HUBUNGAN ANTARA TINGKAT KEPERCAYAAN DIRI DENGAN PERILAKU

AGRESI PADA REMAJA KELAS XI DI SMA DWIJENDRA DENPASAR

Kusumadewi, A.A.S.I., Ns. Ni Nyoman Gunahariati, S.Kep, MM. (Pembimbing 1), Ns. Ida Erni Sipahutar, S.Kep.

Program Studi Ilmu Keperawatan, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana Denpasar.

Abstract. Adolescence is a time of physical, cognitive, emotional, and social development rapidly. Some teens seem to have good self confidence so as to reduce the problem without excessive anxiety. Lack of confidence can lead teens can’t solve a complex problem that does some teenage aggression aimed at protecting the weakness itself. This study aims to determine the correlation of self confidence with teenagers’ aggression behavior. The study used Descriptive Correlational method with Cross Sectional approach. The sample consisted of 205 teenagers and used Simple Random Sampling. Questionnaire is used to collect the data. The result of the analysis shown that the respondents who had non-aggression behaviors were those who had high self confidence and average self confidence by the percentage of 38,54% (79 sample) and 31,71% (65 sample), whereas the respondents who shown aggression behavior were mostly found in those who had low self confidence, which consist of 37 sample (18,05%). Based on the correlation test results of coefficient contingency, it was found that p value is 0.000 (p <0.05) and X² value (98,023) > X² table (3,481) which means that Ha is accepted, it means there is a significant correlation between self confidence with teenagers’ aggression behavior and it was represented by the value of 0,569 or 56,9%. Based on this study finding, it is suggested to the school to keep developing the counseling and guiding programs comprehensively related to educational psychology. Caregivers of teenagers should give an education to teenagers related to self confidence and aggression behavior problems.

Keywords: Self Confidence, Aggression behavior, Teenagers

PENDAHULUAN                          batasan usia remaja (Sarwono, 2008).

World Health Organization (1974)      Berdasarkan tinjauan teori perkembangan,

menetapkan batas usia 10-20 tahun sebagai      usia remaja  adalah masa terjadinya

perubahan-perubahan yang cepat, seperti perkembangan fisik, perubahan fundamental dalam aspek kognitif, emosi, sosial, dan pencapaian. Remaja mengalami ketidakstabilan dari waktu ke waktu dan mereka berusaha menyesuaikan perilaku baru dari fase-fase perkembangan sebelumnya (Soetjiningsih, 2004). Remaja sering mengalami permasalahan karena pribadinya yang masih labil dan belum terbentuk secara matang. Beberapa remaja tampaknya memiliki kepercayaan diri yang baik sehingga mampu mengurangi masalah-masalah kehidupan tanpa rasa cemas yang berlebihan. Kurangnya kepercayaan diri akan menyebabkan seseorang tidak dapat memecahkan masalah yang rumit sehingga dapat menimbulkan frustasi. Dalam menghadapi ketidaknyamanan emosional tersebut, tidak sedikit remaja melakukan tindakan defensif, yaitu kekerasan yang dilakukan sebagai tindakan perlindungan yang ditujukan untuk melindungi kelemahan dirinya. Kondisi tersebut dapat menimbulkan kemarahan dan emosi yang dapat memicu remaja menunjukkan tingkah laku maladjusment, yaitu perilaku agresi (Yusuf, 2008).

Aksi kekerasan di kalangan remaja yang biasa dikenal sebagai tawuran pelajar merupakan hal yang sering kita saksikan,

bahkan cenderung dianggap biasa. Pelakupelaku tindakan aksi ini bahkan sudah mulai dilakukan oleh siswasiswa di tingkat SLTP/SMP dan SMA/SMK. Hal yang terjadi pada saat tawuran sebenarnya adalah perilaku agresi dari seorang individu atau kelompok. Perilaku agresi adalah segala bentuk perilaku yang disengaja terhadap makhluk lain dengan tujuan untuk melukai orang lain dimana perilaku agresi pada remaja merupakan kecondongan remaja untuk melakukan pelampiasan emosi yang dapat merugikan diri sendiri dan orang lain (Berkowitz 1995 dalam Niami, 2009). Perilaku agresi dapat timbul dari faktor yang bersumber dari diri seperti kelemahan fisik, keputusasaan, ketidak berdayaan, dan percaya diri kurang (Keliat, 2004). Hal ini diperkuat dengan hasil penelitian Andriani (2009) yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif yang signifikan antara konsep diri sosial dengan intensi agresivitas pada siswa.

