. (2016). Profil Ekosistem Lamun sebagai Salah Satu Indikator Kesehatan Pesisir Perairan Sabang

Tende Kabupaten Tolitoli. Jurnal Sains dan Teknologi Tadulako, 5(1), 49-62.

Baransano, M. D., Indrayani, E., & Dimara, L. (2019). Keanekaragaman dan Asosiasi Intra-spesies Tumbuhan Lamun di Perairan Manggari Pulau Numfor. Jurnal Ilmu Kelautan dan Perikanan Papua, 2 (2), 42-49.

Bass, J. I. F., Diallo, A., Nelson, J., Soto, J. M., Myers, C.L., & Walhout, A. J. (2013). Using networks to measure between genes: association index selection. Nature Methods, 10(12), 1169-1176.

Bestari, T. P. (2019). Hubungan Kerapatan Lamun (Seagrass) dengan Kelimpahan Makrozoobentos di Perairan Pantai Hijau Daun Kecamatan Sangkapura Kabupaten Gresik. Skripsi. Surabaya, Indonesia: Universitas Islam Negeri Sunan Ampel.

Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan Perairan. Yogyakarta, Indonesia: Kanisius.

Fachrul, M.F. 2007. Metode Sampling Bioekologi. Jakarta, Indonesia: Bumi Aksara.

Fahruddin, M., Fredinan, Y., & Isdradjad, S. (2017).

Kerapatan dan Penutupan Ekosistem Lamun di Pesisir Desa Bahoi, Sulawesi Utara. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, 9(1), 375-383.

Feryatun, F. (2012). Kerapatan dan Distribusi Lamun (seagrass) Berdasarkan Zona Kegiatan yang Berbeda di Perairan Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu. Maquares, 1(1), 44-50.

Haris, A., & Gosari, J. A. (2012). Studi Kerapatan dan Penutupan Jenis Lamun di Kepulauan Spermonde. Torani. Jurnal Ilmu Kelautan dan Perikanan, 22(3), 256-162.

Hartati, R., Widianingsih, Santoso, A., Endrawati, H., Zainuri, M., Riniatsih, I., Saputra, & Mahendrajaya, R. T. (2017). Variasi Komposisi dan Kerapatan Jenis Lamun di Perairan Ujung Piring, Kabupaten Jepara. Jurnal Kelautan Tropis, 20(2), 96–105.

Hidayat, W., Warpala, I. S., & Dewi, N. S. R. (2019). Komposisi Jenis Lamun (seagrass) dan Karakteristik Biofisik Perairan di Kawasan Pelabuhan Desa Celukanbawang Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng, Bali. Jurnal Pendidikan Biologi Undiksha, 5(3), 133-145.

Hidayatullah, A., Sudarmadji, S., Ulum, F. B., Sulistiyowati, H., & Setiawan, R. (2018). Distribusi Lamun di Zona Intertidal Tanjung Bilik Taman Nasional Baluran menggunakan Metode GIS (Geographic Information System). Berkala Sainstek, 6(1), 22-27.

Insafitri. 2010. Keanekaragaman, Keseragaman, dan Dominansi Bivalvia di Area Buangan Lumpur

Lapindo Muara Sungai Porong. Jurnal Ilmu Kelautan, 3(1), 54-59.

MNLH. (2004). Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004 Tentang Baku Mutu Air

Laut. Kementerian Lingkungan Hidup. Jakarta, Indonesia: Menteri Negara Lingkungan Hidup.

Khouw, A.S. (2009). Metode dan Analisa Kuantitatif dalam Bioekologi Laut. Jakarta, Indonesia: Departemen Kelautan dan Perikanan RI.

Kiswara, W. (2010). Studi Pendahuluan: Potensi Padang Lamun sebagai Karbon Rosot dan Penyerap Karbon di Pulau Pari, Teluk Jakarta. Jakarta, Indonesia: Pusat Penelitian Oseanografi.

