HUBUNGAN STIGMA MASYARAKAT DENGAN PENERIMAAN MASYARAKAT TERHADAP ORANG DENGAN GANGGUAN JIWA
on
Community of Publishing in Nursing (COPING), p-ISSN 2303-1298, e-ISSN 2715-1980
HUBUNGAN STIGMA MASYARAKAT DENGAN PENERIMAAN MASYARAKAT TERHADAP ORANG DENGAN GANGGUAN JIWA
Nepta Yulita1, Fathra Annis Nauli*1, Erwin1 1Jurusan Ilmu Keperawatan, Fakultas Keperawatan, Universitas Riau *korespondensi penulis, email: [email protected]
ABSTRAK
Penerimaan masyarakat terhadap orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) berfungsi untuk proses pemulihan dan mencegah kekambuhan ODGJ di lingkungan masyarakat. Stigma masyarakat merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi penderita gangguan jiwa ditolak atau diterima di lingkungan masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada hubungan antara stigma masyarakat dengan penerimaan masyarakat terhadap ODGJ. Penelitian ini menggunakan desain deskriptif korelasi dan pendekatan cross sectional. Sampel penelitian adalah 99 responden yang diambil berdasarkan kriteria inklusi menggunakan teknik cluster sampling, yaitu responden diambil dari perwakilan setiap kepala keluarga (KK) yang tinggal satu RT dengan ODGJ. Analisis yang digunakan adalah analisis bivariat menggunakan uji chi-square. Dari 99 responden stigma masyarakat menunjukkan sebanyak 52 responden (52,5%) dengan kategori stigma rendah, dan penerimaan masyarakat menunjukkan sebanyak 56 responden (56,6%) dengan kategori penerimaan baik dengan p value 0,000. Dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara stigma masyarakat dengan penerimaan masyarakat terhadap ODGJ.
Kata kunci: ODGJ, penerimaan, stigma
ABSTRACT
Public acceptance of people with mental disorders (ODGJ) functions for the recovery process and prevents recurrence of ODGJ in the community, community stigma is one of the factors that can affect people with mental disorders being rejected or accepted in the community. This study aimed to determine whether there is a relationship between community stigma and community acceptance of ODGJ. This study uses a descriptive correlation design and a cross sectional. The research sample was 99 respondents who were taken based on the inclusion criteria using cluster sampling technique which a respondent taken from representatives of each family head (KK) who lived in the same RT with ODGJ. The analysis used is bivariate analysis using chi-square. Of the 99 respondents, community stigma showed 52 respondents (52,5%) with low stigma category, and public acceptance showed 56 respondents (56,6%) with good acceptance category with p value 0,000. It can be concluded that there is a significant relationship between community stigma and public acceptance of ODGJ.
Keywords: acceptance, ODGJ, stigma
PENDAHULUAN
Seseorang dikatakan mengalami gangguan jiwa ketika adanya gangguan dalam perasaan, perilaku, serta pikiran dalam bentuk syndrom, sehingga dapat menyebabkan penderitaan dan hambatan dalam menjalankan fungsi sebagai manusia (Undang Undang Kesehatan Jiwa, 2014). World Health Organization (2017) mengatakan penderita gangguan jiwa di dunia diperkirakan sebanyak 450 juta jiwa. Sementara itu, Riset Kesehatan Dasar (2018) mengatakan terjadi peningkatan kasus gangguan jiwa berat yang jumlahnya diperkirakan 450 ribu orang. Permasalahan gangguan jiwa di Provinsi Riau saat ini cukup mengkhawatirkan, sebanyak 9.533 orang mengalami gangguan jiwa berat (Dinkes Provinsi Riau, 2019). Berdasarkan rekapitulasi jumlah orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) Puskesmas se-Kota Pekanbaru tahun 2021, didapatkan data jumlah ODGJ terbanyak terdapat di wilayah kerja Puskesmas Sidomulyo sebanyak 78 orang (Dinkes Kota Pekanbaru, 2021).
Penderita gangguan jiwa sering mendapatkan perlakuan yang tidak manusiawi. Hal ini disebabkan oleh ketidakpatuhan, pemahaman yang salah, serta penerimaan yang kurang baik dari masyarakat maupun keluarga mengenai gangguan jiwa. Oleh sebab itu, penderita gangguan jiwa yang sudah sehat cenderung mengalami kekambuhan (relapse) (Kemenkes RI, 2014). Disamping itu, stigma negatif merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi penderita gangguan jiwa ditolak atau mendapat penerimaan yang kurang baik dari masyarakat (Mawaddah dkk, 2020). Stigma yang didapatkan oleh ODGJ dapat mempengaruhi proses pemulihan, pengobatan, pekerjaan, serta hubungan sosial dengan masyarakat (Herdiyanto dkk, 2017).
