Community of Publishing In Nursing (COPING), p-ISSN 2303-1298, e-ISSN 2715-1980

PERSEPSI ORANG TUA TERHADAP PENDIDIKAN SEKSUAL PADA REMAJA DI KECAMATAN KUTA KABUPATEN BADUNG

Luh Dewi Parwati1, I Gusti Ayu Pramitaresthi2, Gusti Ayu Ary Antari3

1Mahasiswa Program Studi Sarjana Keperawatan dan Profesi Ners Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, 23Dosen Program Studi Sarjana Keperawatan dan Profesi Ners Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

Alamat Korespondensi: [email protected]

ABSTRAK

Perilaku seksual pranikah merupakan tingkah laku seseorang akibat adanya rangsangan seksual yang mana dapat dilakukan sendiri, bersama lawan jenis, ataupun sesama jenis tanpa terikat sebuah pernikahan. Salah satu upaya untuk mencegah remaja melakukan perilaku tersebut adalah dengan pemberian pendidikan seksual. Persepsi orang tua terhadap pendidikan seksual kepada remaja adalah cara pandang orang tua terkait memberikan pemahaman tentang seksualitas kepada remaja. Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui dan mengeksplorasi persepsi orang tua terhadap pendidikan seksual pada remaja di Kecamatan Kuta Kabupaten Badung. Jenis penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi digunakan dalam penelitian ini. Partisipan pada penelitian yaitu ibu yang memiliki remaja berusia 14-17 tahun. Metode pengambilan partisipan adalah purposive sampling. Prosedur pengumpulan data dilakukan di Kecamatan Kuta (Maret-Mei 2020) menggunakan wawancara mendalam dan observasi lapangan pada 6 partisipan. Analisis data menggunakan metode Colaizzi. Hasil penelitian terdiri dari enam tema antara lain 1) Persepsi orang tua terhadap kerentanan perilaku seksual pranikah pada remaja; 2) Persepsi orang tua terhadap keparahan perilaku seksual pranikah pada remaja; 3) Persepsi orang tua terhadap manfaat pendidikan seksual pada remaja; 4) Persepsi orang tua terhadap hambatan pendidikan seksual pada remaja; 5) Isyarat untuk bertindak orang tua dalam memberikan pendidikan seksual pada remaja; dan 6) Self-efficacy orang tua dalam memberikan pendidikan seksual pada remaja. Tenaga kesehatan diharapkan untuk mengadakan penyuluhan sehingga pengetahuan orang tua tentang seksualitas dapat meningkat.

Kata Kunci: Perilaku Seksual Pranikah, Pendidikan Seksual, Persepsi Orang Tua, Remaja

ABSTRACT

Premarital sexual behavior is a person's behavior due to sexual stimulation which can be done alone, with the opposite sex, or same-sex without being bound by a marriage. One of the efforts to prevent premarital sexual behavior in adolescents is sexual education. Parents' perceptions of sexual education are the perspective of parents related to providing understanding to adolescents about matters relating to sexuality. This study aims to find out and explore parents' perceptions of sexual education in adolescents in the Kuta District of Badung Regency. Qualitative research with a phenomenological approach was used in this study. Participants are mothers who have teenagers aged 14-17 years. The method applied to determine the participants was purposive sampling. The data were collected using in-depth interview procedures and field observations on 6 participants in Kuta District (March-May 2020). The data were analyzed using the Colaizzi method. The results of this study consist of six themes, namely 1) Parents' perceptions of the vulnerability of premarital sexual behavior in adolescents; 2) Parents' perceptions of the severity of premarital sexual behavior in adolescents; 3) Parents' perceptions of the benefits of sexual education in adolescents; 4) Parents' perceptions of barriers to sexual education in adolescents; 5) Cues to act for parents in providing sexual education in adolescents, 6) Self-efficacy of parents in providing sexual education in adolescents. Health workers were expected to be able to provide health promotion to improve parental knowledge regarding sexual education.

