ANIMAL NAMING TEST UNTUK MENGIDENTIFIKASI GANGGUAN KOGNITIF AKIBAT ENSEFALOPATI HEPATIKUM PADA PASIEN SIROSIS HEPATIS: EVIDENCE BASED NURSING
on
Community of Publishing in Nursing (COPING), p-ISSN 2303-1298, e-ISSN 2715-1980
ANIMAL NAMING TEST UNTUK MENGIDENTIFIKASI
GANGGUAN KOGNITIF AKIBAT ENSEFALOPATI HEPATIKUM PADA PASIEN SIROSIS HEPATIS: EVIDENCE BASED NURSING
Yulia Sihombing*1, Debie Dahlia2, Yunisar Gultom3, Liya Arista2
1Fakultas Keperawatan, Universitas Pelita Harapan
-
2Departemen Keperawatan Medikal Bedah, Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia 3Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo
*korespondensi penulis, e-mail: yulia.fon@uph.edu
ABSTRAK
Fibrosis hati dan konversi dari arsitektur normal hati menjadi nodul-nodul abnormal pada pasien sirosis hepatis menyebabkan kegagalan hati menjalankan fungsinya (dekompensata) dan menimbulkan komplikasi yakni ensefalopati hepatikum, baik itu ensefalopati hepatikum bersifat laten/asimtomatik (covert hepatic encephalopathy) ataupun yang bersifat nyata (overt hepatic encephalopathy). Animal Naming Test (ANT) yang merupakan suatu tes dengan pertanyaan verbal sederhana untuk mengidentifikasi fungsi mental seseorang dapat digunakan untuk mengetahui gangguan fungsi mental yang berhubungan dengan ensefalopati hepatikum. Untuk mengidentifikasi penerapan Evidence Based Nursing (EBN) yakni penggunaan ANT sebagai tes fungsi kognitif sederhana yang dapat digunakan sebagai skrining awal gangguan kognitif terutama yang bersifat laten/covert pada pasien dengan sirosis hepatis yang tidak teridentifikasi dengan asesmen klinis rutin yang tersedia yakni pertanyaan verbal untuk menilai orientasi waktu, tempat dan orang; dan asesmen klinis menggunakan West Haven Criteria (WHC). Penelitian ini merupakan studi penerapan EBN dengan total sampling sebanyak 16 orang, yang merupakan seluruh pasien dengan sirosis hepatis yang menjalani rawat inap di satu ruang perawatan penyakit dalam di satu rumah sakit pusat rujukan nasional di Jakarta. Penerapan EBN dilakukan dengan menggunakan ANT untuk mengidentikasi ada/tidaknya gangguan fungsi kognitif pada pasien sirosis dan membandingkannya dengan asesmen rutin yang dilakukan. ANT yang diterapkan pada 16 pasien sirosis dapat mengidentifikasi 12 orang pasien yang mengalami gangguan kognitif, yakni 8 orang lebih banyak bila dibandingkan dengan menggunakan asesmen WHC yakni 4 orang, dan tidak terdeteksi atau 0 orang bila menggunakan asesmen pertanyaan verbal orientasi waktu, tempat, dan orang. ANT dapat digunakan sebagai salah satu asesmen dan skrining awal untuk mendeteksi gangguan fungsi kognitif pasien dengan sirosis hepatis.
Kata kunci: animal naming test, ensefalopati hepatikum, sirosis hepatis
ABSTRACT
Liver fibrosis and conversion from normal liver architecture to abnormal nodules in patients with hepatic cirrhosis cause the liver to fail to perform its function (decompensate) and cause complications, namely hepatic encephalopathy, whether it is latent/asymptomatic hepatic encephalopathy (covert hepatic encephalopathy) or overt hepatic encephalopathy. The Animal Naming Test (ANT), which is a test with simple verbal questions to identify a person's mental function, can be used to determine mental function disorders associated with hepatic encephalopathy. This study aimed to identify the application of Evidence Based Nursing (EBN), namely the use of the ANT as a simple cognitive function test that can be used as an initial screening for cognitive impairment, especially latent/covert in patient with hepatic cirrhosis who is not identified with routine clinical assessments available, namely verbal questions to assess orientation in time, place and person; and clinical assessments using West Haven Criteria (WHC). This study is an EBN application study that took a total sampling of 16 people, all patients with hepatic cirrhosis who underwent hospitalization in one internal medicine ward in one national referral center hospital in Jakarta. The application of EBN is done by using ANT to identify the presence or absence of cognitive function impairment in cirrhotic patients and comparing it with routine assessments performed. ANT applied to 16 cirrhotic patients was able to identify 12 patients with cognitive impairment, which is 8 more people when compared to using the WHC assessment of 4 people, and not detected or 0 people when using the assessment of verbal questions of time, place and person orientation. ANT can be used as one of the initial assessments and screenings to detect impaired cognitive function in patients with hepatic cirrhosis.
Keywords: animal naming test, cirrhosis hepatis, hepatic encephalopathy
PENDAHULUAN
Sirosis adalah suatu keadaan patologis yang menggambarkan stadium akhir fibrosis hepatik yang berlangsung secara progresif yang ditandai dengan distorsi dari arsitektur hepar dan pembentukan nodulus regeneratif, yang mana gambaran ini terjadi akibat nekrosis hepatoselular (Harding et al., 2020). Harding et al (2020) menjelaskan lebih lanjut bahwa pada sirosis terjadi kolaps jaringan penunjang retikulin disertai deposit jaringan ikat, distorsi jaringan vaskular, dan regenerasi nodularis parenkim hati. Fibrosis hati dan konversi dari arsitektur normal hati menjadi nodul abnormal menyebabkan kegagalan hati menjalankan fungsinya (dekompensata) dan menimbulkan komplikasi (Bird et al., 2015).
