ANALISIS FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN TINGKAT KEPATUHAN MINUM OBAT PADA PASIEN TBC
on
Community of Publishing in Nursing (COPING), p-ISSN 2303-1298, e-ISSN 2715-1980
ANALISIS FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN TINGKAT KEPATUHAN MINUM OBAT PADA PASIEN TBC
Asep Ahmad Patoni1, Aisyiah*1, Retno Widowati1
1Program Studi Sarjana Keperawatan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Nasional *korespondensi penulis, e-mail: [email protected]
ABSTRAK
Tuberkulosis merupakan penyakit menular yang menginfeksi tubuh terutama bagian paru-paru, yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Kepatuhan minum obat sangat penting dalam upaya penyembuhan dan mengurangi penularan. Prevalensi penyakit tuberkulosis di Indonesia termasuk penyakit yang menjadi penyebab tingginya jumlah kesakitan sampai pada kematian. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui analisis faktor yang berhubungan dengan tingkat kepatuhan minum obat pada pasien TBC. Penelitian ini menggunakan rancangan cross sectional. Sampel dari penelitian ini berjumlah 40 responden dengan menggunakan teknik total sampling. Instrumen penelitian ini terdiri dari kuesioner tentang kepatuhan minum obat berdasarkan MMAS-8, pengetahuan pasien, dukungan keluarga, dukungan tenaga kesehatan, dan usia. Kuesioner ini telah diuji validitas dan reliabilitas dengan koefisien Cronbach’s Alpha 0,468. Analisis data menggunakan uji Chi-Square. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dari 40 responden, tidak terdapat hubungan signifikan antara pengetahuan pasien dengan tingkat kepatuhan minum obat TBC dengan nilai p 0,869 (> 0,05), dukungan keluarga dengan tingkat kepatuhan minum obat TBC dengan nilai p 0,119 (> 0,05), dukungan tenaga kesehatan dengan tingkat kepatuhan minum obat TBC dengan nilai p 0,234 (> 0,05) dan usia dengan tingkat kepatuhan minum obat TBC dengan nilai p 0,112 (> 0,05). Sebagian besar memiliki tingkat kepatuhan minum obat sedang, pengetahuan pasien yang baik, dukungan keluarga yang baik, dukungan tenaga kesehatan yang baik, dan usia remaja akhir yang terkena penyakit TBC.
Kata kunci: dukungan keluarga, dukungan tenaga kesehatan, pengetahuan pasien, tingkat kepatuhan minum obat TBC, usia
ABSTRACT
Tuberculosis is an infectious disease that infects the body, especially the lungs caused by the Mycobacterium tuberculosis bacterium. Compliance with taking medication is very important in efforts to cure and reduce transmission. The prevalence of tuberculosis in Indonesia is a disease that causes a high number of morbidity and mortality. This study aims to determine the analysis of factors related to the level of medication adherence in TBC patients. The research methodology used in this study used cross-sectional. The sample of this research is 40 respondents using total sampling. The research instrument consisted of questionnaires about adherence to taking medication based on MMAS-8, patient knowledge, family support, support from health workers, and age. This questionnaire has been tested for validity and reliability with a cronbach's alpha coefficient of 0,468. Data analysis used Chi-square. The results of this study showed that out of 40 respondents there was no significant relationship between patient knowledge and the level of adherence to taking TB medication, p-value 0,869 (> 0,05), family support with a level of adherence to taking TB medication obtained p-value 0,119 (> 0,05), the support of health workers with the level of adherence to taking TB medication obtained p-value 0,234 (> 0,05) and age with a level of adherence to taking TB medication obtained p-value 0,112 (> 0,05).
Keywords: age, family support, level of medication adherence, patient knowledge, support from health workers
PENDAHULUAN
Tuberculosis (TBC) tergolong dalam penyakit yang dapat menular sehingga tingkat kesakitan hingga kematian menjadi tinggi. TBC adalah penyakit yang menyerang anggota tubuh manusia khususnya pada paru-paru, melalui bakteri Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini masuk dalam posisi 10 kasus paling mematikan di dunia (WHO, 2017).
TBC merupakan satu dari 10 penyebab kematian serta suatu penyebab utama dari agen infeksi. Pada tahun 2017 berdasarkan data WHO pengidap TBC dapat menyebabkan sekitar 1,3 juta kematian. Diketahui bahwa terdapat 10 juta pasien TBC baru. Di peringkat global, kejadian TBC per 100,000 penduduk turun sekitar 2% setahun (Riskesdas, 2018). Indonesia berada di posisi kedua sebagai negara dengan pasien TBC paling tinggi di level dunia sesudah India. Perkiraan angka mencapai 10 juta manusia yang mengalami sakit TBC dalam kurun tahun 2019.
Walaupun sudah terdapat penurunan kasus baru TBC namun tidak bisa cepat dalam meraih target strategi END TBC pada tahun 2020, yakni berkurangnya kasus pada TBC dalam 20% yang ada dalam kurun 2015 sampai 2020. Dalam rentang waktu 2015 sampai 2019 kasus TBC menjadi turun hanya 9% (WHO, 2020).
Sama halnya dalam kematian yang disebabkan TBC, total dari kematian yang ada dalam tahun 2019 mencapai angka 1,4 juta. Dalam hitungan global angka kematian yang disebabkan TBC sudah menurun walaupun tidak dapat mencapai targetnya pada END TBC sebanyak 35% dalam kurun waktu 2015 sampai 2020. Total kematian kumulatif yang ada dalam kurun 2015 sampai 2019 sebanyak 14%, yakni tidak mencapai setengah dalam target yang sudah ditentukan sebelumnya (WHO, 2020).
