Community of Publishing in Nursing (COPING), p-ISSN 2303-1298, e-ISSN 2715-1980

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KECEMASAN PADA PASIEN PASCA STROKE

Siti Khairunnisa*1, Veny Elita1, Bayhakki1

1Jurusan Ilmu Keperawatan, Fakultas Keperawatan, Universitas Riau *korespondensi penulis, email: sitikhairunnisa24@gmail. com

ABSTRAK

Stroke adalah suatu sindrom klinis yang ditandai dengan hilangnya fungsi otak secara akut dan dapat menimbulkan kematian. Stroke dapat menimbulkan permasalahan yang kompleks secara fisik maupun psikologis. Masalah fisik yang biasanya dialami oleh penderita stroke diantaranya adalah kelumpuhan. Sedangkan masalah psikologis yang biasanya dialami oleh pasien stroke adalah kecemasan. Desain cross sectional dilakukan pada 30 pasien pasca stroke menggunakan teknik kuota sampling. Hamilton Anxiety Scale (HARS) digunakan untuk mengukur tingkat kecemasan, sementara Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI) digunakan untuk mengukur kualitas tidur. Analisis data menggunakan uji Chi-Square dengan nilai signifikansi 0,05. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara usia dengan kecemasan pada pasien pasca stroke (p value = 0,012), terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan kecemasan pada pasien pasca stroke (p value = 0,004), dan terdapat hubungan antara kualitas tidur dengan kecemasan pada pasien pasca stroke (p value = 0,004). Kecemasan pasca stroke pada kategori berat banyak terjadi di usia lanjut, berjenis kelamin perempuan, dan memiliki kualitas tidur buruk.

Kata kunci: kecemasan, kualitas tidur, pasca stroke

ABSTRACT

Stroke is a clinical syndrome characterized by acute loss of brain function and can cause death. Stroke can cause complex physical and psychological problems. The physical problem that is usually experienced by stroke sufferers is paralysis, while one of the psychological problem that is usually experienced by stroke patients is anxiety. This study aims to determine the factors related to anxiety in post-stroke patients. A cross sectional design was conducted among 30 post-stroke patients using quota sampling. Hamilton Anxiety Rating Scale (HARS) was used to measure the level of anxiety, while Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI) was used to measure sleep quality. Chi-Square Test by 0,05 significance values is examined as data analysis. The results showed that there is a relationship between age and anxiety in post-stroke patients (p value = 0,012), there is a relationship between gender and anxiety in post-stroke patients (p value = 0,004), and there is a relationship between sleep quality and anxiety in post-stroke patients (p value = 0,004). Post-stroke anxiety in the severe category occurs mostly in the elderly, female, and has poor sleep quality.

Keywords: anxiety, post-stroke, sleep quality

PENDAHULUAN

Stroke merupakan penyakit pemicu kematian nomor dua serta penyebab kecacatan nomor tiga di dunia. Terdapat 13,7 juta kejadian stroke baru setiap tahun, dan kurang lebih 5,5 juta orang meninggal karena stroke (Kemenkes RI, 2018). Prevalensi stroke pada tahun 2019 bertambah dari 7% menjadi 10,9% di negara berpendapatan rendah dan sedang. Sementara itu, peristiwa stroke menurun sebesar 42% di negara berpendapatan tinggi (Li et al., 2020). Menurut data SEAMIC, Indonesia memiliki angka kematian stroke tertinggi di Asia Tenggara, disusul Filipina, Singapura, Brunei, Malaysia, dan Thailand (Venketasubramanian et al., 2017).

Stroke dapat mengakibatkan permasalahan yang kompleks serta dapat menyebabkan berbagai perubahan pada pasien pasca stroke, baik fisik maupun psikis. Perubahan fisik yang biasa diderita oleh pasien stroke, antara lain kelumpuhan, gangguan pengecapan, dan gangguan aktivitas. Sementara itu, perubahan psikologis yang biasanya dialami oleh penderita stroke meliputi gangguan berpikir, kesadaran, pemfokusan, gangguan komunikasi, kecemasan, dan tekanan emosional berupa kemarahan, kesedihan, dan perasaan tidak berdaya (Sutriningsih & AW, 2017). Jika tidak diobati, masalah ini dapat menyebabkan depresi, rasa malu, kekecewaan, harga diri rendah, dan kecacatan sosial (Herawati, 2014).