Ensefalopati hepatikum merupakan salah satu komplikasi yang paling merusak dari sirosis dan masih menjadi masalah klinis utama dari sirosis yang mana sekitar 30-45% pasien dengan sirosis mengalami ensefalopati hepatikum (Tapper et al., 2018). Ensefalopati hepatikum sebagai manifestasi neuropsikiatri dari penyakit hati yang terjadi pada otak disebabkan oleh kegagalan hati dan atau pirau portosistemik (portosystemic shunts). Ensefalofati hepatikum ditunjukkan sebagai suatu spektrum yang luas abnormalitas neurologis ataupun psikiatri, mulai dari gejala-gejala subklinis sampai pada koma hepatikum (American Association for the Study of Liver Diseases & European Association for the Study of the Liver, 2014). Ensefalopati hepatikum membawa implikasi prognostik terhadap kondisi pasien. Ensefalopati hepatikum menyebabkan menurunnya kesintasan, penyebab kematian yang berhubungan dengan liver (liver related mortality), penurunan kemampuan belajar pasien, dan meningkatnya penggunaan layanan kesehatan (Saab et al., 2016).
Harding et al (2020) menjelaskan mengenai patogenesis ensefalopati hepatikum yang bersifat multifaktorial, termasuk efek neurotoksik dari amonia, neurotransmisi abnormal, pembengkakan astrosit, dan agen neuroinflamasi sitokin.
Sumber utama amonia adalah berasal dari bakteri dan deaminasi enzimatik asam amino di usus, amonia yang secara normal diproses di hati melalui dan diubah menjadi urea yang akan dieksresikan oleh ginjal. Namun pada kondisi sirosis dan pirau portosistemik, amonia tidak diubah menjadi urea dan terus meningkat pada sirkulasi sistemik. Amonia masih dianggap berperan utama dalam patogenesis ensefalopati hepatikum dimana amonia menyebabkan abnormalitas pada neurotransmitter dan menimbulkan cedera pada astrosit sehingga terjadi pembengkakan dan edema otak yang terlibat pada patogenesis dari manifestasi neurologis yang timbul. Keadaan tersebut akan diperburuk ketika terdapat mediatormediator inflamasi, seperti cytokin yang akan memperburuk pembengkakan pada astrosit (American Association for the Study of Liver Diseases & European Association for the Study of the Liver, 2014; Luo et al., 2015).
Terdapat dua bentuk ensefalopati hepatikum yang dikenal saat ini yakni ensefalopati hepatikum yang tersamar atau Covert Hepatic Encephalopathy (CHE) dan yang terlihat jelas atau Overt Hepatic Encephalopathy (OHE). Ensefalopati hepatikum laten (CHE) terdiri dari Minimal Hepatic Encephalopathy (MHE) dan Grade 1 Hepatic Encephalopathy (HE); dan ensefalopati hepatikum yang terlihat secara klinis atau Overt Hepatic Encephalopathy (OHE) yang terdiri dari grade 2-4 hepatic encephalopathy berdasarkan West Haven Criteria (WHC) (Vilstrup et al., 2014). Vilstrup et al (2014) lebih lanjut menjelaskan bahwa diagnosis OHE memiliki tampilan gejala yang lebih terlihat secara klinis, mulai dari perubahan perilaku sampai dengan koma sementara ensefalopati hepatikum laten / covert hepatic encephalopathy membutuhkan instrumen khusus. Tapper et al (2018) menyebutkan mengenai kesulitan dalam mendiagnosis CHE secara klinis.
Sangat penting bagi perawat untuk menyadari gejala gangguan fungsi otak yang berhubungan dengan ensefalopati
hepatikum sering terjadi pada pasien dengan sirosis dan gejala ensefalopati hepatikum sangat bervariasi, memiliki tingkatan yang fluktuatif, perburukan yang dapat terjadi dengan cepat dan bahwa pasien sirosis dengan ensefalopati hepatikum bisa ditemui pada tiap sistem dan akses layanan kesehatan (Bager, 2017). Pasien tidak mendapatkan intervensi yang tepat oleh karena kesulitan mengenali gejala mengingat gangguan fungsi otak pada CHE bersifat laten dan tidak selalu terdeteksi (asimtomatik). Pasien sirosis dengan CHE dapat mengalami gangguan pada kualitas hidup, ketidakmampuan bekerja, gangguan dalam berkendara dan kecelakaan lalu lintas, serta potensi untuk berkembang menjadi ensefalopati hepatikum yang berat yang akan berdampak buruk terhadap prognosis pasien (Shaw & Bajaj, 2017).
Tes diagnostik yang merupakan standar emas (gold standard) untuk CHE adalah Psycometric Hepatic Encephalopathy Score (PHES), baik itu tes berbasis kertas dan pensil (“pencil-and-paper test”, atau tes berbasis komputer, yang bertujuan mengidentifikasi gangguan dalam fungsi visuo-spasial, perhatian, kecepatan memproses dan inhibisi respon (Nabi & Bajaj, 2014). Vilstrup et al (2014) memaparkan mengenai tes neuropsikometri yang dilakukan yakni PHES, Continous Reaction Time (CRT), Inhibitory Control Test (ICT), dan Stroop Test. Nabi dan Bajaj (2014) menjelaskan bahwa keberhasilan test neuropsikometri untuk mendiagnosis sangat bergantung pada usia dan pendidikan, waktu tes total, dan aplikabilitas, agar hasilnya bermanfaat sebaiknya dilakukan oleh pemeriksa yang terlatih menggunakannya.
