Community of Publishing in Nursing (COPING), ISSN: 2303-1298

PENGARUH TERAPI BERCERITA TERHADAP TINGKAT DEPRESI LANSIA

Ni Made Gita Anindita Nirmala Putri1*, Putu Ayu Sani Utami1, A.A Ngurah Taruma Wijaya2

1Program Studi Ilmu Keperawatan, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana 2Puskesmas III Denpasar Utara

*Email: [email protected]

ABSTRAK

Masa lansia adalah perkembangan terakhir yang dialami manusia. Kebanyakan gangguan mental yang dialami oleh lansia yang tinggal di Rumah Pensiun Wana Seraya Denpasar adalah depresi. Salah satu terapi yang bisa diberikan adalah terapi mendongeng. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh terapi bercerita pada tingkat depresi pada lansia di Rumah Pensiun Wana Seraya Denpasar. Penelitian ini menggunakan studi Pra-Eksperimental, dengan desain satu kelompok pretest posttest. Pengambilan sampel menggunakan 23 responden yang sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi. Perawatan ini dilakukan sekali sehari dengan durasi 30 menit selama tiga hari. Temuan menunjukkan bahwa dengan tingkat kepercayaan 95%, diperoleh nilai signifikansi (2-tailed) 0,000, p <0,05 yang berarti ada efek terapi bercerita pada tingkat depresi pada lansia di Rumah Pensiun Wana Seraya Denpasar. Terapi mendongeng dapat diberikan kepada orang tua dengan depresi melalui media buku cerita dengan maksud bahwa terapi mendongeng dapat menumbuhkan kebijaksanaan, sehingga orang tua menjadi individu yang terbuka dan positif.

Kata kunci: lansia, terapi mendongeng, tingkat depresi

ABSTRACT

The period of the elderly is the latest development experienced by humans. Most mental disorders experienced by the elderly who live in the Retirement Home Wana Seraya Denpasar were depression. One of the therapies that can be given is the storytelling therapy. The purpose of this study was to determine the effect of storytelling therapy on the level of depression in the elderly in the Retirement Home Wana Seraya Denpasar. This study uses a Pre-Experimental study, with one group pretest posttest design. The sampling used 23 respondents who were in accordance with inclusion and exclusion criteria. This treatment was conducted once a day with duration of 30 minutes for three days. The findings showed that with a confidence level of 95%, it was obtained the values of significance of (2-tailed) 0.000, p <0.05 which means there was a storytelling therapeutic effect on the level of depression in the elderly at the Retirement Home Wana Seraya Denpasar. Storytelling therapy can be given to the elderly people with depression through the medium of a story book in the intention that storytelling therapy can foster wisdom, so that the elderly become open and positive individuals.

Keywords: elderly, storytelling therapy, depression levels

PENDAHULUAN

Manusia dalam hidupnya akan mengalami perkembangan dalam serangkaian periode yang berurutan, mulai dari periode prenatal hingga lanjut usia atau lansia (Nugroho, 2008). Darmojo (2004) menyatakan bahwa permasalahan yang timbul pada lansia ada dua yaitu dari aspek fisologi dan psikologi Aspek psikologis yang timbul adalah kesepian, dukacita, dan stress.Lansia berada diseluruh lapisan masyarakat baik di komunitas maupun di Panti Sosial Tresna Werdha (PSTW). Henuhili (2004) menyebutkan bahwa gangguan mental terbanyak yang dialami oleh lanjut usia yang tinggal di PSTW adalah depresi.

Depresi merupakan satu masa terganggunya fungsi manusia yang berkaitan dengan alam perasaan yang sedih dan gejala penyertanya, termasuk perubahan pada pola tidur dan nafsu makan, psikomotor, konsentrasi, kelelahan, rasa putus asa dan tidak berdaya, selalu merasa dirinya gagal, tidak berminat pada Activity Daily Living (ADL), sampai ada ide bunuh diri (Kaplan, 2010; Yosep 2009). Nevid, Rathus dan Greene (2005) menyatakan bahwa tingkat depresi lebih tinggi diantara lanjut usia penghuni PSTW karena hidup jauh dengan keluarga atau sanak saudara dapat menimbulkan perasaan kesepian, karena tidak ada lagi orang-orang yang selama ini hidup

bersama dan berbagi segala sesuatu. Untuk mengatasi masalah ini diperlukan terapi yang bersifat kekeluargan, memotivasi dan dapat mengembalikan semangat hidup.Salah satu terapi yang dapat dilakukan adalah terapi bercerita.