Keywords : Premarital Sexual Behavior, Sexual Education, Parents’ Perception, Adolescents

441

PENDAHULUAN

Perilaku seksual pranikah merupakan tingkah laku seseorang akibat adanya rangsangan seksual yang mana dapat dilakukan sendiri, bersama lawan jenis, ataupun sesama jenis tanpa terikat sebuah pernikahan, (Sarwono, 2016). Perkembangan pesat teknologi informasi mengakibatkan semakin mudah remaja untuk mengakses konten pornografi, aktivitas seksual berpacaran, dan budaya pergaulan bebas. Hal ini menimbulkan adanya pergeseran perilaku pada remaja salah satunya perilaku seksual pranikah (BKKBN, 2018).

Beberapa survei dan penelitian yang dilakukan di Indonesia menemukan bahwa banyak remaja yang pernah mencoba perilaku seksual sebelum menikah. Data SDKI tahun 2017 menunjukkan sebanyak 2% remaja perempuan serta 8% remaja laki-laki sudah pernah berhubungan seksual. Terjadi peningkatan persentase hubungan seksual pada remaja perempuan dari 1% pada SDKI 2012 menjadi 2% pada tahun 2017 (BKKBN, 2018). Kartika dan Budisetyani pada penelitiannya tahun 2018 menemukan bahwa dari 65 remaja di Bali sebanyak 64,6% diantaranya telah melakukan hubungan seksual sebelum menikah.

Remaja dengan perilaku seksual pranikah berisiko untuk mengalami KTD atau Kehamilan Tidak Diinginkan (Sarwono, 2016). Data klinik Perhimpunan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Provinsi Bali menunjukkan bahwa terjadi peningkatan pencarian pelayanan kesehatan reproduksi oleh remaja dengan KTD yaitu 139 orang tahun 2014, 146 orang tahun 2015, 110 orang tahun 2016, dan 134 orang tahun 2017.

Salah satu upaya untuk mencegah remaja melakukan perilaku seksual pranikah adalah dengan melaksanakan

pelayanan kesehatan reproduksi dan menyediakan informasi yang komprehensif bagi para remaja melalui pendidikan seksual. Pendidikaan seksual merupakan bentuk pendidikan yang mengkaji perihal seks, tidak hanya anatomi, fisiologi, hubungan seksual, penyakit kelamin, dan penyimpangan perilaku seksual, tetapi juga membentuk sikap dan emosional yang sehat serta bertanggung jawab terhadap seks (Aziz, 2017). Pendidikan seksual dapat diterima remaja dari media, organisasi keagamaan, sekolah, teman sebaya, keluarga/orang tua/pengasuh, dan pasangan walaupun kualitas informasi yang didapatkan bervariasi (Breuner & Mattson, 2016).

Keluarga terutama orang tua merupakan orang terdekat dan wadah pembentukan watak dan akhlak remaja. Tempat perkembangan seorang remaja sejak dilahirkan hingga proses pertumbuhan dan perkembangannya adalah di lingkungan keluarga sehingga di dalam keluarga seharusnya pembinaan pada anggota keluarga dimulai termasuk pada remaja (Darmadi, 2018). Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi pemberian pendidikan seksual oleh orang tua antara lain pendidikan, pekerjaan, keterpaparan informasi, dan persepsi tentang pendidikan seksual (Maryuni & Anggraeni, 2016).

Persepsi terhadap pendidikan seksual akan mempengaruhi perilaku pemberian pendidikan seksual orang tua kepada remaja. Pengetahuan terkait persepsi orang tua ini dapat digunakan sebagai dasar pelaksanaan program intervensi untuk menangani masalah seksualitas pada remaja melalui peran orang tua. Fenomena yang ada di dalam masyarakat menganggap bahwa membicarakan seksualitas adalah hal yang tabu dan vulgar. Penelitian tentang persepsi orang tua terhadap pendidikan

442

seksual telah dilakukan di Malang. Penelitian tersebut menemukan bahwa persepsi ibu terhadap pendidikan seksual pada anak adalah tabu untuk dibicarakan. Hambatan orang tua untuk dapat memberikan pendidikan seksual adalah kurangnya pemahaman tentang seksual karena belum ada penyuluhan pendidikan seksual kepada orang tua (Amaliyah & Nuqul, 2017). Setiap daerah di Indoensia memiliki situasi sosial (tempat atau letak geografis, populasi penduduk, dan aktivitas kesehatan) dan budaya yang berbeda-beda sehingga perlu dilakukan ekplorasi yang lebih mendalam. Adapun tujuan penelitian yaitu untuk mengetahui dan mengeksplorasi persepsi orang tua terhadap pendidikan seksual pada remaja di Kecamatan Kuta Kabupaten Badung.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi dan dilaksanakan di Kecamatan Kuta Kabupaten Badung pada bulan Maret-Mei tahun 2020.

