BIODEGRADASI CONGO RED MENGGUNAKAN BIOFILM YANG DITUMBUHKAN DENGAN INOKULUM SUSPENSI AKTIF PADA PERMUKAAN BATU VULKANIK
on
Cakra Kimia (Indonesian E-Journal of Applied Chemistry)
Volume 7 Nomor 1, Mei 2019
BIODEGRADASI CONGO RED MENGGUNAKAN BIOFILM YANG DITUMBUHKAN DENGAN INOKULUM SUSPENSI AKTIF PADA PERMUKAAN BATU VULKANIK
I Wayan Januariawan1, I Wayan Budiarsa Suyasa1.2, dan I Wayan Gede Gunawan1.2
1) Magister Kimia Terapan, FMIPA, Universitas Udayana, Denpasar-Bali, Indonesia 2)Jurusan Kimia FMIPA Universitas Udayana, Jimbaran, Badung-Bali, Indonesia yandiars@gmail.com
ABSTRAK: Congo red merupakan salah satu zat warna reaktif yang banyak digunakan dalam industri tekstil. Limbah zat warna tersebut dapat menjadi sumber pencemaran lingkungan karena memiliki sifat toksik, karsinogen, dan mutagen. Pengolahan limbah congo red dapat dilakukan dengan penggunaan biofilm. Tujuan penelitian ini untuk menentukan pengaruh sumber tanah terhadap pertumbuhan biomassa mikroba, pengaruh komposisi media pertumbuhan terhadap pembentukan biofilm, dan tingkat efektivitas biofilm dalam menurunkan kadar congo red, COD dan BOD. Penelitian ini menggunakan biofilm yang ditumbuhkan dengan inokulum suspensi aktif pada permukaan batu vulkanik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sumber tanah dengan intensitas terpapar limbah pencelupan tekstil tertinggi memberikan pertumbuhan biomassa mikroba terbaik, komposisi media pertumbuhan dengan nutrien tertinggi memberikan pertumbuhan biomassa mikroba terbaik pada pembentukan biofilm, dan biofilm dapat menurunkan kadar congo red, COD dan BOD dengan efektivitas berturut-turut sebesar 92,46%; 81,28%; dan 83,33% selama 4 hari pengolahan. Dengan demikian, biofilm yang ditumbuhkan dengan inokulum suspensi aktif mampu mendegradasi zat warna congo red dan mampu menurunkan kadar COD dan BOD.
Kata Kunci: Batu vulkanik, biodegradasi, biofilm, congo red, suspensi aktif.
ABSTRACT: Congo red is one of the reactive dyes widely used in the textile industry. The waste of the dye can be as a source of environmental pollution due to its toxicity, carcinogenic and mutagenic properties. Waste treatment of congo red can be performed using biofilm. This study was aimed to determine the effect of soil sources on the growth of microbial biomass, the effect of growth media composition on biofilm formation, and the level of effectiveness of biofilms in reducing levels of congo red, COD and BOD. This study was used biofilms grown by active suspension inoculums on the surface of volcanic rocks. The results showed that soil sources with the highest intensity of exposure to textile dyeing provided the best growth of microbial biomass, the composition of the growth medium with the highest nutrient provides the best microbial biomass growth in biofilm formation, and biofilms could reduce the levels of congo red, COD and BOD with respectively effectiveness of 92.46%; 81.28%; and 83.33% four day of treatments. Thus, biofilms grown by active suspension inoculums were able to degrade congo red dyes and could reduce the levels of COD and BOD.
Keywords: Volcanic rock, biodegradation, biofilm, congo red, biofilm, active suspension.
Penggunaan zat warna dalam industri tekstil tidak dapat dipungkuri lagi. Hal tersebut ditujukan untuk meningkatkan daya tarik dan nilai komersial dari produk tekstil yang dihasilkan. Zat warna yang banyak digunakan dalam industri tekstil adalah zat warna golongan azo yang salah satunya adalah zat warna congo red. Zat warna congo red banyak digunakan untuk pewarnaan kain katun, wool, sutra, rayon, dan nilon [1]. Akan tetapi, apabila limbah zat warna congo red tersebut dibuang ke lingkungan khususnya perairan tanpa mendapatkan penanganan yang sesuai akan mengakibatkan terjadinya pencemaran lingkungan. Zat warna congo red memiliki sifat toksik, karsinogen dan mutagen [2] sehingga dapat menyebabkan kerusakan ekosistem perairan dan mengancam kelestarian serta keselamatan makhluk hidup. Oleh karena itu, pengolahan limbah zat warna ini sangat penting dilakukan.
