COPING Ners Journal

ISSN: 2303-1298

HUBUNGAN BEBAN KERJA, FAKTOR DEMOGRAFI, LOCUS OF CONTROL DAN HARGA DIRI TERHADAP BURNOUT SYNDROME PADA PERAWAT PELAKSANA

IRD RSUP SANGLAH

Ni Luh Putu Dian Yunita Sari

Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

Abstract.Burnout syndrome is a collection of physical symptoms, psychological and destructive mental fatigue as a result of the work that is monotonous and oppressive thatis found in the nurses. This research was an observational correlation study with cross sectional design. The total sample involved 53 associate nurses in Medical Surgical and Ratna ward of Sanglah Hospital determine throughThe Total Sampling Technique. The tests are usedwere Kendal Tau test and Contingency coefficient (p value<α, α=0,05). The results of research showed there were significant relationships between workload (p value=0,006, r=0.371), age (p value=0,033, r=0,287), marital status (p value=0,015, r=0,371), years of working (p value = 0,000, r=0,597), locus of control (p value = 0,000,r = 0,475) and self-esteem (p value=0,024, r=-0,304) with burnout syndrome. However, there is no significant relationship between gender (p value=0,415, p value>0,05) and level of education (p value=0,463, p value>0,05) with burnout syndrome. Burnout syndrome can cause decreased effectiveness of work, social relationships between colleagues becomes tenuous, and the resulting negative feelings toward patients. Thus, the nurses are expected to increase self-esteem and internal locus of control to build positive coping of work’s stressors.

Keywords : Burnout Syndrome, Demographic Factors,Locus of Control, Self-Esteem,Workload

PENDAHULUAN

Perawat memiliki tanggung jawab yang tinggi karena memiliki pekerjaan yang bersifat human service atau memberikan pelayanan kepada masyarakat yang dituntut untuk memiliki keterampilan yang baik dalam bidang kesehatan (Perry & Potter, 2005).Tanggung jawab dan tuntutan pekerjaan yang banyak dapat berpotensi menjadi stresor bagi perawat. Stresor yang terjadi secara terus menerus dan tidak mampu diadaptasi oleh individu akan menimbulkan beberapa gejala yang disebut dengan burnout syndrome. Burnout syndrome adalah suatu kumpulan gejala fisik, psikologis dan mental yang bersifat destruktif akibat dari kelelahan kerja yang bersifat monoton dan menekan (Pangastiti, 2011).Burnout syndrome memiliki tiga dimensi, yaitu emotional and

physicalexhaustion (keterlibatan emosi yang menyebabkan energi dan sumber-sumber dirinya terkuras oleh satu pekerjaan), depersonalization (sikap dan perasaan negatif terhadap pasien atau orang lain), danperceive inadequacy of professional accomplishment (penilaian diri negatif dan perasaan tidak puas dengan performa pekerjaan) (Maslach, 1993).

Pangastiti (2011) menyatakan burnout syndrome banyak ditemukan pada profesi yang bersifat human service seperti polisi, perawat, dokter, konselor, dan pekerja sosial.penelitian yang dilakukan oleh Moreira et al (2009) pada perawat yang bekerja pada rumah sakit besar di Brasil Selatan menunjukkan bahwa prevalensi perawat yang mengalami burnout sebanyak 35,7% dari 151 responden. Al-Turki et al

(2010) juga melakukan penelitian terkait burnout syndrome pada perawat yang berjudul “Burnout Syndrome among Multinational Nurses Working in Saudi Arabia” menunjukkan hasil 89% staf perawat mengalami emotional exhaustion, 42% mengalami depersonalization, dan 71,5% mengalami lowpersonal accomplishment. Berdasarkan hasil survei dari PPNI tahun 2006, sekitar 50,9% perawat yang bekerja di empat propinsi di Indonesia mengalami stres kerja, sering pusing, lelah, tidak bisa beristirahat karena beban kerja terlalu tinggi dan menyita waktu, gaji rendah tanpa insentif memadai (Rachmawati, 2008).

Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan peneliti, didapatkan bahwa perawat di Ruang Ratna dan Ruang Medical Surgical memiliki gejala-gejala burnout seperti terlihat lesu, kurang bersemangat, kurang perhatian terhadap pasien dan keluarganya. Berdasarkan hasil pengisian kuisioner yang berisi pernyataan tentang dimensi burnout syndrome pada 20 orang perawat pelaksana yang berjaga di ruang Medical Surgical dan ruang Ratna, didapatkan hasil 100% dari responden menyatakan sering mengalami keletihan secara fisik, 75% menyatakan sering mengalami keletihan secara emosional, 50% menyatakan sering mengalami gangguan pola tidur, gangguan pola makan dan sakit kepala serta 50% menyatakan sesekali ingin beralih ke profesi selain perawat. Dari hasil wawancara dan pengamatan terhadap pasien dan keluarga pasien di kedua ruangan, didapatkan hasil bahwa ada beberapa perawat yang kurang sigap dalam melayani keluhan pasien, bersikap sinis, dan acuh.

Secara garis besar, burnout syndrome dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Lee dan Ashfort (1996)menyebutkan bahwa ada beberapa faktor eksternal yang mempengaruhi burnout syndrome seperti beban kerja,

konflik peran, ambiguitas peran, serta dukungan. Faktor yang paling terlihat mempengaruhi burnout syndrome pada lokasi penelitian adalah beban kerja. Hal ini didasari oleh penelitianSeptiani (2011) yang menyebutkan 14 orang perawat (53,8%) termasuk dalam kategori beban kerja berat di Ruang Medical Surgical.Faktor internal terbagi menjadi dua yaitu, faktor kepribadian dan faktor demografi. Faktor kepribadian terdiri dari locus of control, harga diri, serta tipe kepribadian sedangkan faktor demografi terdiri dari usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, status pernikahan, serta masa kerja (Farber, 1991). Pada penelitian ini, hanya tipe kepribadian yang tidak masuk dalam variabel penelitian karena bersifat herediter dan tidak dapat diubah dengan reward dan pendekatan psikologis lainnya.

Burnout syndrome yang dialami perawat dalam bekerja akan sangat mempengaruhi kualitas pelayanan keperawatan yang diberikan kepada pasien, serta dapat menyebabkan efektifitas pekerjaan menurun, hubungan sosial antar rekan kerja menjadi renggang, dan timbul perasaan negatif terhadap pasien, pekerjaan, dan tempat kerja perawat. Pada keadaan yang sudah parah, akan muncul keinginan untuk beralih ke profesi lain. Jika hal ini dibiarkan dan tidak diidentifikasi secara komprehensif, maka rumah sakit tempat perawat tersebut bekerja akan mengalami penurunan kualitas pelayanan. Lebih dari itu, citra perawat sebagai salah satu petugas kesehatan yang terdekat dengan pasien akan rusak di mata masyarakat (Tawale, 2011).

Berdasarkan latar belakang di atas, penting dilakukan identifikasi lebih lanjut mengenai burnout syndromedan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk meneliti lebih lanjut tentang hubungan beban kerja, faktor demografi (usia, jenis kelamin, status

pernikahan, masa kerja, serta tingkat pendidikan), locus of control, dan harga diri terhadap burnout syndrome pada perawat pelaksana IRD RSUP Sanglah.Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan landasan untuk membangun mekanisme koping adaptif terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi burnout syndrome dan dapat dijadikan dasar dalam melakukan langkah preventif dan membuat program-program terkait untuk mengurangi gejala burnout syndrome pada perawat berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhinya.

METODE PENELITIAN

Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan model penelitian kuantitatif, jenis penelitian observasi korelasi (non eksperimental) dengan desain cross sectional.

Populasi dan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah semua perawat pelaksana yang bekerja di Ruang Medical Surgical dan Ruang Ratna RSUP Sanglah yang memiliki shift lengkap pagi, sore dan malam serta tidak cuti. Jumlah seluruh perawat pelaksana di kedua ruangan ini adalah 53 orang.Sampel yang diambil adalah semua perawat pelaksana yang bekerja di ruang Medical Surgical dan Ruang Ratna RSUP Sanglah. Pengambilan sampel dilakukan dengan cara sampel jenuh atau total sampling.

Instrumen Penelitian

Instrumen pengumpul data yang digunakan dalam penelitian ini, antara lain: kuisioner Maslach Burnout Inventory untuk mengukur burnout syndrome, lembar kegiatan perawat untuk mengukur beban kerja perawat, skala IPC Levenson untuk mengukur locus of control, skala self-esteem Rosenberg untuk mengukur harga diri, serta lembar identitas untuk mengetahui faktor-faktor demografi.

