Current Trends in Aquatic Science IV(1), 89-95 (2021)

Bahan Organik Terlarut dan Parameter yang Mempengaruhinya di Bagian Hilir Tukad Mati, Badung, Bali

Muhammad Sholihina*, Ima Yudha Perwiraa, Ni Made Ernawatia aProgram Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Udayana, Bukit Jimbaran, Bali-Indonesia *Penulis koresponden. Tel.: +6281334081386

Alamat e-mail: mr.sholihinmsp@gmail.com

Diterima (received) 10 Juli 2020; disetujui (accepted) 23 November 2020; tersedia secara online (available online) 15 Februari 2021

Abstract

This research aimed to determine the amount of dissolved organic matter (BOT) and its influencing factors in the downstream part of the Tukad Mati, Badung, Bali. The research was conducted in the downstream of Tukad Mati from July to September 2019. The parameters measured were BOT, TSS, Turbidity, TDS, NO3, DO, pH, and Temperature. The results showed the level of increase in BOT in the morning with an average of 22.1 mg/l and afternoon 24.3 mg/l had a difference of 2.2 mg/l, with a percentage increase of 9.95% . TDS measurement results in the morning and evening have an average value of 419 mg/l and 423 mg/l with a difference of 4 mg/l with a percentage increase of 0.95%. The results of nitrate measurements in the morning and evening have an average value of 3.5 mg /l and 3.8 mg/l with a difference of 0.3 mg/l with a increase percentage of 8.6%. The results of TSS measurements in the morning and evening had an average value of 8.9 mg/l and 11.8 mg/l with a difference of 11.8 mg/l with a increase percentage of 32.5%. The increase of organic matter in the downstream part of Tukad Mati is thought to be related by anthropogenic activities that had the potential to produce the waste into the waters.

Keywords: Ecosystem, Organic Matter, Lower Course, Tukad Mati

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kandungan bahan organik terlarut (BOT) dan faktor yang mempengaruhinya pada bagian hilir Tukad Mati, Badung, Bali. Penelitian dilakukan di bagian hilir Tukad Mati dari bulan juli hingga September 2019. Parameter yang diukur yaitu BOT, TSS, Turbidity, TDS, NO3, DO, pH, dan Suhu. Hasil penelitian menunjukan tingkat kenaikan BOT pada pagi hari dengan rata-rata 22,1 mg/l dan sore hari 24,3 mg/l memiliki selisih 2,2 mg/l, dengan persentase peningkatan sebesar 9,95%. Hasil pengukuran TDS pada pagi dan sore hari memiliki rata-rata nilai 419 mg/l dan 423 mg/l dengan selisih 4 mg/l dengan persentase peningkatan 0,95%. Hasil pengukuran nitrat pada pagi dan sore hari memiliki rata-rata nilai 3,5 mg/l dan 3,8 mg/l dengan selisih 0,3 mg/l dengan persentase peningkatan sebesar 8,6%. Hasil pengukuran TSS pada pagi dan sore hari memiliki rata-rata nilai 8,9 mg/l dan 11,8 mg/l dengan selisih 2,9 mg/l dengan persentase peningkatan sebesar 32,5%. Peningkatan bahan organik yang terdapat pada bagian hilir Tukad Mati diduga terkait dengan adanya aktivitas antropogenik yang berpotensi menghasilkan limbah dan masuk ke dalam perairan.

Kata Kunci: Bahan Organik, Ekosistem, Fluktuasi, Hilir, Tukad Mati

  • 1.    Pendahuluan

Kabupaten Badung merupakan daerah tujuan wisata utama di Provinsi Bali sehingga sangat berpengaruh terhadap peningkatan jumlah penduduk. Hal tersebut menyebabkan adanya peningkatan aktivitas manusia secara signifikan, baik dari sektor domestik, industri, maupun

pariwisata. Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk dan kegiatan pembangunan yang kurang memperhatikan keseimbangan dan daya dukung lingkungan, kualitas lingkungan sungai di Indonesia semakin menurun akibat pencemaran dan kerusakan lingkungan (Dirgayusa, 2017). Beberapa penelitian lain menunjukkan bahwa kualitas perairan sungai pada umumnya di Bali

sudah banyak mengalami penurunan baik secara fisik, kimia, mikrobiologi maupun aspek estetikanya (Sundra, 2018; Singer dan Battin, 2017).