Kecemasan adalah keadaan emosi yang tidak memuaskan disertai dengan perasaan takut, ketidaknyamanan fisik, dan gejala fisik (Cornelius, 2012). Kecemasan pada pasien pasca stroke adalah keadaan emosi yang tidak memuaskan yang timbul akibat adanya gangguan pada fungsi-fungsi tubuh akibat stroke. Kecemasan merupakan masalah kesehatan kedua setelah depresi yang tak jarang terjadi pasca stroke dengan prevalensi 20% sampai 30% pasien serta merupakan persoalan yang mengganggu terhadap proses rehabilitasi yang bisa berdampak pada kesehatan yang lebih buruk (Wright et al., 2017). Tingginya kejadian kecemasan pasca stroke

disebabkan oleh banyak faktor. Beberapa faktor yang berasosiasi dengan kecemasan pasca stroke adalah usia, jenis kelamin, dan kualitas tidur (Li et al., 2019).

Menurut penelitian Ananda dan Darliana (2017), kelompok usia yang sering mengalami kecemasan pasca stroke adalah pasien yang berada pada masa dewasa lanjut, yaitu pada usia 36-65 tahun. Dewasa lanjut memiliki risiko kecemasan pasca stroke yang lebih tinggi daripada dewasa muda. Hal ini disebabkan oleh keadaan kesehatan manusia secara umum. Usia tua digambarkan dengan kemampuan tubuh beradaptasi dengan stres lingkungan yang menurun, melemahnya kondisi fisik akibat stroke, kerusakan memori, dan hilangnya produktivitas. Kondisi ini membentuk pasien lanjut usia lebih bergantung pada orang lain untuk memenuhi kebutuhannya, yang dapat menyebabkan kecemasan yang serius (Ananda & Darliana, 2017).

Jenis kelamin juga berpengaruh terhadap timbulnya kecemasan pada pasien stroke. Menurut penelitian Ananda dan Darliana (2017), stroke lebih banyak terjadi pada pria. Pilihan gaya hidup yang buruk, seperti merokok, adalah penyebab stroke pada pria. Zat beracun dalam rokok dapat merusak dinding pembuluh darah karena plak, seperti kolesterol, mudah menempel, menyebabkan pembuluh darah menyempit dan berisiko pecah. Ketika seorang laki-laki didiagnosis stroke, setiap sudut kehidupannya mulai berubah, pasien mengalami keterbatasan fisik yang dapat mengganggu tanggung jawab untuk mencari penghasilan. Keterbatasan aktivitas akan membuat pasien tidak dapat bekerja secara makasimal, sehingga penghasilan menjadi rendah. Pasien juga perlu memikirkan anggaran berobat selama proses penyembuhannya yang mahal. Hal ini akan mempengaruhi keadaan mental pasien sehingga menimbulkan kecemasan pasca stroke pada pasien tersebut.

Berdasarkan penelitian sebelumnya oleh Xiao et al (2020) menunjukkan kualitas tidur buruk adalah faktor risiko yang signifikan terhadap kecemasan pasca

stroke. Pada pasien pasca stroke, kurang tidur dapat menimbulkan efek negatif seperti lebih rentan mengalami kecemasan (Choueiry et al., 2016). Tetapi mekanisme terjadinya kecemasan pada pasien pasca stroke karena kualitas tidur yang buruk masih belum jelas. Saat ini, beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa kurang tidur pada pasien pasca stroke menyebabkan gangguan fungsi eksekutif termasuk inhibation of a tension dan fungsi memori yang mengurangi koneksi ke area otak yang terkait fungsi eksekutif sehingga

METODE PENELITIAN

Desain penelitian yang digunakan adalah deskriptif korelasi dengan pendekatan cross sectional. Pelaksanaan penelitian dilakukan pada bulan Februari sampai Agustus 2021 di wilayah kerja Puskesmas Rejosari dengan populasi penelitian sebanyak 146 pasien pasca stroke dan sampel penelitian sebanyak 30 pasien pasca stroke yang diambil menggunakan teknik kuota sampling. Kriteria inklusi, yaitu memiliki riwayat stroke dalam kurun waktu sebulan terakhir, berdomisili di Pekanbaru, dan bersedia menjadi responden. Kriteria eksklusi yaitu tidak sadar dan tidak bisa berkomunikasi.