Disiplinnya penderita penyakit TBC dalam perawatan adalah kunci penyembuhan. Yang mampu memberikan dorongan atas kesembuhannya adalah dukungan dari keluarga. Mereka dapat mendukung pasien untuk disiplin dalam
minum obat serta tepat dosis obat yang diminum. Beberapa cara lain agar untuk meningkatkan kepatuhan klien TBC terhadap perawatan adalah konseling rekan sebaya dan pengurusan perancangan individu. Intervensi berdasarkan rekan sebaya dapat dihubungkan pada perubahan rasa patuh yang dapat terlihat. Kemudian, pengaruh dari rekan sebaya pada sikap, minat, dan tingkah laku manusia pada beragam aspek menjadi lebih tinggi dibandingkan pengaruh keluarga (Hasanah, et al., 2019).
Kepatuhan seorang pasien untuk meminum obat dengan disiplin sampai sembuh adalah faktor yang menjadi keberhasilan mereka dalam menjalani pengobatan TBC. Pengetahuan yang rendah dapat menjadi sebuah kendala dalam penanggulangan TBC. Upaya yang dapat dilakukan guna meningkatkan pengetahuan, salah satunya dengan melakukan sosialisasi atau promosi kesehatan tentang penyakit TBC oleh tenaga kesehatan. Kegiatan tersebut dinilai lebih akurat dalam menyalurkan informasi untuk mempromosikan pengetahuan serta sikap penderita TBC yang sehat, dan juga dinilai dapat menyadarkan masyarakat bahwa penyakit TBC sangat membutuhkan perhatian besar dan tentunya kesadaran dari penderita itu sendiri (Kigozi et al., 2017).
Dukungan dari keluarga merupakan peran besar dalam keberhasilan berobat pasien dalam bentuk sering memberikan perhatian untuk minum obat serta memberikan semangat supaya senantiasa disiplin dalam berobat. Dari dukungan yang didapatkan dari keluarga akan berpengaruh pada kepatuhan minum obat pasien yang mengalami TBC. Disini peran keluarga begitu penting sampai pasien melakukan pengobatan hingga benar-benar dinyatakan sembuh (Fitri dkk, 2018).
Begitu pula kedekatan hubungan sosial antara petugas kesehatan dan pasien dapat meningkatkan pengetahuan dan kepatuhan pasien terhadap perilaku pencegahan infeksi (Pai et al., 2018). TBC sering ditemukan pada usia produktif, yaitu
15-50 tahun. Hal ini dapat terjadi karena sistem imunologi seseorang berbeda-beda terhadap kerentanan berbagai sumber penyakit, salah satunya TBC (Naga, 2012).
Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan peneliti di Puskesmas Kecamatan Jagakarsa didapatkan data penderita TBC dari tahun ke tahun mengalami peningkatan, jika dilihat dari tahun terakhir pada tahun 2020 ada sebanyak 305 orang, tahun 2021 ada sebanyak 331 orang dan pada tahun 2022 di bulan Januari -September ada sebanyak 383 orang. Dari
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan desain cross sectional yang dilakukan di daerah kerja Puskesmas Kecamatan Jagakarsa. Sampel dalam penelitian ini berjumlah 40 responden dengan menggunakan total sampling. Dalam penelitian ini memakai instrumen mengenai tingkat kepatuhan minim obat TBC berdasar MMAS-8 (Morisky Medication Adherence Scale), kuesioner untuk pengetahuan pasien, kuesioner untuk dukungan keluarga, kuesioner dukungan tenaga kesehatan, dan usia. Kuesioner yang dibuat telah melakukan uji validitas dan reliabilitas dengan koefisien Cronbach’s alpha 0,468.
Analisis data menggunakan descriptive statistics dan inferential
HASIL PENELITIAN
meningkatnya penderita pasien TBC di Puskesmas Kecamatan Jagakarsa, maka pihak Puskesmas Kecamatan Jagakarsa rutin untuk melakukan sosialisasi kepada penderita TBC agar bisa meningkatkan kepatuhan minum obat serta yang terpenting untuk peningkatan angka kesembuhan dan penurunan jumlah pasien TBC. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor - faktor yang berhubungan dengan tingkat kepatuhan minum obat pada pasien TBC di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Jagakarsa.
statistics yakni Chi-Square guna memahami hubungan pengetahuan pasien, dukungan keluarga, dukungan tenaga kesehatan, dan usia dengan tingkat kepatuhan minum obat TBC.
Pengumpulan data dilakukan dengan memberikan kuesioner pada responden yang sudah menjalani pengobatan minimal 4 bulan dan berusia > 15 tahun di tempat tunggu antrian Poli Menular Puskesmas Kecamatan Jagakarsa. Penelitian ini telah mendapatkan surat keterangan izin untuk melakukan penelitian Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Nasional dan surat balasan penelitian dari Puskesmas Kecamatan Jagakarsa.
Tabel 1. Distribusi Frekuensi Kepatuhan Minum Obat TBC
Kepatuhan Minum Obat |
Frekuensi |
Persentase (%) |
Kepatuhan Rendah |
13 |
32,5 |
Kepatuhan Sedang |
20 |
50 |
Kepatuhan Tinggi |
7 |
17,5 |
Total |
40 |
100 |
Berdasarkan pada tabel 1, distribusi responden pada variabel kepatuhan minum obat TBC di Wilayah Kerja Puskesmas
Kecamatan Jagakarsa menunjukkan bahwa sebagian besar memiliki kepatuhan tingkat sedang sebanyak 50%.
Tabel 2. Distribusi Frekuensi Pengetahuan tentang Penyakit TBC
Pengetahuan |
Frekuensi |
Persentase (%) |
Kurang Baik |
8 |
20 |
Baik |
32 |
80 |
Total |
40 |
100 |
Berdasarkan pada tabel 2, distribusi responden pada variabel pengetahuan tentang penyakit TBC di Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Jagakarsa
menunjukkan bahwa sebagian besar memiliki pengetahuan yang baik sebanyak 80%.