Tukad Mati merupakan satu dari beberapa sungai besar yang ada di Pulau Bali, dimana cakupan wilayahnya meliputi Kota Denpasar dan Kabupateng Badung (hilir). Bagian hilir dari Tukad Mati ini memiliki karakteristik berarus tenang, daya erosi kecil, dan banyak terjadi pengendapan sehingga mudah diserap dan cenderung mengakumulasi bahan orgnanik. Sehingga, pada bagian hilir sungai berpotensi untuk mengakumulasi bahan pencemar (Fajri et al. 2013). Bahan pencemar yang berpotensi untuk terakumulasi pada bagian hilir sungai salah satunya yaitu kandungan bahan organik. Kandungan bahan organik di perairan akan mengalami fluktuasi yang disebabkan oleh naik turunnya jumlah masukan dari sumbernya. Bahan organik secara umum berasal dari limbah kegiatan domestik (Trofisa, 2011).

Adanya pencemaran bahan organik ke ekosistem sungai diketahui dapat mempengaruhi parameter kualitas peairan yang lain seperti oksigen terlarut dan kekeruhan dalam air, serta memberikan dampak negatif bagi kestabilan biota di perairan. Bahan polutan tersebut dapat memberikan pengaruh terhadap keanekaragaman spesies, kepadatan, dan hilangnya spesies yang tergolong sensitif (Pena et al., 2010). Hal ini sesuai dengan penelitian Hutabarat (2014) bahwa nilai kandungan bahan organik di dalam air menentukan keberadaan spesies tertentu pada ekosistem perairan. Oleh karena itu, perlu adanya upaya pemantauan cemaran bahan organik secara berkala, sehingga dapat memberikan informasi dalam rangka pengelolaan ekosistem berkelanjutan.

  • 2.    Metode Penelitian

    • 2.1    Lokasi dan waktu penelitian

Lokasi pengambilan sampel dilakukan di hilir Tukad Mati, Badung, Bali. Pengambilan sampel dilaksanakan pada bulan Juli-September 2019 dengan interval pengambilan sampel 2 minggu sekali pada pagi hari (pukul 06.00 WITA) dan sore hari (pukul 18.00 WITA).

  • 2.2    Pengambilan sampel air

Pengambilan sampel air dilakukan dua minggu sekali pada pagi dan sore hari yaitu pukul 06.00 WITA dan 18.00 WITA, selama jangka waktu dua bulan. Pengambilan air sampel keseluruhan diambil menggunakan botol sampel (1.500 ml). Adapun pengambilan sampel air untuk pengukuran DO dilakukan dengan menggunakan botol winkler. Sampel air kemudian disimpan pada suhu 4°C sampai proses analisa lebih lanjut. Proses analisa dilakukan dalam waktu tidak lebih dari 8 jam.

  • 2.3    Bahan Organik Total (BOT)

Pengukuran bahan organik total (BOT) dilakukan dengan menggunakan metode permanganometri (SNI 06-6989.22-2004). Sampel air (100 ml) dicampurkan dengan 5 mL asam sulfat 8 N, kemudian dipanaskan di atas pemanas listrik pada suhu 105°C ± 2°C. Setelah itu ditambahkan dengan larutan baku KMnO4 0,01 N. Setelah didinginkan, kemudian ditambahkan dengan 10 mL larutan baku asam oksalat 0,01 N. Proses titrasi dilakukan dengan menggunakan larutan kalium permanganat 0,01 N. Proses perhitungan dilakukan sesuai dengan formula standar yang ada pada SNI tersebut.

  • 2.4    Suhu, pH, kekeruhan, dan padatan terlarut (TDS)

Pengukuran pH, suhu, kekeruhan dan TDS dilakukan secara insitu dengan menggunakan pH meter (Horiba B-312), thermometer raksa, turbidimeter (Lutron), dan TDS meter (Lutron). Semua alat tersebut dikalibrasi terlebih dulu sebelum digunakan untuk proses pengukuran kualitas air.

