Pengaruh terapi relaksasi progresif terhadap perubahan tingkat depresi pada lansia
on
Community of Publishing in Nursing (COPING), ISSN: 2303-1298
PENGARUH TERAPI RELAKSASI PROGRESIF TERHADAP PERUBAHAN TINGKAT DEPRESI PADA LANSIA
Ni Komang Ana Merliantika*, I Dewa Gede Anom, Kadek Eka Swedarma
Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
*Email: anhamerliantika@gmail.com
ABSTRAK
Depresi dipengaruhi oleh banyak faktor dan dapat terjadi pada semua orang, termasuk orang tua. Penatalaksanaan depresi dapat dilakukan dengan farmakologis dan nonfarmakologis. Pada nonfarmakologi dapat dilakukan dengan teknik relaksasi progresif. Teknik relaksasi progresif dapat dilakukan dengan meregangkan otot-otot di bawah tekanan pada lansia sehingga ketegangan otot yang terjadi sebelumnya akan hilang dan akan memberikan kondisi rileks otot-otot di bawah tekanan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh terapi relaksasi progresif terhadap perubahan tingkat depresi pada lansia di Banjar Mandala Sari, Desa Dangri Kelod, Dentim. Desain penelitian ini menggunakan desain Quasy Experimental dengan pre-test dan post-test dengan kelompok kontrol. Sampel yang digunakan adalah 30 lansia yang dibagi menjadi 15 kelompok perlakuan dan 15 kelompok kontrol. Sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling. Pengukuran tingkat depresi menggunakan Geriatric Depression Scale (GDS). Penelitian akan dilakukan selama satu bulan. Tes statistik digunakan untuk menganalisis perbedaan dalam perubahan tingkat depresi lansia pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol adalah Mann Whitney U Test. Hasil yang diperoleh dari nilai p = 0,148. Nilai signifikansi nilai p> α (0,05). Hasil signifikansi dari hasil ini adalah nilai p (0,148)> α (0,05). Dapat disimpulkan bahwa Ho diterima dan Ha ditolak. Dapat dikatakan tidak ada perbedaan perubahan pada tingkat depresi pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol.
Kata kunci: lansia, relaksasi progresif, tingkat depresi
ABSTRACT
Depression is influenced by many factors and can occur in all people, including the elderly. Management of depression can be done with pharmacological and nonpharmacological. At nonfarmakologi can be done with the progressive relaxation technique. Progressive relaxation techniques can be done by stretching the muscles under stress in the elderly so that muscle tension that happened before will be lost and will provide a relaxed condition of the muscles under stress. This study aims to investigate the influence of progressive relaxation therapy to changes in the level of depression in the elderly at Banjar Mandala Sari, Desa Dangri Kelod, Dentim. This study design using Quasy Experimental design with pre-test and post-test with control group. The samples used were 30 elderly people who were divided into 15 treatment group and 15 control group. The samples in this study using purposive sampling technique. Measurement of levels of depression using the Geriatric Depression Scale (GDS). Research will be conducted for one month. Statistical tests were used to analyze differences in changes in the level of depression of elderly in the treatment group and the control group was Mann Whitney U Test. The results obtained from p value=0.148. The significant value of p value > α (0.05). Results of the significance of these results is the p value (0.148) > α (0.05). It can be concluded that Ho accepted and Ha rejected. It can be said there is no difference changes in the level of depression in the treatment group and the control group.
Keywords: elderly, progressive relaxation, depression levels
PENDAHULUAN
Lansia merupakan suatu perkembangan yang fisiologis yang dapat dilihat dari perubahan jasmani seseorang yang sudah mencapai usia lanjut. Biasanya pada perubahan jasmani akan terlihat terjadinya penurunan, seperti adanya penurunan di sebagian fungsi organ tubuh dan pada segi sosialnya (Anies, 2005:76).
Berdasarkan jumlah populasi lansia di Indonesia yang didapatkan dari Badan Pusat Statistik pada tahun 2010 sampai 2014 dan gabungan dari jumlah lansia laki-laki dan
jumlah lansia perempuan. Pada tahun 2010 usia 60 tahun ke atas berjumlah 18.036,7 penduduk lansia. Pada tahun 2011, jumlah lansia ini meningkat menjadi 18.619,8 penduduk lansia. Pada tahun 2012 dari jumlah sebelumnya di tahun 2011 tersebut meningkat menjadi 19.267,8 penduduk lansia. Pada tahun 2013 jumlah lansia meningkat kembali menjadi 19.989,1 penduduk lansia sehingga pada tahun 2014, jumlah penduduk lansia mengalami peningkatan kembali menjadi 20.793 penduduk lansia. Total jumlah
penduduk lansia dari tahun 2010 sampai 2014 sebanyak 75.934,193 penduduk lansia yang terdapat di Indonesia. Jumlah penduduk lansia ini akan terus meningkat pada tahun selanjutnya (Badan Pusat Statistik, 2013).