Tabel 3. Distribusi Frekuensi Dukungan Keluarga
Dukungan Keluarga |
Frekuensi |
Persentase (%) |
Kurang Baik |
17 |
42,5 |
Baik |
23 |
57,5 |
Total |
40 |
100 |
Berdasarkan pada tabel 3, distribusi frekuensi pada variabel dukungan keluarga di Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan
Jagakarsa menunjukkan bahwa sebagian besar memiliki dukungan keluarga baik sebanyak 57,5%.
Tabel 4. Distribusi Frekuensi Dukungan Tenaga Kesehatan
Dukungan Tenaga Kesehatan |
Frekuensi |
Persentase (%) |
Kurang Baik |
5 |
12,5 |
Baik |
35 |
87,5 |
Total |
40 |
100 |
Berdasarkan pada tabel 4, distribusi responden pada variabel dukungan tenaga kesehatan di Wilayah Kerja Puskesmas
Kecamatan Jagakarsa menunjukkan bahwa sebagian besar dukungan tenaga kesehatan baik sebanyak 87,5%.
Tabel 5. Distribusi Frekuensi Usia
Usia |
Frekuensi |
Persentase (%) |
Remaja Akhir |
11 |
27,5 |
Dewasa Awal |
10 |
25 |
Dewasa Akhir |
9 |
22,5 |
Lansia |
10 |
25 |
Total |
40 |
100 |
Berdasarkan pada tabel 5, distribusi frekuensi berdasarkan usia di Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Jagakarsa
menunjukkan bahwa sebagian besar usia remaja akhir 27,5% dan usia dewasa akhir 22,5% yang terkena penyakit TBC.
Tabel 6. Hubungan Pengetahuan Pasien dengan Kepatuhan Minum Obat TBC
Kepatuhan Minum Obat TBC | |||||
Pengetahuan Pasien |
Rendah |
Sedang |
Tinggi |
Total p-value | |
N F (%) |
N |
F (%) |
N F (%) |
N F (%) | |
Kurang Baik |
3 37,5 |
4 |
50 |
1 12,5 |
8 100 |
Baik |
10 31,3 |
16 |
50 |
6 18,8 |
32 100 0,896 |
Total |
13 32,5 |
20 |
50 |
7 17,5 |
40 100 |
Berdasarkan tabel 6 dapat dijelaskan bahwa pasien yang memiliki pengetahuan kurang baik memiliki tingkat kepatuhan minum obat TBC sedang sebesar 50% dan keluarga yang pengetahuannya baik 50% |
juga memiliki tingkat sedang pada kepatuhan minum obat TBC. Hasil analisis bivariat didapatkan p-value sebesar 0,896 yang artinya > dari α = 0,05. Hal ini membuktikan bahwa Ho diterima, dengan |
kata lain tidak ada hubungan antara pengetahuan pasien dengan tingkat kepatuhan minum obat TBC.
Tabel 7. Hubungan Dukungan Keluarga dengan Kepatuhan Minum Obat TBC
Kepatuhan Minum Obat TBC | |
Dukungan Keluarga |
Rendah Sedang Tinggi Total p-value N F(%) N F(%) N F(%) N F(%) |
Kurang Baik |
8 47,1 8 47,1 1 5,9 17 100 |
Baik |
5 21,7 12 52,2 6 26,1 23 100 0,119 |
Total |
13 32,5 20 50 7 17,5 40 100 |
Berdasarkan tabel 7 dapat dijelaskan bahwa dukungan keluarga terhadap pasien TBC kurang baik memiliki tingkat kepatuhan minum obat TBC rendah dan sedang masing-masing sebesar 47,1% dan dukungan keluarga baik 52,2% juga memiliki tingkat sedang pada kepatuhan
minum obat TBC. Hasil analisa bivariat didapatkan p-value sebesar 0,119 yang artinya (p-value > dari α = 0,05). Hal ini membuktikan bahwa tidak ada hubungan antara dukungan keluarga dengan tingkat kepatuhan minum obat TBC.
Tabel 8. Hubungan Dukungan Tenaga Kesehatan dengan Kepatuhan Minum Obat TBC
Kepatuhan Minum Obat TBC | |
Dukungan Tenaga Kesehatan |
Rendah Sedang Tinggi Total p-value N F(%) N F(%) N F(%) N F(%) |
Kurang Baik |
0 0,0 4 80 1 20 5 100 |
Baik |
13 37,1 16 45,7 6 17,1 35 100 0,234 |
Total |
13 32,5 20 50 7 17,5 40 100 |
Berdasarkan tabel 8 dapat dijelaskan bahwa dukungan tenaga kesehatan terhadap pasien TBC kurang baik memiliki tingkat kepatuhan minum obat TBC sedang sebesar 80% begitu pula dengan dukungan tenaga kesehatan baik 45,7% juga memiliki tingkat sedang pada kepatuhan minum obat TBC.
Hasil analisa bivariat didapatkan p-value sebesar 0,234 yang artinya (p-value > dari α = 0,05). Hal ini membuktikan bahwa tidak ada hubungan antara dukungan tenaga kesehatan dengan tingkat kepatuhan minum obat TBC.
