Hubungan kecemasan dan depresi pada pekerja anak
on
Community of Publishing in Nursing (COPING), ISSN: 2303-1298
HUBUNGAN KECEMASAN DAN DEPRESI PADA PEKERJA ANAK
Farial Nurhayati*, Tantri Widyarti Utami
Poltekkes Kemenkes Bandung, Program Studi Keperawatan Bogor
*Email: farialn@yahoo.com
ABSTRAK
Pekerja anak adalah anak yang yang terlibat pada pekerjaan ringan maupun pekerjaan yang membahayakan secara mental, fisik, sosial dan moral serta dapat menyakiti mereka. Penelitian bertujuan untuk diketahuinya hubungan kecemasan dan depresi pada pekerja anak. Desain penelitian adalah deskriptif korelasi. Cara pengambilan sampel dengan teknik purposive sampling. Jumlah sampel 67 pekerja anak di Bogor. Kuesioner menggunakan kuesioner Taylors Manifest Anxiety Scale (TMAS), dan Children Depression Inventory (CDI). Analisa data yang digunakan adalah analisis univariat dan bivariat dengan chi square. Hasil penelitian ini menunjukkan pekerja anak yang mengalami kecemasan sebanyak 72% dan depresi sebanyak 50,7 %. Terdapat hubungan signifikan antara kecemasan dengan depresi pada pekerja anak (p value = 0.008). Data ini menunjukkan bahwa tingginya angka kecemasan dan depresi pada pekerja anak. Dari hasil penelitian ini diharapkan pelayanan kesehatan dapat berperan aktif dalam mengatasi kecemasan dan depresi pada pekerja anak.
Kata Kunci : pekerja anak, kecemasan, depresi
ABSTRACT
The relationship between anxiety and depression in child labor. Child labor is a child who is involved in light work or work that is mentally, physically, socially and morally dangerous and can hurt them. The study aimed to find out the relationship between anxiety and depression in child labor in the City of Bogor. The research design is descriptive correlation. How to take samples with purposive sampling technique. The number of samples is 67 respondents are child labours in Bogor. The questionnaire used the Taylors Manifest Anxiety Scale (TMAS) questionnaire, and the Children Depression Inventory (CDI). Data analysis used is univariate and bivariate analysis with chi square. The results of this study shown that child laborers who experienced anxiety 72%, and depressed 50.7%. There is a significant relationship between anxiety and depression in child labor (p value = 0.008). These data indicate that high rates of anxiety and depression in child labor. From the results of this study it is expected that health services can play an active role in overcoming anxiety and depression in child labor.
Keywords: child labor, anxiety, depression
PENDAHULUAN
Tuntutan ekonomi yang tinggi saat ini menyebabkan pendapatan yang dihasilkan orangtua dan anggota keluarga yang sudah dewasa tidak memadai lagi untuk menghidupi kebutuhan keluarga sehari-hari. Anak-anak seringkali mendapati diri mereka tidak memiliki pilihan selain berhenti sekolah dan bekerja untuk kelangsungan hidup mereka dan keluarga mereka.
Pekerja Anak menurut ILO/ IPEC adalah anak-anak yang terlibat pada pekerjaan yang membahayakan mereka secara mental, fisik, sosial dan moral serta dapat menyakiti mereka. Pekerjaan tersebut juga dapat membahayakan pendidikan mereka. Sedangkan batas usia minimum untuk bekerja menurut Konvensi
ILO no 138 tahun 1973 adalah tidak boleh kurang dari 15 tahun.
Berdasarkan laporan analisis perusahaan Maplecroft, Indonesia berada di posisi 46 dari 197 negara dengan tingkat pekerja anak terbesar (Retnaningrum, 2013). Data Badan Pusat Statistik (BPS) 2017 di Indonesia menunjukkan jumlah penduduk angkatan kerja berusia 15-19 tahun sebanyak 7,42 juta jiwa sedangkan yang bekerja sebanyak 5,17 juta jiwa atau sekitar 69,69%. Data Badan Pusat Statistik (2017) di Jawa Barat menunjukkan 16,7 juta penduduk berusia 0-19 tahun, dari jumlah tersebut sekitar 23,25% penduduk berusia 15-19 tahun yang bekerja. Pekerja usia 15-19 tahun tersebut, sebanyak 10,96% bekerja di sektor pertanian, 35,54% bekerja di sektor industri dari jumlah tersebut 65% adalah pekerja anak
laki-laki dan 35% adalah pekerja anak perempuan, selanjutnya 27,78% bekerja di sektor perdagangan, 14,65% bekerja di sektor jasa, dan 11,0% bekerja di sektor lainnya.