Depresi dipengaruhi oleh banyak faktor dan dapat terjadi pada semua orang termasuk pada lansia. Penatalaksanaan depresi dapat dilakukan dengan farmakologi dan nonfarmakologi. Pada nonfarmakologi dapat dilakukan dengan teknik relaksasi progresif. Teknik relaksasi progresif dapat dilakukan dengan melakukan peregangan otot yang mengalami ketegangan pada lansia sehingga ketegangan otot yang terjadi sebelumnya akan hilang dan akan memberikan kondisi yang relaks pada otot yang mengalami ketegangan.
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian yang digunakan adalah quasy experiment. Dalam rancangan ini melibatkan kelompok kontrol di samping kelompok intervensi. Model dari rancangan penelitian ini diawali dengan melakukan pretest dan post-test setelah diberikan intervensi pada kedua kelompok yang diteliti (Nursalam, 2011:166). Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah semua lansia yang ada di Banjar Mandala Sari yang berjumlah 55 lansia. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini berjumlah 30 lansia yang sudah memenuhi kriteria inklusi. Instrumen yang digunakan dalam pengumpulan data dalam penelitian ini adalah kuesioner Geriatric Depression Scale (GDS) dengan 15 pertanyaan dan SOP teknik relaksasi progresif.
HASIL PENELITIAN
Tempat penelitian dilakukan di Banjar Mandala Sari, Desa Dangri Kelod, Dentim. Waktu penelitian dilaksanakan selama 1 bulan pada tanggal 12 April sampai tanggal 3 Mei 2015. Karakteristik responden penelitian dari kelompok perlakuan dan kelompok kontrol yang mengalami depresi berdasarkan umur sebagian besar berumur 60-74 tahun, sebanyak 13 responden (86,7%) dan 11 responden (73,3%). Berdasarkan jenis kelamin sebagian besar adalah perempuan sebanyak 11 responden (73,3%) dan 8 responden (53,3%). Berdasarkan pendidikan sebagian besar pada tingkat pendidikan SD sebanyak 9 responden (60,0%) dan 11 responden (73,3%). Berdasarkan status perkawinan sebagian besar adalah status menikah dengan 13 responden (86,7%) dan 15 responden (100,0%). Berdasarkan pekerjaan sebagian besar pada pekerjaan swasta dengan 11 responden (73,3%) dan 8 responden (53,3%). Berdasarkan faktor pencetus depresi sebagian besar pada status masalah ekonomi dengan 15 responden (100,0%) dan 10 responden (66,7%). Pada Tabel 3, uji statistik yang digunakan non parametrik, yaitu uji Wilcoxon Rank Test yang diperoleh hasil dari nilai p (nilai sig=0.317). Ha diterima apabila nilai signifikansi p (nilai sig) < α (0,05) (Sukawana, 2009). Dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat pengaruh terapi relaksasi progresif terhadap perubahan tingkat depresi pada lansia.
Tabel 1.
Distribusi frekuensi tingkat depresi pre-test pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol
Tingkat Depresi |
Perlakuan Kontrol f%f% |
Depresi Ringan Depresi Sedang |
10 66.7 10 66.7 5 33.3 5 33.3 |
Pada Tabel 1, dapat |
dilihat bahwa depresi ringan dengan 10 responden (66,7%) |
tingkat depresi ringan pada kelompok perlakuan sebelum diberikan terapi relaksasi progresif pada 10 responden (66,7%) dan depresi sedang pada 5 responden (33,7%) sedangkan pada kelompok kontrol terdapat
dan pada depresi sedang 5 responden (33,7%).
Pada Tabel 2, dapat dilihat bahwa 1 responden dalam kondisi normal (6,7%), 9 responden dengan depresi ringan (60,0%) dan
pada 5 responden dengan depresi sedang observasi dengan 10 responden mengalami
(33,3 %) pada kelompok perlakuan setelah depresi ringan (66,7%), 2 responden dalam
diberikan terapi relaksasi progresif sedangkan kondisi normal (13,3%), 3 responden dengan
pada kelompok kontrol yang hanya dilakukan depresi sedang (20,0%).