Pengolahan limbah zat warna dengan proses kimia dan fisika juga telah banyak dikembangkan diantaranya reaksi fotokatalitik, proses adsorpsi dan koagulasi cukup efektif dalam menghilangkan warna. Namun, pengolahan dengan cara tersebut memiliki kelemahan yaitu membutuhkan biaya yang relatif tinggi dan pemakaian bahan-bahan kimia yang banyak sehingga belum bisa sepenuhnya diaplikasikan pada skala lapangan khususnya pada industri kecil dan menengah. Selain itu, pengolahan dengan koagulan umumnya menghasilkan limbah lain berupa lumpur (sludge) yang membutuhkan proses pengolahan lebih lanjut terhadap limbah tersebut.
Sebagai alternatif, pengolahan limbah zat warna tekstil dapat dilakukan dengan memanfaatkan mikroorganisme. Beberapa mikroorganisme yang telah dilaporkan dapat mendegradasi zat warna tekstil di antaranya Serratia nematodiphila, Morganella morganii, Lysinibacillus sp. dan Bacillus sp. yang mampu mendegradasi zat warna golongan azo [3], Enterobacter sp. yang mampu mendegradasi zat warna
crystal violet [4], dan Klebsiella mampu mendegradasi zat warna brilliant green [5]. Proses perombakan limbah tekstil jenis azo menggunakan mikroorganisme pada dasarnya melibatkan reaksi reduksi-oksidasi (redoks) dengan bantuan katalis enzim [6]. Mikroorganisme pendegradasi zat warna tekstil umumnya memiliki kemampuan dalam mensekresikan enzim-enzim seperti azoreductase, laccase, dan peroxidase yang merupakan enzim-enzim yang dapat merombak struktur kimia pewarna tekstil melalui mekanisme tertentu sehingga menghasilkan molekul-molekul yang lebih sederhana dan tidak berwarna [7].
Teknik pengolahan limbah dengan mikrooganisme saat ini telah banyak dikembangkan dengan sistem pertumbuhan mikroorganisme terlekat (attached growth) atau yang dikenal dengan biofilm. Biofilm merupakan lapisan mikroorganisme yang melekat pada permukaan media padatan. Media padatan yang baik digunakan dalam proses pembentukan biofilm adalah media berpori salah satunya pecahan batu vulkanik. Pemanfaatan biofilm dalam proses biodegradasi limbah dinilai menguntungkan karena pengoperasiannya mudah, tahan akan perubahan kondisi lingkungan, lebih efisien terhadap penggunaan nutrisi, biaya operasional relatif murah atau ekonomis dan dapat digunakan secara berkelanjutan [8]. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengolahan limbah zat warna menggunakan biofilm dapat menurunkan kadar zat warna dan parameter pencemar seperti COD, BOD, TDS, TSS dengan efektivitas mecapai 68% - 97% [9-11].
Sejauh ini, penelitian mengenai pengolahan limbah tekstil khususnya yang mengandung congo red menggunakan biofilm yang ditumbuhkan dengan inokulum suspensi aktif mikroba lokal belum pernah dilakukan. Oleh karena itu, dalam penelitian ini dilakukan pengembangan pengolahan zat warna
congo red menggunakan biofilm yang ditumbuhkan dengan inokulum suspensi aktif mikroba lokal hasil pembibitan dari tanah tercemar limbah pencelupan tekstil dengan media penopang batu vulkanik. Penelitian ini berfokus untuk menentukan pengaruh sumber tanah terhadap pertumbuhan biomassa mikroba, pengaruh komposisi media pertumbuhan terhadap pembentukan biofilm serta mengetahui efektivitas biofilm dalam menurunkan kadar congo red, COD dan BOD.
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain sampel tanah, dan batu vulkanik, congo red, glukosa, K2HPO4, KH2PO4, (NH4)2[Fe(SO4)2].6H2O, MgSO4.7H2O, FeSO4.7H2O, yeast ekstrak, dan aquades.
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah bak biofilm, aerator, keran, cawan penguap, tanur (furnace) termos es, pH meter, peralatan gelas, timbangan analitik, desikator, oven, autoclave, dan Spektrofotometer UV-Vis.