Penerimaan (acceptance) merupakan suatu bentuk perilaku yang ditandai dengan sikap positif atau negatif, berupa suatu penghargaan dan pengakuan terhadap nilai-nilai individu dan tingkah
laku yang dapat dikendalikan, dimulai dari emosi positif atau emosi yang stabil, sedangkan penerimaan masyarakat diartikan sebagai bentuk pengakuan dan diterimanya seseorang, sehingga mereka dipandang positif di dalam suatu kelompok masyarakat, dapat menyesuaikan diri dan berperan aktif di dalam masyarakat (Chaplin, 2014).
ODGJ sering mendapatkan stigma dari masyarakat, dimana stigma merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi penerimaan masyarakat. Stigma negatif yang dialami penderita gangguan jiwa akan menyebabkan sulitnya ODGJ untuk diterima dan berinteraksi dengan masyarakat lainnya (Edwar dkk, 2020). Sejalan dengan pernyataan Erving Goffman (2003) dalam Purnama dkk (2016), stigma merupakan semua bentuk atribut fisik serta sosial yang dapat mempengaruhi identitas sosial seseorang yang dapat membuat individu tersebut didiskualifikasi dari penerimaan seseorang. Kepercayaan, terpapar informasi yang keliru, pengetahuan, serta minimnya pengalaman seseorang terhadap ODGJ merupakan faktor penyebab timbulnya stigma di masyarakat. Stigma yang didapatkan oleh ODGJ dapat mempengaruhi proses pemulihan, pengobatan, pekerjaan, serta hubungan sosial dengan masyarakat (Herdiyanto dkk, 2017).
Munculnya berbagai stigma di masyarakat terkait orang dengan gangguan jiwa, yaitu masyarakat menganggap penderita gangguan jiwa dengan sebutan orang gila, takut dengan ODGJ, tidak mau bergaul dengannya maupun keluarganya, penderita gangguan jiwa seharusnya dimasukkan ke rumah sakit jiwa. Maka dari itu, diperlukannya kesadaran dari diri masyarakat sehingga masyarakat memiliki pengetahuan yang baik agar tercipta stigma yang positif terhadap penderita gangguan jiwa (Usrareli et al., 2020).
Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan peneliti di wilayah kerja Puskesmas Sidomulyo, peneliti melakukan
wawancara kepada 10 orang masyarakat yang berada di sekitar wilayah kerja Puskesmas Sidomulyo pada tanggal 22-24 Januari 2022, 6 orang diantaranya kurang menerima bahkan tidak menerima keberadaan ODGJ di masyarakat karena hanya membuat gaduh, meresahkan, dan lebih baik ODGJ dikurung di dalam rumah atau dimasukkan ke RSJ. 4 orang lainnya
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian jenis deskriptif korelasi kuantitatif dengan desain cross sectional yang dilakukan di Wilayah Kerja Puskesmas Sidomulyo di Kelurahan Sidomulyo Barat, serta pengambilan data dilakukan pada bulan Mei 2022. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh masyarakat yang ada di Kelurahan Sidomulyo Barat. Metode pengambilan sampel dengan metode cluster sampling yang sesuai dengan kriteria inklusi sebanyak 9 RW dengan jumlah sampel sebanyak 99 responden. Kriteria inklusi peneliti yaitu bersedia menjadi responden, perwakilan setiap kepala keluarga (KK) yang tinggal berdekatan dengan ODGJ, berusia 20 sampai 60 tahun, dan bisa membaca dan menulis.
Pemilihan responden dalam penelitian ini diperoleh dengan menjaga etika penelitian seperti adanya lembar persetujuan responden (informed consent), menjaga kerahasiaan informasi responden, tidak menuliskan nama (anonymity) melainkan menuliskan kode, serta hanya menggunakan data hasil riset untuk kepentingan peneliti, meminimalisasi dampak yang merugikan bagi responden penelitian (nonmaleficence), dan keadilan (Sumantri, 2015). Peneliti telah mendapatkan izin etik penelitian dengan nomor surat etik yaitu 334/UN.19.5.1.8/KEPK.FKp/2022.