Populasi partisipan yaitu orang tua yang berdomisili di Kecamatan Kuta Kabupaten Badung. Metode pengambilan partisipan adalah purposive sampling. Partisipan dalam penelitian ini sebanyak 6 orang ibu. Kriteria inklusi partisipan yaitu ibu yang memiliki remaja berusia 14-17 tahun, mampu berkomunikasi verbal dengan baik dan menggunakan Bahasa Bali maupun Bahasa Indonesia, bersedia untuk berpartisipasi dalam penelitian dibuktikan dengan tanda tangan pada informed consent. Kriteria eksklusi partisipan yaitu mengalami gangguan jiwa dan kognitif. Kriteria drop-out partisipan yaitu partisipan yang mengundurkan diri saat penelitian masih berlangsung.

Alat bantu pengumpulan data pada penelitian ini yaitu peneliti sendiri, pedoman wawancara, catatan lapangan, voice recorder, dan kamera. Prosedur pengumpulan data diawali dengan melakukan perizinan pada pihak-pihak terkait. Peneliti kemudian melakukan BHSP dengan ibu yang memiliki remaja. Ibu yang menyatakan dirinya bersedia untuk menjadi partisipan akan mendapatkan informed consent dan menandatanganinya sebagai bukti kesediaannya menjadi partisipan. Wawancara mendalam dan observasi digunakan dalam pengumpulan data. Peneliti melakukan validasi ke partisipan setelah membuat transkrip wawancara dengan mendengarkan hasil rekaman dan dilengkapi dengan catatan-catatan respon dari partisipan.

Penelitian ini sudah memperoleh ijin ethical clearance dengan nomor surat keterangan kelaikan etik 619/ UN14.2.2.VII.14/LT/2020.

Analisis data menggunakan metode Colaizzi yaitu dengan menentukan kata kunci pada transkrip wawancara yang kemudian disusun ke dalam kategori. Kategori yang sama dikelompokkan dan disimpulkan melalui tema. Tema-tema yang terbentuk dideskripsikan secara luas dan mendalam.

HASIL PENELITIAN

Berdasarkan hasil analisis didapatkan 6 tema. Tema persepsi orang tua terkait kerentanan remaja melakukan perilaku seksual pranikah terdiri dari dua sub tema yaitu perilaku seksual dan faktor-faktor yang dapat mempengaruhinya. Sebagian besar pertisipan menyatakan bahwa bentuk perilaku seksual adalah berhubungan seksual. Selain itu, berpegangan tangan, berciuman, berpelukan, dan bercumbu juga diungkapkan partisipan sebagai bentuk perilaku seksual.

443

“…seks bebas, yang ibuk maksud itu ya misalnya kayak hubungan suami istri [hubungan seksual].” (P1)

“…kalo sekarang itu mungkin kalo kenal jadian beberapa bulan sudah dah melakukan gitu [hubungan seksual] kan.” (P4)

“…ada dah ibuk liat SMA apa apa itu, pake abu-abu ibuk liat nongkrong mereka berdua, saling bergandengan tangan, berpelukan, itu kan di tempat umum.” (P2)

Remaja  berisiko  untuk mencoba

perilaku   seksual   pranikah karena

beberapa faktor seperti karakteristik remaja,  kurangnya  dukungan sosial

keluarga,  paparan media pornografi,

kurangnya pendidikan seksual, dan pengaruh lingkungan.

“… soalnya dia nak labil kan, dia ingin tau dia itu…” (P2)

“…karna memandang suatu hal itu adalah tabu, mungkin banyak orang tua yang nggak ngasi penjelasan apa akibat daripada seks bebas itu sehingga mereka [remaja] pingin mencoba dan nggak tau apa akibatnya.” (P1)

“mungkin dia pernah denger tentang seks ya dari masyarakat dari sodaranya, tetapi saya ragu dari masyarakat itu bener nggak memberikan pengetahuan seks… jangan-jangan disuruh nyoba…” (P4)

Persepsi orang tua terhadap keparahan perilaku seksual pranikah tergambar pada dampak fisik, dampak psikologis, dan dampak sosial.