Media cair dibuat dengan menimbang sebanyak 2,0 gram glukosa (KH); 0,1 gram K2HPO4; 0,1 gram KH2PO4; 0,1 gram (NH4)2(Fe(SO4)2).6H2O; 0,02 gram MgSO4.7H2O; 0,02 gram FeSO4.7H2O; 0,02 gram ekstrak yeast; dan 2 mg congo red, kemudian dilarutkan dengan aquades hingga volumenya mencapai 2 L. Media disterilisasi selama 15 menit dengan suhu 121oC dengan menggunakan autoclave, setelah itu didiamkan pada suhu 37oC selama 5 menit, selanjutnya media disimpan dalam lemari pendingin sampai saat diperlukan[12].
Sampling Tanah
Sampling tanah dilakukan di tiga lokasi yang berbeda yakni Jl. Pulau Batanta Gg IIIA No 16 (S1), Jl. Pulau Batanta VII No 6 (S2), dan Jl. Pulau Batanta Gg VIIA No 12 (S3) di wilayah Desa Pamogan, Denpasar Selatan dengan metode grab. Tanah diambil dengan kedalaman ±10 cm dari permukaan tanah sebanyak ± 100 gram. Sumber I (S1) merupakan sumber tanah yang terpapar limbah hasil pencelupan tekstil dengan intensitas sedang, sumber II (S2) merupakan sumber tanah yang terpapar limbah hasil pencelupan tekstil dengan intensitas tinggi, dan sumber III (S3) merupakan sumber tanah yang terpapar limbah hasil pencelupan tekstil dengan intensitas rendah.
Pembibitan (Seeding) Suspensi Aktif
Pembibitan suspensi aktif dilakukan dengan mengambil 5 gram tanah lumpur sumber I, II dan III kemudian masing-masing dimasukkan ke dalam gelas beker 500 mL yang berisi media cair sebanyak 250 mL. Masing – masing bak pembibitan diaerasi dengan menggunakan aerator yang diberi selang kemudian diletakkan pada dasar gelas beker. Tingkat pertumbuhan mikroba diamati melalui pengukuran nilai MLVSS (Mixed Liquid Volatile Suspended Solid). Pengamatan juga dilakukan dengan mengukur pH dan suhu selama pertumbuhan isolat bakteri.
Penyiapan Biofilm
Disiapkan batu vulkanik yang telah disterilisasi dan memiliki diameter ± 1 cm dan tiga buah bak dari bak persegi panjang yang masing-masing mempunyai dimensi panjang x lebar x tinggi adalah 30 cm x 13 cm x 11 cm. Sebanyak 800 gr batu vulkanik yang telah disterilisasi disusun dan disebar merata pada bak pengolahan. Masing-masing bak ditambahkan 1 L media pertumbuan dan 20 mL inokulum suspensi aktif dari sumber terbaik dengan ketentuan bak I: 30% media cair dan 70% limbah congo red; bak II: 40% media cair dan 60% limbah congo red; dan bak III: 60% media
cair dan 40% limbah congo red. Masing-masing bak didiamkan selama 10 hari. Pengamatan terhadap pertumbuhan biomassa dilakukan dengan analisis Mixed Liquor Volatile Suspended Solid (MLVSS) yang diikuti dengan pengamatan pH. Biofilm yang terbentuk diidentifikasi jenis mikroorganisme dan jumlah koloninya di UPT. Laboratorium Kesehatan Provinsi Bali. Pengamatan visual permukaan batu vulkanik sebelum dan setelah diamobilisasi (dilekatkan) dengan bakteri dilakukan dengan Scanning Electron Microscope (SEM).
Pengolahan Limbah Artifisial Congo Red dengan Biofilm
Sebanyak 1 L limbah zat warna artifisial congo red 25 ppm diolah menggunakan sistem batch dengan membiarkan limbah terendam dalam bak pengolahan biofilm pada variasi waktu tinggal limbah 0, 1, 2, 3, dan 4 hari. Pada masing-masing waktu pendiaman tersebut, limbah hasil pengolahan diuji kadar congo red, COD, dan BOD.