Latuconsina, H., Nessa, M. N., & Rappe, R. A. (2012). Komposisi Spesies dan Struktur Komunitas Ikan Padang Lamun di Perairan Tanjung Tiram-Teluk Ambon Dalam. Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, 4(1), 35-46.

Lisdawati., Ahmad, S. W., & Siwi, L. O. (2018). Studi Biomassa Lamun (Enhalus Acoroides L.) dan (Halodule Pinifolia) berdasarkan Kedalaman Air Laut di Pantai Desa Tanjung Tiram Sulawesi Tenggara. Journal Biowallacea, 5(2, 861-870.

Lokollo, F. F., Wenno, P. A., & Kaihatu, E. F. (2012). Asosiasi Antar Spesies; Suatu Pendekatan Untuk Mengetahui Pola Penyebaran Lamun. Jurnal Balik Diwa, 3(2), 18-28.

Mandasari, M. A. R. (2014). Hubungan Kondisi Padang Lamun dengan Sampah Laut di Pulau Barranglompo. Skripsi.    Makassar,    Indonesia:    Universitas

Hasanuddin.

McKenzie, L.J. (2003). Guidlines for the rapid assessmen and mapping of tropical seagrass habitats. Queensland, Australy: The Department of Primary Industries.

Posad, J. (2017). Distribusi Spasial Lamun berdasarkan Kerapatan di Perairan Desa Sawapudo Kabupaten Konawe. Jurnal Sapa Laut, 2(3), 89-95.

Ramili, Y., Bengen, D. G., Madduppa, H., & Kawaroe, M. (2018). Struktur dan Asosiasi Jenis Lamun di Perairan Pulau-Pulau Hiri, Ternate, Maitara dan Tidore, Maluku Utara. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, 10(3), 651-665.

Rappe, R. A. (2010). Struktur Komunitas Ikan pada Padang Lamun yang Berbeda di Pulau Barrang Lompo. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, 2(2), 62- 73.

Roem, M., Wiharyanto, D., & Darnawati, D. (2017).

Asosiasi Makroalga dengan Lamun di Perairan Pulau Panjang. Jurnal Borneo Saintek, 1(1), 49-62.

Rosalina, D., Herawati, E. Y., Risjani, Y., & Musa, M. (2018). Keanekaragaman Spesies Lamun di Kabupaten Bangka Selatan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Enviro Scienteae, 14(1), 21-28.

Sjafrie, N. D., Hernawan, U. E., Prayudha, B., Supriyadi, I. H., Iswari, M. Y., Rahmat, Anggraini, K., Rahmawati, S., & Suyarso. (2018). Status Padang Lamun di Indonesia 2018 Ver.02. Jakarta, Indonesia: Puslit Oseanografi – LIPI.

Stella, V. (2011). Kerapatan dan Penutupan Jenis Lamun di Gugusan Pulau Pari Kepulauan Seribu Jakarta. PKM. Bogor, Indonesia: Institut Pertanian Bogor.

Sugiyono. 2016. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan Pengembangan. Bandung, Indonesia: PT Alfabet.

Wijana, I. M. S., Ernawati, N. M., & Pratiwi, M. A. (2019). Keanekaragaman Lamun dan Makrozoobentos sebagai Indikator Kondisi Perairan Pantai Sindhu, Sanur, Bali. Ecotrophic: Jurnal Ilmu Lingkungan, 13(2), 238-247.

Yusuf, M., Koniyo, Y.,  & Panigoro, C. (2013).

Keanekaragaman Lamun di Perairan Sekitar Pulau Dudepo Kecamatan Anggrek Kabupaten Gorontalo Utara. Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan, 1(1), 18-25.

Yusup, D. S., & Asy’ari, H. (2010). Komunitas Tumbuhan Lamun di Kawasan Perairan Sekitar Denpasar. Dalam Prosiding Seminar Nasional Biologi 2010. Purwokerto, Indonesia, 26 November 2010 (pp.26-29).

Curr.Trends Aq. Sci. V(1): 64-73 (2022)