“bisa hamil di luar nikah nantinya kalo bebas gitu… kalo dia nggak jadi dinikahin kan bisa menggugurkan [aborsi] apa gimana nanti” (P2) “…mungkin dia kayak merasa bersalah gimana gitu, karna apa melanggar larangan…” (P1)

“…di masyarakat itu banyak biasanya yang ngomongin gitu lo gek ‘eh nak beling malu ye [eh orang hamil duluan dia]’ gitu…” (P3)

Persepsi orang tua terhadap manfaat pendidikan seksual yaitu meningkatkan pengetahuan remaja, meningkatkan nilai dan sikap positif remaja, meningkatkan keterampilan interpersonal, dan membuat remaja lebih bertanggung jawab terhadap perilaku seksual.

“jadi anak remaja itu bisa tau tentang cara merawat reproduksi, trus apa namanya tau apa sebab akibat yang bisa ditimbulkan dari salahnya pergaulan bebas itu…” (P6)

“…awalnya kepingin nyoba jadi takut karna kita kasi tau hal-hal seperti itu.” (P1)

“…dia lebih terbuka, jadi dia ndak diem-diem aja gitu… kalo dia mau bertindak, dia masih memikirkan dua tiga empat kali lipat, gitu.” (P3)

Persepsi orang tua terhadap hambatan pemberian pendidikan seksual pada remaja antara lain ketidaknyamanan remaja, kurangnya pengetahuan ibu, kondisi remaja, dan kesibukan.

“biasanya anak itu agak-agak malu gitu ya, canggung gitu lo.” (P6)

“saya nggak begitu tau mana yang harus saya detail memberikan penjelasan, mana yang tidak.” (P4) “…pas mungkin pada saat dia capek, entah dia pusing...jadi saya ndak dah gini, ndak berani ngasi, saya cari hari yang baik untuk memberikan itu...” (P3) “tante juga jarang kan bisa ngumpul bareng gitu karna kerja kan, jadi sekali dapet libur itu kita usahakan untuk berkomunikasi.” (P5)

Isyarat untuk bertindak dalam memberikan pendidikan seksual kepada remaja adalah situasi pencetus, dukungan, kedekatan, norma dan agama, komunikasi, dan sumber informasi.

“…saat ini kan marak perbuatan pergaulan bebas di masyarakat…karna denger dah ada di kasus sepupu dengan

444

sepupu tidur gitu tu, makanya kan kita kasi tau…” (P2)

“…karena ee suami sebagai bapaknya juga     mendukung,     mendukung

sekali…kakeknya juga sering ngomong begitu, anak modelnya sekarang dah besar, tanamkan petuah seksual sejak dini…” (P3)

“tante ya bisalah menganggap dia itu sebagai teman, anak tante sebagai teman, jadi saling curhat gitu lo.” (P6) “…kalau disini untuk pendidikan itu juga ada sangkut pautnya dengan agama…disitu juga dijelaskan di agama itu apa-apa yang e baik, apa yang buruk...” (P1)

Tema self-efficacy orang tua terdiri dari sub tema kurang percaya diri dan pemberi pendidikan seksual.

“kalo tante sih sebenernya belum begitu mampu banget masalah ini…” (P3) “kalo saya sih rasanya nggak sempurna saya memberikan informasi…” (P4) Menurut partisipan, pemberi pendidikan seksual untuk remaja adalah orang tua, guru, dan tenaga kesehatan. Sebagian partisipan menyatakan bahwa guru memiliki peran penting untuk memberikan pendidikan seksual pada remaja.