Pengambilan data menggunakan kuesioner yang disebarkan secara online melalui google form dengan cara diberikan peneliti kepada keluarga pasien yang peneliti temui di puskesmas untuk diisi berdasarkan kondisi pasien di rumah dan secara offline dengan cara kuesioner offline diisi oleh peneliti ketika bertemu dengan pasien pasca stroke saat peneliti berkeliling di wilayah kerja puskesmas Rejosari. Kuesioner terbagi menjadi 3 yaitu, kuesioner A (karakteristik responden),

HASIL PENELITIAN

Hasil penelitian tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan kecemasan pada pasien pasca stroke pada tanggal 16 Juli

mengurangi kapasitas otak untuk mengatur dan menghambat kecemasan (Cox & Olatunji, 2021). Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan di atas dapat disimpulkan bahwa kecemasan pasca stroke apabila tidak diperhatikan dan diobati dapat menimbulkan masalah-masalah lain yang mengganggu terhadap proses rehabilitasi yang bisa berdampak pada kesehatan yang lebih buruk, sehingga peneliti merasa perlu mengetahui faktor apa saja yang berhubungan dengan kecemasan pada pasien pasca stroke.

kuesioner B (Hamilton Anxiety Rating Scale), dan kuesioner C (Pittsburgh Sleep Quality Index). Analisa data dilakukan dengan program komputer. Analisa univariat dalam penelitian ini adalah karakteristik responden, sementara analisa bivariat penelitian ini menggunakan uji chisquare.

Data kecemasan dikategorikan menjadi kecemasan ringan-sedang bila skor 14-27 dan kecemasan berat bila skor 28-41. Hal ini dilakukan untuk mencegah data kehilangan makna karena syarat ketentuan uji chi square tidak terpenuhi saat uji analisis, yaitu terdapat sel yang memiliki nilai ekspektasi <5 atau >20%. Pengkategorian ini sesuai dengan kuesioner HARS yang mengklasifikasikan kategori cemas ringan bila skor 14-20, cemas sedang bila skor 21-27, cemas berat bila skor 2841, dan cemas berat sekali/panik bila skor 42-56 (Saputro & Fazris, 2017). Penelitian ini telah mendapatkan persetujuan etik dari Komite Etik Penelitian Keperawatan dan Kesehatan Fakultas Keperawatan Universitas Riau No. 229/UN.19.5.1.8/KEPK.FKp.2021.

sampai 29 Juli 2021 dengan sampel sebanyak 30 responden ditampilkan dalam tabel berikut:

Tabel 1. Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden (n=30)

Karakteristik responden

F

%

Usia

Dewasa awal (21-40 tahun)

0

0

Dewasa menengah (41-60 tahun)

8

26,7

Dewasa lanjut (>60 tahun)

22

73,7

Total

30

100

Jenis Kelamin

Laki-laki

12

40

Perempuan

18

60

Total

30

100

Tingkat Pendidikan

SD

7

23,3

SMP

2

6,7

SMA

15

50

Perguruan Tinggi

6

20

Total

30

100

Pekerjaan

Tidak bekerja

24

80

Bekerja

6

20

Total

30

100

Tingkat Kecemasan

Cemas ringan

10

33,3

Cemas sedang

4

13,3

Cemas berat

16

53,3

Total

30

100

Kualitas tidur

Baik

14

46,7

Buruk

16

53,3

Total

30

100

Tabel   1   menunjukkan  bahwa

responden (50%) dan mayoritas responden

mayoritas responden berusia dewasa lanjut

tidak bekerja

sebanyak

24 responden

sebanyak 22 responden (73,7%), dengan

(80%). Distribusi berdasarkan tingkat

mayoritas berjenis kelamin perempuan

kecemasan menunjukkan bahwa mayoritas

sebanyak 18 responden (60%). Distribusi

responden  mengalami

cemas   berat

berdasarkan      tingkat     pendidikan

sebanyak 16

responden

(53,3%) dan

menunjukkan bahwa mayoritas tingkat

kualitas tidur buruk sebanyak 16 responden

pendidikan adalah SMA sebanyak 15

(53,3%).

Tabel 2. Hubungan Usia dengan Tingkat Kecemasan pada Pasien Pasca Stroke

Tingkat Kecemasan

Usia            Cemas ringan-sedang (N)

(%)

Cemas berat (N)          p value

(%)

Dewasa menengah                   7

(87,5)

1                     0,012

(12,5)

Dewasa lanjut                         7

(31,8)

15

(68,2)

Tabel 2 menunjukkan bahwa kecemasan terbanyak dialami oleh dewasa lanjut (68,2%) dengan kecemasan berat. Sedangkan kecemasan paling sedikit dialami oleh dewasa menengah (12,5%)

dengan kecemasan berat. Hasil uji chisquare menunjukkan p value 0, 012 (< 0,05) yang berarti Ho ditolak, terdapat hubungan antara usia dengan tingkat kecemasan pada pasien pasca stroke.