Penentuan Efektivitas Biofilm dalam Menurunkan Kadar Congo Red, COD dan BOD
Efektivitas pengolahan dengan biofilm yang ditumbuhkan dengan inokulum suspensi aktif pada permukaan batu vulkanik dihitung berdasarkan efektivitas proses yang terjadi, yakni persentase penurunan kadar congo red, COD, dan BOD5 pada saat proses pengolahan. Persentase penurunan kadar limbah congo red, COD, dan BOD masing-masing ditentukan berdasarkan persamaan berikut:
Ca - Ct
% Efektivitas= x 100%
Ca
Keterangan:
Ca = kadar congo red; COD; dan BOD awal (mg/L)
Ct = kadar congo red; COD; dan BOD (mg/L) (pada waktu tertentu)
Analisis Data
Analisis data dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif yaitu mendeskripsikan hasil pengolahan limbah artifisial congo red dengan biofilm dan menghitung kadar pencemar yang mampu didegradasi menggunakan biofilm yang ditumbuhkan dengan inokulum suspensi aktif pada permukaan batu vulkanik. Data yang diperoleh dibuat dalam bentuk grafis menggunakan program Microsoft Excel. Analisis statistik berupa analisis kovarian dan Least Significant Differences (LSD) menggunakan aplikasi SPPS 16.0.
Pertumbuhan biomassa selama proses pembibitan (seeding) suspensi aktif mikroba diamati melalui pengukuran nilai MLVSS (Mixed Liquid Volatile Suspended Solid) selama 5 hari dengan rentang waktu 1 hari. Nilai MLVS (Mixed Liquid Volatile Suspended Solid) menunjukkan jumlah biomassa atau material organik tersuspensi yang menguap pada suhu ±600ºC. Hasil pengamatan nilai MLVSS selama proses pembibitan (seeding) suspensi aktif dari tiga lokasi yang ditentukan disajikan pada Gambar 1.
2500,00
2000,00 z∙* * <
⅛ 1500,00 ^.∙∙∙*∙-J
i 1000,00 τ∙⅛,"Z½—
s 500,00 ∙~
0,00
0 1 2 3 4 5 6
Waktu (Hari)
-
••••♦••S1 — < — S2 ^B ^B I^ ^B « S3
Keterangan:
S1 = Tanah yang berasal dari Jl. Batanta Gg IIIA No 16
S2 = Tanah yang berasal dari Jl. Batanta Gg VII No 6
S3 = Tanah yang berasal dari Jl. Batanta Gg IIIA No 12
Gambar 1. Pertumbuhan biomassa pada pembibitan suspensi aktif mikroba pada masing-masing sumber tanah.
Berdasarkan Gambar 1 dapat dilihat bahwa terjadi perubahan nilai MLVSS (Mixed Liquid Volatile Suspended Solid) pada masing-masing sumber tanah selama proses pembibitan. Selama proses pembibitan suspensi aktif, sumber tanah S2 dan S3 mengalami peningkatan nilai MLVSS dari hari pertama sampai hari ketiga, sedangkan sumber tanah S1 mengalami peningkatan nilai MLVSS dari hari pertama sampai hari keempat. Peningkatan nilai MLVSS tersebut menunjukkan adanya peningkatan biomassa yang disebabkan karena aktivitas mikroorganisme. Semakin tinggi aktivitas mikroba dalam menguraikan material organik maka semakin tinggi pula biomassa yang dihasilkan [13]. Disamping itu, peningkatan biomassa menunjukkan bahwa mikroba berada pada fase pertumbuhan eksponensial. Pada fase eksponensial, mikroba membelah dengan cepat dan sel banyak menghasilkan metabolit yang dibutuhkan dalam pertumbuhannya [14]. Nilai MLVSS maksimum yang dicapai pada pertumbuhan mikroba S1, S2 dan S3 berturut-turut sebesar 1540,00 mg/L, 1986,67 mg/L dan 1033,33 mg/L. Nilai MLVSS maksimum ini menunjukkan bahwa mikroba berada pada pertumbuhan optimumnya. Penurunan nilai MLVSS di hari keempat dan kelima untuk S2 dan S3 serta penurunan di hari kelima untuk S1 pada proses pembibitan suspensi aktif mikroba memperlihatkan bahwa pertumbuhan mikroba mencapai fase kematian (death phase). Pada fase kematian, pertumbuhan sel mulai terhenti dan energi cadangan (ATP) telah habis digunakan oleh mikroba untuk respirasinya [15].