Fungsi mental seseorang dapat dievaluasi dengan pertanyaan verbal sederhana, contohnya mengenai orientasi waktu, tempat dan identitas, dan pertanyaan sederhana tersebut tidak ada hambatan secara kultural dan dapat dengan mudah
digunakan (Vilstrup et al., 2014). Oleh karena itu Campagna et al (2017) mengemukakan mengenai uji coba yang dilakukan dengan menggunakan pertanyaan sederhana untuk mengetahui fungsi mental pasien sirosis yang secara klinis tidak tampak mengalami disorientasi, yakni dengan menggunakan Animal Naming Test (ANT). ANT merupakan tes yang sensitif dan Tapper et al (2018) juga menyebutkan ANT sebagai salah satu modalitas dari point of care tests yang dapat digunakan untuk mengetahui gangguan fungsi mental yang berhubungan dengan ensefalopati hepatikum tersamar/ covert hepatic encephalopathy.
Berdasarkan fenomena yang ditemukan penulis selama melakukan praktik, tindakan asesmen yang bertujuan mengidentifikasi ada tidaknya gangguan kognitif pada pasien sirosis yang asimtomatis termasuk ensefalopati hepatikum laten di ruang rawat inap penyakit dalam di satu rumah sakit rujukan nasional tidak rutin dilakukan. Asesmen rutin yang dilakukan oleh perawat adalah pertanyaan verbal sederhana mengenai orientasi waktu, tempat dan identitas, serta menggunakan tanda dan gejala diagnosis keperawatan “konfusi akut” dan “konfusi kronis” SDKI; dan dokter menggunakan kriteria klinis WHC. Tes psikometri untuk mendeteksi CHE sulit dilakukan di rawat inap terkait usia dan pendidikan pasien, waktu tes total, dan aplikabilitas petugas dalam melakukan tes tersebut.
Pasien sirosis dengan ensefalopati hepatikum asimtomatis/ laten sulit terdeteksi oleh asesmen rutin perawat dan medis. Tujuan dari penulisan EBN ini adalah untuk mengetahui bagaimana penggunaan ANT untuk mengidentifikasi gangguan kognitif yang umumnya terjadi pada pasien dengan sirosis, terutama pada pasien sirosis yang secara klinis belum menunjukkan gejala ensefalopati hepatikum (EH).
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode analisa PICO, dengan rumusan pertanyaan klinis apakah ANT dapat digunakan untuk mengidentifikasi gangguan kognitif akibat ensefalopati hepatikum pada pasien sirosis hepatis? Penelitian mengenai penerapan EBN ANT ini sudah dipresentasikan di
Bidang Keperawatan dan Bidang Pendidikan dan Penelitian (DIKLAT) di satu rumah sakit rujukan nasional dan diijinkan untuk diimplementasikan sebagai bagian dari kegiatan praktik residensi keperawatan medikal bedah penulis.
Tabel 1. Analisa PICO
Population Pasien sirosis hepatis
Intervention Animal Naming Test
Comparison Asesmen perawat menggunakan pertanyaan verbal mengenai waktu, tempat, dan orang,
serta Asesmen medik menggunakan kriteria klinis West Haven Kriteria (WHC)
Outcome Identifikasi ada/tidaknya fungsi kognitif
Pencarian artikel penelitian dilakukan dengan menggunakan search engine jurnal Pubmed, Ebsco, dan Clinical Key. Kata kunci yang digunakan untuk pencarian adalah hepatic encephalopathy, cognitive, test. Hasil pencarian ditemukan 2 artikel yang relevan dengan tujuan EBN. Hasil telaah kritis (critical appraisal) dilakukan untuk mengetahui apakah jurnal yang dijadikan rujukan penerapan EBN valid dan untuk memastikan tingkat keamanan EBN dilakukan kepada pasien. Hasil akhir didapatkan 1 artikel utama dengan judul “The animal naming test: an easy tool for the assessment of hepatic encephalopathy” yang ditulis oleh Campagna Francesca, Montagnese Sara, Ridola Lorenzo, Senzolo Marco, Schiff Sami, De Rui Michele, Pasquale Chiara, Nardelli Silvia, Pentassuglio Ilaria, Merkel Carlo, Angeli Paolo, Riggio Oliviero, Amodio Piero pada jurnal Hepatology, Volume 2017 dengan PMID 28271528.
Hasil penelitian Campagna et al (2017) menunjukkan bahwa pada pasien sirosis yang termasuk dalam kelompok tidak terdeteksi memiliki gangguan fungsi kognitif memiliki skor ANT lebih rendah yakni 12 ± 0.4 versus 16 ± 0.7, p < 0.00; pada pasien sirosis yang termasuk dalam kelompok HE ≥ grade 2 memiliki skor ANT lebih tinggi yakni 4 ± 0.9; dan pada pasien sirosis yang termasuk dalam kelompok HE grade 1 memiliki skor ANT lebih rendah dari MHE. Tiga tingkatan skor (0 untuk S-ANT1 ≥15, 1 untuk 10 ≤ S-ANT1 <15, 2
untuk S-ANT1 <10) yang diperoleh berkorelasi dengan skor HE psikometrik (p<0.0001) dan elektroensefalografi (p = 0.007) dan dengan validasi sampel acak terpisah (sample random split), baik S-ANT1 maupun skor tiga tingkat menunjukkan nilai prognostik terkait risiko 1 tahun dari OHE dan kematian.