  • 2.5    Oksigen terlarut (DO)

Pengukuran oksigen terlarut pada sampel air dilakukan dengan menggunakan metode Winkler (SNI 06-6989.14-2004). Air sampel dimasukkan ke dalam botol winkler. Setelah itu dimasukkan larutan MnSO4 (1 mL), alkali iodida azida (1 ml), dan asam sulfat (1 ml) dan dikocok secara perlahan. Setelah itu, larutan dalam botol winkler didiamkan selama lima sampai sepuluh menit. Kemudian sampel diambil sebanyak 50 ml dan dimasukkan ke dalam tabung erlenmeyer. Lalu dititrasi menggunakan Na2S2O3 dari warna biru sampai menjadi biru tepat hilang atau bening.

Proses perhitungan dilakukan sesuai dengan formula yang ada pada SNI tersebut.

  • 2.6    Padatan tersuspensi (TSS)

Pengukuran TSS dilakukan secara gravimetri (SNI 06-6989.27:2004). Proses penyaringan dilakukan dengan menggunakan kertas saring Whatman. Nilai TSS didapatkan dari pengurangan hasil penimbangan kertas saring antara sesudah dan sebelum penyaringan air sampel, sesuai denga formula yang ada pada SNI tersebut.

  • 2.7    Nitrat

Penentuan kadar nitrat diukur dengan menggunakan spektrofotometer pada serapan panjang gelombang 410 nm dengan berdasarkan SNI 6989.79:2011.

Tabel 1.

Pedoman Interpretasi Koefisien Korelasi

Angka

Kriteria

0,00 – 0,199

Sangat lemah

0,20 – 399

Lemah

0,40 – 0,599

Sedang

0,60 – 0,799

Kuat

0,80 – 1,000

Sangat kuat

Sumber: Sugiyono, 2013

  • 2.8    Analisis data

Data penelitian ini dianalisis menggunakan korelasi parsial sederhana dan diolah menggunakan bantuan program komputer Microsoft Excel. Analisis korelasi parsial ini diguakan untuk mengetahui kekuatan hubungan antara dua variabel. Analisis ini digunakan saat salah satu variabel dianggap mempengaruhi

variabel kontrol. Variabel korelasi dalam analisis ini adalah parameter kualitas perairan yang diukur pada penelitian ini seperti BOT, nitrat, TDS, TSS, DO, kekeruhan, pH dan suhu. Besarnya angka korelasi atau koefisien korelasi dinyatakan dalam lambang r (Usman dan Akbar, 2006). Pedoman interpretasi koefisien korelasi dapat dilihat pada Tabel 1.

  • 3.    Hasil

    • 3.1    Kualitas air di Tukad Mati

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Kandungan BOT pada pagi hari berkisar antara 18,8–25,9 mg/L, dengan rata-rata senilai 22,1 mg/l. Sedangkan pengukuran BOT di sore hari berkisar antara 20,3– 27,7 mg/l, dengan rata-rata 24,3 mg/l. Nilai nitrat yang pada pagi hari berkisar antara 2,6–5,4 mg/l, dengan rata-rata senilai 3,5 mg/l. Sedangkan pengukuran nilai nitrat di sore hari berkisar antara 2,8–5,6 mg/l, dengan rata-rata 3,8 mg/l. Hasil pengukuran TDS pada pagi hari berkisar antara 371–507 mg/l, dengan rata-rata 419 mg/l. Sedangkan pengukuran nilai kandungan TDS di sore hari berkisar antara 321–528 mg/l, dengan rata-rata 423 mg/l. Hasil pengukuran TSS pada pagi hari berkisar antara 6,4 mg/l hingga 13,6 mg/l, dari hasil pengukuran selama empat kali pengulangan didapatkan nilai TSS dengan rata-rata 8,9 mg/l. Sedangkan pengukuran TSS pada sore hari berkisar antara 8,6–20,2 mg/l, dengan rata-rata 11,8 mg/l.

Pengukuran DO pada pagi hari berkisar antara 3,2–4,1 mg/l, dengan rata-rata 3,5 mg/l. sedangkan pengukuran DO pada sore hari berkisar antara 4,0–5,7 mg/l, dengan rata-rata 4,8 mg/l. Hasil pengukuran kekeruhan pada pagi hari berkisar

Tabel 2.