Hasil studi pendahuluan yang dilakukan peneliti dengan cara melihat data dari catatan guru BK (Bimbingan Konseling) di Sekolah Menengah Atas (SMA) Dwijendra Denpasar, didapatkan data pada tahun ajaran 2011/2012 khususnya di kelas XI ditemukan 210 siswa dari total keseluruhan 422 siswa melakukan

pelanggaran tata tertib sekolah meliputi melanggar ketentuan seragam sekolah, terlambat,         tidak         mengikuti

persembahyangan bersama, bermain handphone saat jam pelajaran, menyimpan gambar porno di handphone, bolos sekolah, dan pelanggaran lainnya. Menurut penuturan guru BK terdapat beberapa kasus perkelahian ringan antar siswa pada tahun ajaran 2011/2012,     seperti kasus

mengganggu temannya di kelas, merusak handphone teman, dan memukul teman dengan tidak ada korban meninggal.

Dengan latar belakang diatas, peneliti ingin mengetahui hubungan antara tingkat kepercayaan diri dengan perilaku agresi pada remaja. Melalui penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah pengetahuan dan pengembangan ilmu di bidang keperawatan khususnya mengenai kepercayaan diri dan perilaku agresi pada remaja, serta memberikan informasi sebagai upaya mengatasi dan menanggulangi permasalahan remaja berkaitan dengan kepercayaan diri dan perilaku agresi.

METODE PENELITIAN

Rancangan Penelitian

Jenis penelitian ini adalah Deskriptif Korelasional    dengan    menggunakan

pendekatan Cross Sectional, yang dapat mendeskripsikan hubungan antar variabel.

Populasi dan Sampel

Populasi penelitian ini adalah semua siswa kelas XI yang bersekolah di SMA Dwijendra Denpasar yang berjumlah 422 orang. Sampel terdiri dari 205 remaja yang diambil menggunakan teknik Simple Random Sampling dan disesuaikan dengan kriteria inklusi sampel, yaitu siswa kelas XI yang berusia 15-20 tahun dan bersedia menjadi responden.

Instrumen Penelitian

Pengumpulan data dilakukan dengan pengisian dua jenis kuesioner, yaitu kuesioner tentang tingkat kepercayaan diri yang berjumlah 20 pernyataan dan kuesioner tentang perilaku agresi pada remaja yang berjumlah 12 pernyataan. Kuesioner yang digunakan adalah kuesioner yang telah dilakukan uji validitas dan reliabilitas.

Prosedur Pengumpulan dan Analisis Data

Sampel yang dipilih akan dijelaskan tentang prosedur dan tujuan penelitian, kemudian    sampel    mengisi    dan

menandatangani lembar persetujuan (informed consent) sebagai responden. Peneliti menjelaskan bahwa akan menjaga

kerahasiaan data dari masing-masing responden. Pengambilan data dilakukan dengan cara memberikan kuesioner pada responden dan menjelaskan cara pengisian kuesioner kemudian dapat langsung diisi oleh responden dengan pilihan jawaban yang sudah tersedia. Kuesioner yang diberikan menyangkut dua variabel dalam penelitian ini, yaitu kepercayaan diri dan perilaku agresi pada remaja.

Setelah pengisian lembar kuesioner selesai, maka peneliti mengambil kuesioner yang telah selesai diisi dan melakukan pengecekan ulang apakah kuesioner telah terisi lengkap untuk dapat diolah. Data yang sudah terkumpul dilakukan uji statistik dengan uji koefisien kontingensi untuk mengetahui hubungan tingkat kepercayaan diri dengan perilaku agresi pada remaja dengan tingkat kepercayaan 95%, p ≤ 0,05.