Bogor merupakan kota penyangga ibu kota yang memiliki banyak industri kecil dan menengah yang ada di kota Bogor. Data Badan Pusat Statistik (BPS) dan Survei Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS) 2013 di kota Bogor menunjukan jumlah anak di kota Bogor sebanyak 352.776 jiwa dari jumlah tersebut terdapat 85.772 anak berusia 15 -19 tahun, dan 16.934 jiwa atau 19,7% anak berusia 15-19 tahun yang bekerja.
Kecemasan adalah rasa takut yang tidak jelas disertai dengan perasaan ketidakpastian, ketidakberdayaan, isolasi, dan ketidakamanan (Stuart GW, 2013). Kecemasan pada pekerja anak terjadi karena pekerja anak rentan memperoleh pengaruh atau perlakuan yang buruk, korban dari perlakuan orang tuanya, menjadi korban tindak kriminal dari orangorang dewasa. Jika kehidupan mereka tumbuh dari penyiksaan dan tindak kekerasan, sangat besar kemungkinan membawa dampak psikologis untuk masa mendatang berupa ketakutan, stress, serta kecemasan. (Huraerah, 2006). Tanda dan gejala kecemasan pada pekerja anak adalah tidak nafsu makan, sulit tidur, diare, gelisah, panik, dan stres.
Depresi adalah suatu jenis gangguan alam perasaan atau emosi yang disertai komponen psikologik: rasa susah, murung, sedih, putus asa, dan tidak bahagia, serta komponen somatik: anoreksia, konstipasi, kulit lembab (rasa dingin), tekanan darah dan denyut nadi menurun. (Hidayat, 2008). Depresi pada pekerja anak dapat menimbulkan trauma, sehingga mereka pun menggunakan berbagai macam cara, untuk mengatasi trauma yang dialaminya. Depresi pada pekerja anak dapat berupa anak menarik diri dari pergaulan, anti sosial, sulit berkomunikasi, pemurung, cepat marah, agresif, kurangnya perhatian
terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi, kesukaran disekolah.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Gambaran Kecemasan dan Depresi pada Pekerja Anak di Kota Bogor. Mempekerjakan pekerja anak pada dasarnya merupakan suatu hal yang melanggar hak asasi anak karena pekerjaan pekerja anak selalu berdampak buruk terhadap perkembangan fisik, emosi dan sosial anak (Nandi, 2006).
Secara fisik pekerja anak lebih rentan dibanding orang dewasa karena fisik mereka masih dalam masa pertumbuhan. Bekerja sebagai pekerja anak dapat mempengaruhi perkembangan kesehatan fisik mereka karena pekerjaan yang mereka lakukan dapat menimbulkan kecelakaan maupun penyakit. Kondisi yang dapat menimbulkan penyakit pada pekerja anak antara lain kondisi tempat kerja yang sangat panas atau terlalu dingin, tempat kerja terlalu bising, terhirup debu, terhirup bahan kimia berupa uap lem, uap cat sablon, tempat kerja yang memungkinkan terjadinya eksploitasi seksual dan lain-lain.
Pekerja anak juga rentan untuk menjadi korban tindak kriminal dari orangorang dewasa. Pekerja anak sering kali mendapatkan bentuk kekerasan. Kekerasan pada remaja ini tentu akan membawa dampak negatif bagi mereka jika kehidupan mereka tumbuh dari penyiksaan dan tindak kekerasan, sangat besar kemungkinan membawa dampak psikologis untuk masa mendatang berupa ketakutan, stres, kecemasan, hilang rasa percaya diri, mengalami hambatan dalam penyesuaian diri, menarik diri dari pergaulan atau dengan lawan jenis (jika mengalami sexual abuse), sulit berkomunikasi, anti sosial dan depresi (Huraerah, 2006).