Hasil pengukuran kualitas air di bagian hilir Tukad Mati

Parameter

27 Juli 2018

9 Agustus 2018

24 Agustus 2018

19 September 2018

Rata-rata

Pagi

Sore

Pagi

Sore

Pagi

Sore

Pagi

Sore

Pagi

Sore

BOT (mg/L)

23,9

25,8

18,8

20,3

19,6

23,4

25,9

27,7

22,1

24,3

Nitrat (mg/L)

5,4

5,6

3

3,2

3,1

3,6

2,6

2,8

3,5

3,8

TDS (mg/L)

507

528

399

438

398

407

371

321

419

423

TSS (mg/L)

6,4

8,6

6,6

6,8

9

11,6

13,6

20,2

8,9

11,8

DO (mg/L)

4,1

5,7

3,5

4,8

3,2

4,6

3,2

4

3,5

4,8

Kekeruhan (NTU)

19,5

20,3

24,2

38,5

24,5

27,4

29,7

33,1

24,5

29,8

pH

7,3

7,3

7,5

7,6

7,6

7,7

7,2

7,8

7,5

7,6

Suhu (oC)

28,5

28

29

28

28,5

27

29,5

29

28,9

28,1


antara 19,5–29,7 NTU, dengan rata-rata 24,5 NTU. Sedangkan tingkat kekeruhan pada sore hariberkisaranatra 20,3–35,1 NTU, dengan rata-rata 28,7 NTU. Hasil pengukuran pH pada pagi hari berkisar antara 7,3– 7,6 memiliki rata-rata 7,5. Sedangkan pengukuran pada sore hari berkisar antara 7,3–7,8 didapatkan rata-rata 7,6. Nilai pengukuran suhu di perairan Tukad Mati pada pagi hari berkisar antara 27,0°C–29,5°C, memiliki rata-rata suhu yaitu 28,0°C. Pengukuran parameter kualitas air dapat dilihat pada Tabel 2.

  • 3.2    Hubungan antara BOT dan nitrat

Pengukuran BOT dan nitrat yang telah dilakukan di lokasi penelitian menunjukkan bahwa seiring dengan meningkatnya BOT tidak diikuti dengan peningkatan nitrat. Hal ini menunjukkan bahwa produksi mineral nitrogen baik dalam NH4 dan NO3 tidak terjadi secara optimal. Grafik hubungan antara BOT dan nitrat dapat dilihat pada Gambar 2.

  • 3.3    Hubungan antara partikel tersuspensi dan partikel terlarut dalam air

Berdasarkan hasil pengukuran TSS dan TDS di perairan hilir Tukad Mati menunjukkan seiring dengan meningkatnya TSS namun tidak diikuti dengan peningkatan TDS. Hal ini dapat dikatakan proses mineralisasi tidak terjadi secara optimal. Hubungan antara partikel tersuspensi dan partikel terlarut dalam air di Tukad Mati ditunjukkan pada Gambar 3.

  • 4.    Pembahasan

    • 4.1    Fluktuasi Bahan Organik

Pengukuran   kandungan bahan   organik

menunjukkan adanya peningkatan nilai BOT pada sore hari. Hal ini sesuai dengan pendapat Amin

Gambar 2. Grafik hubungan BOT dan Nitrat

  • (2012)    dan Azizah (2019) bahwa kandungan bahan organik cenderung rendah pada pagi hari dan meningkat pada sore hari. Peningkatan ini dipengaruhi oleh adanya kegiatan antropogenik, yaitu masukan bahan organik yang berasal dari aktivitas di daratan sekitar hilir Tukad Mati antara lain sebagai akibat dari limbah rumah tangga, pertanian, industri yang masuk ke dalam perairan antara lain yaitu sampah organik dan air bungan industri laundry (sabun cuci). Tingginya bahan organik pada sore hari tersebut diduga terkait dengan adanya peningkatan kegiatan antropogenik dari pagi hari hingga sore hari. Pada pagi hari, penduduk di sekitar aliran sungai mulai melakukan berbagai macam aktivitas, seperti: mandi, mencuci pakaian, dan melakukan kegiatan usaha rumah makan dan usaha laundry. Limbah dari hasil kegiatan tersebut umumnya dibuang langsung ke aliran sungai Tukad Mati. Sedangkan pada malam hari, aktivitas antropogenik tergolong cukup rendah. Dengan demikian, kandungan bahan organik pada pagi hari juga rendah.

Kandungan bahan organik yang ada pada air di bagian hilir Tukad Mati menunjukkan nilai yang serupa dengan ekosistem hilir sungai di tempat lain. Hasil rata-rata pengukuran kandungan bahan organik pada perairan hilir Tukad Mati yaitu 23,2 mg/l. Hal ini sesuai dengan penelitian Fadmawati et al. (2017) tentang kandungan bahan organik

Tabel 3.