Alat ukur menggunakan kuesioner Mental Illness Stigma Scale untuk variabel stigma masyarakat dimodifikasi dari penelitian Purba (2020). Kuesioner stigma terdiri dari komponen labeling, stereotype, separation, dan diskriminasi serta
menerima keberadaan selagi tidak meresahkan, dan berhak mendapatkan perhatian serta perlakuan yang sama dengan orang lain. Berdasarkan pemaparan di atas peneliti tertarik untuk melihat hubungan antara stigma masyarakat dengan penerimaan masyarakat terhadap ODGJ.
kuesioner penerimaan masyarakat dimodifikasi dari penelitian Safrudin (2018) dengan komponen yang terdiri dari: terlibat dalam proses perawatan pasien, memperhatikan rencana dan cita-cita, semangat dan motivasi, menunjukkan rasa kasih sayang, berbicara dan berkomunikasi dengan penderita gangguan jiwa, dan memberikan contoh teladan yang baik yang telah dilakukan uji validitas di Kelurahan Tuah Karya, terdapat 12 butir pertanyaan yang valid untuk kuesioner stigma dengan reliabilitas 0,896 dan 15 butir pertanyaan yang valid untuk penerimaan masyarakat dengan reliabilitas 0,921. Perhitungan variabel stigma masyarakat dikelompokkan menjadi rendah dengan skor ≥ 36 dan tinggi dengan skor < 36. Untuk variabel penerimaan masyarakat dikelompokkan dengan kategori baik dengan skor ≥ 45 dan kategori kurang dengan skor < 45.
Kuesioner disebarkan langsung oleh peneliti dengan mendatangi langsung responden yang dibantu oleh dua asisten peneliti. Peneliti sebelumnya telah menjelaskan terkait penelitian kepada responden dan meminta kesediaan untuk mengisi lembar persetujuan menjadi responden (informed consent).
Analisa data yang digunakan adalah analisa univariat dan bivariat. Analisa univariat menggunakan distribusi frekuensi dari karakteristik responden yang meliputi usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, gambaran stigma masyarakat, dan gambaran penerimaan masyarakat. Analisa bivariat menggunakan uji chi square dengan α = 0,05.
HASIL PENELITIAN
Tabel 1. Karakteristik Responden Penelitian
No. |
Karakteristik Responden |
Frekuensi |
Persentase (%) |
1. |
Umur Remaja awal (17-25 tahun) Dewasa awal (26-35 tahun) Dewasa akhir (36-45 tahun) Lansia awal (46-55 tahun) Lansia akhir (56-65 tahun) |
15 36 22 17 9 |
15,2 36,4 22,2 17,2 9,1 |
2. |
Jenis Kelamin | ||
Perempuan |
51 |
51,5 | |
Laki-laki |
48 |
48,5 | |
3. |
Tingkat Pendidikan | ||
SD |
4 |
4,0 | |
SMP |
9 |
9,2 | |
SMA |
44 |
44,4 | |
PT/Diploma |
42 |
42,4 | |
4. |
Jenis Pekerjaan | ||
IRT |
28 |
28,3 | |
Karyawan Swasta |
23 |
23,2 | |
Wiraswasta |
23 |
23,2 | |
Pegawai Negeri |
9 |
9,1 | |
Lain-lain |
16 |
16,2 | |
Total |
99 |
100,0 | |
Berdasarkan tabel 1 terlihat bahwa sebagian besar karakteristik umur responden berada pada kategori dewasa awal (26-35 tahun) dengan jumlah 36 orang responden (36,4%). Karakteristik jenis kelamin sebagian besar responden |
responden (51,5%). Karakteristik pendidikan terakhir responden sebagian besar yaitu SMA dengan jumlah 44 orang responden (44,4%). Karakteristik pekerjaan responden sebagian besar yaitu IRT sebanyak 28 orang responden |
adalah perempuan dengan jumlah 51 orang (28,3%).