Tabel 3. Hubungan Jenis Kelamin dengan Tingkat Kecemasan pada Pasien Pasca Stroke

Tingkat Kecemasan

Jenis Kelamin        Cemas ringan-sedang (N)        Cemas berat (N)         p value

(%)                     (%)

Laki-laki

10                           2                   0,004

(83,3)                           (16,7)

Perempuan

4                            14

(22,2)                           (77,8)

Tabel kecemasan perempuan

3   menunjukkan   bahwa      uji chi-square menunjukkan p value 0,004

terbanyak   dialami   oleh       (< 0,05) yang berarti Ho ditolak, terdapat

(77,8%) dengan kecemasan      hubungan antara jenis kelamin dengan

berat, dan lebih sedikit dialami oleh laki-       tingkat kecemasan pada pasien pasca

laki (16,7%) dengan kecemasan berat. Hasil       stroke.

Tabel 4. Hubungan Kualitas Tidur dengan Tingkat Kecemasan pada Pasien Pasca Stroke

Tingkat Kecemasan

Kualitas Tidur

Cemas ringan-sedang (N) (%)

Cemas berat (N) (%)

p value

Baik

11 (78,6%)

3 (21,4)

0,004

Buruk

3 (18,8)

13

(81,3)

Tabel 4 menunjukkan bahwa kecemasan terbanyak dialami oleh responden yang memiliki kualitas tidur buruk (81,3%) dengan kecemasan berat. Hasil uji chi-square menunjukkan p value

PEMBAHASAN

Usia adalah satuan waktu yang mengukur keberadaan suatu benda atau makhluk, baik hidup ataupun mati (Kemenkes RI, 2018). Resiko stroke akan bertambah tinggi seiring dengan bertambahnya usia, terutama setelah usia 55 tahun (Kustiawan, 2015).

Terkait dengan kecemasan, menurut penelitian Purba (2011) lanjut usia sering menunjukkan masalah fisik dan psikologis. Salah satu bentuk masalah psikologis adalah cemas. Sesuai dengan penelitian Ananda dan Darliana (2017) bahwa orang yang lebih tua lebih rentan mengalami kecemasan daripada orang yang lebih muda. Hal ini dipengaruhi oleh kesehatan umum di masa tua, yang mengurangi kemampuan tubuh untuk terbiasa dengan stres lingkungan, menurunnya kondisi fisik, gangguan memori dan panca indera, serta tubuh tidak lagi produktif, akibatnya pasien menjadi lebih rentan di masa tua sehingga

0,004 (< 0,05) yang berarti Ho ditolak, terdapat hubungan antara kualitas tidur dengan tingkat kecemasan pada pasien pasca stroke.

lebih ketergantungan dengan orang lain untuk memenuhi kebutuhannya, yang akan menimbulkan kecemasan besar pada pasien.

Berbeda dengan pendapat Broomfield et al (2015), mengemukakan bahwa kecemasan pasca stroke lebih sering terjadi pada usia muda (<50 tahun). Koping individu yang rendah saat usia muda menjadi salah satu penyebab mengalami kecemasan. Pasien pasca stroke pada usia muda mengalami kecemasan empat kali lebih sering daripada pasien usia lanjut (Broomfield et al., 2015). Bertolak belakang dengan yang peneliti temukan bahwa usia yang banyak mengalami kecemasan adalah usia dewasa lanjut. Menurut analisis peneliti, orang yang lebih tua cenderung mengatasi masalah psikologis lebih buruk daripada orang yang lebih muda, karena semakin tua usia, semakin sering perasaan seseorang

berubah. Selain itu, ketika penelitian ini berlangsung, lebih banyak pasien stroke yang menjadi responden adalah pasien berusia tua, sehingga hal ini dapat mempengaruhi hasil penelitian.

Menurut Llibre-Guerra et al (2015), insiden stroke pada perempuan lebih sering terjadi daripada laki-laki karena perempuan juga mengalami penurunan degeneratif, mengkonsumsi kontrasepsi oral, serta mengalami menopause. Hal tersebut menyebabkan perempuan mempunyai risiko lebih untuk terserang stroke daripada laki-laki. Berbeda dengan pendapat Ananda dan Darliana (2017) yang menyatakan bahwa laki-laki berisiko terkena stroke lebih tinggi daripada perempuan. Kebiasaan seperti merokok dan minum alkohol merupakan pemicu stroke pada pria. Menurut analisis peneliti, saat dilakukan penelitian, proporsi responden perempuan lebih banyak daripada laki-laki. Data Dinas Kesehatan Kota Pekanbaru tahun 2020 menunjukkan bahwa perempuan di wilayah Rejosari menderita stroke lebih sering dibandingkan laki-laki, sehingga hal ini dapat mempengaruhi luaran.