Tabel 9. Hubungan Usia Pasien dengan Kepatuhan Minum Obat TBC
Kepatuhan Minum Obat TBC
Usia Pasien TBC Rendah Sedang |
Tinggi |
Total p-value | |
N F(%) N |
F(%) |
N F(%) |
N F(%) |
Remaja Akhir 6 54,5 4 |
36,4 |
1 9,1 |
11 100 |
Dewasa Awal 2 20 6 |
60 |
2 20 |
10 100 |
Dewasa Akhir 2 22,2 3 |
33,3 |
4 44,4 |
9 100 0,112 |
Lansia 3 30 7 |
70 |
0 0,0 |
10 100 |
Total 13 32,5 20 |
50 |
7 17,5 |
40 100 |
Berdasarkan tabel 9 dapat dijelaskan bahwa usia remaja akhir pasien TBC memiliki tingkat kepatuhan minum obat TBC rendah sebesar 54,5%, pada usia dewasa awal memiliki kepatuhan minum obat TBC sedang sebesar 60%, pada usia dewasa akhir memiliki kepatuhan minum |
pada usia lansia memiliki kepatuhan minum obat TBC sedang sebesar 70%. Hasil analisa bivariat didapatkan p-value sebesar 0,112 yang artinya (p-value > dari α = 0,05). Hal ini membuktikan bahwa tidak ada hubungan antara usia dengan tingkat kepatuhan minum obat TBC. |
obat TBC tinggi sebesar 44,4%, begitu pula
PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil penelitian pada responden yang sudah menjalani pengobatan minimal 4 bulan dan usia >15 tahun bahwa tingkat kepatuhan dalam meminum obat TBC sebesar 50% memiliki tingkat kepatuhan minum obat TBC sedang, sedangkan 32,5% memiliki tingkat kepatuhan minum obat TBC yang rendah.
Kepatuhan minum obat pada pasien TBC adalah usaha dalam meningkatkan angka kesembuhan untuk pasien TBC dan meminimalisir banyaknya kasus TB MDR (TB dengan Multi Drug Resistent) (Depkes RI, 2018). Dalam proses pengobatan penyakit TBC memerlukan waktu yang cukup lama, yaitu 6 sampai 9 bulan menjadi waktu pemulihan pasien dalam keadaan sembuh. Jangka waktu lama tersebut dapat menyebabkan rasa jenuh dan lelah bagi pasien serta memicu timbulnya ketidakpatuhan dalam meminum obat. Maka begitu penting kajian terkait hal-hal yang bisa meningkatkan disiplin pasien dalam minum obat (Yuliana, 2018).
Penelitian yang sudah dilakukan oleh Ahmad dkk (2021) pada 72 responden di RS Medika Dramaga menjelaskan bahwa kepatuhan responden yakni seseorang yang menjalani pengobatan TBC paru ada 56 responden dengan persentase 78%, serta ada 16 responden yang tergolong tidak patuh dengan persentase 22%. Selain itu, rasa ketidakpatuhan ini muncul karena pasien merasakan kebingungan dalam meminum obat, yang mana tidak diberikan aturan jam konsumsi yang jelas dan terkadang tidak sesuai dengan aktivitas keseharian responden.
Penelitian yang sudah dilakukan Wulandari dkk (2020) menunjukkan 23 responden yang tergolong mempunyai kepatuhan yang besar dalam minum obat dengan persentase 69,6% dan tingkat kepatuhan dalam kategori sedang ada pada 7 responden dengan persentase 30,4%. Dalam pernyataan mengenai kepatuhan dalam meminum obat ditemukan permasalahan bagi responden yaitu jangka waktu yang lama dalam meminum obat dan juga terkadang lupa akan membawa obat.
Namun pada penelitian Wianti (2018) menjelaskan terdapat 25 orang yang tidak patuh untuk meminum obat dengan persentase 36,8% dan ada 43 orang yang patuh untuk meminum obat dengan persentase 63,2%. Dari hasil tersebut dapat diketahui bahwa ada lebih dari separuh pasien tidak bisa patuh dalam meminum obat TBC.
Penelitian Dewi (2015) di RS Rumah Sehat Terpadu terdapat 38 responden (54,3%) yang masih patuh minum obat dan yang tidak patuh minum obat sebanyak 32 responden (45,7%). Ketidakpatuhan tersebut disebabkan dari banyak faktor, antara lain faktor perilaku (predisposisi, enabling, dan reinforcing) dan non perilaku. Dalam riset ini sudah memberikan saran agar memberikan cara dalam meningkatkan rasa patuh pasien untuk meminum obat melalui berbagai penyuluhan, memberikan jaminan dalam ketersediaan obat, terdapat Pengawas Minum Obat (PMO) dan catatan yang teratur.
Hasil temuan data penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat kepatuhan meminum obat pada pasien TBC di daerah kerja Puskesmas Kecamatan Jagakarsa menunjukkan kepatuhan yang baik. Hal tersebut dikarenakan adanya keinginan dan motivasi pasien untuk sembuh, dukungan sosial yang bagus, dan pengetahuan pasien tentang penyakit TBC, pasien mengetahui jika terjadi putus pengobatan akan mengulang kembali ke pengobatan awal, itulah sebabnya pasien memiliki tingkat kepatuhan yang baik.
Hubungan antara pengetahuan pasien terhadap tingkat kepatuhan minum obat TBC, hasil penelitian diketahui bahwa dari 40 pasien TBC, terdapat responden yang pengetahuannya kurang baik memiliki tingkat kepatuhan minum obat TBC yang sedang sebesar 4 responden (50%) dan pasien TBC yang pengetahuannya baik sebesar 16 responden (50%) juga memiliki tingkat kepatuhan minum obat TBC yang sedang, 10 responden (31,3%) memiliki tingkat kepatuhan minum obat yang rendah.
Berdasarkan teori Prihantana (2016), pengetahuan merupakan hasil tahu seseorang terhadap suatu objek melalui indra yang dimilikinya. Pengetahuan juga merupakan salah satu faktor resiko yang berpengaruh dalam kepatuhan minum obat TBC, dengan pengetahuan yang rendah memiliki resiko terjadinya ketidakpatuhan sebesar 2,9 kali lebih besar dibandingkan pengetahuan tentang TBC tinggi, akibatnya kuman TBC menjadi resistensi serta mempengaruhi lamanya pengobatan.