Tabel 2. Stigma Masyarakat Responden Penelitian
No Stigma Masyarakat |
Frekuensi Persentase (%) |
1. Rendah |
52 52,5 |
2. Tinggi |
47 47,5 |
Total |
99 100,0 |
Tabel 2 diperoleh data bahwa distribusi frekuensi responden berdasarkan stigma didapatkan hasil bahwa sebagian |
besar stigma responden adalah rendah terhadap ODGJ dengan jumlah 52 responden (52,5%). |
Tabel 3. Penerimaan Masyarakat Responden Penelitian
No Penerimaan Masyarakat Frekuensi |
Persentase (%) |
1. Kurang 43 |
43,4 |
2. Baik 56 |
56,6 |
Total 99 |
100,0 |
Tabel 3 menunjukkan bahwa dengan kategori baik terhadap ODGJ
mayoritas responden memiliki penerimaan dengan jumlah 56 responden (56,6%).
Tabel 4. Hasil Analisis Uji Chi Square
Penerimaan Masyarakat Stigma Masyarakat Kurang Baik o a N % N % N % |
p value |
Rendah 7 13,5 45 86,5 52 100 Tinggi 36 76,6 11 23,4 47 100 Total 43 43,4 56 56,6 99 100 |
0,000 |
Tabel 4 menunjukkan responden dengan stigma dalam kategori rendah (stigma positif) sebanyak 52 responden, dari 52 responden tersebut sebanyak 7 orang (13,5%) adalah responden dengan penerimaan terhadap ODGJ dalam kategori kurang dan 45 (86,5%) lainnya termasuk dalam kategori baik. Selanjutnya responden dengan stigma dalam kategori tinggi (stigma negatif) sebanyak 47
PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan karakteristik umur responden mayoritas berada dalam rentang usia 26-35 (dewasa awal). Semakin bertambahnya usia seseorang, pola pikir serta daya tangkap seseorang akan semakin berkembang sehingga menghasilkan pengetahuan yang baik (Mubarak, 2012). Terjadinya peningkatan dalam pertumbuhan fisik dan psikologis sehingga membuat pola pikir semakin matang dan dewasa (Notoatmodjo, 2012). Seseorang akan cenderung mengalami kematangan dalam proses berpikir dan bekerja seiring dengan bertambahnya usia (Ariga, 2020). Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sya’diyah (2018) bahwa ketika seseorang berada dalam usia produktif, maka pemahamannya akan baik terhadap orang dengan gangguan jiwa.
Jenis kelamin responden dalam penelitian ini didapatkan hasil bahwa sebagian besar memiliki jenis kelamin perempuan. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Asriani (2020) bahwa mayoritas responden memiliki jenis kelamin perempuan di Kelurahan Sidomulyo Barat. Perempuan lebih lemah lembut dalam bersikap kepada orang lain sehingga perempuan cenderung memiliki sikap positif dibandingkan dengan laki-laki (Yuan et al., 2016). Sejalan dengan pernyataan Richard dalam Suhardin (2016) bahwa dari segi kepribadian, perempuan lebih penuh kasih sayang, lembut, sensitif dan senantiasa lebih patuh, sedangkan kepribadian laki-laki lebih agresif, kompetitif, tegas, kasar, dan independen.
responden, dari 47 tersebut 36 (76,6%) responden adalah responden dengan penerimaan terhadap ODGJ dalam kategori kurang dan 11 (23,4%) sisanya termasuk ke dalam kategori baik. Adapun nilai signifikansi (p value) sebesar 0,000 sehingga dapat disimpulkan H0 ditolak, ada hubungan yang signifikan antara stigma masyarakat dengan penerimaan masyarakat terhadap ODGJ.
Pendidikan responden dalam penelitian ini mayoritas adalah SMA. Pendidikan merupakan suatu proses untuk mengubah sikap dan tingkah laku seseorang atau kelompok sebagai bentuk pendewasaan diri, sehingga semakin tinggi pendidikan seseorang semakin mudah orang tersebut untuk menerima suatu informasi yang akan berdampak pada pengetahuan seseorang terhadap sesuatu (Budiman & Riyanto, 2013). Seseorang akan mempelajari banyak hal melalui pendidikan, menerima, dan menyerap berbagai informasi, serta mengubah persepsi sehingga terbentuklah pemahaman yang benar (Yulianti & Wijayanti, 2016). Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Yanuar (2019) bahwa pendidikan sangat berkaitan erat dengan pengetahuan seseorang, yang mana semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang semakin luas pengetahuan yang diperoleh sehingga dapat menambah wawasan, mempengaruhi seseorang dalam bersikap, dan membentuk pemahaman yang benar.