EBN ini dilakukan di 1 ruang rawat inap perawatan penyakit dalam di satu rumah sakit pusat rujukan nasional di Jakarta Pusat. Subjek dalam EBN ini adalah 16 pasien dengan kriteria inklusi: pasien berusia ≥ 18 tahun, didiagnosis sirosis hepatis atau penyakit hati kronis, tidak mengalami gangguan verbal, bersedia ikut serta dalam pelaksanaan EBN. Adapun kriteria eksklusi subjek adalah: pasien mengalami koma hepatikum, pengucapan verbal tidak dapat dilakukan terkait kondisi fisik seperti status pernafasan atau ketidakstabilan tanda-tanda vital, dan atau ketidaknyamanan fisik. Prosedur EBN diawali dengan penulis mengumpulkan data di rekam medik berupa jenis kelamin, usia, lama diagnosis sirosis, penyebab sirosis, dan alasan masuk rawat inap.
Analisis data dilakukan dengan cara deskriptif yakni distribusi frekuensi. Data frekuensi hasil fungsi kognitif pasien berdasarkan ANT kemudian dibandingkan dengan hasil identifikasi fungsi kognitif rutin oleh perawat yakni berdasarkan asesmen verbal menggunakan pertanyaan mengenai waktu, tempat, orang, dan karakteristik gangguan kognitif SDKI
(karakteristik diagnosa keperawatan pada subkategori neurosensori); dan hasil identifikasi fungsi kognitif oleh medis |
berdasarkan klinis pasien yakni menggunakan WHC. |
HASIL PENELITIAN
Tabel 2. Distribusi Subjek Berdasarkan Jenis Kelamin, Usia, Lama Diagnosis Sirosis, Penyebab Sirosis, Alasan Masuk Rawat Inap (n = 16)
Variabel |
Frekuensi % |
Jenis Kelamin Laki-Laki Perempuan |
14 87,5 2 12,5 |
Usia (tahun) 18-40 41-60 61-70 |
4 25 11 68,8 1 6,3 |
Lama Diagnosis (tahun)
0-1 > 1-3 > 3-5 > 5 |
4 25 7 43,8 1 6,3 4 25 |
Penyebab Alkohol Virus Hepatitis B Virus Hepatitis C Non-Virus Hepatitis B dan C |
1 6,3 4 25 5 31,3 6 37,5 |
Alasan Masuk Rawat Pro tindakan diagnostik / terapeutik Perdarahan (hematemesis, melena) Penurunan kesadaran Anemia, lemas Dyspnea, asites |
6 37,5 3 18,8 3 18,8 3 18,8 1 6,3 |
Tabel 2 menunjukkan hampir seluruh subjek yakni pasien sirosis hepatis yang dirawat inap dan menjadi peserta penerapan EBN adalah laki-laki yakni sebesar 87,5 %; usia sebagian besar subjek adalah 41 - 60 tahun yakni sebesar 68,8%; hampir setengah dari subjek sudah terdiagnosis sirosis selama > 1-3 tahun yakni sebesar |
43,8%; penyebab sirosis hepatis pada hampir setengah subjek adalah Non-virus Hepatitis B dan C, dan virus Hepatitis C yakni berturut-turut sebesar 37,5% dan 31,3%; serta alasan masuk rawat subjek pada hampir setengah subjek adalah rencana tindakan yakni sebesar 37,5%. |
Tabel 3. Identifikasi Gangguan Kognitif Berdasarkan Asesmen Rutin Perawat dan Asesmen Rutin Medis
Jenis Asesmen |
Frekuensi % |
Asesmen Rutin Perawat Tidak Terganggu Terganggu |
16 100 0 0 |
Asesmen Rutin Medis Grade 0 (normal) Grade 1 (mild EH) Grade 2 (moderate EH) Grade 3 (severe EH) Grade 4 (comma) |
12 75 1 6,25 3 18,75 0 0 0 0 |
Animal Naming Test Normal (skor >15) Terganggu (skor <15) |
4 25 12 75 |
Tabel 3 menunjukkan seluruh subjek tidak teridentifikasi mengalami gangguan |
fungsi kognitif berdasarkan asesmen rutin perawat yakni sebesar 100%. Sebagian |
besar subjek dikategorikan normal berdasarkan asesmen rutin medis menggunakan kriteria klinis WHC yakni sebesar 75% dan hanya sebagian kecil yang terdeteksi mengalami ensefalopati hepatikum (EH) moderate yakni sebesar 18,75% dan EH mild yakni sebesar 6,25%.
PEMBAHASAN
Hasil uji penerapan EBN menunjukkan bahwa proporsi berdasarkan jenis kelamin pasien yang berpartisipasi, paling banyak adalah berjenis kelamin laki-laki. Hasil tersebut tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian Liu dan Chen (2022) maupun Scaglione et al (2014) mengenai prevalensi sirosis dimana proporsi pasien laki-laki jauh lebih banyak mengalami sirosis. Scaglione et al (2014) lebih lanjut mengemukakan bahwa pasien laki-laki yang mengalami sirosis, terutama disebabkan virus hepatitis C dan B, penyalahgunaan alkohol serta diabetes. Di Indonesia sendiri, sirosis hepatis paling banyak disebabkan virus hepatitis B (Silaban et al., 2020). Menurut data World Health Organization (2016) age-standardized death rate sirosis hati di Indonesia pada laki-laki adalah 51,1 per 100.000 penduduk dan perempuan 27,1 per 100.000 penduduk. Pada 14 orang pasien laki-laki yang berpartisipasi dalam EBN terdapat sebanyak 4 orang terdiagnosis mengalami sirosis akibat virus Hepatitis B, sebanyak 4 orang akibat virus Hepatitis C, dan sebanyak 1 orang akibat alkohol, serta sebanyak 5 orang akibat virus yang bukan golongan Hepatitis B dan bukan golongan Hepatitis C. Berdasarkan penelusuran rekam medik didapatkan bahwa adapun perilaku berisiko pasien sirosis laki-laki yang berpartisipasi dalam EBN yang dapat teridentifikasi adalah riwayat prosmikuitas, penggunaan jarum suntik (intravenous drug user/IVDU), dan konsumsi alkohol.