Pertumbuhan biomassa mikroba selama pembibitan suspensi aktif antara S1, S2 dan S3 yang berbeda disebabkan karena adanya perbedaan keberagaman mikroba, kemampuan mikroba untuk beradaptasi dengan media selektif dan juga kemampuan dalam bereplikasi dan membentuk konsorsium. Mikroba S2 mampu beradaptasi dengan cepat dalam media
selektif dibandingkan dengan S1 dan S3 disebabkan karena kondisi lingkungan tempat pengambilan sampel tanah S2 memiliki karakteristik yang sama dengan kondisi dalam media selektif yang mengandung bahan organik tinggi. Hal tersebut menciptakan suasana yang sesuai bagi mikroorganisme untuk menggunakan bahan organik berupa sumber karbon tersebut dalam proses metabolismenya. Sampel tanah yang bersumber dari lokasi dengan tingkat pencemaran organik tinggi mampu menghasilkan pertumbuhan biomassa yang optimal [16].
Selain pengamatan pertumbuhan biomassa, juga dilakukan pengamatan parameter pendukung yakni pH dan suhu. Dari hasil pengamatan diperoleh bahwa pH rata-rata pada pertumbuhan mikroba selama proses pembibitan dari S1, S2, dan S3 memiliki rentangan berturut-turut sebesar 7,13 - 7,83; 7,60 - 8,00; dan 7,20 - 7,77 dan suhu mengalami perubahan yang relatif kecil. Nilai pH meningkat sampai dengan pertumbuhan optimum mikroba dan setelahnya mengalami penurunan. Terjadinya kenaikan pH disebabkan karena reaksi biologis yaitu proses penguraian yang dilakukan oleh mikroba terhadap senyawa congo red yang terdapat dalam nutrien yang diberikan. Aktivitas oksidasi dan penguraian senyawa dalam nutrien menghasilkan produk organik sederhana gas CO2, H2O, energi dan NH3 [17]. Amonia (NH3) merupakan senyawa polar yang bersifat basa dari hasil degradasi kandungan bahan organik termasuk congo red yang mudah larut dalam air. Nilai pH dari hari ketiga sampai hari kelima menunjukkan penurunan. Hal tersebut disebabkan karena aktivitas mikroba yang eksoterm mengakibatkan penurunan kelarutan ammonia (NH3) dalam air sehingga nilai pH menjadi menurun.
Berdasarkan hasil analisis kovarian diperoleh bahwa sumber tanah berpengaruh signifikan terhadap nilai MLVSS, waktu pembibitan berpengaruh signifikan terhadap nilai MLVSS serta interaksi antara waktu dengan sumber tanah juga
berpengaruh signifikan. Analisis lanjutan Least Significant Differences menunjukkan bahwa sumber tanah II (S2) tidak berbeda signifikan dengan sumber tanah I (S1), tetapi berbeda signifikan dengan sumber tanah III (S3) terhadap nilai MLVSS.
Pada proses pembentukan biofilm yang ditumbuhkan dengan suspensi aktif dilakukan pengamatan nilai MLVSS (Mixed Liquid Volatile Suspensi Solid). Pengukuran MLVSS dalam pembentukan biofilm dilakukan untuk melihat adanya pertumbuhan biomassa mikroba yang terjadi selama proses pembentukan biofilm. Pertumbuhan biomassa ini merepresentasikan adanya perkembangan mikroba dalam bak pengolahan biofilm. Hasil pengamatan MLVSS (Mixed Liquid Volatile Suspended Solid) selama proses pembentukan biofilm disajikan pada Gambar 2.
K2 = 40 % media cair dan 60 % limbah artifisial congo red
K3 = 60 % media cair dan 40 % limbah artifisial congo red
Gambar 2. Pertumbuhan biomassa yang ditunjukkan oleh nilai MLVSS selama pembentukan biofilm pada masing-masing komposisi media pertumbuhan.
Berdasarkan Gambar 5.3 dapat diamati bahwa pada proses pembentukan biofilm terjadi peningkatan nilai MLVSS dari hari pertama sampai hari ketiga. Peningkatan nilai MLVSS ini menandakan terjadinya peningkatan biomassa yang disebabkan karena peningkatan aktivitas mikroba.
Mikroba mencapai pertumbuhan biomassa optimum pada hari ketiga yang ditunjukkan dengan nilai MLVSS maksimum masing-masing komposisi media pertumbuhan I, II dan III berturut-turut adalah 543,33 mg/L; 890,00 mg/L; dan 1636,67 mg/L.
Nilai MLVSS baik pada komposisi media pertumbuhan I, II dan III mengalami penurunan setelah hari ketiga. Penurunan ini mengindikasikan bahwa terjadi penurunan jumlah biomassa yang tersuspensi. Penurunan biomassa yang tersuspensi dalam proses pembentukan biofilm dapat disebabkan karena tertahannya padatan atau partikel tersuspensi di pori-pori media penopang, sehingga padatan atau partikel tidak mudah menerobos ke atas permukaan [18].