Terapi bercerita merupakan metode penyampaian sebuah cerita melalui media buku cerita, video, gambar, ataupun alat peraga dengan teknik yang interaktif.Bercerita merupakan kegiatan penyampaian pesan, yang dapat berupa pesan pendidikan, keteladanan, kepemimpinan, mengembangkan emosi, serta merupakan kegiatan interaktif antara dua orang atau lebih (Nuraini, 2009; Qudsyi, 2011).Qudsyi (2011) menyatakan terapi bercerita bermanfaat untuk mengembangkan moral, guna mengetahui perbuatan yang baik dan buruk. Bercerita merupakan suatu cara untuk memberikan nasehat, pesan, pencerahan, dan motivasi kepada seseorang.

Judul cerita Timun Mas, Asal Usul Nama Pulau Bali, dan Keong Mas, cerita ini menggambarkan mengenai sifat-sifat kebaikan, ketamakan, kebijaksanaan, kearifan, serta ketuhanan Terapi bercerita ini dilakukan dengan cara berkelompok, terapi kelompok adalah terapi yang dilakukan secara berkelompok untuk memberikan stimulasi bagi seseorang dengan gangguan interpersonal (Yosep, 2008). Penelitian yang dilakukan oleh Elfira (2011) memperoleh hasil bahwa teknik bercerita mempunyai pengaruh yang signifikan dalam menurunkan kecemasan anak prasekolah

Terapi bercerita ini memiliki efek menstimulasi emosi yang akan membuat rileks, oleh karena itu peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang ”Pengaruh Terapi Bercerita Terhadap Tingkat Depresi Lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Wana Seraya Denpasar”.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan Pre Eksperimental dengan desain yang digunakan adalahone group pre test post

test. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh terapi bercerita terhadap tingkat depresi pada lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Wana Seraya Denpasar. Populasi terjangkau dalam penelitian yaitu seluruh lansia yang tinggal di Panti Sosial Tresna Werdha Wana Seraya Denpasar yang mengalami depresi berjumlah 35 orang. Sampel dalam penelitian adalah lanjut usia yang mengalami depresi ringan dan sedang yang sesuai dengan kriteria inklusi yang ditetapkan. Kriteria Inklusi pada penelitian ini adalah lansia yang tinggal di Panti sosial Tresna Werdha Wana Seraya Denpasar, berusia 60 tahun ke atas, lansia yang mengalami depresi ringan dan sedang, lansia yang mengikuti terapi bercerita dari awal sampai selesai. Kriteria ekslusi penelitian ini adalah lansia dengan gangguan pendengaran, lansia yang sedang menjalani terapi anti-depresan, lansia yang tidak kooperatif, lansia yang menolak menjadi responden, dan lansia yang tidak mengerti bahasa Daerah Bali. Terdapat 25 orang yang sesuai dengan kriteria inklusi dan ekslusi namun dua orangmengalami drop out sehingga berjumlah 23 orang. Teknik sampling yang digunakan adalah Nonprobability Sampling dengan teknik purposive sampling.

Instrumen pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu dengan test Geriatric Depression Scale (GDS) yang diciptakanolehYesavage, et.al pada tahun 1982. Skor 0-4 dianggap normal; 5-8 menunjukkan depresi ringan; 9-11 menunjukkan depresi sedang ; dan 12-15 menunjukkan depresi berat. Peneliti melakukan pre test terhadap 35 responden dengan menggunakan tes GDS sebelum dilakukan terapi bercerita untuk mengetahui tingkat depresi lansia. Pre test dibantu oleh dua orang peneliti pendamping. Hasil yang diperoleh yaitu sebanyak 25 responden mengalami depresi ringan dan sedang, kemudian dilakukan pemberian inform concent terhadap 25 orang responden.