Stuart (2013) mengemukakan bahwa perempuan akan lebih sering mengalami permasalahan dibandingkan laki-laki, karena laki-laki cenderung menggunakan logika, sedangkan perempuan lebih banyak menggunakan perasaan. Hal ini dapat membuat perempuan lebih peka terhadap emosi, serta perasaan cemas mereka (Sumbogo dkk, 2015).

Menurut Jackson et al (2018) menyebutkan bahwa orang berpendidikan rendah memiliki pengetahuan yang rendah terhadap stroke, dibandingkan dengan individu yang memiliki tingkat pendidikan tinggi, dimana mereka mempunyai pengetahuan yang lebih baik mengenai penyakit stroke. Terkait dengan kecemasan, Gass dan Kuriel (dalam Fitriyani, 2018) berpendapat bahwa tingkat pendidikan berkaitan dengan kecemasan. Semakin tinggi tingkat pendidikan, maka semakin tinggi kecemasan. Berlawanan dengan pendapat Notoatmodjo (2012), pengetahuan manusia dipengaruhi oleh

pendidikan. Tingkat pendidikan mempengaruhi kemampuan berpikir rasional seseorang. Kurangnya pendidikan juga mempengaruhi pengetahuan. Salah satunya adalah mengetahui tentang penyakit yang diderita, sehingga hal ini akan memicu respon kecemasan.

Hasil penelitian ini menemukan data bahwa mayoritas responden tidak bekerja. Menurut analisa peneliti, dikarenakan penelitian dilakukan pada responden dengan usia dewasa lanjut, sehingga mayoritas pasien pasca stroke adalah orang yang sudah pensiun atau ibu rumah tangga. Sejalan dengan penelitian Morsy et al (2013) memperlihatkan bahwa insiden stroke lebih sering terjadi pada ibu rumah tangga dengan persentase 33,8%. Menurut Hartono (2007), stroke sering diderita oleh pasien yang tidak memiliki pekerjaan yang menciptakan kebiasaan hidup lebih rileks, makan tidak teratur, jarang olahraga, dan tingkat stres lebih tinggi daripada orang yang bekerja.

Berbeda dengan pendapat Nastiti (2012) didapatkan bahwa perbandingan pasien stroke lebih sering pada orang yang bekerja. Hal ini dikarenakan stres psikologis akibat pekerjaan yang bisa meningkatkan risiko stroke. Didukung oleh pendapat Hirokawa et al (2016) menjelaskan bahwa efek dari dari stres akibat bekerja dapat memicu terjadinya reaktivitas kardiovaskuler. Tingginya kadar stres kronis akan memicu meningkatnya reaksi kardiovaskuler stres akut. Bila reaksi stres tersebut tidak diatasi akan mengakibatkan terjadinya stroke akibat sklerosis dalam pembuluh darah.

Hawari (2013) berpendapat bahwa gangguan aktivitas yang dialami pasien stroke dalam waktu lama dapat menimbulkan akibat psikologis berupa peningkatan kecemasan. Kecacatan dan kebutuhan dasar yang terganggu dapat menimbulkan kecemasan bahkan kepanikan. Menurut Anggraeny (2013), pasien stroke dengan kecemasan sedang hingga berat memiliki gangguan dalam aktivitas mandiri, yang menyebabkan penurunan kemampuan fungsional.

Fitriyani (2018) berpendapat bahwa masalah hidup setiap orang dan cara mereka menanggapi berbeda-beda, sehingga sebagian orang dapat merasa cemas dan sebagian lainnya tidak. Peneliti menemukan bahwa pasien stroke mengalami kecemasan ringan hingga berat. Peneliti menemukan reaksi fisik seperti rasa sakit, peningkatan tanda vital, dan sering buang air kecil. Hal ini juga berdampak dari derajat sosial ekonomi yang rendah, sehingga beban akan bertambah ketika sakit.

Partami dkk (2019) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa pasien stroke seringkali mengalami kualitas tidur buruk. Minkel et al (2012) menyatakan kualitas tidur buruk merugikan kesehatan mental. Menanggapi stres ringan, kualitas tidur buruk dapat berdampak negatif pada seseorang. Choueiry et al (2016) mengemukakan orang dengan kualitas tidur buruk lebih sering cemas. Menurut analisa peneliti, kualitas tidur pada pasien pasca stroke dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain adanya penyakit penyerta, lingkungan, dan perawatan yang didapatkan. Hal yang didapat oleh peneliti, bahwa pasien pasca stroke lebih banyak memiliki kualitas tidur buruk yang menjadi salah satu penyebab timbulnya kecemasan.