Tabel 2.
Distribusi Frekuensi Tingkat Depresi Post-Test Pada Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol
Tingkat Depresi |
Perlakuan Kontrol f%F% |
Normal Depresi Ringan |
1 6.7 2 13.3 9 60.0 10 66.7 |
Depresi Sedang |
5 33.3 3 20.0 |
Tabel 3.
Analisa Perbedaan Tingkat Depresi Pre-Test dan Post-Test Pada Kelompok Perlakuan
f |
Mean Rank |
Sum of Ranks |
Asymp. Sign. (2-tailed) | |
Negative Ranks |
1 |
1.00 |
1.00 |
0.317 |
Positive Ranks |
0 |
.00 |
.00 | |
Ties |
14 | |||
Tabel 4. Analisis Perbedaan Tingkat Depresi Pada Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol Post-Test | ||||
Kelompok |
n |
Mean Rank |
Sum of Ranks |
Asymp. Sign. (2-tailed) |
Perlakuan |
15 |
16.77 |
251.50 |
0.355 |
Kontrol |
15 |
14.23 |
213.50 |
Tabel 5.
Analisa Perbedaan Perubahan Tingkat Depresi Pada Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol
Kelompok |
N |
Mean Rank |
Sum of Ranks |
Asymp. Sign. (2-tailed) |
Perlakuan |
15 |
17.00 |
225 | |
Kontrol |
15 |
14.00 |
210 |
Pada Tabel 5, uji statistik yang digunakan non parametrik, yaitu uji Mann Whitney U Test yang diperoleh hasil dari nilai p (nilai sig=0.148). Ha diterima apabila nilai signifikansi p (nilai sig) < α (0,05) (Sukawana, 2009). Dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan perubahan tingkat depresi pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol.
PEMBAHASAN
Analisa Perbedaan Tingkat Depresi Lansia Pre-Test dan Post-Test pada Kelompok Perlakuan
Seseorang akan diliputi dengan perasaan yang bersalah, mudah marah yang akan melibatkan hubungannya dengan orang lain serta pekerjaan yang dimilikinya,
meragukan dirinya dan mengalami kesedihan yang berkepanjangan. Sebelum diberikan terapi relaksasi progresif didapatkan tingkat depresi pada kelompok perlakuan, yaitu depresi ringan pada 9 responden (60,0%) dan depresi sedang pada 5 responden (33,3%).
Selama penelitian yang sudah dilakukan selama waktu 1 bulan dan hasil yang diperoleh setelah dilakukan penelitian selama 1 bulan, yaitu terdapat 14 responden (93,3%) yang tidak mengalami perubahan setelah diberikan terapi relaksasi progresif pada kelompok perlakuan, namun pada 1 responden (6,7%) mengalami penurunan tingkat depresi. Adanya hasil penurunan pada tingkat depresi sebanyak 6,7% pada 1 responden dalam penelitian ini, didukung oleh penelitian Pratiwi (2006) yang tercantum
dalam penelitian Ari & Pratiwi (2008) menyatakan bahwa usaha yang digunakan untuk mencegah penyakit dengan cara mengelola stressor yang muncul. Pengelolaan stressor ini berhubungan dengan cara yang dapat dilakukan individu dalam memelihara kesehatannya. Pemeliharaan kesehatan yang digunakan, yaitu dengan memilihara fungsi utama otak, bagian tengah otak saat stressor akan menstimulasi dari proses biokimia pada otak dan respon dari relaksasi progresif terhadap tubuh dalam mengembalikan fungsi tubuh dalam keadaan yang seimbang. Teknik dari relaksasi ini akan membantu mengembalikan proses mental, fisik dan emosi yang sedang mengalami masalah. Adanya penurunan pada 1 responden (6,7%) membuktikan bahwa terapi relaksasi progresif ini mampu menurunkan tingkat depresi pada responden.
Namun sebagian besar hasil dari penelitian ini tidak terdapat pengaruh terapi relaksasi progresif terhadap perubahan tingkat depresi pada Lansia. Mayasari (2013) mengemukakan tidak hanya satu faktor yang menjadi penyebab dari depresi melainkan multifaktorial dan kemungkinan muncul dari orang itu sendiri. Adanya stressor yang tinggi dan terdapat peristiwa kehidupan yang tidak menyenangkan dan kemungkinan dapat menimbulkan kecemasan, kesepian, sampai pada tahap timbulnya depresi pada lansia (Wirasto, 2007 dalam Indrawati & Saputri, 2011). Adanya kematian dalam keluarga dan teman-teman, akan menimbulkan duka cita yang mendalam sehingga akan mengingatkan pada lansia akan usia mereka yang semakin bertambah dan semakin berkurangnya ketersediaan dalam memenuhi kebutuhan terhadap dukungan sosial yang diperlukan oleh para lansia (Nevid, Rathus & Greene, 2005 dalam Indrawati & Saputri, 2011).