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan mayoritas responden bekerja sebagai IRT. Hal ini berkaitan dengan mayoritas responden dalam penelitian ini memiliki jenis kelamin perempuan. Selanjutnya juga didominasi oleh responden yg bekerja sebagai karyawan swasta sebanyak 23 orang dan wiraswasta sebanyak 23 orang (23,2%). Pekerjaan merupakan adanya suatu aktivitas yang dilakukan, disertai dengan adanya waktu dan tenaga yang dihabiskan dengan mengharapkan suatu imbalan atau hanya
sekedar kewajiban kepada orang lain (Wiltshire, 2016). Pekerjaan dapat mempengaruhi informasi dan pengetahuan seseorang. Pengalaman merupakan salah satu sumber pengetahuan yang bisa didapatkan melalui bekerja, sehingga seseorang dapat mengembangkan kemampuan dalam mengambil keputusan melalui keterampilan profesional yang dimilikinya dalam bekerja (Budiman & Riyanto, 2013). Lingkungan pekerjaaan seseorang dapat mempengaruhi pengetahuan seseorang baik secara langsung maupun tidak langsung (Notoatmodjo, 2012).
Stigma masyarakat terhadap orang dengan gangguan jiwa, sebagian besar dengan kategori stigma rendah terhadap ODGJ. Stigma merupakan suatu ciri negatif yang melekat pada pribadi seseorang yang dipengaruhi oleh lingkungan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2021). Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa pendidikan responden mayoritas adalah SMA. Pendidikan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi stigma seseorang. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Collins (2012) bahwa proses, kontak, serta pendidikan dapat menurunkan stigma seseorang terhadap sesuatu. Seseorang yang memiliki pendidikan tinggi akan cenderung memiliki stigma yang rendah (stigma positif) terhadap ODGJ.
Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Purba (2020) bahwa mayoritas masyarakat memiliki stigma rendah atau disebut juga dengan stigma positif. Hal ini disebabkan oleh masyarakat berinteraksi / terpapar langsung dengan ODGJ sehingga dapat menurunkan stigma terhadap orang dengan gangguan jiwa serta pendidikan masyarakat di sana rata-rata dengan pendidikan tinggi yaitu SMA. Diperkuat dengan penelitian yang dilakukan oleh Mane dkk (2022) bahwa sebagian besar responden di Desa Lela Dusun Ruwolong memiliki stigma positif terhadap ODGJ. Hal ini disebabkan karena masyarakat di tempat tersebut sebagian besar memiliki pandangan positif terhadap
ODGJ karena mereka percaya bahwa ODGJ bukanlah kutukan, tidak harus diisolasi dari lingkungan masyarakat, ODGJ dapat sembuh, pendidikan responden serta responden terpapar informasi mengenai ODGJ melalui media massa.
Terkait penerimaan masyarakat, mayoritas responden memiliki penerimaan yang baik terhadap ODGJ. Penerimaan masyarakat diartikan sebagai bentuk pengakuan dan diterimanya seseorang, sehingga mereka dipandang positif di dalam suatu kelompok masyarakat, dapat menyesuaikan diri dan berperan aktif di dalam masyarakat (Chaplin, 2014). Diperkuat dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Islamiati dkk (2018), dimana terlihat dari aspek benevolence yaitu pandangan masyarakat yang mengacu kepada simpati seseorang terhadap ODGJ, didapatkan hasil bahwa mayoritas masyarakat sudah menerima dengan baik penderita gangguan jiwa. Dibuktikan dengan adanya simpati dan bantuan masyarakat terhadap penderita gangguan agar diterima di lingkungan masyarakat.
Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Hanum (2013) bahwa mayoritas responden dalam penelitian ini memiliki penerimaan dengan kategori baik terhadap ODGJ. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Surahmiyati dkk (2017), penerimaan masyarakat terhadap gangguan jiwa sudah baik. Hal ini didukung karena adanya layanan kesehatan jiwa yang dilakukan di masyarakat sehingga dapat meningkatkan pemahaman masyarakat.
Hasil analisis bivariat didapatkan ada hubungan yang signifikan antara stigma masyarakat dengan penerimaan masyarakat terhadap ODGJ. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Edwar dkk (2020), bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara stigma masyarakat dengan penerimaan masyarakat terhadap pasien skizofrenia. Sejalan dengan pernyataan Goffman (2003) dalam Purnama dkk (2016), stigma
merupakan suatu bentuk atribut fisik serta sosial yang mempengaruhi identitas seseorang yang dapat membuat individu tidak diterima di lingkungan masyarakat.