Usia adalah harapan hidup, yang diukur dalam satuan tahun, dengan kriteria dewasa awal 18-40 tahun, dewasa tengah 41-60 tahun, dan tua > 60 tahun (Nursalam, 2013). Sejalan dengan penelitian Budiman dkk (2015), terdapat hubungan antara usia dengan kecemasan. Semakin tua usia, semakin sering seseorang mengalami kecemasan (Sumbogo dkk, 2015). Hal-hal yang meningkatkan risiko kecemasan di usia tua adalah penurunan kondisi fisik dan daya ingat. Menurunnya sensibilitas juga menjadikan pasien lanjut usia lebih tergantung pada orang lain untuk memenuhi kebutuhannya, yang bisa menimbulkan kecemasan serius pada pasien stroke (Ananda & Darliana, 2017).

Pasien stroke dengan usia lanjut mengalami banyak penurunan fungsi tubuh, psikis, dan kerentanan daya tahan tubuh yang membuat kelompok usia ini lebih

berisiko terhadap penyakit dan kecemasan yang berat. Hal ini juga disebabkan karena seseorang di masa tua belum siap untuk bertemu dan merespon masa tuanya, kurang mampu menghadapi masalah yang dihadapinya, dan tidak mau menerima kenyataan seperti memiliki penyakit yang sulit disembuhkan (Ananda & Darliana, 2017).

Menurut asumsi peneliti, usia berhubungan dengan kecemasan. Semakin lanjut usia, semakin tinggi pula kecemasan yang dialami. Saat penelitian dilakukan, peneliti menemukan bahwa penyebab seseorang di usia dewasa lanjut mengalami kecemasan adalah sering merasakan firasat buruk dan khawatir yang berlebihan terhadap kondisi penyakitnya sehingga sulit berkonsentrasi saat melakukan aktivitas sehari-hari dan menyebabkan kecemasan yang berat pada orang tersebut. Hal lain yang peneliti temukan adalah pasien pasca stroke dengan usia lanjut lebih sering mengeluh nyeri pada sendi-sendi di bagian tubuh yang kaku sehingga meningkatkan kecemasan.

Jenis kelamin mempengaruhi tingkat kecemasan dan kualitas tidur. Perempuan lebih sering merasa cemas dibandingkan laki-laki, dengan perkiraan 5% perempuan mengalami kecemasan, dengan rasio 2:1 antara perempuan dan laki-laki (Hawari, 2013). Hasil penelitian ini sejalan dengan pendapat Stewart (2013), perempuan akan lebih cenderung mengalami gangguan daripada laki-laki karena lebih banyak menggunakan perasaan mereka. Kondisi ini membuat perempuan lebih sensitif terhadap emosi. Pasien pasca stroke perempuan lebih sering mengalami kecemasan. Saat penelitian dilakukan, peneliti menemukan bahwa penyebab perempuan lebih banyak mengalami kecemasan yaitu perempuan lebih sensitif terhadap perasaannya dan mudah tersinggung apabila orang lain membicarakan kondisi penyakitnya. Selain itu, respon pasien perempuan terhadap nyeri yang dirasakan selama menderita stroke serta terabaikannya tanggung jawab pasien sebagai istri menyebabkan perempuan lebih sering merasa gelisah dan

sering menangis sehingga tidak bisa istirahat dengan tenang dan menyebabkan kecemasannya meningkat.

Penelitian Aminingsih dkk (2014) menemukan bahwa ada hubungan antara kecemasan dengan kualitas tidur. Semakin tinggi kecemasan, semakin menurun kualitas tidur. Menurut penelitian Yesa (2018), ditemukan bahwa tubuh membutuhkan tidur yang berkualitas. Tubuh yang tidak kondusif akan sulit untuk tertidur dan mempertahankan tidur. Jika tubuh kurang tidur, tubuh menjadi tidak stabil, kegiatan sehari-hari akan terganggu, merasa letih, dan psikologi dapat terganggu.

Kualitas tidur mempengaruhi kecemasan pada pasien pasca stroke. Semakin buruk kualitas tidur, semakin tinggi pula kecemasan yang dirasakan. Saat penelitian dilakukan, peneliti menemukan bahwa kualitas tidur yang buruk pada pasien pasca stroke dipengaruhi oleh

DAFTAR PUSTAKA

Aminingsih, S., Yulianti, T. S., & Rahmawan, T. B.