Ditinjau dari pertumbuhan biomassa yang diamati melalui parameter MLVSS, mikroba pada K3 tumbuh lebih pesat dibandingkan dengan mikroba pada K1 dan K2. Mikroba K1 dan K2 tidak dapat berkembang secara optimal terlihat dari nilai MLVSS yang tidak terlalu besar. Pertumbuhan biomassa pada K3 berlangsung optimal sejalan dengan proporsi media cair lebih banyak dari pada limbah artifisial congo red pada komposisi media pertumbuhan. Hal tersebut menunjukkan bahwa semakin banyak proporsi media cair terhadap limbah artifisial congo red maka semakin banyak nutrisi yang bisa dimanfaatkan secara langsung untuk pertumbuhannya maupun untuk proses perombakan limbah artifisial congo red itu sendiri. Ketersediaan nutrisi atau adanya cadangan makanan (sumber karbon) mampu meningkatkan pertumbuhan dan aktivitas mikroorganisme. Semakin banyak nutrisi, maka semakin tinggi pula biomassa yang dihasilkan [19].
Pertumbuhan mikroba tidak terlepas dari kondisi lingkungan tempat mikroba itu tumbuh yang salah satunya adalah kondisi pH. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa pH rata-rata pada pertumbuhan mikroba selama proses pembentukan biofilm dari komposisi media pertumbuhan I, II, dan III memiliki rentang berturut-turut sebesar
7,13 - 7,63; 7,17 - 7,63; dan 7,20 - 7,73. Nilai pH mengalami peningkatan dari hari pertama sampai ketiga dan hari berikutnya mengalami penurunan. Sama halnya pada proses pembibitan, peningkatan dan penurunan nilai pH ini berkaitan dengan aktivitas biologis mikroba baik dalam proses respirasi, oksidasi maupun aktivitas perombakan limbah artifisial congo red.
Bentuk visual biofilm konsorsium mikroba diamati menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). Hasil pengamatan visual biofilm dengan SEM ditunjukkan pada Gambar 3.
(a) (b)
Gambar 3. Pengamatan visual (a) batu vulkanik sebelum terbentuk biofilm; dan (b) batu vulkanik yang terda biofilm pada pembesaran 10.000x menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM).
Hasil uji SEM (Gambar 3) memperlihatkan dengan jelas bahwa telah adanya bakteri yang terikat pada permukaan media penopang batu vulkanik. Hasil identifikasi bakteri menunjukkan bahwa jenis bakteri pada biofilm yang terbentuk yakni Klebsiella sp. dan Bacillus sp. dengan jumlah total koloni bakteri sebesar 3,66 x 104 cfu/g. Bak biofilm menggunakan media penopang batu vulkanik sebesar 800 gram, sehingga dapat diperkirakan jumlah total koloni bakteri yang melekat pada batu vulkanik berkisar 2,928 x 107 cfu. Jumlah koloni tersebut sudah memadai untuk proses pengolahan limbah zat warna. Jumlah koloni bakteri yang dianggap memadai untuk digunakan dalam proses pengolahan limbah adalah sebesar 104 sampai 108 cfu/L limbah [20].
Berdasarkan hasil analisis kovarian diperoleh bahwa bahwa komposisi media pertumbuhan dan interaksi antara waktu dengan komposisi media pertumbuhan berpengaruh signifikan terhadap nilai MLVSS, sedangkan waktu pembentukan biofilm tidak berpengaruh signifikan terhadap nilai MLVSS. Analisis lanjutan Least Significant Differences menunjukkan bahwa komposisi media pertumbuhan III (K3) berbeda signifikan dengan komposisi media pertumbuhan I (K1) dan II (K2) terhadap nilai MLVSS.
-
3.3 Efektivitas biofilm dalam
menurunkan kadar congo red, COD dan BOD5
Pengukuran konsentrasi congo red dilakukan selama 4 hari dengan rentang waktu 1 hari. Data penurunan konsentrasi congo red disajikan pada Gambar 4.
Gambar 4. Penurunan kadar congo red selama 4 hari.