Pekerja anak yang tidak mendapat kesempatan untuk melakukan kegiatan seperti bermain, pergi besekolah dan bersosialisasi dengan teman sebanyanya, tidak mendapat pendidikan dasar yang diperlukan untuk mengatasi masalah-
masalah kehidupan, tidak mendapat kesempatan untuk berinteraksi dengan orang lain dan ikut berpartisipasi aktif di tengah masyarakat serta menikmati hidup secara wajar biasanya akan tumbuh menjadi anak yang pasif dan egois sehingga sering berdampak anak mengalami masalah didalam interaksi / menjalin kerjasama dengan orang lain dan mereka kurang percaya diri atau merasa direndahkan.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian jenis kuantitatif bersifat deskriptif korelatif dengan menggunakan pendekatan cross sectional, Proses pengukuran variabel independen dan dependen hanya dilakukan satu kali, setelah itu tidak dilakukan tindak lanjut.
Sampel penelitian adalah 67 pekerja sepatu anak yang sudah bekerja lebih dari 6 bulan Teknik pengambilan sampel yang digunakan peneliti yaitu Purposive sampling. Purposive sampling merupakan yaitu teknik pengambilan sampel yang didasarkan pada suatu pertimbangan tertentu yang dibuat oleh peneliti sendiri, berdasarkan ciri atau sifat – sifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya. Kriteria inklusi sampel penelitian yaitu remaja usia 12-17 tahun, bekerja di home industri sandal dan sepatu, bisa membaca dan menulis, bersedia menjadi responden.
Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan tiga kuesioner. Kuesioner pertama berisikan tentang karakteristik atau data demografi yaitu umur, jenis kelamin, pendidikan, alasan bekerja, jumlah jam kerja per minggu dan kecelakaan yang pernah dialami. Kuisioner kedua untuk mengukur kecemasan menggunakan Taylor Manifest Anxiety
Scale (TMAS) berisi 50 butir pertanyaan dengan skor < 21 tidak cemas dan ≥ 21 cemas. Kuesioner ketiga untuk menguklur tingkat depresi menggunakan kuesioner Children’s Depression Inventory (CDI) terdiri dari 27 item pertanyaan dengan skor < 12 tidak cemas dan ≥ 12 cemas.
Data diolah dan diproses menggunakan sistim program komputer. Data dianalisis secara univariat dan bivariat. Uji bivariat dilakukan menggunakan chi square dengan kemaknaan p< 0,05. Uji ini untuk mengetahui hubungan antara kecemasan dan depresi pada pekerja anak.
HASIL PENELITIAN
Tabel 1 menunjukkan bahwa mayoritas pekerja anak berjenis kelamin laki-laki (77,6%), Pendidikan anak terbanyak Sekolah dasar (53,7%), Alasan bekerja terbanyak adalah karena kebiasaan keluarga (37,3%), Jumlah jam kerja satu minggu terbanyak ≥ 41 jam yaitu 67,2%. Riwayat kecelakaan kerja sebanyak 58,2% tidak melaporkan adanya riwayat kecelakaan kerja.
Tabel 2 menunjukkan usia rerata pekerja anak adalah 15 (±1,19 tahun) tahun, usia terendah 12 tahun dan usia tertinggi 17 tahun. Tabel 3 menunjukkan sebanyak 47 pekerja anak (70,1%) mengalami kecemasan dan 29,9% pekerja anak tidak mengalami kecemasan. Tabel 4 menunjukkan sebanyak 34 pekerja anak(50,7%) mengalami depresi dan 33 pekerja anak (49,3%) tidak mengalami depresi. Tabel 5 menunjukkan hubungan kecemasan dan depresi pada pekerja anak (p value = 0,008). Terdapat hubungan significant antara kecemasan dan depresi pada pekerja anak.
Tabel 1.