(2014). Hubungan Tingkat Depresi Dengan Kualitas Tidur Pada Lansia Di Dusun Semenharjo Suruhkalang Jaten. KOSALA: Jurnal Ilmu Kesehatan, 2(1).

Ananda, Z., & Darliana, D. (2017). Kecemasan dengan Kualitas Hidup pada Pasien Stroke. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Fakultas Keperawatan, 2(3).

Anggraeny, N. (2013). Hubungan Tingkat Kecemasan dengan Kemampuan fungsional pada Pasien Stroke Iskemik di RSAD Brawijaya Surabaya.

Broomfield, N. M., Scoular, A., Welsh, P., Walters, M., & Evans, J. J. (2015). Poststroke anxiety is prevalent at the population level, especially among socially deprived and younger age community stroke survivors. International Journal of Stroke, 10(6), 897-902.

Budiman, F., Mulyadi, N., & Lolong, J. (2015). Faktor-faktor Yang Berhubungan Dengan Tingkat Kecemasan Pada Pasien Infark Miokard Akut Di Ruangan Cvcu Rsup Prof. Dr.    RD Kandou Manado. Jurnal

Keperawatan, 3(3).

Choueiry, N., Salamoun, T., Jabbour, H., El Osta, N., Hajj, A., & Rabbaa Khabbaz, L. (2016). Insomnia and relationship with anxiety in university students:   a cross-sectional

designed study. PloS one, 11(2), e0149643.

Cornelius, K. (2012). At a glance psikiatri.

Cox, R. C., & Olatunji, B. O. (2021). Eveningness predicts negative affect following sleep

lingkungan pasien yang kurang kondusif. Selain itu, kualitas tidur pasien pasca stroke yang buruk juga dipengaruhi oleh adanya gangguan tidur seperti insomnia yang dialami oleh pasien. Hal ini dibuktikan dengan adanya gejala insomnia yang peneliti temukan pada pasien, seperti sulit tidur, sulit mempertahankan tidur, dan terbangun dini hari. Kondisi tersebut membuat kualitas tidur pasien menurun dan menyebabkan rasa mengantuk di siang hari sehingga dapat menimbulkan masalah kecemasan pada pasien pasca stroke tersebut.

SIMPULAN

Terdapat hubungan yang signifikan antara usia dengan kecemasan pada pasien pasca stroke, antara jenis kelamin dengan kecemasan pada pasien pasca stroke, dan antara kualitas tidur dengan kecemasan pada pasien pasca stroke.

restriction. Behavior therapy, 52(4),  797

805.

Dinas Kesehatan Kota Pekanbaru. (2021). Profil Dinas Kesehatan Kota Pekanbaru Tahun 2020. Pekanbaru: Dinas Kesehatan Kota Pekanbaru.

Fitriyani, D. (2018). Hubungan dukungan keluarga terhadap tingkat kecemasan klien dengan komplikasi mikrovaskuler di Ruang Aster dan Bougenville BLUD RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya (Doctoral dissertation, Poltekkes Kemenkes Palangka Raya).

Jackson, C. A., Sudlow, C. L., & Mishra, G. D.

(2018). Education, sex and risk of stroke: a prospective cohort study in New South Wales, Australia. BMJ open, 8(9), e024070.

Llibre-Guerra, J. C., Cepero, A. V., Concepción, O.

F., Llibre-Guerra, J. J., Gutiérrez, R. F., & Llibre-Rodriguez, J. J. (2015). Stroke incidence and risk factors in Havana and Matanzas, Cuba. Neurología (English Edition), 30(8), 488-495.

Hartono, L. A. (2007). Stres dan Stroke, stres satu faktor tambahan penyebab stroke.

Hastono, S. P. (2016). Analisis data pada bidang kesehatan.

Hawari, D. (2013). Manajemen Stress, Cemas Dan Depresi. Jakarta: FKUI.

Herawati, N. (2014). Studi fenomenologi pengalaman perubahan citra tubuh pada klien kelemahan pasca stroke di RS dr M djamil kota padang. Jurnal Keperawatan Jiwa

(JKJ):   Persatuan Perawat Nasional

Indonesia, 2(1), 31-40.

Hirokawa, K., Ohira, T., Nagayoshi, M., Kajiura, M., Imano, H., Kitamura, A., ... & Iso, H. (2016). Occupational status and job stress in relation to cardiovascular stress reactivity in Japanese workers. Preventive medicine reports, 4, 61-67.

Kementerian Kesehatan RI Badan Penelitian dan Pengembangan. (2018). Hasil Utama Riset Kesehatan Dasar. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 1100.