Hasil uji penerapan EBN menunjukkan pasien sirosis yang dirawat berada paling banyak pada rentang usia 4160 tahun sebesar 68,8%. Usia dalam penerapan EBN ini tidak jauh berbeda
Hanya sebagian kecil subjek tidak teridentifikasi mengalami gangguan fungsi kognitif atau normal berdasarkan ANT yakni sebesar 25%, dan sisanya yakni 75% teridentifikasi mengalami gangguan fungsi kognitif.
dengan hasil penelitian Scaglione et al (2014) dimana prevalensi sirosis di Amerika Serikat paling banyak secara berturut-turut ditemukan pada rentang usia 45-54 tahun, 35-44 tahun, dan 55-64 tahun. Scaglione et al (2014) juga menyebutkan bahwa prevalensi sirosis memiliki distribusi usia bimodal dimana mencapai puncak pada usia 40-50 tahun dan akan terjadi kembali pada usia 75 tahun terkait dengan epidemiologi sirosis yakni 53,5% kasus berhubungan dengan Hepatitis C, alkohol, dan diabetes. Silaban et al (2020) mendapatkan hasil yang tidak jauh berbeda yakni usia penderita sirosis hati terbanyak berada pada kelompok usia 50-69 tahun.
Umumnya penyakit hati kronik tidak menunjukkan gejala, sampai tahap sirosis timbul gejala klinis yang menunjukkan dekompensasi (Trebicka et al., 2020). Pasien yang berpartisipasi dalam penerapan EBN paling banyak terdiagnosis sirosis pada rentang lebih dari satu tahun sampai dengan tiga tahun (>1-3 tahun) yakni sebesar 43,8%. Umumnya pasien terdiagnosis sirosis terkait kondisi klinis yang menunjukkan dekompensata, dan terdapat pasien yang tidak menyadari sudah memiliki hepatitis, terdeteksi bukan terkait skrining penyakit hati. Hal ini sesuai dengan kesimpulan bahwa penyakit hati kronik tidak menunjukkan gejala, sampai tahap sirosis timbul gejala klinis yang menunjukkan dekompensasi yang membuat individu membutuhkan perawatan lebih lanjut. Hal tersebut sesuai dengan rekomendasi dari Huang et al (2023) dan Tsochatzis et al (2014) mengenai pencegahan kejadian komplikasi pada sirosis dekompensata melalui kegiatan skrining terhadap kondisi-kondisi yang berkontribusi berkembang menjadi
sirosis.
Penyebab sirosis pada 16 orang pasien yang berpartisipasi dalam penerapan EBN paling banyak disebabkan oleh virus: virus yang tidak tergolong Hepatitis B maupun C, virus Hepatitis C, dan virus Hepatitis B. Selain virus, penyebab lain pasien mengalami sirosis, yang terdapat hanya pada 1 orang pasien adalah riwayat konsumsi alkohol. Di negara berkembang seperti Indonesia, sirosis disebabkan oleh virus Hepatitis B dan C (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI, 2019). Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) (2018) menyebutkan bahwa Hepatitis B merupakan jenis hepatitis yang banyak menginfeksi penduduk Indonesia yakni berkisar 7,1% (sekitar 18 juta), diikuti oleh virus Hepatitis C berkisar 1,01% (sekitar 2,5 juta). Harding et al (2020) menyebutkan bahwa pasien dengan Hepatitis C kronis dan pasien dengan Hepatitis B berkembang menjadi sirosis, dimana inflamasi kronis dan nekrosis sel-sel hati kemudian berkembang menjadi fibrosis, dan selanjutnya sirosis. Huang et al (2023) menjelaskan bahwa meskipun virus hepatitis tetap menjadi penyebab utama sirosis di seluruh dunia, prevalensi penyakit perlemakan hati nonalkohol (Non-Alcoholic Fatty Liver Disease/ NAFLD) dan sirosis terkait alkohol meningkat di beberapa wilayah di dunia.
Kondisi sirosis akan membuat individu membutuhkan perawatan lebih lanjut dan meningkatkan penggunaan sumber daya kesehatan (Miquel et al., 2018). Hasil uji penerapan EBN menunjukkan bahwa pasien sirosis yang terlibat menjalani rawat inap paling banyak disebabkan tindakan diagnostik dan terapeutik yakni sebesar 37,5%. Pasien tersebut menjalani tindakan diagnostik dan terapeutik sebagai evaluasi dan treatment komplikasi dari sirosis yang dialami. Namun, apabila digabungkan dalam kelompok yang sama, maka sebanyak 72,5% pasien sirosis tersebut menjalani rawat inap terkait komplikasi dari sirosis
yakni perdarahan, anemia, lemas, penurunan kesadaran (ensefalopati hepatikum), dispnea, serta asites. Dekompensasi sirosis berhubungan dengan meningkatnya mortalitas jangka pendek dan dapat berkembang ke kegagalan organ pada multisistem. Pasien dengan sirosis dapat mengalami kondisi dekompensasi secara akut dan memerlukan hospitalisasi terkait dengan terdapatnya infeksi, perdarahan gastrointestinal, trombosis vena porta, ketidakseimbangan asam-basa, dan ketidakpatuhan terhadap medikasi untuk pemeliharaaan failure (Fitzpatrick et al., 2017). Asites merupakan komplikasi paling sering dari sirosis dekompensata yang berhubungan dengan prognosis yang buruk, penurunan kualitas hidup, dan sering memerlukan hospitalisasi berulang dan sering tidak terencana (Fagan et al., 2014). Fagan et al (2014) lebih lanjut menjelaskan bahwa pasien dengan asites membutuhkan rawat inap terkait dengan manajemen asites lebih lanjut termasuk tindakan paracentesis, pemeriksaan diagnostik, dan berkembangnya Spontaneous Bacterial Peritonitis (SBP).