Karakteristik Pekerja anak
Karakteristik |
Sub karakteristik |
f |
% |
Jenis kelamin |
Laki-laki |
52 |
77,6 |
Perempuan |
15 |
22,4 | |
Pendidikan |
SD |
36 |
53,7 |
SMP |
28 |
41,8 | |
SMA |
3 |
4,5 | |
Alasan berkerja |
Faktor ekonomi |
18 |
26,9 |
Kebiasan keluarga |
25 |
37,3 | |
Putus sekolah |
24 |
35,8 | |
Jumlah jam kerja perminggu < 21 jam |
10 |
14,9 | |
21-35 jam |
8 |
11,9 | |
36-40 jam |
4 |
6,0 | |
1. ≥ 41 jam |
45 |
67,2 | |
Riwayat kecelakaan kerja 1. Ya |
28 |
41,8 | |
2. Tidak |
39 |
58,2 | |
Tabel 2. | |||
Karakteristik Usia | |||
Variabel |
N Mean Median |
SD |
Min-maks |
Usia |
67 15 16 |
1,19 |
12-17 |
Tabel 3. Kecemasan pekerja anak | |
Kecemasan |
f % |
Tidak cemas Cemas |
20 29,9 47 70,1 |
Tabel 4.
Depresi pada pekerja anak
Depresi |
f |
% |
Tidak depresi |
33 |
49,3 |
Depresi |
34 |
50,7 |
Tabel 5.
Hubungan kecemasan dan depresi pada pekerja anak
Kecemasan |
Depresi | |
Tidak depresi |
Depresi P value | |
f % |
f % | |
Tidak Cemas |
15 75 |
5 25 0,008 |
Cemas |
18 38,3 |
29 61,7 |
Jumlah |
33 49,4 |
34 50,7 |
PEMBAHASAN Hasil penelitian ini menunjukkan mayoritas pekerja anak berjenis kelamin laki-laki (77,6%). Banyaknya pekerja anak laki-laki menunjukkan Tingginya jumlah pekerja anak laki-laki dibanding pekerja |
anak perempuan dikarenakan adanya anggapan bahwa kelak anak laki-laki lah yang akan menjadi kepala keluarga dan bertanggung jawab menafkahi keluarga sehingga dibutuhkan keterampilan atau pengalaman kerja sejak dini. Pada |
umumnya pekerjaan yang dilakukan di industri ini dilakukan hingga larut malam sehingga ada anggapan bahwa anak perempuan dianggap kurang pantas jika harus bekerja hingga larut malam (Avianti dan Sihaloho, 2013).
Usia rata-rata pekerja anak pada penelitian ini adalah 15 tahun, dimana usia terendah 12 tahun dan tertinggi 17 tahun. Menurut konvensi ILO no 138 tahun 1973 batas usia minimum pekerja anak adalah 15 tahun, namun usia 15 tahun keatas sudah termasuk dalam penduduk usia kerja di Indonesia menurut Badan Pusat Statistik (BPS). Meskipun demikian ia hanya diperbolehkan bekerja di bawah bimbingan yang memadai dan dalam pekerjaan yang tidak berbahaya atau termasuk dalam kategori Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak. Jadi, sekalipun sudah berusia 15 tahun atau lebih, seorang anak masih digolongkan sebagai pekerja anak apabila mereka melakukan pekerjaan yang berbahaya dan bersifat eksploitatif. Selanjutnya batas usia 13-14 tahun diperbolehkan bekerja namun pada pekerjaan yang ringan tidak boleh merupakan pekerjaan berbahaya dan tidak boleh lebih dari 14 jam perminggu serta ditoleransi oleh Undang-Undang yang tidak mengganggu kesehatan, pertumbuhan anak, dan mengganggu sekolahnya. Sedangkan usia 12 tahun merupakan usia dimana anak tidak diperbolehkan bekerja bahkan untuk pekerjaan ringan (konvensi ILO no 138, 1973).