Lansia dibagi menjadi empat kelompok dan lansia dikelompokkan berdasarkan grade/tingkat depresi yang dialami.Peneliti memberikan terapi bercerita satu kali sehari selama tiga hari dengan durasi 30 menit. Selama pemberian terapi terdapat dua orang yang mengalami drop out sehingga jumlah sampel adalah 23 orang. Peneliti melakukan post test dengan menggunakan tes GDSsetelah lansia diberikan terapi bercerita untuk mengetahui tingkat depresi lansia. Selanjutnya peneliti menabulasi data responden, data dimasukkan dalam tabel frekuensi dan diintepretasikan.Untuk menganaisis pengaruh terapi bercerita terhadap tingkat depresi uji statisik yang digunakan adalah Paired Sample t Test dengan program computer dengan tingkat signifiknsi p≤0,05 dan tingkat kepercayaan 95%.

HASIL PENELITIAN

Karakteristik berdasarkan jenis kelamin yaitu responden terbanyak

berjenis kelamin perempuan yang berjumlah 19 orang (82,6%) dan responden laki-laki 4 orang (17,4%). Sedangkan menurut umur yaitu responden terbanyak berumur 75-90 tahun yaitu sebanyak 17 orang (73,9%) dan responden berumur 6074 sebanyak enam orang (26,1%). Tabel 1. menunjukkan tingkat depresi responden sebelum dilakukan terapi bercerita yaitu responden yang mengalami tingkat depresi dengan skor nol sampai empat atau tidak depresi tidak ada (0%), responden skor lima sampai delapan atau depresi ringan sebanyak 11 orang (47,7%), responden skor sembilan sampai 11 sebanyak 12 orang (52,3%). Tabel 2. Menunjukkan tingkat depresi responden setelah terapi bercerita yaitu responden yang mengalami tingkat depresi dengan skor nol sampai empat atau tidak depresi sebanyak enam orang (26,1%), responden skor lima sampai delapan atau depresi ringan sebanyak 15 orang (65,2%), responden skor sembilan sampai 11 sebanyak dua orang (8.6%).

Tabel 1.

Distribusi tingkat depresi sebelum terapi bercerita (n=23)

Tingkat Depresi

Sebelum

Tingkat Depresi (Skor)

f

%

0-4

0

0,0

5-8

11

47,7

9-11

12

52,3

Tabel 2.

Distribusi tingkat depresi setelah terapi bercerita (n=23)

Tingkat Depresi

Tingkat Depresi (Skor)

f

%

0-4

6

26,1

Setelah

5-8

15

65,2

9-11

2

8,6


Tabel 3.


Analisa tingkat depresi sebelum dan setelah diberikan terapi bercerita (n=23)

Paired Samples Test

Sebelum - Sesudah Terapi Bercerita

Mean         Std. Deviation        Df Sig. (2-tailed)

2.609             1.033             22           .000


Hasil analisa data dengan menggunakan uji Paired Sample t Test didapatkan hasil bahwa nilai signifikansi (2-tailed) yaitu 0,000 yang berarti p<0,05 dengan taraf kepercayaan 95% yang artinya ada pengaruh terapi bercerita terhadap tingkat depresi lansia.

PEMBAHASAN

Hasil penelitian di PSTW Wana Seraya Denpasar menunjukkan terdapat dua tingkat depresi yang berbeda sebelum diberikan terapi bercerita yaitu terdapat 23 responden yang mengalami depresi ringan dan depresi sedang. Responden terbanyak adalah responden yang mengalmi nyeri sedang yaitu 52,3% dan terdapat juga yang mengalami depresi ringan sebesar 43,7%. Adanya perbedaan tingkat depresi tersebut sesuai dengan pendapat Kaplan & Saddock (2007) yang menyatakan tingkat depresi seseorang berbeda karena ada beberapa faktor yang mempengaruhi depresi yaitu usia, jenis kelamin, status perkawinan dan status fungsional baru. Kesepian dan penolakan menjadi penyebab utama lansia mengalami ketidakpuasan menjalani masa tuanya.Hal tersebut juga sesuai dengan pendapat Padila (2003) dimana pada masa lansia seharusnya menjalani hidup dengan tenang, damai, serta menikmati masa pensiun bersama anak dan cucu tercinta dengan penuh kasih sayang.