Prosedur Pengumpulan dan Analisis Data

Responden diberikan lembar persetujuan menjadi responden untuk ditandatangani, setelah menyatakan bersedia.Selanjutnya diberikan lembar identitas untuk mengetahui faktor-faktor demografi, kuisioner Maslach Burnout Inventory, lembar kegiatan perawat, skala IPC Levenson, serta skala self-esteem Rosenberg.Kuisioner Maslach Burnout Inventory, skala IPC Levenson, dan skala self-esteem Rosenberg diberikan pada akhir shift dengan dampingan peneliti atau asisten penelitian.Pada saat pengisian kuisioner, asisten penelitian bertugas untuk menjelaskan segala sesuatu yang kurang dimengerti oleh responden terkait teknis pengisian.Pengisian lembar kegiatan perawat yang diberikan sebanyak tiga kali shift (pagi, sore, dan malam) pada masing-masing responden. Dua orang asisten penelitian ataupun peneliti bertugas untuk memberikan dan mengambil kembali lembar kerja perawat pada satu tim dengan mengikuti pola shift satu tim tersebut. Dua orang asisten peneliti ataupun peneliti, sebelumnya telah bertanya pada masing-masing perawat dalam tim tersebut tentang jadwal shift pagi, siang dan malam mereka. Lembar kerja perawat diberikan pada awal shift lalu pengambilan kembali dilakukan di akhir shift. Pemantauan selama pengisian lembar kegiatan perawat per shift dibantu oleh ketua tim dan perawat primer yang sebelumnya telah diberikan informasi oleh peneliti ataupun asisten penelitian.

Data diberikan skor sesuai kriteria yang telah ditentukan dan dikoding setelah data terkumpul.Data ditabulasi dan dibuat distribusi frekuensi serta diinterpretasikan setelah pengkodingan.Analisa bivariat menggunakan Uji Kendal Tau dan Koefisien Kontingensi.Analisis uji hubungan yang menggunakan uji Kendal Tau adalah uji hubungan antara beban kerja perawat dan

harga diri dengan burnout syndrome.Sedangkan uji hubungan antara usia, jenis kelamin, status pernikahan, masa kerja, tingkat pendidikan dan locus of control menggunakan uji Koefisien Kontingensi dengan tingkat kepercayaan 95% (p value< 0,05).

HASIL PENELITIAN

Proporsi burnout syndromepaling tinggi adalah responden dengan tingkatan burnout syndrome ringan yaitu sebanyak 34 orang (64,2%). Selain itu, berdasarkan proporsi beban kerja, sebagian besar responden mengalami beban keja yang tinggi yaitu 38 orang (71,7%). Berdasarkan faktor demografi yang didapat, sebagian besar responden berusia kurang dari 30 tahun yaitu 42 orang (79,2%), sebagian besar responden berjenis kelamin perempuan yaitu 41 orang (77,4%), sebagian besar responden memiliki masa kerja lebih atau sama dengan 5 tahun yaitu 34 orang (64,2%) dan tingkat pendidikan responden didominasi oleh tingkat pendidikan DIII Keperawatan yaitu sebanyak 52 orang (98,1%). Berdasarkan proporsi locus of control, sebagian besar responden memiliki locus of control internal yaitu 41 orang (77,4%). Sedangkan berdasarkan proporsi harga diri, sebagian besar responden memiliki harga diri yang tinggi yaitu 38 orang (71,7%).

Berdasarkan analisis bivariat, terdapat hubungan yang bermakna antara beban kerja (p value=0,006, r=0,371), usia(p value=0,033, r=0,289), status pernikahan (p value=0,015, r=0,371), masa kerja (p value=0,000, r=0,528), locus of control (p value=0,000, r=0,475) dan harga diri (p value=0,024, r=-0,304)dengan burnout syndrome. Namun, tidak terdapat hubungan yang bermakna antara variabel jenis kelamin (p value=0,415, r=0,179) dan tingkat pendidikan (p value=0,463, r=-0,980) dengan burnout syndrome.

PEMBAHASAN

Hubungan antara Beban Kerja dengan Burnout Syndrome

Hasil analisis yang didapatkan adalah terdapat hubungan yang signifikan antara beban kerja dengan burnout syndrome dengan nilai p value sebesar 0,006 (p value<0,05). Selain itu, sebagian besar responden mengalami beban kerja yang tinggi yaitu 38 orang (71,7%) dan 15 orang (28,3%) mengalami beban kerja sedang. Hasil cross tabulation menunjukkan 5 orang (9,5%) responden dengan beban kerja tinggi mengalami burnout syndrome berat.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Hariyono, dkk (2009) menunjukkan hasil yaitu terdapat hubungan yang signifikan antara beban kerja terhadap kelelahan kerja dengan p value 0,000. Hariyono, dkk (2009) juga menyebutkan bahwa beban kerja yang tinggi dapat menyebabkan perawat mengalami kejenuhan dan kelelahan. Hal ini akan berdampak pada penurunan kualitas pelayanan yang diberikan perawat.Penelitian lain yang dilakukan oleh Kiekkas (2010) menunjukkan hasil bahwa burnout syndrome memiliki hubungan yang signifikan dengan beban kerja perawat (p value=0,005). Kiekkas (2010) juga menyebutkan beban kerja yang tinggi secara spesifik berpengaruh pada salah satu dimensi dari burnout syndrome yaitu physical and emotional exhaustion.