Pada penelitian ini pendidikan anak terbanyak adalah sekolah dasar (53,7%) Data BPS kota Bogor (2017) menunjukkan jumlah pekerja anak paling banyak adalah lulusan Sekolah dasar dari total 165126 pekerja anak didapatkan 80150 memiliki pendidikan sekolah dasar (48,5%). Tingginya pekerja anak dengan tingkat pendidikan sekolah dasar menunjukkan kurangnya kesadaran keluarga untuk memberikan pendidikan setinggi-tingginya kepada anak. Keluarga cenderung berpikiran sempit terhadap masa depan
anaknya sehingga tidak memperhitungkan manfaat sekolah yang lebih tinggi dapat meningkatkan kesejahteraan anak di masa datang. Situasi tersebut yang pada akhirnya juga mendorong anak untuk memilih menjadi pekerja anak. Pendidikan yang rendah menyebabkan anak tidak mempunyai kesempatan memilih jenis pekerjaan dan tempat bekerja. Pekerjaan sebagai buruh banyak dipilih karena tidak ada batasan pendidikan minimal.
Alasan bekerja pekerja anak adalah karena kebiasaan keluarga (37,3%). Faktor sosial budaya pada penelitian ini melatarbelakangi anak bekerja. Tempat penelitian ini adalah sentral industri sendal yang sudah ada sejak puluhan tahun dimana keluarga sejak turun temurun bekerja di industri rumah tangga tersebut dengan penghasilan yang minim. Faktor ekonomi juga menjadi mendorong munculnya anak bekerja untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.. Adapun anggapan bahwa anak sebagai potensi keluarga yang wajib berbakti kepada orang tua dan mempunyai kontribusi bagi perekonomian keluarga serta tidak adanya larangan untuk membantu orang tua untuk bekerja hal ini telah terjadi turun temurun, dan menjadi penyebab munculnya pekerja anak (Fitryani, 2009).
Jumlah jam kerja perminggu yang dilakukan pekerja anak pada penelitian ini adalah ≥ 41 jam yaitu 67,2%, atau sekitar 5-6 jam perhari tampa hari libur.Hal ini bertentangan dengan pasal 71 Undang-Undang Ketenagakerjaan tahun 2003, jam kerja yang diperbolehkan bagi pekerja anak yang melakukan pekerjaan ringan adalah paling lama 3 (tiga) jam sehari dan tidak boleh lebih dari 21 jam dalam seminggu. Bekerja penuh waktu menghambat anak untuk mendapatkan pendidikan. Mereka tidak belajar dasar-dasar membaca, menulis, dan aritmatika dan tidak dapat mengembangkan proses berpikir yang lebih baik. Hal ini menghalangi potensi ekonomi anak di masa depan. Efeknya, anak akan terjebak dalam pekerjaan rendahan bergaji rendah.
Penelitian ini juga menunjukkan kecelakaan kerja dialami pada pekerja anak sebanyak 41,8%. Anak-anak lebih rentan daripada orang dewasa terhadap bahaya-bahaya pekerjaan yang ada karena mereka masih dalam masa pertumbuhan. Tingkat risiko bagi para pekerja anak lebih ditentukan oleh tugas dan kondisi-kondisi di mana mereka bekerja daripada oleh industri
Spesifik tertentu. Bahaya kecelakaan kerja pada pekerja anak industri rumah tangga timbul karena pemakaian mesin, atau terpapar bahan kimia lainnya dimana pekerja anak bisa saja terjepit mesin yang bergerak, terkena mesin pengikis (untuk menipiskan kulit), gerinda, pengepres sol, mesin penjahit, mesin penstempel, kemudian alat tajam seperti gunting, pisau, paku, jarum, martil dimana dapat mengakibatkan amputasi, terpotong, tergores, luka di jari, lengan, kaki dan kuku. Hal tersebut bisa dialami oleh pekerja anak karena tidak adanya pengawasan kerja oleh orang dewasa saat pekerja anak bekerja.
Penelitian menunjukkan sebanyak 47 pekerja anak mengalami (70,1%) mengalami kecemasan. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian lain menunjukkan kecemasan dialami sebanyak 59,2% pada pada pekerja anak (Taib, N. I., & Ahmad, A. 2015). Tingginya angka kejadian kecemasan pada pekerja anak dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya faktor predisposisi (biologis, kesehatan, keluarga, psikologis, perilaku) dan faktor presipitasi (ancaman terhadap integritas fisik dan ancaman terhadap sistem diri) (Stuart, 2013).