Berdasarkan Gambar 4 diperoleh bahwa terjadi penurunan yang signifikan (>50%) di hari pertama dari konsentrasi congo red 25,20 mg/L menjadi 8,60 mg/L dengan efektivitas sebesar 65,89%, sedangkan pada hari kedua sampai hari keempat terjadi penurunan konsentrasi congo red yang relatif lambat hingga konsentrasinya mencapai 1,89 mg/L dengan efektivitas sebesar 92,46% (>80%). Penurunan konsentrasi congo red yang cepat pada hari pertama menunjukkan bahwa biofilm telah mampu merombak zat
warna congo red menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana. Konsorsium mikroba (Klebsiella sp dan Bacillus sp) yang terbentuk dalam biofilm telah diketahui memiliki kemampuan dalam mendegradasi zat warna congo red melalui pemutusan ikatan azo (-N=N-) [21-22].
Penurunan konsentrasi congo red yang lambat pada hari kedua sampai keempat menunjukkan adanya penurunan aktivitas mikroba dalam merombak zat warna. Penurunan aktivitas ini mengindikasikan bahwa mikroba berada pada keadaan stasioner yang mana mikroba mulai kehabisan nutrisi dan akibat tidak adanya tambahan nutrisi lagi menyebabkan mikroba tidak dapat mengalami pertumbuhan sehingga aktivitas perombakan mengalami penurunan [23].
Perombakan zat warna oleh mikroba pada dasarnya merupakan reaksi redoks yang dikatalis dengan enzim. Congo red didegradasi dengan proses reduksi menggunakan bantuan enzim secara langsung (direct enzymatic reduction). Dalam proses metabolisme sel bakteri dihasilkan NADH (Nikotinamida adenine dinukleotida) yang berfungsi mentransfer elektron ke zat warna azo yang dikatalisis dengan azoreductase. NADH yang dihasilkan akan mengalami reaksi oksidasi menghasilkan NAD+, sedangkan zat warna azo mengalami reduksi menghasilkan senyawa amina aromatik yang diindikasikan melalui adanya perubahan dari berwarna menjadi tidak berwarna. Senyawa amina aromatik yang terbentuk kemudian mengalami proses oksidasi hingga membentuk senyawa CO2, H2O dan NH3 [24].
Selain menurunkan kadar congo red, pengolahan zat warna congo red dengan biofilm telah berhasil dalam menurunkan kadar COD dan BOD. Data penurunan COD dan BOD tersebut disajikan pada Gambar 5.
n COD □BOD5
Gambar 5. Penurunan kadar COD dan BOD selama 4 hari.
Berdasarkan Gambar 5 dapat dilihat bahwa terjadi penurunan kadar COD dan BOD dari hari pertama sampai dengan hari keempat dari konsentrasi COD sebesar 470,43 mg/L menjadi 88,06 mg/L dengan efektivitas mencapai 81,28% dan konsnetrasi BOD dari 188,16 mg/L menjadi 31,36 mg/L dengan efektivitas mencapai 83,33%. Penurunan pada nilai COD dan BOD tersebut dapat dikaitkan dengan aktivitas penguraian material organik oleh mikroba sebagai sumber makanan. Senyawa organik digunakan sebagai sumber nutrisi bagi bakteri heteretrof sehingga menjadi senyawa yang lebih sederhana.
Penguraian polutan organik (COD dan BOD) pada biofilm terjadi melalui proses difusi ke dalam lapisan biologis yang melekat pada permukaan media penopang batu vulkanik. Senyawa polutan organik akan berdifusi ke dalam bakteri melalui dinding sel untuk diuraikan lebih lanjut menjadi molekul-molekul sederhana yang bersamaan dengan disekresikannya beberapa makromolekul ke luar melewati dinding sel. Salah satu produk yang disekresikan oleh bakteri adalah enzim ekstraseluler yang berfungsi memecah molekul organik besar menjadi molekul kecil untuk dicerna. Bakteri menggunakan molekul yang kecil untuk mensintesis molekul baru (biomassa) dalam pertumbuhannya [25].
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa sumber tanah dengan intensitas terpapar limbah pencelupan tekstil tertinggi memberikan pertumbuhan biomassa mikroba terbaik, komposisi media pertumbuhan dengan nutrien tertinggi memberikan pertumbuhan biomassa mikroba terbaik pada pembentukan biofilm dan efektivitas biofilm yang diinokulasi dengan suspensi aktif mampu menurunkan kadar congo red, COD dan BOD berturut-turut sebesar 92,46%; 81,28%; dan 83,33% selama 4 hari pengolahan.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada Dr. Dra. Ni Wayan Bogoriani, M.Si., Dr. Drs. I Made Siaka, M.Sc. (Hons.) dan James Sibarani, S.Si., M.Si., Ph.D. yang telah memberikan masukan serta kritikan demi kesempurnaan dan kelancaran penelitian, penulisan tesis, hingga penyusunan jurnal ini.