Penelitian Fitri dkk (2018), menunjukkan bahwa terdapat pengaruh pengetahuan terhadap kepatuhan minum obat TBC dengan p-value = 0,000 < 0,05. Pengetahuan adalah sebuah faktor yang berdampak pada hasil penelitian terkait kepatuhan minum obat oleh pasien TBC. Kesembuhan penyakit ini bergantung pada usaha pasien dalam memotivasi dirinya sendiri. Selain itu, dukungan dan wawasan pasien juga berdampak pada kesembuhannya dan kepatuhan dalam meminum obat.
Penelitian Wulandari dkk (2020) menemukan adanya hubungan antara tingkat pengetahuan responden dengan kepatuhan minum obat, dengan p-value = 0,002 < 0,05. Pengetahuan responden diperoleh dari data - data yang diinformasikan oleh petugas kesehatan dan media lainnya. Responden mengetahui pengertian TBC, cara penularan, pencegahan, dan pengobatan. Responden mengetahui apa yang wajib dikerjakan selama berpartisipasi dalam program pengobatan, dan mereka menyadari bahwa efek samping dapat terjadi selama pengobatan.
Penelitian Jamila dkk (2022) menjelaskan ditemukannya hubungan dari pengetahuan dan kepatuhan dalam minum obat TBC, dari 17 responden dengan pengetahuan cukup 12 responden (70,6%) yang cukup patuh dan 5 responden (29,45) kurang patuh. Sementara itu, dari 13 responden dengan pengetahuan yang kurang terdapat 4 responden (30,8%) yang cukup patuh dan 9 responden (69,2%) kurang patuh. Hasil uji statistik Chi-Square
yang dilakukan, diperolah nilai x2 hitung > x2 tabel (4,693 > 3,841) yang mengartikan ada hubungan antara pengetahuan dengan kepatuhan minum obat TBC. Hal ini menandakan bahwa responden yang memiliki pengetahuan cukup mengenai TBC cenderung lebih patuh dalam meminum obat TBC.
Namun pada penelitian yang sudah dilakukan oleh Ahmad dkk (2021) menjelaskan data dari hubungan dalam pengetahuan pasien pada pengobatan serta resiko resistensi pada pengobatan penyakit TB paru pada kepatuhan berobat pasien TB paru yang ada di RS Medika Dramaga diperoleh hasil uji Chi-Square, sebesar 0,80 > 0,05. Dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan bermakna antara pengetahuan dengan tingkat kepatuhan minum obat pada pasien TB Paru di Rumah Sakit Medika Dramaga.
Hasil temuan data penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara pengetahuan terhadap tingkat kepatuhan minum obat TBC dengan nilai hasil p-value sebesar 0,896. Hal ini membuktikan bahwa tidak ada hubungan antara pengetahuan pasien dengan tingkat kepatuhan minum obat TBC. Menurut analisis peneliti, ketidakpatuhan kemungkinan dikarenakan beragam faktor, antara lain informasi yang diberikan apoteker mengenai cara penggunaan obat dan risiko resistensi yang tidak lengkap, kurangnya kesadaran akan bahaya resistensi antibiotik meskipun memiliki pengetahuan yang baik tentang resistensi antibiotik, dan kurangnya dukungan dari lingkungan sekitar dalam meningkatkan kesadaran kepatuhan pengobatan TB mengingat lamanya pengobatan.
Hubungan antara dukungan keluarga terhadap tingkat kepatuhan minum obat TBC. Hasil penelitian diketahui bahwa dari 40 pasien TBC terdapat keluarga yang memiliki dukungan yang kurang baik terhadap tingkat kepatuhan minum obat TBC rendah sebesar 8 responden (47,1%) memiliki tingkat kepatuhan yang sedang 8 responden (47,1%) dan keluarga yang memiliki dukungan baik memiliki tingkat
kepatuhan minum obat TBC yang sedang sebesar 20 responden (50%).
Penelitian Herawati dkk (2020) memperoleh hasil ada hubungan antara dukungan keluarga dengan kepatuhan minum obat pada penderita TBC. Dukungan keluarga sangat penting karena keluarga pasien memiliki dampak yang signifikan terhadap bagaimana pasien mempersepsikan pelayanan pengobatan yang diterima. Keluarga memainkan peran penting dalam memberikan dukungan sosial struktural, fungsional, emosional, dan beragam kepada pasien. Hal ini dapat berdampak positif pada akses keluarga yang terkena TBC ke layanan dukungan keluarga.
Penelitian Irnawati dkk (2016) terhadap 75 pasien TBC di Puskesmas Motoboi Kecil mengenai pengaruh dukungan keluarga terhadap kepatuhan berobat, analisis korelasi dengan menggunakan uji Chi-Square menunjukkan bahwa dukungan keluarga berpengaruh pada kepatuhan pasien TBC terhadap regimen pengobatan. Hal ini sesuai dengan penelitian Septia (2014) di RS Arifin Achmad Pekanbaru yang menyimpulkan bahwa dukungan keluarga berpengaruh terhadap kepatuhan pengobatan pasien TBC. Dalam riset yang dilakukan menjelaskan bahwa, apabila makin besar dukungan keluarga, maka makin besar juga tingkat kepatuhan pasien untuk pengobatannya. Jenis dukungan keluarga yang dapat diberikan kepada penderita adalah dukungan informasional. Pasien TBC diberikan informasi tentang penyakitnya, dukungan asesmen, serta dorongan agar mereka tidak segera menyerah melawan penyakitnya.