Analisis Perbedaan Tingkat Depresi Lansia Pada Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol Post-Test
Hasil penelitian yang sudah dilakukan selama waktu 1 bulan diperoleh hasil adanya perbedaan tingkat depresi pada kedua kelompok ini, yaitu kelompok perlakuan tetap
mengalami depresi pada 14 responden (93.3%) tetapi terdapat juga hasil adanya penurunan pada 1 responden (6.7%) sedangkan pada kelompok kontrol terdapat hasil menurun pada 4 responden (26.7%) dan tetap mengalami depresi pada 11 responden (73.3%).
Berdasarkan dari hasil yang diperoleh dari kedua kelompok ini terdapat perbedaan tetapi hasilnya tidak signifikan. Peningkatan yang terjadi pada kelompok perlakuan dan terjadi penurunan pada kelompok kontrol tidak sesuai perkiraan sebelumnya. Adanya peningkatan pada tingkat depresi pada kelompok perlakuan ini disebabkan karena adanya faktor-faktor lain yang menyebabkan terjadinya peningkatan tingkat depresi ini. Hal ini didukung oleh penelitian Setyarini & Arianto (2014) yang menyatakan bahwa kurangnya ketaatan dalam melakukan terapi dan yang disebabkan karena adanya depresi karena riwayat dalam keluarga dan riwayat depresi yang cukup lama. Pada penelitian Kristyaningsih (2011) menyatakan bahwa adanya banyak persoalan hidup yang kompleks dan menimpa lansia disepanjang hayatnya, seperti: adanya kemiskinan, kegagalan yang beruntun, stres yang berkepanjangan, ataupun adanya konflik dengan keluarga/anak/kondisi yang lain seperti tidak memiliki keturunan yang nantinya akan merawatnya saat menjadi tua, kehilangan pasangan hidup, adanya persoalan krisis dalam keuangan, mengharuskan pindah ke tempat lain, dan buruknya dukungan keluarga. Selain itu keberadaan lansia yang sering dikatakan secara buruk dan dipersepsikan sebagai beban dalam keluarga. Dalam masalah yang dihadapi lansia, dapat mendorong semakin berkembangnya pikiran bahwa menjadi tua dengan banyaknya masalah kesehatan yang akan dialami oleh lansia. Pada Kondisi hidup seperti ini yang dapat menjadi pemicu timbulnya depresi (Depsos, 2006). Apabila kodisi ini tidak diatasi, maka akan berdampak buruk bagi masalah kejiwaan lansia.
Analisis Perbedaan Perubahan Tingkat Depresi Lansia Pada Kelompok Perlakuan Dan Kelompok Kontrol
Berdasarkan faktor umur, menurut Pudjiastuti (2003) dalam Efendi & Makhfudli (2009:243) menyatakan bahwa lansia merupakan suatu tahap lanjut dalam menjalani proses kehidupan, dimana seseorang dapat mempertahankan kemampuan tubuhnya dalam menghadapi stres yang dikarenakan oleh lingkungan sekitarnya. Ini disebabkan karena dalam proses penuaan akan terjadi berbagai suatu perubahan yang berawal dari adanya perubahan fungsi fisik, kognitif sampai dengan terjadi perubahan psikososial yang dapat mempermudah timbulnya depresi pada lansia (Kaplan & Sadock, 2007 dalam Kurniasari, 2014).
Pada Penelitian Kurniasari (2014) menjelaskan bahwa semakin adanya pertambahan usia yang secara alamiah akan dengan mudah mempengaruhi terjadi penurunan pada kemampuan pada fungsi perawatan pada diri sendiri, semakin bergantung pada orang lain dan berinteraksi dengan orang lain disekitar (Rinajumita, 2011 dalam Kurniasari, 2014) menunjukkan bahwa lansia yang berumur 60-74 tahun dengan jumlah lansia 20 orang, sebagian besar mengalami depresi sedang dengan hasil uji analisis yang telah dilakukan dengan menggunakan uji Spearman Rank yang menunjukkan hasil nilai signifikansinya 0,033 (p<0,05) yang berarti terdapat hubungan antara umur dengan depresi pada lansia yang signifikan.