Soehartati (2005) menyatakan bahwa beban kerja yang tinggi dapat menyebabkan perawat mengalami kelelahan atau kejenuhan yang akan menimbulkan stres kerja pada perawat yang kemudian akan berdampak pada penurunan kepuasan kerja. Dewanti (2010) juga mengungkapkan bahwa stres kerja yang berlebihan pada perawat cenderung akan mengarah pada burnout syndrome.

Tingginya beban kerja sangat mempengaruhi burnout syndrome pada perawat. Walaupun dari hasil cross tabulation sebagian besar responden dengan beban kerja berat mengalami burnout syndrome ringan, jika dibiarkan secara terus menerus hal ini cenderung akan menimbulkan tingkatan burnout syndrome yang lebih berat. Hasil cross tabulation lain juga menunjukkan bahwa ada 5 orang (9,5%) perawat dengan beban kerja berat mengalami burnout syndrome berat. Kelelahan fisik yang terjadi secara terus menerus dalam jangka waktu yang lama akan berdampak pada kelelahan psikologis.

Hubungan antara Faktor Demografi (Usia, Jenis Kelamin, Status Pernikahan, Masa Kerja dan Tingkat Pendidikan) dengan Burnout Syndrome

Hasil analisis yang didapatkan antara variabel usia dengan burnout syndrome adalah terdapat hubungan yang bermakna antar variabeldengan nilai p value sebesar 0,033 (p value<0,05). Sebagian besar responden berusia kurang dari 30 tahun yaitu 42 orang (79,2%) dan responden yang berusia lebih atau sama dengan 30 tahun hanya 11 orang (20,8%). Jika dibandingkan berdasarkan tingkatan burnout syndrome, usia < 30 tahun cenderung mengalami burnout syndrome ringan yaitu sebanyak 30 orang (56,6%) sedangkan usia ≥ 30 tahun cenderung mengalami burnout syndrome sedang yaitu sebanyak 5 orang (9,5%). Namun, dilihat dari tingkatan burnout syndrome berat, 3 orang (5,7%) dengan usia < 30 tahun dan 2 orang (3,8%) dengan usia ≥ 30 tahun mengalaminya.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Chakraborty (2012) menujukkan hasil bahwa usia memiliki hubungan yang signifikan dengan burnout syndrome (p value=0,015, p value<0,05). Hasil penelitian Fatmawati (2012) menyebutkan bahwa pustakawan

yang berusia 30 tahun ke atas memiliki tingkat burnout yang lebih tinggi dibandingkan pustakawan yang berusia 30 tahun ke bawah.Perawat yang lebih tua biasanya lebih menguasai pekerjaan yang mereka lakukan dan keinginan agar mencapai kinerja lebih baik daripada perawat yang berusia lebih muda juga lebih tinggi.Tuntutan dalam diri perawat yang berusia lebih tua cenderung membuat stres hingga terjadinya kelelahan fisik, emosional dan psikologi (Sumawidanta, 2013).

Hasil analisis yang didapatkan pada variabel jenis kelamin dan burnout syndrome adalah tidak ada hubungan yang bermakna antarvariabeldengan nilai p value sebesar 0,415 (p value>0,05). Sebagian besar responden berjenis kelamin perempuan yaitu 41 orang (77,4%) dan hanya 12 orang (22,6%) yang berjenis kelamin laki-laki. Berdasarkan hasil cross tabulation, sebanyak 5 orang (9,5%) responden perempuan mengalami burnout syndrome berat.Tidak adanya hubungan yang signifikan kemungkinan disebabkan karena kurangnya pemerataan jumlah perawat berdasarkan jenis kelamin. Namun, hasil lain dari penelitian ini menunjukkan bahwa perempuan cenderung mengalami tingkatan burnout syndrome yang lebih tinggi dari laki-laki.Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Larasati dan Paramita (2013) menunjukkan hasil bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara burnout syndrome dengan jenis kelamin (p value=0,283).