HASIL PENELITIAN

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar remaja memiliki tingkat kepercayaan diri yang tinggi, yaitu sebanyak 86 orang (41,95%) dan remaja sebagian besar memiliki perilaku tidak agresi, yaitu sebanyak 150 orang (73,17%). Sebagian besar remaja yang memiliki tingkat kepercayaan diri tinggi dan sedang didapatkan tidak berperilaku agresi, yaitu 79

orang (38,54%) dan 65 orang (31,71%), sedangkan remaja yang memiliki tingkat kepercayaan diri rendah didapatkan sebagian besar berperilaku agresi, yaitu 37 orang (18,05%).

Berdasarkan hasil uji koefisien kontingensi didapatkan nilai p yaitu 0,000 yang berarti p<0,05 dan besar hubungannya adalah 0,569 (56,9%) dilihat dari nilai C (Coefisien Contingency) yang berarti hubungannya kuat, nilai X² hitung (98,023) > X² tabel (3,481) dimana dapat disimpulkan bahwa koefisien korelasi adalah signifikan sehingga Ha diterima yang artinya ada hubungan antara tingkat kepercayaan diri dengan perilaku agresi pada remaja di SMA Dwijendra Denpasar.

PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil analisis dalam penelitian ini diperoleh data tentang kepercayaan diri dimana tingkat kepercayaan diri terbagi menjadi tiga katagori. Katagori kepercayaan diri tinggi 41,95% (86 orang), kepercayaan diri sedang 37,07% (76 orang), dan kepercayaan diri rendah 20,98% (43 orang) sehingga dapat disimpulkan bahwa tingkat kepercayaan diri siswa kelas XI di SMA Dwijendra Denpasar adalah tinggi dan kepercayaan diri remaja bersifat individual, artinya setiap individu

mempunyai ukuran kepercayaan diri yang berbeda-beda. Hal tersebut didukung oleh pernyataan Loekmono, yaitu perkembangan kepercayaan diri seseorang dipengaruhi oleh faktor-faktor yang berbeda setiap individu, seperti berasal dari dalam diri sendiri, norma dan pengalaman keluarga (Alsa, 2006).

Hasil tabulasi silang antara tingkat kepercayaan diri dan usia responden didapatkan data bahwa sebagian besar remaja usia 15 tahun memiliki kepercayaan diri rendah yaitu 2,44% (5 orang), sebagian besar remaja usia 16 dan 17 tahun memiliki kepercayaan diri tinggi yaitu 19,02% (39 orang) dan 19,51% (40 orang), sedangkan remaja usia 18 tahun memiliki kepercayaan diri tinggi dan sedang dengan frekuensi yang sama yaitu 2,44% (5 orang) sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan tingkat kepercayaan diri berdasarkan usia responden. Hal ini didukung oleh teori Iswidharmanjaya dkk (2004) yang menyatakan bahwa kepercayaan diri dipengaruhi oleh usia dan jenis kelamin dimana perbedaan usia pada remaja akan menentukan kematangan dari aspek perkembangannya sehingga akan menghasilkan tingkat kepercayaan diri yang berbeda-beda pada setiap remaja.

Berdasarkan hasil tabulasi silang antara tingkat kepercayaan diri dengan jenis

kelamin remaja kelas XI di SMA Dwijendra didapatkan bahwa terdapat perbedaan tingkat kepercayaan diri menurut jenis kelamin dimana sebagian besar responden yang memiliki kepercayaan diri tinggi dan kepercayaan diri sedang adalah remaja perempuan yaitu 54 orang (26,34%) dan 50 orang (24,39%), sedangkan responden yang sebagian besar memiliki kepercayaan diri rendah adalah remaja laki-laki yaitu 27 orang (13,17%). Terdapat beberapa teori dan penelitian yang mendukung hasil penelitian ini, yaitu pernyataan Papalia (2008) yang mengemukakan bahwa perempuan memiliki kepercayaan diri yang lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki karena kemampuan sosioempatis pada remaja perempuan cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan remaja laki-laki. Hal ini juga didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Lebedour (2000) dalam Nuraeni (2010) yang meneliti di 25 universitas yang ada di lima negara, United State, Nederland, Israel, Palestina, dan Taiwan yang menunjukkan bahwa rasa percaya diri dipengaruhi oleh jenis kelamin dan kebudayaan.

Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa sebagian besar responden tidak berperilaku agresi, yaitu sebanyak 150 orang (73,17%), sedangkan responden yang

berperilaku agresi sebanyak 55 orang (26,83%). Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa perilaku agresi pada remaja sebagian besar terjadi pada responden yang berusia 17 tahun, yaitu 27 orang (13,17%) dan sebagian besar berjenis kelamin laki-laki, yaitu 37 orang (18,05%). Hasil ini didukung oleh pernyataan Faturochman (2009) yang mengatakan bahwa perilaku agresi lebih banyak terjadi pada laki-laki daripada perempuan karena ada perbedaan hormon. Hal ini ditegaskan lagi oleh penelitian yang dilakukan Whiting & Edwards (1999) dalam Sarwono dan Meinarno (2009) yang menyatakan bahwa anak laki-laki lebih menampilkan perilaku agresi dalam bentuk fisik dan verbal daripada perempuan.

Hasil penelitian ini juga sesuai dengan data dari Poltabes Denpasar yang menyatakan bahwa pada tahun 2009 terjadi 11 kasus perkelahian antar pelajar dimana tujuh diantaranya adalah anak-anak usia remaja diatas 15 tahun yang berasal dari SMA/SMK. Data ini juga didukung oleh pernyataan Rousseau (1762) dalam Sarwono (2008) yang menetapkan batas usia 15-20 tahun merupakan masa kesempurnaan remaja ”adolescence proper” dan merupakan puncak perkembangan emosi. Hal ini juga sesuai dengan pernyataan Yusuf

(2008) yang menyatakan bahwa remaja yang mengalami suatu perasaan tertekan atau ketidaknyamanan emosional akibat suatu permasalahan akan memicu remaja untuk melampiaskan emosinya ke dalam perilaku agresi.

Berdasarkan hasil uji hubungan yang dilakukan dengan menggunakan uji korelasi koefisien kontingensi (C) dengan derajat kesalahan 5% didapatkan nilai p value yaitu 0,000 yang berarti p value < 0,05 dan besar hubungannya adalah 0,569 (56,9%). X² hitung juga didapatkan lebih besar dari X² tabel, yaitu 98,023 > 3,481 maka dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara tingkat kepercayaan diri dengan perilaku agresi pada remaja di SMA Dwijendra Denpasar. Hal ini sejalan dengan teori Keliat (2004) yang mengatakan bahwa faktor pencetus seseorang berperilaku agresi adalah bersumber dari diri individu tersebut, salah satunya yaitu rasa percaya diri yang kurang.

Nuraeni (2010) menyatakan bahwa dengan memiliki kepercayaan diri yang baik maka seorang remaja akan mampu melewati krisis identitas dimana menurut Erikson remaja pada masa ini akan mulai memiliki suatu perasaan tentang identitas dirinya. Pada kondisi demikian jika seorang remaja memiliki kepercayaan diri yang baik maka

akan terhindar dari depresi, frustasi, serta kecemasan. Pernyataan tersebut juga didukung oleh Martono dan Joewana (2006) yang menyatakan bahwa tidak tercapainya identitas diri yang positif menimbulkan ketegangan (stress), kecemasan, dan frustasi pada remaja. Perilaku agresi atau kekerasan merupakan sikap yang ditunjukkan sebagai pelampiasan rasa frustasi tersebut.

Hal tersebut juga sejalan dengan hasil studi Andriani (2009) yang menyatakan bahwa remaja yang memunculkan sikap agresi berawal dari konsep diri yang rendah atau negatif seperti tidak percaya diri sehingga mudah cemas dan merasa terancam serta tertekan. Pada akhirnya dengan segala cara digunakan untuk mengurangi hal-hal yang mengganggu, salah satunya dengan menunjukan perilaku agresi. Penelitian terkait lainnya yang juga mendukung penelitian ini, yaitu penelitian yang dilakukan oleh Rahman (2009) yang menyatakan bahwa ada hubungan yang negatif antara perilaku agresi pada remaja dengan kepercayaan diri remaja.