“…itu dah jadinya seks itu memang harus bener-bener diterapkan apalagi di sekolah. Apalagi kalo gurunya bisa menjelaskan dengan detail dan tidak tertutup kan lebih bagus lagi.” (P5) “…alangkah baiknya melalui sekolah-sekolah gitu, dikasilah pengertian tentang pendidikan seksual itu sejak dini.” (P6)

PEMBAHASAN

Persepsi orang tua terhadap kerentanan perilaku seksual pranikah masih secara umum dan belum komprehensif. Menurut PKBI tahun 2017, bentuk-bentuk perilaku seksual remaja yaitu berfantasi seksual, berpegangan tangan, meraba organ

sensitif, berpelakukan, berciuman, masturbasi, petting, seks oral, seks anal, dan seks vaginal. Hasil penelitian Miranda et al. (2018) menemukan bahwa perilaku seksual yang banyak remaja lakukan yaitu masturbasi diri sendiri (63%), heteromasturbasi (56%), dan menonton film porno (30%). Untuk jenis hubungan seksual, 59% melakukan hubungan seks vaginal, 53% melakukan seks oral, 23% melakukan seks anal, dan 3% melakukan seks berkelompok.

Menurut partisipan, kurangnya pendidikan seksual dikarenakan masih banyak orang tua yang memandang seksual sebagai hal yang tabu dan malu untuk dibicarakan dengan remaja. Orang tua cenderung tertutup dan menghindari pembahasan yang berhubungan dengan seksual karena topik tersebut jarang dibicarakan di kalangan masyarakat. Selain itu, partisipan juga menyatakan bahwa pengaruh lingkungan baik dari pacar, teman dan masyarakat dapat mempengaruhi perilaku seksual remaja. Remaja yang mengandalkan teman sebaya sebagai sumber informasi kesehatan seksual dapat menyebabkan terjadinya kesalahan persepsi tentang konsekuensi dari perilaku seksual pranikah sehingga remaja berisiko melakukan perilaku skesual tanpa pertimbangan yang tepat. Penelitian terkait media pornografi yang dilakukan oleh Ashcraft dan Murray (2017) menunjukkan bahwa tayangan yang berhubungan dengan seksual akan mengakibatkan adanya rangsangan seksual sehingga remaja berisiko untuk mencoba perilaku seksual pranikah.

Seluruh partisipan sudah mengetahui dampak apabila remaja melakukan perilaku seksual pranikah. Menurut partisipan, secara fisik perilaku seksual pranikah dapat mengakibatkan hamil, aborsi, dan PMS. Data SDKI

445

tahun 2017 menunjukkan bahwa jumlah KTD yang dilaporkan oleh wanita berusia 15-19 sebanyak 16% atau dua kali lebih besar dibandingkan wanita berusia 20-24 tahun yaitu 8% (BKKBN, 2018). Dampak psikologis pada remaja yang melakukan perilaku seksual pranikah yaitu merasa malu, takut, depresi, merasa bersalah, menyesal, iri atau cemburu. Penelitian yang dilakukan oleh Akter (2019) mendukung hasil penelitian ini yaitu menjadi peran seorang ibu di usia remaja akan mengalami tingkat depresi yang lebih tinggi dibandingkan menjadi peran ibu ketika berusia dewasa. Dampak sosial perilaku seksual pranikah pada remaja yaitu putus sekolah dan dicibir oleh masyarakat. Menurut WHO (2020), konsekuensi sosial yang diterima oleh remaja hamil sebelum menikah antara lain stigma dari masyarakat, dan penolakan atau kekerasan dari pasangan atau orang tua.

Manfaat pendidikan seksual yang diungkapkan oleh partisipan yaitu meningkatkan pengetahuan remaja, meningkatkan nilai dan sikap positif remaja, meningkatkan keterampilan interpersonal, dan membuat remaja lebih bertanggung jawab terhadap perilaku seksual. Berdasarkan SIECUS tahun 2004, manfaat pemberian pendidikan seksual antara lain 1) Meningkatkan pengetahuan remaja tentang pertumbuhan dan perkembangan reproduksi manusia, anatomi, fisiologi, masturbasi, kehamilan, persalinan, respon seksual, orientasi seksual, identitas gender, kontrasepsi, aborsi, pelecehan seksual, dan HIV/AIDS; 2) Meningkatkan sikap, nilai, dan wawasan karena pendidikan seksual memberikan kesempatan remaja untuk bertanya, mengeksplorasi, dan menilai sikap mereka tentang masyarakat, gender, dan seksualitas; 3) Meningkatkan hubungan dan

keterampilan interpersonal termasuk komunikasi     dan     pengambilan

keputusan; dan 4) Meningkatkan tanggung jawab remaja terhadap perilaku seksual dengan melawan tekanan untuk terlibat dalam hubungan seksual. Menurut WHO (2016), pemberian pendidikan seksual dapat mengurangi kehamilan dan aborsi pada remaja serta menurunkan infeksi PMS dan infeksi HIV di kelompok usia 15-24 tahun.