Ensefalopati hepatikum merupakan komplikasi sirosis yang menyebabkan mortalitas dan morbiditas yang signifikan dan membuat pasien membutuhkan rawat inap di rumah sakit yakni kondisi ensefalopati hepatikum yang tampak secara klinis atau OHE. Berdasarkan penelitian Pantham et al (2017), kondisi OHE dicetuskan oleh dehidrasi (46-76%), Acute Kidney Injury/ AKI (32-76%), ketidakpatuhan terhadap konsumsi lactulose (sekitar 50%), konstipasi (sekitar 40%), dan infeksi (20-42%). Infeksi dan sepsis menyebabkan gangguan neurokognitif baik yang bersifat klinis atau subklinis pada sejumlah besar pasien sirosis terkait dengan inflamasi yang terjadi dan kerusakan pada hati (Bellafante et al., 2023). Sementara itu, ensefalopati hepatikum laten (CHE) sering tidak terdeteksi terkait dengan gangguan kognitif tidak terlihat saat pemeriksaan klinis rutin dan memerlukan pemeriksaan psikometri dan neurologi (pemeriksaan
neuropsikometri) (Ferenci, 2017). CHE atau dulu sering disebut sebagai ensefalopati hepatikum minimal (Minimal Hepatic Encephalopathy/ MHE) dapat mempengaruhi kualitas hidup terkait kesehatan walaupun tidak terlihat dan dapat berkembang menjadi OHE (Mina et al., 2014). Prediktor yang digunakan untuk mengetahui kemungkinan perkembangan MHE menjadi OHE yang dapat digunakan adalah klasifikasi Child, MELD score, mean arterial pressure, serum natrium, serum kreatinin, penggunaan diuretik, ascites, infeksi, dan perdarahan gastrointestinal (Gupta et al., 2016). Perkembangan MHE menjadi OHE menurut Ferenci (2017) dapat berhubungan dengan kondisi malnutrisi yang sangat rentan terjadi pada pasien sirosis. Malnutrisi mengakibatkan terjadinya penurunan massa otot sementara massa otot merupakan area alternatif detoksifikasi amonia pada penyakit hati (Nardelli et al., 2019).
Efektivitas Penerapan EBN
Hasil penerapan EBN yakni penggunaan ANT menunjukkan bahwa terjadi peningkatan jumlah pasien sirosis hepatis yang teridentifikasi mengalami gangguan kognitif berhubungan dengan ensefalopati hepatikum dibandingkan dengan asesmen medik menggunakan West Haven Criteria. Dengan menggunakan tes verbal ANT, pasien sirosis yang terlibat dalam penerapan EBN teridentifikasi mengalami gangguan kognitif sebanyak 12 orang, jauh lebih banyak bila dibandingkan dengan asesmen klinis menggunakan West Haven Criteria dimana pasien yang teridentifikasi mengalami gangguan akibat ensefalopati hepatikum sebanyak 4 orang.
Hal ini sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh Bager (2017) mengenai disfungsi otak metabolik yang terjadi pada pasien sirosis yang diakibatkan oleh ensefalopati hepatikum memiliki gejala yang sangat bervariasi dan tingkat keparahan yang dapat berfluktuasi secara cepat sehingga membutuhkan penilaian secara hati-hati. Manifestasi klinis OHE
cenderung mudah terlihat dalam asesmen klinis, hal yang berbeda dengan ensefalopati hepatikum subklinis yang membutuhkan tes neuropsikologis khusus terkait gejalanya yang asimtomatis (Ferenci, 2017; Tapper et al., 2018).
Sensitivitas ANT yang telah diteliti oleh Campagna et al (2017) terbukti cukup baik dalam mengidentifikasi ensefalopati laten (CHE). Sesuai dengan hasil yang diperoleh penulis saat menerapkan ANT untuk mengidentifikasi pasien sirosis yang dirawat di satu ruang perawatan penyakit dalam di satu rumah sakit pusat rujukan nasional. ANT sebagai tes untuk kelancaran semantik yang berisikan daftar sebanyak mungkin nama binatang yang dapat dijawab oleh pasien dalam satu menit. Kemampuan tersebut menggambarkan fungsi kognitif yang dimiliki seseorang yakni organisasi yang efisien dalam pengambilan verbal dan ingatan, serta aspek kognitif lain yakni monitor diri dimana pasien terus melacak respon yang telah diberikan, upaya penuh untuk inisiasi diri, dan respon inhibisi. Fungsi eksekutif ini sering mengalami gangguan pada ensefalopati hepatikum sejak tahap awal terkait area prefrontal korteks/area anterior korteks.
WHC umumnya hanya dapat mengidentifikasi pasien sirosis yang secara klinis sudah menunjukkan gejala ensefalopati hepatikum yang memenuhi karakteristik WHC sehingga pasien sirosis yang belum / tidak menunjukkan gejala klinis menjadi sulit teridentifikasi. Padahal gangguan yang ditimbulkan oleh ensefalopati hepatikum merupakan suatu spektrum luas baik yang terlihat secara klinis (OHE) melainkan juga pasien yang mengalami gangguan kognitif yang tidak terlihat secara pemeriksaan fisik (asimtomatis/laten) yang berhubungan dengan CHE. Mengingat bahwa gejala ensefalopati hepatikum yang sangat bervariasi, tingkatan yang fluktuatif, dan perburukan yang dapat terjadi dengan cepat dan bahwa pasien sirosis dengan ensefalopati hepatikum bisa ditemui pada tiap sistem dan akses layanan kesehatan,
sehingga sangat penting bagi perawat untuk menyadari gejala gangguan fungsi otak yang berhubungan dengan ensefalopati hepatikum yang sering terjadi pada pasien dengan sirosis (Bager, 2017).