Lubis (2009) menjelaskan bahwa pada depresi ringan dan sedang, penderita tidak perlu mendapat perawatan medis.Selain itu depresi ringan dan sedang dapat ditangani sendiri dengan alternatif penanganan dan penceghan depresi, misalnya pengaturan diet, olah raga, dan relaksasi.Sedangkan pada kasus depresi berat, perlu diberikan perawatan medis karena penderitanya mengalami berbagai kesulitan dalam mekakukan aktivitas sehari-hari dengan baik. Terjadi penurunan tingkat depresi setelah diberikan terapi bercerita karena sebelum diberikan terapi bercerita responden yang mengalami depresi sedang cukup banyak yaitu 52,3% responden. Selain itu terdapat penurunan tingkat depresi menjadi 26,1% responden yang tidak mengalami depresi.

Penurunan tingkat depresi yang terjadi pada lansia setelah terapi bercerita ini sesuai dengan pendapat dari Asfandiyar (2007) yang menyatakan terapi bercerita bermanfaat untuk menstimulasi emosi.Metode terapi bercerita mampu menjembatani penyampaian informasi kepada lansia agar lebih ringan, menyenangkan dan mudah dipahami. Ketika kegiatan bercerita berlangsung, indra pengelihatan dan pendengaran akan menerima stimulus berupa rangsangan audio, yaitu dialog tokoh dalam cerita. Rangsangan audio tersebut kemudian diteruskan menuju otak dan memicu peningkatan produksi dopamin pada akson dopaminergik di otak.Dopamin kemudian dilepaskan dari vesikel untuk membawa pesan ke sel saraf lainnya (Pasiak, 2007). Terstimulasinya otak tengah yang memiliki sifat mudah menyerap informasi yang disajikan dalam bentuk cerita beralur dengan emosi yang menyentuh akan memudahkan kinerja otak dalam memahami pesan yang disampaikan dalam cerita (Sangkanpram, 2010). Otak tengah juga berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan hemisper otak kiri dan kanan, sehingga dapat mengaktifkan fungsi kedua hemisper otak, maka akan memicu aktvasi otak tengah (Haryanto, 2008). Penyederhanaan bentuk penyampaian pesan-pesan moral yang disampaikan melalui metode terapi bercerita memudahkan lansia dalam memahami, mengingat, dan mengaplikasikannya (Marina & Sarwono, 2007).

Hasil uji statistik dengan uji parametrik Paired Sample t Test dengan program komputer dengan tingkat kemaknaan p ≤0,05 juga didapatkan hasil bahwa p = 0,000 α (0,05) yang berarti Ha diterima dan menunjukkan bahwa ada pengaruh yang signifikan antara terapi bercerita terhadap tingkat depresi lansia di PSTW Wana Seraya Denpasar. Penurunan tingkat depresi ini sesuai dengan Kusumaningrum, Gultonm, & Dewi (2011) yang menyatakan bercerita merupakan aktivitas yang menyenangkan, sehingga memberikan efek santai yang akan menyebabkan pengeluaran hormone yang

dapat merubah suasana hati atau perasaan dan meningkatkan kesejahteraan. Molekul seperti oksida nitrat, endocan nabinoid, endorphin atau encephalin berperan sebagai responplasebo, perasaan nyaman dan santai akan menurunkan stres dan kecemasan. Kecemasan yang terjadi pada lansia merupakan faktor dapat menciptakan mekanisme pertahanan yang negatif sehingga muncul depresi, perasaan yang positif dan emosi yang stabil akan menyebabkan penurunan pada tingkat depresi (Supriani, 2011).

Padila (2013) menjelaskan ketika memasuki usia lanjut maka waktu luang hendaknya benar-benar diisi dengan kegiatan yang terarah yang diperlukan untuk mengisi waktu luang dan berdampak positif serta menentramkan hati. Terapi bercerita ini layak diterapkan pada lansia karena terapi ini memiliki efek menstimulasi emosi dan perasaan positif sehingga pada waktu luang terapi ini dapat diterapkan sebagai upaya peningkatan kejesahteraan lansia.