Hasil analisis yang didapatkan antara variabel status pernikahan dengan burnout syndrome adalah terdapat hubungan yang bermakna antar variabeldengan nilai p value sebesar 0,015 (p value<0,05). Proporsi responden yang sudah menikah yaitu 23 orang (43,4%) dan belum menikah yaitu 30 orang (56,6%). Proporsi yang ditunjukkan cenderung sama. Berdasarkan hasil cross

tabulation didapatkan 5 orang (9,5%) responden yang sudah menikah mengalami burnout syndrome berat.Tanggung jawab seseorang setelah menikah tentu berbeda dengan yang belum menikah baik secara finansial maupun sosial. Selain beban pekerjaan, seseorang yang sudah menikah juga memiliki tanggung jawab untuk menghidupi keluarga dan harus mampu untuk menjalankan fungsi sosial di masyarakat. Menurut Lakoy (2009) perempuan yang bekerja dan sudah menikah sering merasa tidak bahagia. Hal ini umumnya terjadi karena merasa kewalahan dengan tanggung jawab, mengalami kesulitan dalam mempertahakan hubungan yang akrab dengan pasangan sehingga hal tersebut menimbulkan stres yang berkepanjangan.Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Utami (2010) yaitu terdapat hubungan yang signifikan antara status pernikahan dan stres kerja perawat (P value=0,031, P value<0,05). Penelitian yang dilakukan oleh Qord (2012) yang menyatakan bahwa pekerja yang sudah menikah menunjukkan skor emotional exhaustion yang lebih tinggi daripada yang belum menikah.

Selain itu, hasil analisis antara masa kerja dengan burnout syndrome adalah terdapat hubungan yang bermakna antar variabeldengan nilai p value sebesar 0,000 (p value<0,05). Sebagian besar responden memiliki masa kerja lebih atau sama dengan 5 tahun yaitu 34 orang (64,2%) dan hanya 19 orang (35,8%) yang bekerja kurang dari 5 tahun. Berdasarkan hasil cross tabulation, sebanyak 5 orang (9,5%) responden dengan masa kerja kerja ≥ 5 tahun mengalami burnout syndrome berat. Walaupun dengan masa kerja yang lama seorang perawat mendapatkan pengalaman kerja yang banyak, namun pola pekerjaan perawat yang monoton dan bersifat human service justru menimbulkan kelelahan fisik, emosi dan psikologi yang mengarah pada burnout

syndrome (Pangastiti, 2011).Hasil penelitian yang dilakukan oleh Chakraborty (2012) juga menyebutkan terdapat hubungan antara masa kerja perawat dengan burnout syndrome (p value=0,011, p value<0,05).

Hasil analisis antara tingkat pendidikan dengan burnout syndrome adalah tidak terdapat hubungan yang bermakna antar variabel dengan nilai p value sebesar 0,752 (p value>0,05). Tingkat pendidikan responden didominasi oleh tingkat pendidikan DIII Keperawatan yaitu sebanyak 52 orang (98,1%) dan hanya 1 orang (1,9%) dengan tingkat pendidikan S1 Keperawatan. Tidak adanya hubungan antara tingkat pendidikan dengan burnout syndrome kemungkinan disebabkan karena perawat pelaksana yang bekerja di Ruang MS dan Ruang Ratna sebagian besar memiliki tingkat pendidikan yang sama yaitu DIII Keperawatan sehingga tidak mampu membuat hasil yang general. Namun, Siagian (2009) mengemukakan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka semakin besar keinginan untuk memanfaatkan pengetahuan dan keterampilan yang dimilikinya serta semakin besar pula tuntutan pekerjaan sehingga berpengaruh terhadap perilaku kerjanya.Hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh oleh Chakaborty (2012) yaitu tidak terdapat hubungan antara tingkat pendidikan dengan burnout syndrome (p value=0,285, p value>0,05).