Berdasarkan hasil penelitian, stigma masyarakat sangat berpengaruh terhadap penerimaan masyarakat terhadap ODGJ. Sesuai dengan pernyataan Purba dkk (2017), stigma masyarakat berpengaruh terhadap penerimaan masyarakat terhadap ODGJ, yang mana jika stigma masyarakat tinggi akan menghambat penerimaan ODGJ di lingkungan masyarakat. Stigma negatif merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi ODGJ ditolak atau penerimaan yang kurang baik dari
SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa karakteristik umur responden pada penelitian ini sebagian besar berada pada kategori dewasa awal dengan rentang usia 26-35 tahun (36,4%), responden mayoritas adalah perempuan (51,5%), berdasarkan tingkat pendidikan didapatkan bahwa mayoritas responden pendidikan SMA (44,4%), untuk pekerjaan
DAFTAR PUSTAKA
Ariga, R. A. (2020). Soft Skills keperawatan di era
milenial 4.0. Yogyakarta: CV Budi Utama.
Asriani. (2020). Hubungan tingkat pengetahuan terhadap sikap masyarakat pada orang dengan gangguan jiwa. Jurnal Kesehatan, 77-85.
Budiman, & Riyanto, A. (2013). Kapita selekta kuesioner pengetahuan dan sikap dalam penelitian kesehatan. Jakarta : Salemba Medika.
Chaplin, J. (2014). Kamus lengkap psikologi.
Terjemahan oleh Kartini Kartono. Depok: Rajawali Pers.
Collins, C. (2012). The pshychology book. New York: Dorling Kindsersley Limited.
Dinas Kesehatan Kota Pekanbaru. (2021). Profil dinas kesehatan kota pekanbaru. Diakses dari Dokumen Pribadi: Dinas Kesehatan Kota Pekanbaru.
Dinas Kesehatan Provinsi Riau. (2019). Profil kesehatan provinsi riau. Diakses 20 Januari 2022, dari dinkes.riau.go.id:
Edwar, R., Putri, D. E., & Refrandes, R. (2020).
Hubungan stigma masyarakat dengan penerimaan keluarga pada pasien skizofrenia di Poliklinik Rumah Sakitr Jiwa
masyarakat, begitu pula sebaliknya jika stigma masyarakat positif maka masyarakat akan menerima ODGJ dengan baik (Mawaddah dkk, 2020).
Menurut asumsi peneliti, mayoritas masyarakat memiliki stigma yang rendah terhadap ODGJ sehingga masyarakat memiliki pandangan yang positif terhadap ODGJ, dan kemudian terbentuklah penerimaan yang baik terhadap ODGJ. Stigma masyarakat yang rendah didasarkan pada mayoritas masyarakat sudah berpendidikan tinggi, sehingga masyarakat tidak mudah menerima stigma negatif terhadap ODGJ.
responden sebagian besar bekerja sebagai ibu rumah tangga (28,3%). Responden memiliki stigma rendah (52,5%), serta penerimaan baik (56,6%) terhadap ODGJ, sehingga dapat disimpulkan terdapat hubungan yang signifikan antara stigma masyarakat dengan penerimaan masyarat terhadap ODGJ.
Daerah Jambi. (Skripsi). Fakultas Keperawatan Universitas Andalas:
Hanum, H. (2013). Faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan masyarakat terhadap orang dengan gangguan jiwa di Desa Kedondong Kecamatan Sokaraja Kabupaten Banyumas. Skripsi. Purwokerto: Universitas Muhammadiyah Purwokerto.
Herdiyanto, Y. K., Tobing, D. H., & Vembriati, N. (2017). Stigma terhadap orang dengan
gangguan jiwa di Bali. Jurnal Ilmiah
Psikologi, Vol. 8 No. 2, 121-132.
Islamiati, R., Widianti, E., & Suhendar, I. (2018). Sikap masyarakat terhadap orang dengan gangguan jiwa di Desa Kersamanah Kabupaten Garut. Jurnal Keperawatan BSI, Vol. VI No. 2, 195-205.
KBBI. (2021). Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Diakses 05 Januari 2022, dari https://kbbi.lektur.id/stigma.