Faktor penghambat pemberian pendidikan seksual pada remaja yaitu ketidaknyamanan remaja menerima informasi      seksual,      kurangnya

pengetahuan ibu tentang seksualitas, kondisi remaja yang tidak mendukung pemberian pendidikan seksual, dan kurangnya waktu akibat kesibukan dari orang tua maupun remaja. Penelitian yang dilakukan oleh Grossman, Jenkins dan Richer (2018) menunjukkan bahwa banyak orang tua yang menggambarkan respon negatif remaja dalam membicarakan seksualitas seperti tampak malu, tidak nyaman dan mengatakan mereka sudah tahu informasi yang diberikan orang tuanya. Respon negatif remaja timbul karena remaja sedang capek ataupun momen yang tidak tepat saat diberikan pendidikan seksual. Rendahnya pengetahuan tentang seksualitas juga diungkapkan partisipan sebagai faktor penghambat dalam memberikan pendidikan seksual pada remaja. Teori Green tahun 1980 menyebutkan bahwa faktor predisposisi yang mempengaruhi seseorang berperilaku salah satunya adalah pengetahuan. Semakin banyak pengetahuan yang dimiliki, maka semakin besar peluang seseorang untuk berperilaku (Notoatmodjo, 2010). Partisipan     mengatakan     bahwa

pemberian     pendidikan     seksual

terhambat karena kesibukan. Orang tua yang tidak memiliki waktu luang 446

bersama remaja akan mengakibatkan remaja mencari tahu sendiri informasi seksual atau memilih teman sebaya untuk diajak berdiskusi masalah seksual. Hal ini memungkinkan remaja salah memahami informasi seksual dan berani mencoba perilaku seksual pranikah.

Isyarat untuk bertindak orang tua dalam memberikan pendidikan seksual yaitu situasi pencetus seperti kasus-kasus seksual yang ada di dalam masyarakat; adanya dukungan dari keluarga besar, sekolah, dan masyarakat; kedekatan hubungan antara ibu dengan remaja; terjalinnya komunikasi yang baik antara ibu dengan remaja; norma dan agama yang sejalan dengan pendidikan seksual; dan tersedianya sumber informasi terkait pendidikan seksual. Baku, Agbemafle, Kotoh dan Adanu dalam penelitiannya tahun 2018 menemukan bahwa orang tua akan menggunakan situasi kehidupan sebagai contoh nyata dalam memberikan pendidikan seksual, terutama kasus ketika anggota keluarga remaja hamil. Remaja diharapkan dapat mengidentifikasi masalah dan solusi setelah melihat konsekuensi dari perilaku seksual pranikah. Menurut WHO dalam Notoatmodjo (2010), seorang individu dapat berperilaku secara sederhana karena memiliki alasan pokok salah satunya yaitu referensi dari orang lain atau seseorang yang dipercayai (personal reference). Adanya dukungan dari keluarga besar, sekolah, maupun masyarakat mendorong orang tua untuk melaksanakan pemberian pendidikan seksual pada remaja. Selain itu, partisipan mengaku dekat dan menganggap remaja sebagai teman sehingga terbiasa untuk bercerita tentang apapun satu sama lain. Hubungan keluarga (misalnya kehangatan, dukungan, kedekatan) dan