Hubungan antara Locus of Control dengan Burnout Syndrome

Hasil analisis yang didapatkan dalam penelitian ini adalah terdapat hubungan yang signifikan antara locus of control dengan burnout syndrome dengan nilai p value sebesar 0,000 (p value<0,05). Sebagian besar responden memiliki locus of control internal yaitu 41 orang (77,4%) dan hanya 12 orang (22,6%) yang memiliki locus of control eksternal. Adanya hubungan antara

kedua variabel ini disebabkan karena adanya kesinambungan antara kecendrungan burnout syndrome dengan jenis locus of control. Responden dengan locus of control internal cenderung mengalami burnout syndrome ringan yaitu sebanyak 32 orang (60,3%) sedangkan responden dengan locus of control eksternal lebih cenderung mengalami burnout syndrome sedang yaitu sebanyak 7 orang (13,2%).Locus of control berpengaruh terhadap pemilihan strategi koping individu. Selain itu, kecenderungan locus of control pada individu akan mempengaruhi karakteristik pekerjaan yang sesuai dengan dirinya (Sukarti, 2007).Locus of control internal cenderung memiliki kepuasan kerja yang lebih tinggi dengan pekerjaan mereka dan terlihat lebih mampu menahan stres dibandingkan dengan locus of control eksternal (Menezes, 2009). Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Chakaborty (2012)yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara locus of control dengan burnout syndrome (p value =0,005, p value<0,05).Selain itu,penelitian yang dilakukan oleh McIntyre (2011)didapatkan hubungan yang signifikan antara eksternal locus of control dan burnout syndrome.

Hubungan antara Harga Diri dengan Burnout Syndrome

Hasil analisis yang didapatkan dalam penelitian ini adalah terdapat hubungan yang signifikan antara harga diri dengan burnout syndrome dengan nilai p value sebesar 0,024 (p value<0,05). Sebagian besar responden memiliki harga diri yang tinggi yaitu 38 orang (71,7%) dan 15 orang (28,3%) memiliki harga diri yang sedang. Berdasarkan hasil cross tabulation didapatkan 5 orang (9,5%) responden dengan harga diri sedang cenderung mengalami burnout syndrome berat.

Harga diri yang positif akan membangkitkan rasa percaya diri,

penghargaan diri, rasa yakin akan kemampuan diri, rasa berguna serta yakin kehadirannya diperlukan. Individu yang memiliki harga diri rendah cenderung merasa bahwa dirinya tidak mampu dan berharga (Tambunan, 2001). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Nurvia dan Safitri (2009) yaitu adalah terdapat hubungan yang negatif antara harga diri dengan burnout syndrome (r= -0,615 (p value=0,01, p value<0,05)). Berarti, semakin tinggi harga diri yang dimiliki karyawan bidang pemasaran maka akan semakin rendah burnout yang dialami karyawan tersebut dan sebaliknya. Nurvia dan Safitri (2009) juga mengungkapkan jika seseorang mengevaluasi dirinya secara negatif, tidak mampu dalam bekerja, kurang percaya diri, kurang dihargai rekan kerjanya, maka hal tersebut akan menimbulkan tekanan-tekanan yang dapat menguras tenaga sehingga berisiko menimbulkan kelelahan fisik, emosional maupun mental. Sehingga, seseorang dengan harga diri rendah cenderung lebih banyak mengalami burnout syndrome.

Analisis Kekuatan Hubungan antara Beban Kerja, Faktor Demografi, Locus of Control dan Harga Diri terhadap Burnout Syndrome

Variabel beban kerja mempunyai nilai r sebesar 0,371 yang berarti bahwa antara variabel beban kerja dan burnout syndrome memiliki hubungan yang positif dengan kekuatan hubungan lemah (rentang 0,20,399). Variabel usia mempunyai nilai r sebesar 0,289 yang berarti bahwa antara variabel usia dan burnout syndrome memiliki hubungan yang positif dengan kekuatan hubungan yang lemah antar variabel (rentang 0,2-0,399). Selain itu, variabel status pernikahan mempuyai nilai r sebesar 0,371 yang berarti bahwa antara variabel status pernikahan dan burnout syndrome kekuatan hubungan lemah

(rentang 0,2-0,399). Variabel masa kerja mempunyai nilai r sebesar 0,528 yang berarti bahwa antara variabel masa kerja dan burnout syndrome memiliki hubungan yang positif dengan kekuatan hubungan sedang (rentang 0,4-0,599). Selain itu, variabel locus of control mempunyai nilai r sebesar 0,475 yang berarti bahwa antara variabel locus of control dan burnout syndrome memiliki hubungan yang positif dengan kekuatan hubungan sedang (rentang 0,40,599). Sedangkan variabel variabel harga diri memiliki nilai r sebesar -0,304 yang berarti bahwa antara variabel harga diri dengan burnout syndrome memiliki hubungan yang negatif dengan kekuatan hubungan lemah (rentang 0,2-0,399).