Hubungan antar Parameter di Bagian Hilir Tukad Mati

BOT

Nitrat

TDS

TSS

DO

NTU

pH

Suhu

BOT

-

-

-

-

-

-

-

-

Nitrat

0,03

-

-

-

-

-

-

-

TDS

0,01

0,91

-

-

-

-

-

-

TSS

0,50

0,29

0,58

-

-

-

-

-

DO

0,01

0,86

0,98

0,98

-

-

-

-

NTU

0,04

0,90

0,73

0,18

0,63

-

-

-

pH

0,29

0,62

0,49

0,03

0,56

0,37

-

-

Suhu

0,22

0,16

0,24

0,45

0,15

0,30

0,05

-


Gambar 3. Grafik hubungan TDS dan TSS

pada beberapa muara sungai di Kota Semarang didapatkan nilai rata-rata berkisar antara 10,73 mg/l–50,00 mg/l. Kondisi tersebut dipengaruhi oleh sampah organik termasuk daun, ranting, dan batang pohon yang terbawa oleh arus air. Keberadaan komponen tersebut yang mengandung karbohidrat dan protein akan mudah diuraikan oleh mikroorganisme pengurai. Selain itu pada lokasi penelitian yang merupakan daerah dengan jumlah penduduk yang cukup padat, aktivitas manusia di sekitar lokasi tersebut terbilang tinggi maka limbah yang dihasilkan rumah tangga juga tinggi. Disamping itu, daerah yang dijadikan lokasi penelitian oleh Fadmawati et al. (2017) terletak di daerah yang juga merupakan daerah tujuan wisata, sehingga limbah yang dihasilkan dari aktivitas wisatawan juga tinggi, hal tersebut yang diduga sebagai penyebab tingginya kandungan bahan organik.

Kandungan bahan organik di perairan hilir Tukad Mati cukup tinggi dan meningkat pada setiap pengukuran, dibandingkan dengan kandungan nitrat yang cenderung menurun (Gambar 3). Dapat dilihat pada Tabel 3 hasil analisis korelasi parsial sederhana (r) sebesar 0,03 menunjukkan bahwa hubungan antara BOT dengan nitrat tergolong dalam kategori sangat lemah. Hal ini sesuai dengan pernyataan Sugiyono (2013) yang menyatakan bahwa jika nilai koefisien korelasi (r) berada pada rentang 0,00 – 0,199 maka tingkat hubungan antara variabel tergolong kedalam kategori sangat lemah. Dapat dikatakan proses mineralisasi yang terjadi pada perairan hilir Tukad Mati tidak terjadi dengan baik.

Marwan (2012) menyatakan bahwa bahan organik maupun anorganik berupa limbah yang masuk ke dalam perairan akan memberikan dampak terhadap sifat-sifat biologis pada suatu perairan tersebut. Walaupun bahan organik

cenderung meningkat dari pagi ke sore hari, namun tidak terjadi penurunan DO di sore hari. Hal ini tidak mengejutkan, sebab ekosistem Tukad Mati merupakan ekosistem perairan mengalir yang memungkinkan terjadinya difusi oksigen secara terus menerus. Hal ini yang disebabkan DO di sore hari tetap terjaga. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Patty (2018) bahwa nilai DO akan relatif lebih tinggi karena lancarnya proses difusi oksigen antara air dengan udara bebas serta adanya fotosintetis oleh tumbuhan air. Fadmawati et al. (2017) menyatakan bahwa dekomposer memerlukan oksigen dalam menguraikan bahan organik, sehingga dengan meningkatnya oksigen maka dapat memaksimalkan kinerja dari dekomposer dalam penguraian bahan organik.

  • 4.2    Fluktuasi Padatan Terlarut dan Tersuspensi

Tingginya kandungan zat tersuspensi atau TSS di perairan hilir Tukad Mati diduga disebabkan oleh kegiatan penduduk di sekitar aliran Tukad Mati yang sebagian masyarakat di sekitar daerah aliran sungai (DAS) memiliki usaha home industri seperti rumah makan dan laundry. Hal ini sesuai dengan pernyataan Trofisa (2011) Limbah rumah tangga selain sampah juga terdapat limbah cair yang berasal dari aktivitas manusia seperti mencuci, mandi dan buang hajat. Meningkatnya nilai TSS dan TDS juga disebabkan oleh tingginya tingkat pembangunan di daerah tersebut sehingga mendorong pertumbuhan permukiman dan industri.