komunikasi orang tua dan remaja (misalnya orang tua mendengarkan secara aktif) akan meningkatkan kenyamanan dalam komunikasi orang tua dan remaja sehingga berdampak baik terhadap perkembangan seksual remaja. Hubungan yang memposisikan orang tua sebagai sahabat remaja akan membuat remaja merasa lebih nyaman dan terbuka untuk mendiskusikan masalahnya dengan orang tua (Ja & Tiffany, 2018). Menurut partisipan, norma dan agama mendukung pelaksanaan pendidikan seksual. Orang tua memandang agama memainkan peran penghambat dan fasilitatif dalam mengatur perilaku seksual remaja. Norma keluarga menyebabkan adanya pengontrolan ketat dari orang tua dan komunikasi intensif dengan remaja sehingga remaja berpeluang lebih kecil untuk melakukan perilaku seksual pranikah. Tersedianya berbagai sumber informasi membuat orang tua mengerti tentang pendidikan seksual dan menyadari pentingnya memberikan pendidikan seksual untuk remaja. Menurut Green (1980), sarana dan prasarana seperti misalnya sumber informasi merupakan faktor yang dapat mempengaruhi perilaku individu (Notoatmodjo, 2010). Selain itu, teori Karr (1983) dalam Notoatmodjo (2010) juga mengatakan bahwa terjangkaunya akses informasi (accessibility of information) berkaitan dengan perilaku yang dilakukan oleh seseorang.

Menurut Rossenstock, selfefficacy berkaitan dengan persepsi seseorang tentang kompetensi yang dimilikinya untuk berhasil melakukan suatu perilaku. Ketika orang tua merasa tidak kompeten dan merasa dirinya tidak mengetahui kesehatan seksual, maka komunikasi yang mereka lakukan dengan remaja cenderung singkat, tidak jelas dan tidak langsung. Sebagian partisipan memandang guru di sekolah 447

lebih baik dalam menyampaikan pendidikan seksual kepada remaja dibandingkan dengan orang tua karena guru dianggap memiliki pengetahuan yang lebih mendalam tentang seksual. Penelitian yang dilakukan oleh Shin, Lee dan Min (2019) menemukan hasil yang berbeda yaitu pendidikan seksual harus diberikan oleh orang tua (53,7%), pakar pendidikan seksual (29,4%), guru atau perawat sekolah (16,3%), dan lainnya (0,3%).

SIMPULAN DAN SARAN

Hasil penelitian terdiri dari enam tema antara lain 1) Persepsi orang tua terhadap kerentanan perilaku seksual pranikah pada remaja; 2) Persepsi orang tua terhadap keparahan perilaku seksual pranikah pada remaja; 3) Persepsi orang tua terhadap manfaat pendidikan seksual pada remaja; 4) Persepsi orang tua terhadap hambatan pendidikan seksual pada remaja; 5) Isyarat untuk bertindak orang tua dalam memberikan pendidikan seksual pada remaja; dan 6) Self-efficacy orang tua memberikan pendidikan seksual pada remaja.

Persepsi orang tua terhadap kerentanan perilaku seksual pranikah pada remaja masih bersifat umum dan belum komprehensif. Sebagian besar pertisipan mengatakan bentuk perilaku seksual pranikah adalah berhubungan seksual. Persepsi orang tua terhadap keparahan perilaku seksual pranikah pada remaja tergambar dalam dampak fisik, psikologis, dan sosial. Persepsi orang tua terhadap manfaat pendidikan seksual pada remaja yaitu meningkatkan pengetahuan remaja, meningkatkan nilai dan sikap positif, meningkatkan keterampilan interpersonal, dan lebih bertanggung jawab terhadap perilaku seksual. Persepsi orang tua terhadap hambatan pendidikan seksual pada remaja terdiri dari ketidaknyamanan remaja, kurangnya pengetahuan ibu,

kondisi remaja, dan kesibukan. Isyarat untuk bertindak orang tua dalam memberikan pendidikan seksual pada remaja yaitu situasi pencetus, dukungan, kedekatan, komunikasi, norma dan agama, serta sumber informasi yang berkaitan dengan pendidikan seksual. Self-efficacy orang tua dalam memberikan pendidikan seksual tergambar dalam sub tema kurang percaya diri dan pemberi pendidikan seksual. Pemberi pendidikan seksual antara lain orang tua, guru, dan tenaga kesehatan.      Tenaga     kesehatan

diharapkan dapat menjalankan suatu program pendidikan kesehatan kepada orang tua melalui penyuluhan tentang pemberian pendidikan seksual yang mencakup materi pendidikan seksual dan bagaimana cara meningkatkan kenyamanan remaja dalam menerima informasi seksual.