Fase perkembangan anak yang kelima menurut Erikson (1978) dalam Ubaedy (2009) merupakan fase dimana anak sudah memasuki masa remaja. Pada fase ini remaja memiliki kondisi mental atau psikis

yang terbilang labil sehingga rawan untuk melakukan perbuatan yang melanggar norma-norma seperti berperilaku agresi. Perilaku agresi remaja dapat dicegah, disamping adanya kemauan dan usaha dari dalam diri remaja, perilaku agresi juga dapat dicegah oleh faktor-faktor lain yang ada disekitar mereka. Seperti yang diungkapkan oleh (Martono dan Joewana, 2006) bahwa agar remaja mampu menolak tekanan atau pengaruh dari luar untuk terlibat dalam perilaku negatif seperti perilaku agresi, maka ia perlu memiliki sikap percaya diri.

KESIMPULAN DAN SARAN

Sebagian besar responden memiliki tingkat kepercayaan diri yang tinggi, yaitu sebanyak 86 orang (41,95%). Secara umum yang mempunyai tingkat kepercayaan diri tinggi lebih banyak pada remaja yang berumur 17 tahun yaitu 40 orang (19,51%) dan lebih banyak pada remaja perempuan yaitu 54 orang (26,34%). Sebagian besar responden memiliki perilaku tidak agresi, yaitu sebanyak 150 orang (73,17%). Secara umum remaja yang berperilaku tidak agresi paling banyak pada umur 16 tahun yaitu 70 orang (34,15%) dan paling banyak pada remaja perempuan yaitu 102 orang (49,76%). Analisa data didapatkan nilai p=0,000 < α=0,05 sehingga dapat

disimpulkan bahwa ada hubungan signifikan antara tingkat kepercayaan diri dengan perilaku agresi pada remaja kelas XI di SMA Dwijendra Denpasar. Berdasarkan perolehan nilai C (coefisien contingency), yaitu 0,569 dapat dinyatakan kontribusi tingkat kepercayaan diri terhadap perilaku agresi pada remaja adalah sebesar 56,9%. Dari hasil ini dapat disimpulkan bahwa terdapat 43,1% variabel lain yang berpengaruh terhadap perilaku agresi pada remaja.

Diharapkan bagi sekolah untuk tetap mengaktifkan kegiatan bimbingan dan konseling terhadap siswa serta memberikan metode pembelajaran yang dapat membangkitkan kepercayaan diri siswa. Diharapkan dengan terlaksananya proses pembinaan dan bimbingan yang terpadu dan intensif dapat mengidentifikasikan permasalahan yang sedang dihadapi oleh siswa. Peneliti selanjutnya disarankan untuk dapat mengembangkan penelitian ini yaitu dengan menambah jumlah variabel penelitian yang mempengaruhi perilaku agresi pada remaja, menggunakan teknik observasi dalam mengukur perilaku manusia khususnya perilaku agresi remaja, dan dalam menentukan jadwal penelitian lebih melibatkan pihak sekolah agar penelitian

selanjutnya tidak mengalami banyak hambatan dalam pelaksanaannya.

DAFTAR PUSTAKA

Faturochman. 2009. Pengantar Psikologi Sosial. Yogyakarta: Penerbit Pustaka.

Iswidarmanjaya, Derry dkk. 2004. Satu Hari Menjadi Lebih Percaya Diri. Jakarta: PT Elex Media komputindo.

Keliat, B.A. 2004. Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta : EGC.

Martono dan Joewana. 2006. Belajar Hidup Bertanggung Jawab, Menangkal Narkoba dan Kekerasan. Jakarta: Balai Pustaka.

Papalia, Diane E. et al. 2008. Human Development. Jakarta: Kencana Prenada Media Grup.

Sarwono. 2008. Psikologi Remaja. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Sarwono dan Meinarno. 2009. Psikologi Sosial. Jakarta: Salemba Humanika.

Ubaedy. 2009. Cerdas Mengasuh Anak. Jakarta: Kinza Books.

Yusuf. 2008. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.