Pelaksanaan EBN penggunaan ANT untuk asesmen fungsi kognitif pada pasien sirosis dapat dilakukan dengan mudah dan cepat. Instruksi yang diberikan dapat dipahami pasien, pasien dapat merespon dengan tepat walaupun kecepatan dan jumlah yang disebutkan akan dipengaruhi oleh kemampuan individu. Petugas juga dapat sambil menghitung setiap pasien selesai menyebutkan sampai waktu berakhir. Berdasarkan pelaksanaan EBN penggunaan ANT untuk asesmen fungsi kognitif pada pasien sirosis yang dilakukan
SIMPULAN
Umumnya penyakit hati kronik tidak menunjukkan gejala, sampai tahap sirosis timbul gejala klinis yang menunjukkan dekompensasi. Ensefalopati hepatikum sebagai salah satu komplikasi dari sirosis hepatis dekompensata memiliki spektrum gejala mulai dari yang tidak terdeteksi secara klinis sampai dengan derajat terberat yakni koma. Ensefalopati
hepatikum laten dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien dan dapat
berkembang dengan cepat menjadi OHE dan memperburuk prognosis pasien
DAFTAR PUSTAKA
American Association for the Study of Liver
Diseases, & European Association for the Study of the Liver. (2014). Hepatic Encephalopathy in Chronic Liver Disease: 2014 Practice Guideline by the European Association for the Study of the Liver and the American Association for the Study of Liver Diseases. Journal of Hepatology, 61(3), 642– 659.
https://doi.org/10.1016/j.jhep.2014.05.042 Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Kementerian KesehatanRI. (2019). Laporan Nasional Riskesdas 2018 Nasional.
Bager, P. (2017). The assessment and care of patients with hepatic encephalopathy.
Bellafante, D., Gioia, S., Faccioli, J., Riggio, O., Ridola, L., & Nardelli, S. (2023). Old and New Precipitants in Hepatic Encephalopathy: A New Look at a Field in Continuous Evolution.
In Journal of Clinical Medicine (Vol. 12, Issue
di satu ruang rawat inap penyakit dalam satu rumah sakit pusat rujukan nasional, maka sesuai dengan penjelasan Campagna et al (2017) yang menjelaskan dalam penelitiannya bahwa ANT dapat diaplikasikan baik dirawat jalan maupun rawat inap. Perawat dapat menggunakannya untuk mengetahui apakah pasien sirosis yang dirawat mengalami gangguan kognitif yang berhubungan dengan ensefalopati hepatikum atau tidak sehingga dapat menggunakannya sebagai salah satu dasar penegakan diagnosa keperawatan terkait gangguan persepsi/kognisi dan dapat memberikan asuhan keperawatan yang dibutuhkan pasien.
sehingga perlu deteksi dini dan tatalaksana yang tepat.
ANT terbukti dapat digunakan dengan mudah sebagai salah satu asesmen dan skrining awal perawat untuk mendeteksi awal gangguan fungsi kognitif pasien dengan sirosis hepatis terutama ensefalopati hepatikum laten (CHE) yang tidak menunjukkan gejala secara klinis dan perawat dapat memberikan asuhan keperawatan tepat sesuai yang dibutuhkan pasien.
-
3) . MDPI.
https://doi.org/10.3390/jcm12031187
Bird, T. G., Ramachandran, P., & Thomson, E. (2015). Decompensated liver cirrhosis. Anaesthesia and Intensive Care Medicine, 16(4), 180–185.
https://doi.org/10.1016/j.mpaic.2015.01.012
Campagna, F., Sara, M., Ridola, L., Marco, S., Schiff, S., De Rui, M., Pasquale, C., Nardelli, S., Pentassuglio, I., Merkel, C., Angeli, P., Riggio, O., & Piero, A. (2017). The animal naming test: an easy tool for the assessment of hepatic encephalopathy. Hepatology, 1–32.
https://doi.org/10.1111/add.12713
Fagan, K. J., Zhao, E. Y., Horsfall, L. U., Ruffin, B. J., Kruger, M. S., McPhail, S. M., O’Rourke, P., Ballard, E., Irvine, K. M., & Powell, E. E. (2014). Burden of decompensated cirrhosis and ascites on hospital services in a tertiary care facility: Time for change? Internal
Medicine Journal, 44(9), 865–872.
https://doi.org/10.1111/imj.12491
Ferenci, P. (2017). Hepatic encephalopathy.
Gastroenterology Report, 5(2), 138–147.
https://doi.org/10.1093/gastro/gox013
Fitzpatrick, S., Domingo, H. D. A., & Finke, S. M. (2017). The Care of the Decompensated Cirrhotic Patient. Journal for Nurse Practitioners, 13(4), 256–263.
https://doi.org/10.1016/j.nurpra.2016.11.026
Gupta, D. V, Shah, K., Solanke, D., Ingle, M., & Sawant, P. (2016). Predictors of minimal hepatic encephalopathy in patients with cirrhosis and predictors of overt hepatic encephalopathy in patients with minimal hepatic encephalopathy. J Hepatol, 64(2),
S256–S257. https://doi.org/10.1016/S0168-
8278(16)00282-8
Harding, M. M., Kwong, J., Roberts, D., Hagler, D., & Reinisch, C. (2020). Lewis’s Medical Surgical Nursing: Assessment and
Management of Clinical Problems (Eleventh Edition). Elsevier.