Pada penelitian ini, umur responden pada kelompok perlakuan berumur 60-74 tahun sebanyak 13 responden (86,7%) dan umur 75-90 tahun sebanyak 2 responden (13,3%) sedangkan pada kelompok kontrol berumur 60-74 tahun sebanyak 11 responden (73,3%) dan umur 75-90 tahun sebanyak 4 responden (26,7%). Hal ini membuktikan bahwa lansia yang berumur 60-74 tahun banyak mengalami depresi dengan hasil 86,7% pada kelompok perlakuan dan 73,3% pada kelompok kontrol.
Berdasarkan faktor pekerjaan, menurut teori aktifitas yang menyatakan bahwa pada lansia yang sukses merupakan lansia yang aktif dan banyak mengikuti kegiatan sosial. Pada penelitian yang dilakukan oleh Wong & Almeida (2012) dalam Kurniasari (2014) bahwa lansia yang masih bekerja memiliki resiko terhadap depresi karena waktu mereka yang dulunya dan setiap hari lebih banyak dihabiskan saat masih bekerja diluar rumah sehingga waktu untuk lansia dalam berpartisipasi di dalam suatu kegiatan sosial, berkumpul dan rekreasi dengan keluarga menjadi berkurang. Pada Penelitian Kurniasari (2014) bahwa lansia yang bekerja sebagai petani, buruh, swasta dan lain-lain, sebagian besar dengan jumlah 17 responden mudah mengalami depresi sedang (29,3%). Hasil uji analisis yang digunakan dalam penelitiannya yaitu menggunakan uji Spearman Rank yang menunjukkan hasil nilai signifikansinya 0,009 (p<0,05) yang berarti terdapat hubungan antara status pekerjaan dengan depresi pada lansia yang signifikan. Pada penelitian ini, pekerjaan yang dimiliki terbanyak oleh responden pada kelompok perlakuan berada pada pekerjaan swasta dengan 11 responden (73,3%), 2 responden bekerja sebagai Ibu Rumah Tngga (IRT) (13,3%) dan 2 responden tidak bekerja (13,3%) sedangkan pada kelompok kontrol juga didapatkan yang terbanyak pada pekerjaan swasta dengan 8 responden (53,3%), 3 responden tidak bekerja (20,0%), 2 responden bekerja sebagai Ibu Rumah Tngga (IRT) (13,3%) dan 2 responden dengan pensiunan (13,3%). Hal ini membuktikan bahwa depresi banyak terjadi pada lansia yang memiliki pekerjaan swasta dengan hasil 73,3% pada kelompok perlakuan dan 53,3% pada kelompok kontrol.
Berdasarkan faktor jenis kelamin, menurut Ibrahim (2011) dalam Kurniasari (2014) menyatakan bahwa pada perempuan dua kali lebih sering mudah terdiagnosa terkena depresi dari pada pria. Hal itu disebabkan karena adanya perubahan hormonal dalam siklus menstruasi yang berhubungan dengan kehamilan, kelahiran dan menopouse. Pada penelitian yang
dilakukan oleh Seifert et al. (2012) dalam Kurniasari (2014) bahwa pada faktor jenis kelamin ini didapatkan hasil nilai (p=0,043) yang menunjukka bahwa terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan depresi yang signifikan. Resiko terjadinya peningkatan terhadap depresi lebih banyak terjadi pada perempuan dan tidak pada pria.
Hal ini disebabkan karena pada perempuan terjadinya disregulasi pada sistem hormonal yang mengakibatkan terjadi aktivasi trombosit lebih besar sehingga dapat mempengaruhi pada tingkat depresi perempuan. Penelitian lain juga telah dilakukan oleh Colangelo et al. (2013) dalam Kurniasari (2014) bahwa adanya insiden terhadap gejala depresi pada perempuan berhubungan dengan faktor hormonal dan menjelang post menopause. Pada hormon ekstrogen dan androgen yang berperan dalam menekan timbulnya depresi pada perempuan akan berkurang pada saat post menopause. Selain itu pada perempuan dengan post menopause, pada sistem ovariumnya tidak mampu lagi dalam merespon adanya sinyal hormonal yang dikirim dari otak. Hal ini menyebabkan produksi hormon ekstrogen menjadi berkurang sehingga perempuan pada post menopause akan lebih rentan terhadap terjadinya depresi.