Depresi juga dialami pada pekerja anak sebanyak 50,7%. Hasil penelitian lain tentang gambaran depresi pada pekerja anak didapatkan data dari total 67 responden, lebih dari setengah pekerja anak mengalami depresi yaitu 50,7% dan kurang dari setengah responden tidak mengalami depresi yaitu 49,3%. Hal tersebut didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Muhammad Arshad, dkk
(2015) di Pakistan, mengenai tingkat kecemasan dan depresi diantara pekerja anak menunjukkan, dari 90 responden yang terdiri dari 60 pekerja anak laki-laki dan 30 pekerja anak perempuan. Persentase pekerja anak laki-laki yang mengalami depresi yaitu 22,1%, dan pekerja anak perempuan yaitu 29,3%.
Depresi merupakan salah satu masalah mental yang terjadi pada anak yang ditandai dengan suasana hati yang tertekan, kehilangan minat atau kesenangan, penurunan energi,perasaan bersalah atau harga diri rendah, tidur atau nafsu makan terganggu, dan konsentrasi buruk. Apabila tidak diatasi depresi dapat menyebabkan bunuh diri. (Marcus et.all, 2012).
Hasil penelitian ini menunjukkan ada hubungan kecemasan dan depresi pada pekerja anak. Hal ini sesuai dengan beberapa penelitian yaitu ditemukannya hubungan yang signifikan antara depresi dan kecemasan (Arsyad et al, 2015). Anak yang bekerja akan mengalami kecemasan dan depresi empat kali lebih tinggi dari pada yang tidak bekerja. (Isabel A. Bordin, et.al, 2013)
Masalah psikologis lain banyak dialami oleh pekerja anak. Mereka menghadapi berbagai jenis pelecehan lebih sering. Rumah pribadi adalah lingkungan tertutup yang dapat membuat pekerja rumah tangga menjadi korban eksploitasi serta pelecehan fisik, seksual dan emosional, yang semuanya merupakan faktor risiko untuk gangguan emosional. Mengingat gangguan spesifik yang teridentifikasi, gangguan kecemasan dan fobia khususnya
Penanganan masalah kecemasan dan depresi pada pekerja anak sangat penting dilakukan untuk menghidara masalah kesehatan jiwa yang lebih berat lagi. Beberapa upaya yang dapat dilakukan adalah 1) melakukan psikoterapi dan Cognitive behavior therapy pada pekerja anak yang mengalami cemas dan depresi 2) Melakukan perlindungan dan pencegahan: Pemeriksaan tempat kerja
dilakukan untuk mengetahui jenis-jenis bahaya kerja yang ada dan yang dapat mengintai pekerja anak yang bekerja di tempat kerja tersebut, dengan
menggunakan perangkat yang umum.(ILO, 2008).3) Mengembalikan anak ke sekolah untuk melanjutkan pendidikan dengan tidak meninggalkan pekrjaan tetapi hanya mengurangi jam kerja sesuai Undang-Undang No 12 tahun 2003 yaitu tiga jam perhari. Alternatif pendidikan yang bisa dilakukan adalah kejar paket A (setingkat SD), kejar paket B (setingkat SMP) dan kejar paket C (setingkat SMA). 4)
Dibebaskannya anak-anak yang lebih muda dari Pekerja Anak 5) Edukasi kepada masyarakat tentang permasalahan yang muncul pada pekerja anak baik fisik,mental, sosial dan spiritual sehingga masyarakat mempunyai komitmen dan terlibat dalam perjuangan melawan pekerja anak.
SIMPULAN
Pekerja anak rata-rata berusia 15 tahun, berjenis kelamin laki-laki (77,6%), tingkat pendidikan sekolah dasar (53,7%), alasan bekerja karena kebiasaan keluarga (37,3%), bekerja selama ≥ 41 jam/minggu 67,2%. Pekerja anak yang mengalami kecelakaan kerja sebanyak 41,8%. Kecemasan dialami pada pekerja anak sebanyak (70,1%) dan depresi (50,7%). Terdapat hubungan antara kecemasan dan depresi pada pekerja anak.