Kemenkes RI. (2014). Stop stigma dan diskriminasi terhadap orang dengan gangguan jiwa. Diakses 06 Januari 2022, dari sehatnegriku.kemenkes.go.id:
https://sehatnegeriku.kemkes.go.id/baca/rilis -media/20141011/5211289/stop-stigma-dan-
diskriminasi-terhadap-orang-dengan-gangguan-jiwa-odgj/
Mane, G., Kuwa, M. R., & Sulastein, H. (2022). Gambaran stigma masyarakat pada orang dengan gangguan jiwa (ODGJ). Jurnal Keperawatan Jiwa (JKI) Vol. 19. No. 1, 185192.
Mawaddah, N., Sari, I. P., & Prastya, A. (2020). Faktor predisposisi dan presipitasi terjadinya gangguan jiwa di Desa Sumbertebu Bangsal Mojokerto. Jurnal Ilmu Kesehatan Vol 12 No. 2 November 2020, 116-123.
Mubarak. (2012). Ilmu kesehatan masyarakat. Jakarta: Salemba Medika.
Notoatmodjo, S. (2012). Metodologi penelitian kesehatan. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Purba, J.M., Suttharangsee, W., & Chaowalit, A. (2017). Effectiveness of a coaching program for family caregivers of person with schizophrenia: a randomized controlled trial. Walailak Journal of Science & Technology, 14(1), 11-24.
Purba, Y. (2020). Hubungan pengetahuan dengan stigma masyarakat terhadap orang dengan gangguan jiwa di Lingkungan I, Kelurahan Helvetia Tengah, MedanHelvetia (skripsi). Fakultas Keperawatan: Universitas Sumatera Utara.
Purnama, G., Yani, D. I., & Sutini, T. (2016). Gambaran stigma masyarakat terhadap klien gangguan jiwa di RW 09 Desa Cileles Sumedang. Jurnal Pendidikan Keperawatan Indonesia Vol.2 No.1, 31-39.
Riskesdas. (2018). Balitbang Kemenkes RI. Diakses dari Data hasil riset kesehatan dasar.
Safrudin, A. (2018). Hubungan antara dukungan instrumental keluarga dengan penerimaan keluarga terhadap orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) di RSJD Atma Husada Mahakam Samarinda (skripsi). Kalimantan Timur: Universitas Muhammadiyah Jurusan Ilmu Keperawatan.
Suhardin. (2016). Pengaruh perbedaan jenis kelamin dan pengetahuan tentang konsep dasar ekologi terhadap kepedulian
lingkungan. Jurnal Penelitian Pendidikan Agama dan Keagamaan.
Sumantri, A. (2015). Metodologi penelitian kesehatan. Jakarta: Prenada Media Group Cetakan ke 3.
Surahmiyati, S., Yoga, B. H., & Hasanbasri, M. (2017). Dukungan sosial untuk orang dengan gangguan jiwa di daerah miskin : studi di sebuah wilayah puskesmas di Gunungkidul. Journal of Community Medicine and Public Health , 403-410.
Sya'diyah, H. (2018). Studi tingkat pengetahuan masyarakat tentang gangguan jiwa di Desa Banjar Kemantren Buduran Sidoarjo. Jurnal Ilmiah Kesehatan, 1-8.
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa. Jakarta: Sekretariat Negara.
Usrareli, Fitriana, D., Magdalena., Melly., Idayanti. (2020). Hubungan stigma gangguan jiwa dengan perilaku masyarakat pada orang dengan gangguan jiwa di wilayah kerja Puskesmas Karya Wanita Pekanbaru. Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari Jambi, 353358.
Wiltshire, A. H. (2016). The meanings of work in a public work scheme in shout africa. International Journal of Sociology and Social Policy.
World Health Organization. (2017). In Depression and other common mental disorders: Global health estimates. Geneva: World Health Organization.
Yanuar, R. (2019). Analisis faktor yang berhubungan dengan kejadian gangguan jiwa di Desa Pariangan Kecamatan Jenangan Kabupaten Ponorogo. Psychiatry Nursing Journal, 4(1), 1-12.
Yuan, Q., Abdin, E., Picco, L., & Vingkar , J. A. (2016). Attitudes to mental illness and its demographic correlates among general population in singapore. PloS one, 11(11), e0167297.
Yulianti, T. S., & Wijayanti, W. M. (2016).
Hubungan tingkat pendidikan dan tingkat pengetahuan tentang kesehatan jiwa dengan sikap masyarakat terhadap pasien gangguan jiwa. Jurnal Kosala JIK Vol. 4 No.1.
Volume 10, Nomor 6, Desember 2022
589
Discussion and feedback