Namun pada penelitian Wianti (2018) menemukan bahwa proporsi responden tidak patuh, yang tidak mendapat dukungan dari keluarganya sebesar 27%, lebih rendah dibandingkan proporsi responden yang tidak patuh yang mendapat dukungan dari keluarga yang layak, yaitu 48,4%. Berdasarkan hasil riset Ulfah & Maria di daerah kerja Puskesmas Pamulang Tangerang Selatan tahun 2011, ditemukan
bahwa tidak terdapat hubungan antara dukungan keluarga dengan rasa patuh minum obat pada pasien.
Hasil penelitian ini ditemukan bahwa tidak ada hubungan antara dukungan keluarga terhadap kepatuhan minum obat pada pasien TBC di wilayah kerja Puskesmas Jagakarsa dengan p-value sebesar 0,119. Hal ini dapat terjadi karena selain dukungan keluarga, terdapat faktor lain seperti pengetahuan keluarga yang kurang terkait TBC karena keluarga tidak terpapar televisi, radio, majalah, atau sumber informasi lainnya. Begitu pula efek pengobatan yang lama atau hal lainnya yang dapat juga berhubungan dengan ketidakpatuhan minum obat pada pasien TBC.
Hasil penelitian diketahui bahwa dari 40 pasien TBC terdapat tenaga kesehatan yang memiliki dukungan yang kurang baik terhadap tingkat kepatuhan minum obat TBC sedang sebesar 4 responden (80%) dan pasien yang mempunyai support baik memiliki tingkat patuh minum obat TBC yang sedang sebesar 16 responden (45,7%). Penelitian Herawati dkk (2020) menunjukkan ada hubungan antara dukungan petugas kesehatan dengan kepatuhan minum obat pada pasien TBC. Tenaga kesehatan berperan penting dalam memaksimalkan kualitas pelayanan kesehatan yang diberikan kepada masyarakat. Akibatnya, mereka sangat membantu dalam meningkatkan proses penyembuhan pasien TBC, terutama terkait kepatuhan minum obat. Beberapa studi telah menemukan bahwa pasien yang tidak minum obat sesuai resep karena kurangnya konseling dari tenaga kesehatan dan faktor ekonomi / pengangguran.
Namun pada penelitian Widiastutik (2020) menunjukkan bahwa dukungan tenaga kesehatan tidak ada hubungannya dengan rasa patuh minum obat pada pasien TBC yang ada di Puskesmas Kota Surabaya. Hal ini bertentangan dengan temuan penelitian Sugiono (2017) yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara dukungan tenaga kesehatan dengan kepatuhan minum obat pada pasien TBC di
Puskesmas Sepauk Kabupaten Sintang. Menurut hasil penelitian, jumlah responden terbanyak ditemukan dalam menjawab pertanyaan mengenai pemberian informasi tentang TBC dan menganjurkan minum obat sesuai resep dan tidak menghentikan pengobatan. Hal ini terbukti pada observasi yang dijalankan peneliti. Peneliti menentukan bahwa semua pasien yang berobat untuk pertama kali menerima pendidikan dari tenaga medis. Edukasi tersebut meliputi pengetahuan tentang TBC, penyebab TBC, cara penularan, cara pengobatan, jangka waktu pengobatan, dan prosedur pemberian obat. Selain itu, pasien dan keluarganya dihimbau untuk selalu minum obat tepat waktu.
Begitu pula pada penelitian Jamila dkk (2022) didapatkan hasil bahwa tidak terdapat hubungan antara dukungan tenaga kesehatan terhadap kepatuhan minum obat TBC. Hasil penelitian juga ditemukan bahwa adanya pasien yang kurang patuh kemungkinan besar disebabkan oleh komunikasi yang kurang terbuka antara pasien atau keluarganya dengan petugas kesehatan. Komunikasi menjadi kunci utama yang dilakukan petugas kesehatan pada pasien dalam mencapai kepatuhan untuk meminum obat. Sesuai dengan teori Sugiono (2017) yang mengatakan bahwa kualitas interaksi antara petugas kesehatan dengan pasien menjadi faktor yang menentukan keberhasilan suatu pengobatan.
Pada penelitian ditemukan bahwa tidak ada hubungan antara dukungan tenaga kesehatan terhadap kepatuhan minum obat pada pasien TBC di wilayah kerja Puskesmas kecamatan Jagakarsa dengan p-value sebesar 0,234. Berdasarkan hasil analisis peneliti bahwa hal tersebut dapat disebabkan oleh adanya faktor lain yang berasal dari pasien itu sendiri yaitu merasa takut adanya efek samping obat yang harus diminumnya secara rutin, sehingga beralih ke pengobatan herbal yang menurutnya lebih aman dan dapat menyembuhkan, meskipun petugas kesehatan sudah memberikan edukasi terkait pengobatan
dan mengulurkan bantuan jika terdapat masalah.
Hasil penelitian diketahui bahwa dari 40 pasien TBC terdapat usia remaja akhir pasien TBC yang memiliki tingkat kepatuhan minum obat TBC rendah sebesar 6 responden (54,5%), pada usia dewasa awal memiliki tingkat kepatuhan minum obat TBC sedang sebesar 6 responden (60%), pada usia dewasa akhir memiliki tingkat kepatuhan minum obat TBC tinggi sebesar 4 responden (44,4%), dan pada usia lansia memiliki tingkat kepatuhan minum obat TBC sedang sebesar 7 responden (70%).