Kustiawan, R. (2015). Gambaran Tingkat Kecemasan Pada Pasien Stroke Iskemik Di Ruang V Rumah Sakit Umumkota Tasikmalaya. Jurnal Kesehatan Bakti Tunas Husada: Jurnal Ilmu-ilmu Keperawatan, Analis Kesehatan dan Farmasi, 12(1), 10-21.

Li, W., Xiao, W. M., Chen, Y. K., Qu, J. F., Liu, Y. L., Fang, X. W., ... & Luo, G. P. (2019). Anxiety in patients with acute ischemic stroke: risk factors and effects on functional status. Frontiers in Psychiatry, 10, 257.

Li, L., Scott, C. A., Rothwell, P. M., & Oxford Vascular Study. (2020). Trends in stroke incidence in high-income countries in the 21st century: population-based study and systematic review. Stroke, 51(5), 1372-1380.

Llibre-Guerra, J. C., Cepero, A. V., Concepción, O. F., Llibre-Guerra, J. J., Gutiérrez, R. F., & Llibre-Rodriguez, J. J. (2015). Stroke incidence and risk factors in Havana and Matanzas, Cuba. Neurología (English Edition), 30(8), 488-495.

Minkel, J. D., Banks, S., Htaik, O., Moreta, M. C., Jones, C. W., McGlinchey, E. L., ... &

Dinges, D. F. (2012). Sleep deprivation and stressors: evidence for elevated negative affect in response to mild stressors when sleep deprived. Emotion, 12(5), 1015.

Morsy, M. A., Ibrahim, S. A., Amin, E. F., Kamel, M. Y., Rifaai, R. A., & Hassan, M. K. (2013). Curcumin ameliorates methotrexate-induced nephrotoxicity in rats. Advances in pharmacological sciences, 2013.

Nastiti, D. (2012). Gambaran faktor risiko kejadian stroke pada pasien stroke rawat inap di rumah sakit Krakatau Medika tahun 2011.

Notoatmodjo, S. (2012). Metodologi Penelitian Kesehatan (Ed. Rev). Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Nursalam, D. (2013). Manajemen Keperawatan Aplikasi dalam Praktik Keperawatan Profesional. Jakarta: Salemba Medika.

Pertami, S. B., Munawaroh, S., & Rosmala, N. W.

D. (2019). Pengaruh Elevasi Kepala 30 Derajat terhadap Saturasi Oksigen dan Kualitas Tidur Pasien Strok. Health Information: Jurnal Penelitian, 11(2), 134145.

Purba, T. S. (2011). Gambaran Tingkat Kecemasan Pasien Pre Operasi.

Saputro, H., & Fazris, I. (2017). Anak sakit wajib bermain di Rumah Sakit: Penerapann terapi bermain anak sakit, proses, manfaat dan pelaksanaannya. Jakarta: Forum Ilmiah Kesehatan (FORIKES).

Stewart, C. (2013). The negative behaviors of coaches:   “Don't be this guy!”. Phys

Educ, 70(1), 1.

Stuart, G. (2013). Buku Saku Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC

Sumbogo, A., Sulisno, M., & Darwati, L. E. (2015). Gambaran respons psikologis penderita stroke. Jurnal Ilmiah Permas: Jurnal Ilmiah STIKES Kendal, 5(1), 29-37.

Sutriningsih, A., & AW, R. C. (2017). Mekanisme Koping Keluarga menurunkan tingkat kecemasan keluarga pasien stroke. Care: Jurnal Ilmiah Ilmu Kesehatan, 3(2), 18-25.

Venketasubramanian, N., Yoon, B. W., Pandian, J., & Navarro, J. C. (2017). Stroke epidemiology in south, east, and south-east asia: A review. Journal of stroke, 19(3), 286.

Yesa, S. (2018). Hubungan kualitas tidur dan karakteristik pasien dengan tingkat kecemasan pada pasien terpasang infus diruang rawat inap interne RSUD Dr. ACHMAD MOCKTAR bukitinggi tahun 2018 (Doctoral dissertation, STIKes Perintis Padang).

Wright, F., Wu, S., Chun, H. Y. Y., & Mead, G.

(2017). Factors associated with poststroke anxiety: a systematic review and metaanalysis. Stroke        research        and

treatment, 2017.

Xiao, M., Huang, G., Feng, L., Luan, X., Wang, Q., Ren, W., ... & He, J. (2020). Impact of sleep quality on poststroke anxiety in stroke patients. Brain and    Behavior, 10(12),

e01716.

Volume 10, Nomor 3, Juni 2022

241