Pada Penelitian Kurniasari (2014) menunjukkan bahwa lansia yang berjenis kelamin perempuan dengan jumlah 23 responden (39,7%), sebagian besar yang mengalami depresi sedang dengan hasil uji analisis yang telah dilakukan dengan menggunakan uji Spearman Rank yang menunjukan nilai signifikansinya 0,045 (p<0,05) yang berarti terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan depresi pada lansia yang signifikan. Pada perempuan yang lebih sering mengalami depresi. Hal ini disebabkan karena perempuan sering terpajan dengan adanya stressor lingkungan dan memiliki tingkatan ambang stressor yang lebih rendah dibandingkan dengan pria. Selain itu, adanya depresi pada perempuan juga memiliki kaitannya yang erat dengan adanya ketidakseimbangan hormon pada
perempuan (Amir, 2005 dalam Kurniasari, 2014).
Berdasarkan tingkat pendidikan, menurut Alley & Crimmins (2010) dan Kurniasari (2014) menjelaskan bahwa memiliki pendidikan yang rendah dan berkaitan dengan terjadinya depresi khususnya pada lansia yang disebabkan karena orang-orang yang memiliki pendidikan yang lebih rendah. Gangguan depresi yang terjadi pada usia 70 tahun/lebih tua dengan tingkat pendidikan yang rendah adalah 11,5% sedangkan mereka yang memiliki pendidikan yang tinggi hanya 3,5%. Pada Penelitian Kurniasari (2014) menunjukkan bahwa pada jumlah 19 lansia dengan tingkat pendidikan tidak sekolah mengalami depresi sedang dengan uji analisis yang digunakan yaitu uji Spearman Rank yang menunjukkan hasil nilai signifikansinya 0,269 (p>0,005) yang berarti hubungan antara tingkat pendidikan dengan depresi pada lansia yang tidak signifikan. Hal ini dikarenakan pendidikan dari golongan lansia di Indonesia yang umumnya sekitar 71,2% dan belum mengenal suatu pendidikan yang formal, sehingga lansia sejak dulu dapat menyesuaikan diri dengan tingkat pendidikan yang dimiliki dan tidak mempengaruhi dari keadaan mood, perasaan dan harapan hidupnya (Darmojo, 2006 dalam Kurniasari, 2014).
Pada penelitian ini, tingkat pendidikan responden pada kelompok perlakuan terbanyak pada tingkat pendidikan SD sebanyak 9 responden (60,0%), 4 responden tidak sekolah (26,7%) dan 2 responden dengan tingkat pendidikan SMP (13,3%) sedangkan pada kelompok kontrol sama memiliki tingkat pendidikan SD yang terbanyak dengan 11 responden (73,3%), 2 responden tidak sekolah (13,3%), 1 responden dengan tingkat pendidikan SMA (6,7%) dan 1 responden pada tingkat pendidikan Perguruan Tinggi (PT)/Sarjana (6,7%). Hal ini membuktikan bahwa dari lansia yang tidak bersekolah sampai perguruan tinggi juga dapat terkena depresi.
Berdasarkan Status Perkawinan dalam penelitian Kurniasari (2014) menjelaskan bahwa seseorang yang memiliki status
perkawinan janda/duda akan beresiko menjalani hidup sendiri. Hidup sendiri merupakan faktor resiko terjadinya depresi berat pada lansia (30,7%). Hal ini disebabkan karena mereka yang tinggal di suatu daerah pedesaan dengan pelayanan kesehatan yang terbatas, kurangnya dari dukungan sosial dan mengalami kesulitan dalam menjalani rutinitas dalam kehidupan sehari-hari pada lansia (Gao et al., 2009 dalam Kurniasari, 2014).
Pada penelitian Kurniasari (2014) menunjukkan bahwa lansia dengan status perkawinan janda/duda/tidak kawin dengan jumlah 16 responden (27,6%) sebagian besar mengalami depresi sedang dengan uji analisis yang digunakan yaitu uji Spearman Rank menunjukkan hasil nilai signifikansinya 0,043 (p<0,05) yang berarti terdapat hubungan antara status perkawinan dengan depresi pada lansia yang signifikan. Menurut Kaplan & Sadock (2007) dalam Kurniasari (2014) menyatakan bahwa satu faktor yang dapat menyebabkan terjadinya depresi yaitu status perkawinan. Status perkawinan yang dimaksudkan adalah orang yang tidak memiliki pasangan (Janda) lebih rentan terhadap terjadinya depresi. Seseorang yang telah kehilangan pasangan hidupnya maka akan berkurangnya dukungan dalam keluarga terhadap dirinya. Hal ini disebabkan karena dukungan keluarga yang dimilikinya sangat penting bagi lansia itu sendiri. Apabila berkurangnya dukungan dalam keluarga, maka akan dapat mencetuskan timbulnya depresi, seperti perasaan ditelantarkan/tidak mendapat perhatian yang memadai dari keluarga (Santoso & Ismail, 2009 dalam Kurniasari, 2014).