Nilai kandungan TSS yang meningkat namun tidak diimbangi dengan kenaikan nilai TDS dapat dikatakan proses mineralisasi pada perairan hilir Tukad Mati tidak berjalan dengan baik. Koefisien korelasi (r) antara TDS dengan TSS pada Tabel 3 menunjukka sebesar 0,58 dan tergolong dalam kategori sedang. Hal ini sesuai dengan pernyataan Sugiyono (2013) yang menyatakan bahwa angka koefisien korelasi yang berkisar antara 0,40 – 0,599 tergolong dalam kategori sedang. Dalam penelitian Asrini et al. (2017). Semakin tinggi nilai TDS akan meningkatkan nilai kekeruhan dalam air, apabila nilai kekeruhan tinggi maka kandungan oksigen akan menurun. Menurut Samudro dan Rulian (2011) menyatakan bahwa tidak selalunya nilai TSS diikuti dengan naik turunnya kekeruhan secara linear, hal ini dapat dijelaskan karena bahan-bahan yang menyebabkan kekeruhan di perairan dapat terdiri dari berbagai

bahan dan beratnya yang berbeda sehingga tidak terlalu menggambarkan dalam bobot residu TSS yang sebanding.

TDS (Total Dissolved Solid) dan TSS (Total Suspended Solid) erat kaitannya dengan oksigen terlarut di dalam perairan. Dalam penelitian ini kandungan nilai TDS berbanding lurus dengan kandungan oksigen terlarut (DO) sedangkan nilai TSS berbanding lurus dengan nilai kekeruhan, dan keduanya saling berkaitan. Sesuai dengan penelitian Fadmawati et al. (2017) menyatakan bahwa TSS dan kekeruhan memiliki hubungan yang sama, semakin meningkatnya nilai TSS maka nilai kekeruhan juga akan meningkat. Hal tersebut dapat dibuktikan dari hasil pengukuran TSS selama penelitian bahwa nilai kandungan TSS di perairan hilir Tukad Mati mengalami peningkatan bersamaan dengan meningkatnya nilai kekeruhan. Meningkatnya kekeruhan pada bagian hilir sungai disebabkan oleh adanya masukan bahan organik dan anorganik yang tersuspensi ataupun terlarut, seperti lumpur, pasir halus, serta mikroorganisme (Nurmalita et al., 2013). Nilai kekeruhan yang tinggi akan menyebabkan nilai kandungan oksigen dalam air menurun. Hal tersebut dikarenakan terbatasnya intensitas cahaya matahari yang masuk ke dalam perairan sehingga fitoplankton tidak dapat melakukan proses fotosintesis secara optimal untuk menghasilkan oksigen (Asrini et al., 2017).

  • 5.    Simpulan

Tingkat kenaikan BOT pada pagi hari dengan rata-rata 22,1 mg/l dan sore hari 24,3 mg/l memiliki selisih 2,2 mg/l, sehingga memiliki persentase peningkatan sebesar 9,95%. Peningkatan ini dipengaruhi oleh adanya aktivitas antropogenik, yaitu masukan bahan organik yang berasal dari aktivitas di daratan sekitar hilir Tukad Mati antara lain sebagai akibat dari limbah rumah tangga, pertanian, dan industri yang masuk ke dalam perairan. Kondisi ini dapat dilihat dari nilai bahan pencemar seperti nitrat, TSS dan TDS, meskipun untuk kadar DO cukup rendah disebabkan oleh BOT yang cukup tinggi.

Daftar Pustaka

Agustira, R., & Lubis, K. S. (2013). Kajian Karakteristik Kimia Air, Fisika Air dan Debit Sungai pada Kawasan DAS Padang Akibat Pembuangan Limbah Tapioka. Jurnal Agroekoteknologi, 1(3), 615-625.