Penelitian Aprianto & Rina (2014) mengenai hubungan usia dengan rasa patuh pada pasien TBC di Puskesmas Pringsewu mendapatkan hasil, terdapat 11 orang (52,4%) yang patuh minum obat TB paru dan 10 orang yang tidak patuh (47,6%) terhadap pengobatan TB paru. Hasil uji statistik didapatkan p-value 0,004. Dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara usia dengan rasa patuh minum obat pada pasien TB Paru di Puskesmas Rawat Inap Pringsewu pada tahun 2014. Faktor usia merupakan salah satu faktor penentu ketidakpatuhan pasien dalam berobat. Individu muda maupun lansia memiliki motivasi untuk berobat, menjalani gaya hidup sehat, dan memperhatikan kesehatan mereka. Selain itu, pekerjaan yang tidak terlalu menuntut memungkinkan pasien untuk tetap berobat, dan mayoritas pasien adalah petani. Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa tidak ada korelasi antara usia dan kepatuhan minum obat. Orang yang lebih tua kurang disibukkan dengan pekerjaan, sehingga mereka dapat mematuhi pengobatan dengan lebih konsisten.
Namun berdasarkan hasil penelitian Astuti dkk (2022) ditemukan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara usia dengan kepatuhan minum obat pasien TBC. Konsisten dengan temuan Wulandari (2015) bahwa usia merupakan faktor risiko ketidakpatuhan minum obat pasien TB. Penelitian ini menemukan nilai p sebesar 0,0869 yang menunjukkan bahwa tidak ada
hubungan yang signifikan antara usia dengan kepatuhan minum obat pasien TBC. Malianti (2020) melaporkan dalam penelitian terpisah bahwa tidak ada hubungan usia dengan kepatuhan minum obat pada 23 responden di wilayah kerja Puskesmas Parongpong (p = 0,083).
Penelitian yang sudah dilakukan oleh Ahmad et al (2021) menunjukkan adanya korelasi antara usia pasien dan kepatuhan minum obat pada pasien usia produktif, terutama yang berusia 26 hingga 35 tahun. Karena usia produktif lebih sering beraktivitas di luar, maka mereka berisiko lebih besar untuk tertular TB paru. Kualitas udara yang buruk di perkotaan juga dapat mengganggu kualitas paru-paru. Hasil uji Chi-Square menunjukkan bahwa p-value lebih besar dari 0,05. Hal ini berarti tidak ada hubungan antara usia dengan kepatuhan minum obat TB.
Pada penelitian Novalisa dkk (2022) juga menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara usia dengan kepatuhan minum obat untuk pasien yang ada di Puskesmas Sungai Betung. Pasien usia produktif (15-64 tahun) berpeluang 0,833 kali lebih besar untuk tidak patuh minum
SIMPULAN
Berdasarkan hasil dalam pembahasan penelitian mengenai analisis faktor-faktor yang mempunyai hubungan pada tingkat kepatuhan dalam minum obat seorang pasien TBC yang berada di daerah kerja Puskesmas Jagakarsa, maka dapat disimpulkan bahwa: tingkat kepatuhan minum obat sedang pada pasien TBC sebesar 50%. Pengetahuan yang baik (80%), dukungan keluarga yang baik (57,5%), dukungan tenaga kesehatan yang
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, B. K., Damanik, E., Wahyuningsih, R.
(2021). Hubungan Tingkat Pengetahuan Dengan Tingkat Kepatuhan Pengobatan Pada Pasien Tuberkulosis Di Rs Medika Dramaga. Jurnal Farmamedika, Vol.6 No 2.
Astuti, S. E. M. N., Kridawati, A., Indrawati, L. (2022). Hubungan Peran Anggota Keluarga Dengan Kepatuhan Minum Obat Pasien Tuberkulosis di Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Denpasar Selatan Provinsi Bali
obat dibandingkan pasien usia lanjut (>65 tahun) dengan RR = 0,833, 95% CI = 0,6970,950. Penelitian ini selaras dengan kesimpulan riset Simanjuntak dkk (2019) yang mendapatkan hasil bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara usia dan kepatuhan dalam pengobatan pasien TBC. Pasien usia produktif memiliki peningkatan risiko tertular TBC lima sampai enam kali lipat. Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa orang-orang dalam kelompok usia ini lebih mungkin terpapar Mycobacterium tuberculosis dalam aktivitas kesehariannya.
Pada penelitian ini ditemukan bahwa tidak ada hubungan antara usia dengan kepatuhan minum obat pada pasien TBC di wilayah kerja Puskesmas Jagakarsa. Berdasarkan analisis peneliti, hal tersebut menunjukkan bahwasanya usia tidak berpengaruh terhadap tindakan seseorang karena adanya faktor perantara seperti sikap seseorang dan faktor lain yang mempengaruhi kehendak seseorang. Begitu pula rasa patuh meminum obat pada usia produktif atau tidak, mempunyai motivasi yang berbeda-beda bagi setiap individu, baik dalam melaksanakan hidup sehat maupun perhatian akan kesehatannya.
baik (87,5%), dan terdapat usia remaja akhir yang terkena penyakit TBC (27,5%). Hasil uji Chi-Square yang sudah dilakukan menunjukkan bahwa hasil penelitian tidak memiliki hubungan yang signifikan antara keseluruhan variabel yang diteliti yaitu pengetahuan pasien mengenai TBC, dukungan keluarga, dukungan tenaga kesehatan, dan usia terhadap kepatuhan minum obat TBC.
Tahun 2022. Jurnal Untuk Masyarakat Sehat, Vol. 6, No 2.
Depkes R.I. (2007). Pedoman Nasional
Penanggulangan Tuberkulosis, Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Gerdunas TB: Jakarta.
Fitri, L., D., Merlindawati, J., Purba A. (2018). Kepatuhan Minum Obat Pada Pasien Tuberkulosis Paru, Artikel Penelitian Kapten Muslim No.37.
Hasanah, M., Makhfudli, L., Ni’mah, F., Efendi, And G. E., Aurizki. (2019). Peer Group Support On The Treatment Adherence Of Pulmonary Tuberculosis Patients. Iop Conference Series: Earth And
EnvironmentalScience 246:012033. http://Doi.O rg/10.1088/1755-1315/246/1/012033.