Pada penelitian ini, status perkawinan responden pada kelompok perlakuan pada status menikah dengan 13 responden (86,7%) dan 2 responden pada status janda (13,3%) sedangkan pada kelompok kontrol dengan 15 responden dengan status menikah (100,0%). Hal ini membuktikan bahwa depresi tidak selalu dialami oleh lansia yang menyandang status janda tetapi dapat terjadi pada status perkawinan menikah dengan hasil 86,7%
pada kelompok perlakuan dan 100,0% pada kelompok kontrol.
Berdasarkan faktor pencetus depresi lainnya, seperti masalah ekonomi yang berhubungan dengan pendapatan yang didapatkan rendah dan tidak sesuai dengan harapan/mengalami kesulitan ekonomi merupakan beberapa dari faktor ekonomi yang berkontribusi dalam meningkatkan resiko terjadinya depresi pada lansia (Berman & Furst, 2010 dalam Syukra, 2012) sedangkan pada lingkungan yang tidak baik/tidak sehat dapat menyebabkan depresi, baik dalam lingkungan pekerjaan, lingkungan pergaulan, lingkungan rumah yang dapat mempengaruhi keadaan psikologis pada seseorang (Artikel Kesehatan, 2013). Pada penelitian ini, faktor penyebab terjadinya depresi pada kelompok perlakuan terbanyak pada status masalah ekonomi dengan 15 responden (100,0%) sedangkan pada tingkat status masalah ekonomi itu juga ditemukan terbanyak pada kelompok kontrol dengan 10 responden (66,7%), 3 responden karena faktor pekerjaan (20,0%) dan 2 responden karena faktor lingkungan (13,3%). Hal ini membuktikan bahwa faktor masalah ekonomi juga dapat dikatakan sebagai faktor pencetus lain dari timbulnya depresi dengan hasil 100,0% pada kelompok perlakuan dan 66,7% pada kelompok kontrol.
Tingkat depresi ringan pada kelompok perlakuan sebelum diberikan terapi dengan 10 responden (66.7%) dan pada depresi sedang dengan 5 responden (33.3%) sedangkan pada kelompok kontrol juga sama berada pada tingkat depresi ringan dengan 10 responden (66,7%) dan pada depresi sedang 5 responden (33.3%). Setelah dilakukan terapi pada kelompok perlakuan terdapat 1 responden dalam kondisi normal (6.7%), 9 responden dengan depresi ringan (60.0%) dan pada 5 responden dengan depresi sedang (26,7%) sedangkan pada kelompok kontrol hanya dilakukan observasi tingkat depresinya dan hasil yang diperoleh dengan 10 responden mengalami depresi ringan (66.7%), 2 responden dalam kondisi normal (13.3%), 3 responden dengan depresi sedang (20,0%). Hasil perubahan tingkat depresi yang terjadi
pada kelompok perlakuan tetap mengalami depresi dengan 14 responden (93.3%) dan menurun dengan 1 responden (6,7%) sedangkan pada kelompok kontrol menurun dengan 4 responden (26.7%) dan tetap mengalami depresi dengan 11 responden (73.3%). Perubahan yang terjadi pada kedua kelompok ini menunjukkan terdapat perbedaan tetapi tidak signifikan. Namun seperti itu, terapi relaksasi progresif mampu menurunkan tingkat depresi.
Mengumpulkan semua sampel pada satu tempat sehingga memudahkan peneliti dalam pemberian terapi relaksasi progresif secara maksimal dan kemampuan peneliti dalam menggali faktor lain yang tidak diketahui oleh peneliti sebagai pencetus timbulnya depresi pada lansia sehingga hasil dalam penelitian ini tidak maksimal.