Huang, D. Q., Terrault, N. A., Tacke, F., Gluud, L. L., Arrese, M., Bugianesi, E., & Loomba, R. (2023). Global epidemiology of cirrhosis — aetiology, trends and predictions. Nature Reviews Gastroenterology and Hepatology, 20(6), 388–398.
https://doi.org/10.1038/s41575-023-00759-2
Liu, Y. Bin, & Chen, M. K. (2022). Epidemiology of liver cirrhosis and associated complications: Current knowledge and future directions. In World Journal of Gastroenterology (Vol. 28, Issue 41, pp. 5910–5930). Baishideng Publishing Group Inc.
https://doi.org/10.3748/wjg.v28.i41.5910
Luo, M., Guo, J. Y., & Cao, W. K. (2015). Inflammation: A novel target of current therapies for hepatic encephalopathy in liver cirrhosis. In World Journal of
Gastroenterology (Vol. 21, Issue 41, pp. 11815–11824). WJG Press.
https://doi.org/10.3748/wjg.v21.i41.11815
Merli, M., Giusto, M., Lucidi, C., Giannelli, V., Pentassuglio, I., Di Gregorio, V., Lattanzi, B., & Riggio, O. (2013). Muscle depletion increases the risk of overt and minimal hepatic encephalopathy: Results of a prospective study. Metabolic Brain Disease, 28(2), 281– 284. https://doi.org/10.1007/s11011-012-
9365-z
Mina, A., Moran, S., Ortiz-Olvera, N., Mera, R., & Uribe, M. (2014). Prevalence of minimal hepatic encephalopathy and quality of life in patients with decompensated cirrhosis. Hepatology Research, 44(10), E92–E99.
https://doi.org/10.1111/hepr.12227
Miquel, M., Clèries, M., Vergara, M., & Vela, E. (2018). Economic burden of cirrhosis in Catalonia: A population-based analysis. BMJ Open, 8(3). https://doi.org/10.1136/bmjopen-
2017-018012
Nabi, E., & Bajaj, J. S. (2014). Useful tests for hepatic encephalopathy in clinical practice. Current Gastroenterology Reports, 16(1).
https://doi.org/10.1007/s11894-013-0362-0
Nardelli, S., Lattanzi, B., Merli, M., Farcomeni, A., Gioia, S., Ridola, L., & Riggio, O. (2019). Muscle Alterations Are Associated With Minimal and Overt Hepatic Encephalopathy in Patients With Liver Cirrhosis. Hepatology, 70(5), 1704–1713.
https://doi.org/10.1002/hep.30692
Pantham, G., Post, A., Venkat, D., Einstadter, D., & Mullen, K. D. (2017). A New Look at Precipitants of Overt Hepatic Encephalopathy in Cirrhosis. Digestive Diseases and Sciences, 62(8), 2166–2173.
https://doi.org/10.1007/s10620-017-4630-y
Saab, S., Suraweera, D., Au, J., Saab, E. G., Alper, T. S., & Tong, M. J. (2016). Probiotics are helpful in hepatic encephalopathy: a metaanalysis of randomized trials. Liver International, 36(7), 986–993.
https://doi.org/10.1111/liv.13005
Scaglione, S., Kliethermes, S., Cao, G., Shoham, D., Durazo, R., Luke, A., & Volk, M. L. (2014). The Epidemiology of Cirrhosis in the United States A Population-based Study.
Shaw, J., & Bajaj, J. S. (2017). Covert hepatic encephalopathy: Can my patient drive? In Journal of Clinical Gastroenterology (Vol. 51, Issue 2, pp. 118–126). Lippincott Williams and Wilkins.
https://doi.org/10.1097/MCG.0000000000000 764
Silaban, B. P., Lumongga, F., & Silitonga, H. (2020). KARAKTERISTIK PENDERITA SIROSIS HATI Characteristics of People with Liver Cirrhosis. In Jurnal Kedokteran Methodist (Vol. 13, Issue 2).
https://ejurnal.methodist.ac.id/index.php/jkm/ article/view/1322
Tapper, E. B., Parikh, N. D., Waljee, A. K., Volk, M., Carlozzi, N. E., & Lok, A. S. F. (2018). Diagnosis of Minimal Hepatic
Encephalopathy: A Systematic Review of Point-of-Care Diagnostic Tests. American Journal of Gastroenterology, 113(4), 529–
538. https://doi.org/10.1038/ajg.2018.6
Trebicka, J., Fernandez, J., Papp, M., Caraceni, P., Laleman, W., Gambino, C., Giovo, I., Uschner, F. E., Jimenez, C., Mookerjee, R., Gustot, T., Albillos, A., Bañares, R., Janicko, M., Steib, C., Reiberger, T., Acevedo, J., Gatti, P., Bernal, W., … Engelmann, C. (2020). The PREDICT study uncovers three clinical courses of acutely decompensated cirrhosis that have distinct pathophysiology. Journal of Hepatology, 73(4), 842–854.
https://doi.org/10.1016/j.jhep.2020.06.013
Tsochatzis, E. A., Bosch, J., & Burroughs, A. K.
(2014). Liver cirrhosis. The Lancet,
383(9930), 1749–1761.
https://doi.org/10.1016/S0140-6736(14)60121-5
Vilstrup, H., Amodio, P., Bajaj, J., Cordoba, J., Ferenci, P., Mullen, K. D., Weissenborn, K., & Wong, P. (2014). Hepatic encephalopathy in chronic liver disease: 2014 Practice Guideline
by the American Association for the Study Of Liver Diseases and the European Association for the Study of the Liver. Hepatology, 60(2), 715–735. https://doi.org/10.1002/hep.27210
World Health Organization. (2016). Global Health Observatory Data Repository.
https://apps.who.int/gho/data/view.main.5342 0
Volume 12, Nomor 1, Februari 2024
34
Discussion and feedback