DAFTAR PUSTAKA

Akter, M. (2019). Physical and psychological vulnerability of adolescents during pregnancy period as well as post-traumatic stress and depression after child birth. Open Journal of Social Sciences, 7(1),    170-177. doi:

10.4236/jss.2019.71015

Amaliyah, S., & Nuqul, F.L. (2017). Eksplorasi persepsi ibu tentang pendidikan seks untuk anak. Jurnal Ilmiah Psikologi, 4(2),          157-166.          doi:

10.15575/psy.v4i2.1758

Ashcraft, A.M., & Murray, P.J. (2017). Talking to parents about adolescent sexuality. Pediatr Clin North Am, 64(2), 305320. doi: 10.1016/j.pcl.2016.11.002

Aziz, S. (2017). Pendidikan seks perspektif terapi sufistik bagi LGBT [e-book]. Retrieved                     from

https://books.google.co.id

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional. (2018). Survei demografi dan kesehatan Indonesia 2017: Kesehatan reproduksi remaja. Retrieved       from       https://e-

koren.bkkbn.go.id

Baku, E.A., Agbemafle, I., Kotoh, A.M., & Adanu, R.M.K. (2018). Parents’ experiences and sexual topics discussed with adolescents in the

448

Accra Metropolis, Ghana:   A

qualitative study. Advances in Public Health,           1-12.           doi:

https://doi.org/10.1155/2018/5784902

Breuner, C.C., & Mattson, G. (2016). Sexuality education for children and adolescents. Pediatrics, 138(2), 1-11. doi: 10.1542/peds.2016-1348

Darmadi. (2018). Remaja dan seks [e-book]. Retrieved                     from

https://books.google.co.id

Grossman, J.M., Jenkins, L.J., & Richer, A.M. (2018).  Parents’ perspectives on

family sexuality communication from middle  school  to high school.

International      Journal      of

Environmental Research and Public Health, 15(107),    1-14. doi:

10.3390/ijerph15010107

Ja, N.M., & Tiffany, J.S. (2018). The challenges of becoming better sex educators for young people and the resources needed to get there: findings from focus groups with economically disadvantaged ethnic/racial minority parents. Health Education Research, 33(5),          402-415.          doi:

10.1093/her/cyy029

Kartika, D.,  & Budisetyani, P.W. (2018).

Hubungan pola asuh demokratis dengan perilaku seksual pranikah pada remaja di Denpasar dan Badung. Jurnal Psikologi Udayana, 5(1), 6371.                                  doi:

10.24843/JPU.2018.v05.i01.p06

Miranda, P.S.F., Aquino, J.M.G., de Carvalho Monteiro, R.M.P., Dixe, M.A.C.R., da Luz, A.M.B., & Moleiro, P.

(2018). Sexual behaviors: Study in the youth. Einstein, 16(3), 1-7. doi: 10.1590/S1679-45082018AO4265

Maryuni, & Anggraeni, L. (2016). Faktor yang berhubungan    dengan    tingkat

pengetahuan orang tua tentang pendidikan seks secara dini pada anak sekolah dasar (SD). Jurnal Ners dan Kebidanan Indonesia, 4(3), 135140. doi: 10.21927/jnki.2016

Notoatmodjo, S. (2010). Promosi kesehatan: Teori dan aplikasi. Jakarta: Rineka Cipta.

Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia Daerah Istimewa Yogyakarta. (2017). Macam-macam perilaku seksual. Retrieved from https://pkbi-diy.info

Sarwono, S.W. (2016). Psikologi remaja (1st ed.). Jakarta: Rajawali Pers.

Sexuality Information and Education Council of the United States. (2004). Guidelines for     comprehensive     sexuality

education (3rd ed.). Retrieved from http://sexedu.org.tw

Shin, H., Lee, J.M., & Min, J.Y. (2019). Sexual knowledge, sexual attitudes, and perceptions and actualities of sex education among elementary school parents. Child Health Nurs Res, 25(3),         312-323.         doi:

10.4094/chnr.2019.25.3.312

World Health Organization. (2016). Sexuality education:  What it is?. Retrieved

from https://www.euro.who.int

World Health Organization. (2020). Adolescent pregnancy.     Retrieved     from

https://www.who.int

449


Volume 9, Nomor 4, Agustus 2021