Walaupun dengan masa kerja yang lama perawat mendapatkan pengalaman yang lebih banyak, namun pola pekerjaan yang monoton dan bersifat human service justru membuat perawat mengalami kelelahan fisik, emosi dan psikologi (Pangastiti, 2011). Hal ini menjadi alasan faktor masa kerja memiliki nilai r paling tinggi diantara faktor lain.Nilai r yang didapatkan pada masing-masing variabel berkisar antara 0,2-0,599. Hal ini berarti kekuatan hubungan antarvariabel yang saling berhubungan adalah lemah hingga sedang.Hal ini kemungkinan dipengaruhi oleh beberapa faktor yang berhubungan dengan burnout syndrome namun tidak diteliti dalam penelitian ini seperti dukungan sosial dan faktor kebudayaan.

SIMPULAN DAN SARAN Simpulan

Proporsi burnout syndrome tertinggi adalah responden dengan tingkatan burnout syndrome ringan, sebagian besar responden mengalami beban keja yang tinggi, sebagian besar responden berusia kurang dari 30 tahun, sebagian besar responden berjenis kelamin perempuan, sebagian besar responden memiliki masa kerja lebih atau

sama dengan 5 tahun dan tingkat pendidikan responden didominasi oleh tingkat pendidikan DIII Keperawatan. Selain itu, sebagian besar responden memiliki locus of control internal dan sebagian besar responden memiliki harga diri yang tinggi.

Terdapat hubungan yang bermakna antara beban kerja,usia, status pernikahan, masa kerja, locus of control dan harga diri dengan burnout syndrome. Namun tidak terdapat hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dan tingkat pendidikan dengan burnout syndrome pada perawat pelaksana IRD RSUP Sanglah.Nilai r yang didapatkan pada masing-masing variabel yang berhubungan dengan burnout syndrome berkisar antara 0,2-0,599. Hal ini berarti kekuatan hubungan antar variabel yang saling berhubungan adalah lemah hingga sedang.Hal ini kemungkinan dipengaruhi oleh beberapa faktor yang berhubungan dengan burnout syndrome namun tidak diteliti dalam penelitian ini seperti dukungan sosial dan faktor kebudayaan.

Saran

Bagi bidang keperawatan rumah sakit, diharapkan untuk memperhatikan proporsi beban kerja dengan jumlah perawat terutama ruangan yang memiliki kapasitas pasien yang berat agar terjadi keseimbangan antara jumlah perawat yang bertugas dengan jumlah pasien yang dirawat.Bagi perawat pelaksana, diharapkan untuk mempertahankan komunikasi dan sikap yang baik dengan atasan maupun rekan kerja sehingga mampu mengurangi stresor dan kebosanan dalam bekerja serta meningkatkan kepercayaan dan penghargaan terhadap kemampuan yang dimiliki. Selain itu, bagi peneliti lain diharapkan mempertimbangkan jumlah sampel yang lebih besar untuk hasil penelitian yang lebih menyeluruh serta dapat melakukan penelitian terhadap variabel-variabel lain yang kemungkinan memiliki hubungan

dengan burnout syndrome, seperti faktor dukungan sosial dan faktor budaya.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Turki,   H.A.et   al.(2010).   Burnout

Syndrome Among Multinational Nurses Working in Saudi Arabia.Saudi Med Journal,  31(3):

313-316.

Chakraborty, C. (2012). Internal Predictors of Burnout in Psychiatric Nurses: An Indian Study. Industrial Psychiatry Journal, 21(2): 119-124.

Dewanti, F.R. (2010). Burnout yang Terjadi pada Perawat Instalasi Gawat Darurat   (IGD).   Skripsi tidak

diterbitkan.Semarang       Fakultas

Psikologi Universitas Katolik Soegijapranata.

Farber, B.A. (1991). Crisis in Education. Stress and Burnout in The American Teacher. San Fransisco: Jossey-Bass.

Fatmawati, R. (2012). Burnout Staf Perpustakaan Bagian Layanan di Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah (BPAD)  Provinsi  DKI

Jakarta.         Tesis         tidak

diterbitkan.Depok  Fakultas   Ilmu

Pengetahuan Departemen Ilmu Perpustakaan dan Informasi Program Studi Ilmu Perpustakaan.

Hariyono, dkk. (2009). Hubungan Antara Beban Kerja, Stres Kerja dan Tingkat Konflik dengan Kelelahan Kerja Perawat di Rumah Sakit Islam Yogyakarta      PDHI     Kota

Yogyakarta.Jurnal Kesmas UAD Vol.3 No.3.

Kiekkas, P. (2010). Level and Correlates of Burnout Among Orthopaedic Nurses in Greece. Journal of Orthopaedic Nursin, 29(3): 203-209.