DAFTAR PUSTAKA
Arshad Muhammad. Zia Razzaq. Khalid Mahmood (2015). Anxiety and Depression Level Among Child
Labour. European Journal of Psychological Research Vol:2
Atalay Alem, Ababi Zergaw, Derege Kebede, Mesfin Araya, Menelik Desta, Teferea Muche, Debela Chali, Girmay Medhin. (2006). Child labor and childhood behavioral and mental health problems in Ethiopia. Ethiop.J.Health Dev. 2006;20(2)
Avianti, A, dan Martua Sihaloho. (2013). Peranan Pekerja Anak di Industri Kecil Sandal Terhadap Pendapatan Rumah Tangga dan Kesejahteraan Dirinya di Desa Parakan,
Kecamatan Ciomas, Kabupaten
Bogor, Jawa Barat. Bogor (ID): IPB Pr.
Badan pusat Statistik. (2009). Pekerja Anak di Indonesia 2009. Jakarta: BPS.
BPS (2017). Jawa Barat Dalam Angka 2016. Bandung: BPS.
__________. (2015). Statisik Indonesia 2015. Jakarta: BPS.
__________. (2015). Persentase penduduk miskin maret 2015 mencapai 11,22 persen.
ILO (2008). Modul Penanganan Pekerja Anak.
http://www.ilo.org/wcmsp5/groups/p ublic/@asia/@ro-bangkok/@ilo-jakarta/documents/publication/wcms _120565.pdf
Guarcello. L, S. Lyon, F.C. Rosati. 2008. Child Labour and Education For All: an issue paper. Rome. Working Paper.
Hetherington, E. Mavis et al. 2006. Child Psychology A Contemporary
viewpoint. New York:
Mcgraw-Hill Education.
Huraerah, Abu. (2006). Kekerasan terhadap anak psiko mental. Bandung: Nuansa
Hidayah, Nurul. (2010). Perbedaan tingkat kecemasan antara siswa putra dan putri kelas x dalam menghadapi ujian akhir semester pada SMA NU AL MA’RUF Kudus. Diperoleh
tanggal 18 Maret 2016
I.A. Bordin, I. H Pieres, C. S. Paula et al.,(2013) “Lifetime Paid Work and
Mental Health Problems among Poor _____Undang-Undang Republik
Urban 9-to-13-Year-Old Children in Indonesia Nomor 13 Tahun 2003
Brazil The Scientific World Journal Tentang Ketenagakerjaan.
Volume 2013, Article ID 815218, 7
pages.http://dx.doi.org/10.1155/2013 /815218.
ILO. (2004). Pekerja Anak di Industri
Sepatu Informal di Jawa Barat:
Sebuah Kajian Cepat. Jakarta:
Kantor Perburuhan Internasional
Kaplan H.I, Sadock B.J, Grebb J.A.
(2010). Sinopsis Psikiatri Jilid 2.
Terjemahan Widjaja Kusuma.
Jakarta: Binarupa Aksara.
Marcus M, Yasamy MT, van Ommeren M, Chisholm D, Saxena S, et al (2012). Depression: A global public health concern. WHO Department of Mental Health and Substance Abuse 2012;1:6{8.
Nasir, Abdul, & Abdul Muhith. (2011).
Dasar-Dasar Keperawatan Jiwa.
Jakarta: Salemba Medika
Notoatmodjo, Soekidjo prof. Dr. (2012).
Metodologi Penelitian Kesehatan
Edisi Revisi. Jakarta: Rineka
Cipta
Putri, A. 2015. Pengaruh Karakteristik
Individu Dan Rumah Tangga
Terhadap Kecenderungan Anak Untuk Bersekolah Atau Bekerja.
Malang (ID). Brawijaya Press.
Stuart, Gail W. (2013). Principles and
Practice Of Psychiatric Nursing 10th
Edition. Missouri: Mosby
Taib, N. I., & Ahmad, A. (2015). Mental
Illness among Children Working on the Streets Compared with School Children in Duhok.
http://www.scirp.org/journal/ psych
http://dx.doi.org/10.4236/psych.2015.6121
Volume 6, Nomor 1, April 2018
56
Discussion and feedback