SIMPULAN
Berdasarkan dari hasil analisis dan pembahasan yang telah dilakukan mengenai pengaruh terapi relaksasi progresif terhadap perubahan tingkat depresi pada Lansia di Banjar Mandala Sari, Desa Dangri Kelod, Dentim dapat disimpulkan bahwa hasil karakteristik responden dari kelompok perlakuan dan kelompok kontrol yang mengalami depresi berdasarkan umur sebagian besar berumur 60-74 tahun, sebanyak 13 responden (86,7%) dan 11 responden (73,3%). Tingkat depresi setelah diberikan terapi relaksasi progresif pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol dilakukan observasi terhadap tingkat depresi dengan hasil 1 responden dalam kondisi normal (6.7%), 9 responden dengan depresi ringan (60.0%) dan pada 5 responden dengan depresi sedang (33.3%) pada kelompok perlakuan setelah diberikan terapi relaksasi progresif sedangkan pada kelompok kontrol yang hanya dilakukan observasi dengan 10 responden mengalami depresi ringan (66.7%), 2 responden dalam kondisi normal (13.3%), 3 responden dengan depresi sedang (20.0%).
DAFTAR PUSTAKA
Anies. (2005). Seri Kesehatan Umum:
Pencegahan Dini Gangguan Kesehatan.
Jakarta: Elex Media Komputindo, (online), (http://books.google.co.id/books?id=iiw QvLyJ5YgC&pg=PA76&dq=usia+lanj ut+adalah&hl=id&sa=X&ei=TMw_VO v0LeXVmgX0toHIDQ&redir_esc=y#v =onepage&q=usia%20lanjut%20adalah &f=false, diakses 16 Oktober 2014).
Artikel Kesehatan. (2013). Cara Mencegah Depresi dan Faktor Penyebabnya, (online), (http://www.sehatkan.com/2013/06/cara -mencegah-depresi-dan-faktor.html, diakses 7 November 2014).
Badan Pusat Statistik. (2013). Proyeksi Penduduk Indonesia 2010-2035.
Jakarta: UNFPA.
Efendi, Ferry & Makhfudli. (2009). Keperawatan Kesehatan Komunitas (Teori dan Praktik dalam Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika, (online), (http://books.google.co.id/books?id=LK pz4vwQyT8C&pg=PT291&dq=definisi +lansia+menurut+who&hl=id&sa=X&e i=tmM7VIbBEYxuASFyoHYBA&redir _esc=y#v=onepage&q=definisi%20lans ia%20menurut%20who&f=false, diakses 13 Oktober 2014).
Harnowo, Agus, Putro. (2011). Cara
Mengatasi Depresi Tanpa Obat,
(online), (http://health.detik.com/read/2011/11/0 2/180020/1758728/763/4/cara-mengatasi-depresi-tanpa-obat, diakses 16 November 2014).
Indrawati, SE & Saputri, WAM. (2011). Hubungan Antara Dukungan Sosial Dengan Depresi Pada Lanjut Usia Yang Tinggal Di Panti Wreda Wening Wardoyo Jawa Tengah. 9 (1): 66-70.
Kristyaningsih, Dewi. (2011). Hubungan Antara Dukungan Keluarga Dengan Tingkat Depresi Pada Lansia, 1 (1). 3.
Kurniasari, Dwi, Ninnda. (2014). Faktor – Faktor Yang Berhubungan Dengan Depresi Pada Lansia Di Dusun Kalimanjung Ambarketawang Gamping Sleman Yogyakarta. Skripsi diterbitkan. Yogyakarta: Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah
Mayasari, Tri WNN. (2013). Gambaran Umum Depresi, (online), (http://download.portalgaruda.org/articl e.php?article=82615&val=970, diakses 6 Juni 2015).
Nugroho, Wahjudi H. (2014). Keperawatan Gerontik & Geriatrik. Ed. 3. Jakarta: EGC.
Nursalam. (2011). Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu
Keperawatan. Jakarta: Salemba
Medika.
Setyarini, AE & Arianto, BA. (2014). Pengaruh Terapi Kognitif Perilaku Terhadap Perubahan Tingkat Depresi Pada Lansia Di Panti Werdha Karitas Cimahi. Skripsi diterbitkan. Bandung: Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Immanuel.
Sukawana, I Wayan. (2009). Pengantar Statistik Untuk Perawat. Denpasar: Jurusan Keperawatan Poltekkes
Syukra, Anita. (2012). Hubungan Antara Religiusitas Dengan Kejadian Depresi Pada Lansia Di Panti Sosial Tresna Werdha (Pstw) Sabai Nan Aluih Sicincin Kabupaten Padang Pariaman. Skripsi diterbitkan. Padang: Fakultas Keperawatan Universitas Andalas.
Volume 6, Nomor 2, Agustus 2018
88
Discussion and feedback