Amin, B. (2012). Kandungan Bahan Organik, Sedimen, dan Kelimpahan Makrozoobenthos sebagai Indikator Pencemaran Perairan Pantai Tanjung Uban Kepulauan Riau. Dalam Seminar Hasil Penelitian Dosen Lembaga Penelitian Universitas Riau. Riau, Indonesia, 10 Desember 2012 (pp. 1-9)

Asrini, N. K., Adnyana, I. W. S., & Rai, I. N. (2017). Studi Analisis Kualitas Air di Daerah Aliran Sungai Pakerisan Provinsi Bali. Ecotrophic, 11(2), 101-107.

Azizah, M., & Anen, N. (2019). Status Mutu Air Cikaniki Kabupaten Bogor berdasarkan Indeks Pencemaran dan Keanekaragaman Makrofauna. Jurnal Biologi dan Pembelajarannya, 6(2), 79-87.

Dirgayusa, I. G. N. P., Suteja, Y., & Adyana, I. B. P. (2017). Mangroves sediment ability as a trap of heavy metal chrome in Tukad Mati Estuary, Bali–Republic of Indonesia. Journal of Sustainable Development, 10(4), 1-10.

Fadmawati, A. P., Nuraini, R. A. T., & Supriyantini, E. (2017). Studi Kandungan Bahan Organik pada Beberapa Muara Sungai di Kawasan Ekosistem Mangrove, di Wilayah Pesisir Pantai Utara Kota Semarang, Jawa Tengah. Buletin Oseanografi Marina, 6(1), 29-38.

Fajri, N., E., & Kasry, A. (2013). Kualitas Perairan Muara Sungai Siak Ditinjau dari Sifat Fisik-Kimia dan Makrozoobentos. Berkala Perikanan Terubuk, 41(1), 3752.

Hutabarat, S., Wulandari, A., H., G., R., & Ain, C. (2014) Pengaruh Limbah Cair Tahu terhadap Kelimpahan Makrobenthos di Sungai Elo Magelang. Dipenogoro Journal of Maquares, 3(4), 1-8.

Marwan. (2012). Kandungan Bahan Organik Sedimen dan Kelimpahan Makrozoobenthos Sebagai Indikator Pencemaran Perairan Pantai Tanjung Uban Kepulauan Riau. Skripsi. Pekanbaru, Indonesia:  Fakultas

Perikanan dan Kelautan Universitas Riau.

Nurmalita, M., & Syukri, M. (2013). Analisa Kekeruhan dan Kandungan Sedimen dan Kaitannya dengan Kondisi DAS Sungai Krung Aceh. Dalam Seminar Nasional Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Berbasis Masyarakat Menuju Hutan Aceh Berkelanjutan Banda Aceh. Aceh, Indonesia , 19 Maret 2013 (pp. 18).

Patty, S., I. (2018). Oksigen Terlarut dan Apparent Oxygen Utilization di Perairan Selat Lembeh, Sulawesi Utara. Jurnal Ilmiah Platax, 6(1), 54-60.

Pena, M.A., S. Katsev, T. Oguz, & D. Gilbert. (2010). Modeling Dissolved Oxygen Dynamics and Hypoxia. Biogeosciences, 7(1): 933–957

Samudro, G., & Rulian, R., A. (2011). Studi Penurunan

Kekeruhan dan Total Suspended Solid (TSS) dalam Bak Penampungan Air Hujan (PAH) Menggunakan Reaktor Graviti Roughing Filter (GRF). Jurnal Presipitasi, 8(1), 14-20.

Singer G. A., Battin T. J. (2017). Anthropogenic subsidies alter stream consumer resource stoichiometry, biodiversity, and food chains. Ecological Applications, 17(2), 376-389.

Sundra, I. K. (2018). Kualitas dan Mutu Air di Sungai Kabupaten Badung. Skripsi. Denpasar, Indonesia: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Udayana.

Sugiyono. (2013). Metode penelitian pendidikan pendekatan kuantitatif, kualitatif, dan R&D. Bandung, Indonesia: Alfabeta

Trofisa, D. (2011). Kajian Beban Pencemaran dan Daya Tampung Pencemaran Sungai Ciliwung di Segmen Kota Bogor. Skripsi. Bogor, Indonesia: Deapartemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Institut Pertanian Bogor.

Usman, H., & Akbar, P. S. (2006). Pengantar Statistika Edisi Kedua. Yogyakarta, Indonesia: Bumi Aksara.

Curr.Trends Aq. Sci. IV(1): 89-95 (2021)