Herawati, C., Abdurakhman, N., Rundamintasih, N. (2020). Peran Dukungan Keluarga, Petugas Kesehatan dan Perciped Stigma dalam Meningkatkan Kepatuhan Minum Oba Pada Penderita TBC. Journal Kesehatan Masyarakat Indonesia, Vol. 15, No 1.
Irnawati, N. M. (2016). Pengaruh Dukungan Keluarga Terhadap Kepatuhan Minum Obat Pada Penderita Tuberkulosis Di Puskesmas Motoboi Kecil Kota Kotamobagu, Jurnal Kedokteran Komunitas dan Tropik, Vol.4. No.1.
Jacob, D.E., & Sandjaya. (2018). Jurnal Nasional Ilmu Kesehatan. JNIK LP2M Unhas, Vol 1, 2621-6507.
Jamila, Gerung J., Pawanei S. (2022). Factors Related to Compliance with Taking AntiTuberculosis Drugs at the Tirawuta Health Center, Jurnal Healthy Mandala Waluya, Vol. 1 No. 3, 212-213.
Kemenkes R.I. (2011). Buletin Jendela Data dan Informasi Kesehatan. Kementrian
Kesehatan Republik Indonesia: Jakarta.
Kemenkes R.I. (2014). Pedoman Nasional Pengendalian Tuberculoisis 2014. Direktur Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan: Jakarta.
Kemenkes R.I. (2015). Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Tahun 2015-2019, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia: Jakarta.
Kemenkes R.I. (2016). Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia: Jakarta.
Kemenkes R.I. (2018). Profil Kesehatan Indonesia 2017. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia: Jakarta.
Kemenkes R.I. (2019). Profil Kesehatan Indonesia 2018. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia: Jakarta.
Kemenkes R.I. (2019). Profil Kesehatan Indonesia 2020. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia: Jakarta.
Kigozi, N. G., Heunis, J. C., Engelbrecht, M. C., Janse Van Rensburg, A. P., & Van Rensburg, H. C. J. D. (2017). Tuberculosis knowledge, attitudes and practices of patients at primary health care facilities in a South African metropolitan: Research towards improved health education. BMC Public Health, 17(1), 1–8.
Malianti. (2020). Tingkat kepatuhan minum obat anti tuberkulosis pada pasien TB paru dewasa rawat jalan di puskesmas Dinoyo. Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim: Malang.
Morisky D.E., Ang A. and Krousel-wood M. (2009). Predictive Validity of A Medication Adherence Measure in an Outpatient Setting. NIH Public Acces.
Novalisa, Suanti, R., Nurmainah. (2022). Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan Penggunaan Obat Tuberkulosis pada Pasien di Puskesmas. Journal Syifa Sciences and Clinical Research. Vol.4. No.2.
Naga, S. (2012). Ilmu Penyakit Dalam. DIVA Press: Yogyakarta
Prihantana. (2016). Hubungan Pengetahuan dengan Tingkat Kepatuhan Pengobatan dan pasien Tuberkulosis di RSUD dr. Soehadi Prijonegoro, Sragen. J farm Sains dan Prakt, Sragen.
Septia A., Rahmalia S., Sabrian F.N. (2014). Hubungan Dukungan Keluarga Dengan Kepatuhan Minum Obat Pada Penderita TB Paru.
http://download.portalgaruda.org/article.php?art icle=186671&val=6447&title=Hubungan%20d ukungan%20keluarga%20dengan%20Kepatuha n%20minum%20obat%20pada%20%20Penderit a%20tb%20paru.
Simanjuntak, F. (2020). Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kepatuhan Berobat Pasien Tb Paru Di Puskesmas Glugur Darat Kecamatan Medan Timur. Skripsi. Fakultas Kesehatan Masyaerakat USU: Medan.
Sugiono, S. (2017). Faktor–Faktor Yang Berhubungan Dengan Tingkat Kepatuhan Mengkonsumsi Obat Pada Penderita Tuberkulosis Paru. Wawasan Kesehatan. Jurnal Ilmiah Ilmu Kesehatan, Vol. 3 No.1.
Ulfah, & Maria. (2011). Hubungan Dukungan Keluarga Dengan Kepatuhan Minum Obat Pada Pasien Tuberkulosis (TBC) Di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Kota Tangerang Selatan Tahun 2011. Skripsi. Universitas Islam Negeri (UIN): Tangerang Selatan.
WHO. (2017). Global Tuberculosis Report, I.
World Health Organization.
WHO. (2020). Tuberculosis. World Health Organization (WHO), [cited 2021 Jun 11]. Available from: https://www.who.int/news-
room/fact-sheets/detail/tuberculosis.
Wianti, A. (2018). Family Support Relationship With Drinking Drug Complete On Patients Of Tuberculosis Paru In Puskesmas Kaladawa Tegal Regency In 2017. Jurnal Kampus STIKes YPIB Majalengka, Vol.7 No.14.
Widiastutik, G. K., Makhfudin, M., dan Wahyuni, S. D. (2020). Hubungan Dukungan Keluarga, Kader, Dan Petugas Kesehatan Dengan Kepatuhan Berobat Penderita Tb Paru. Jurnal Keperawatan Komunitas, Vol.5 No.1.
Wulandari, D. H. (2015). Analisis faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan pasien tuberkulosis paru tahap lanjutan untuk minum obat di RS Rumah Sehat Terpadu Tahun 2015. Jurnal Arsi, Vol.2 No.1.
Wulandari, M.S.I., Rantung, j., Malinti, E. (2020). Faktor yang Berhubungan dengan Kepatuhan Minum Obat Pasien TBC di Wilayah Kerja
Puskesmas Parongpong. Jurnal Keperawatan Muhamadiyah.
Volume 11, Nomor 3, Juni 2023
158
Discussion and feedback