Adanya hasil penelitian ini yang menyatakan bahwa dengan melakukan terapi bercerita dapat menurunkan tingkat depresi secara signifikan, maka pada pasien depresi diharapkan dapat diterapkan terapi bercerita.Terapi bercerita ini mudah dan efisien serta tidak membutuhkan peralatan apapun, terapi ini dapat diberikan dengan media buku cerita.Selain itu terapi bercerita tidak memiliki batasan dalam ruang dan waktu dalam pelaksanaanya, ini dapat diterapkan dikamar maupun di ruang terbuka.

SIMPULAN

Ada pengaruh terapi bercerita terhadap tingkat depresi lansia di PSTW Wana Seraya Denpasar.

DAFTAR PUSTAKA

Andini, A. Supriyadi. (2013). Hubungan antara Berpikir Positif Dengan Harga Diri pada Lansia yang Tinggal di Panti Jompo di Bali. Program Studi Psikologi, Fakultas Psikologi, Universitas Udayana

Asyandifar, A.Y. (2007). Cara Pintar Mendongeng. Bandung: Dar! Mizan

Elfira., E. (2011). Pengaruh Terapi Bermain Dengan Teknik Bercerita Terhadap Kecemasan Akibat Hospitalisasi Pada Anak Usia Prasekolah Di Ruang Perawatan RSUP H Adam Malik Medan. Fakultas Keperawatan Universitas Sumatra Utara, (Online). From:       http://repository.usu.ac.id.

Diakses 4 Oktober 2014

Henuhili, S. (2004). Proporsi Gangguan Mental pada Lanjut Usia yang Tinggal di Sasana Wreda Yayasan Karya Bakti Ria Pembangunan Cibubur. Tesis (tidak diterbitkan). Jakarta: Universitas Indonesia

Hilder, M. (2005). The Enemy’s gospel: Deconstructing Exclusivity and inventing Inclusivity through the power of story. Journal of Curriculum and Supervision 20(2), 158-181

Kaplan, H.I , Saddock, B.J. (2007). Synopsis of Psychiatry Behavioral Sciences and Clinical Psychiciatry. Philadelphia: Lippincot Williams and Willkins

Kusumaningrum, A. Gultonm, N.A & Dewi, N.R. (2011).Physiological and Psychological Benefits of Therapeutic Storytelling to Inpatient Children. Universitas Sriwijaya Palembang, (Online),                        From:

http://aasic2013.permitha.net/Proceed ings/ICPMHS_Proceeding/Volume/icpm hs-p071.pdf, Diakses 19 November 2014

Lubis, N.L   2009.Depresi:    Tinjauan

Psikologis. Jakaeta : Kencana Predana Media Group

Marina, L. & Sarwono, S. 2007. Kecerdasan Emosional pada Orang Tua yang Mendongeng dan Tidak Mendongeng. Jurnal Psikologi Anak, (online), Vol.13, No.2,

(http://Journal.Ui.Ac.Id/Upload/Jps/Art ikel/Jps13-02-1_Aetikel1.Pdf, diakses 25 Aprl 2015

Nugroho, W. 2008.Keperawatan Gerontik Dan Geriatrik Edisi 3. Jakarta: EGC

Padila.(2013). Buku Ajar Keperawatan Gerontik. Yogyakarta: NuMed

Potter, P.A . Perry, A.G. (2009). Fundamental of Nursing. Jakarta: Salemba Medika

Qudsyi.H. (2011).Optimalisasi Metode Bercerita (Story Telling) Dalam Pendidikan Tauhid Pada Anak. Program Studi Psikologi Universitas Islam Indonesia, (Online). From: http://data.dppm.uii.ac.id. Diakses pada 5 Oktober 2014

Yesavage, et.al. 1986. Geriatric Depression Scale (GDS).Stanford University School of Medicine, (Online). From: http://web.stanford.edu/~yesavage/GDS .html. Diakses 19 November 2014

Yosep, I. (2009). Keperawatan Jiwa. Edisi kedua. Bandung: Refika Aditama

Volume 7, Nomor 1, April 2019

12