Lakoy, S. (2009).Psychological Well-Being Perempuan Bekerja dengan Status Menikah dan Belum Menikah. Jurnal Psikologi, 7(2): 71-80.

Larasati, S., & Paramita, P.P. (2013).Tingkat Burnout Ditinjau dari Karakteristik Demografis (Usia, Jenis Kelamin dan Masa Kerja) Guru SDN Inklusi di Surabaya.Jurnal Psikologi Pendidikan dan Perkembangan, 1(2): 11-15.

Lee, R.T. dan Ashfort, B.E. (1996).A Meta Analytic Examination of the Correlates of the Three Dimension of Job Burnout. Journal of Applied Psycology, 81(2): 123-133.

Maslach, C. (1993). Burnout:   A

Multidimensional Perspective, In W. B. Schaufeli, Cicilia Maslach, and T. Marek (Ed), Professional Burnout: Recent Developments in Theory and Research. Washington DC: Taylor & Francis.

McIntyre. (2011). The Relationship Between Locus Of Control And Teacher Burnout. British Journal of Educational Psychology, 54(2): 235– 238.

Menezes, A. A. (2009). Analisis Dampak Locus of Control Terhadap Kinerja Dan Kepuasan Kerja Internal Auditor. Tesis tidak diterbitkan. Semarang Program Studi Magister Akuntansi Program Pascasarjana Universitas Diponegoro.

Moreira, et al. (2009).Prevalence of Burnout Syndrome in Nursing Staff In A Large Hospital in South of Brazil. Medline Journal, 25(7):1559-68.

Nurvia, L. & Safitri, R.M. (2009).Hubungan antara Harga Diri dengan Burnout pada Karyawan Bidang Pemasaran. Skripsi tidak diterbitkan.Yogyakarta Fakultas Psikologi Universitas Wangsa Manggala.

Pangastiti, N.K. (2011). Analisis Pengaruh Dukungan    Sosial    Keluarga

Terhadap Burnout Pada Perawat Kesehatan Di Rumah Sakit Jiwa.Skripsi                    tidak

diterbitkan.Semarang       Fakultas

Ekonomi Universitas Diponegoro.

Perry, A.G.& Potter, P.A. (2005).Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses, dan Praktik (Volume 2) (Edisi 4).Jakarta: EGC.

Rachmawati, E. (2008).  50,9 Persen

Perawat       Alami       Stress.

Kerja.(Online) (http://www.kompas.com/kesehatan/ 50,9 Persen Perawat Alami Stress Kerja-Kompas Cyber Media).

Septiani, M. (2011).Hubungan Beban Kerja Perawat dengan    Penerapan

Komunikasi Terapeutik kepada Pasien di Ruang MS RSUP Sanglah Denpasar. Skripsi tidak diterbitkan. Denpasar Stikes Wira Medika.

Siagian, S. (2009).Manajemen Sumber Daya Manusia (cetakan 15). Jakarta: Bumi Aksara.

Soehartati, S.(2005).Hubungan Beban Kerja dengan Kepuasan Kerja Perawat Dalam Memberikan Asuhan Keperawatan.Tesis           tidak

diterbitkan.Jakarta       Universitas

Indonesia.

Sukarti, J.W. (2007). Hubungan Antara Locus of Controldengan Coping Pada Remaja. Skripsi tidak diterbitkan.YogyakartaProgram Studi PsikologiFakultas Psikologi Dan Ilmu Sosial BudayaUniversitas Islam Indonesia.

Sumawidanta, W. (2013).Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kinerja Perawat dalam Pemberian Proses keperawatan di Ruang Rawat inap Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten    Badung    Tahun

2013.Skripsi                   tidak

diterbitkan.Denpasar Program Studi Ilmu    Keperawatan    Fakultas

Kedokteran Universitas Udayana.

Tambunan, R. (2001).Remaja dan Perilaku Konsumtif. (online) http://www.e-

psikologi.com diakses 27 September 2013.

Tawale, E.N. (2011). Hubungan antara Motivasi Kerja Perawat dengan Kecenderungan mengalami Burnout pada Perawat di RSUD Serui– Papua. Insan Jurnal,Vol. 13 No. 2.

Utami, G.B. (2010). Faktor-Faktor Yang Berhubungan dengan Kejadian Stres Kerja pada Perawat Instalasi Rawat Inap B RS. PELNI Petamburan Jakarta. Skripsi tidak diterbitkan. Jakarta Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah.

Vo. 3 No.2, Mei-Agustus 2015

60