-
[1] Rani, S. Effect of Dyes on Different Types of Fabrics. International Journal of Science and Research (IJR). 2016, 5(10):939-942.
-
[2] Asses, N., Ayed, L., Hkiri, N., dan Hamdi, M. Congo Red
Decolorization and Detoxification by Aspergillus niger: Removal
Mechanisms and Dye Degradation Pathway. BioMed Research
International. 2018, pp: 1-8.
-
[3] Quan, L., Huang, J., Qi, J. dan Zhu, Y. Isolation of Different Azo Dye Decolorizing Bacteria and Their Decolorization Mechanisms. Nature Environment and Pollution
Technology An International
Quarterty Scientific Journal. 2018,
17(3): 981-986.
-
[4] Roy, D. C., Biswas, S. K., Saha, A. K., Sikdar, B., Rahman, M., Roy, A. K., Prodhan, Z. H., dan Tang, Swee-Seong. Biodegradation of Crystal Violet Dye by Bacteria Isolated from Textule Industry Effuents. PeerJ. 2018, pp: 1-15.
-
[5] Zablocka-Godlewska, E., Przystas, W., dan Grabinska-Sota, E. Dye Decolourisation Using Two
Klebsiella Strains. Water Air Soil Pollut. 2015, 226 (1):2226.
-
[6] Yoo, E.S. Biological And Chemical Mechanisms of Reductive
Decolorization of Azo Dyes.
Dissertation, Technischen Universität Berlin, 2000.
-
[7] Sudha, M., Saranya, A., Selvakumar, G. dan Sivakumar, N. Microbial Degradation of Azo Dyes: A Review. International Journal of Current Microbiology and Applied Sciences. 2014, 3 (2): 670-690
-
[8] Sastrawidana, I D. K dan Sukarta, I N. Uji Coba Teknologi Biofilm Konsorsium Bakteri pada Reaktor Semianaerob-Aerob untuk
Pengolahan Air Limbah di Industri Pencelupan Tekstil Skala Rumah Tangga. Jurnal Sains dan Teknologi. 2013, 2 (1): 193-203
-
[9] Pratiwi, R., Notodarmojo, S., dan Helmy, Q. Decolourization of Remazol Black-5 Textile Dyes Using Moving Bed Bio-film Reactor. IOP Conf. Series: Earth and
Environmental Science 106 (2018)
012089. IOP Publishing. 2018, pp:1-
-
6.
-
[10] Francis, A. dan Sosamony, K. J. Treatment of Pre-Treated Textile Wastewater Using Moving Bed BioFilm Reactor. Procedia Technology, 2016, 24: 248-255.
-
[11] Sastrawidana, I D. K., Lay, B. W., Fauzi, A. M., dan Santosa, D. A. Pengolahan Limbah Tekstil Sistem Kombinasi Anaerobik-Aerobik
Menggunakan Biofilm Bakteri
Konsorsium dari Lumpur Limbah
Tekstil. Ecotrophic. 2008, 3(2): 7480.
-
[12] Ginting, P, 2007. Sistem Pengelolaan Lingkungan dan Limbah Industri. Bandung: CV. Yrama Widya
-
[13] Kriswidatari, L. P., Suyasa, I. W. B., dan Siaka, I. M. Biodegradasi Remazol Brilliant Blue dalam Sistem Biofiltrasi Vertikal dengan Inokulum Bakteri dari Sedimen Sungai Mati Imam Bonjol. Ecotrophici. 2017,
11(1): 8-14.
-
[14] Irdawati, I., Putri, I. S., Syamsuardi, Agustien A., dan Rilda, Y. The Thermophilic Bacterial Growth Curve. Bioscience. 2018, 2 (2): 58-64.
-
[15] Brock,T. D. dan Madigan, M.T. Biology of Microorganisms (6th ed). Prentice- Hall International, Inc. 1991.
-
[16] Widyasari, F. H., Suyasa, I W. B., dan Simpen, I N. Biodegradasi Zat Warna Remazol Black B Secara Aerobik-Anaerobik dalam Sistem
Biofiltrasi Vertikal dengan
Menggunakan Tanaman Talas (Calocasia esculenta). Ecotrophic.
2017, 11(1): 40-46.
-
[17] Agustina, A., Suprihatin, I E., Sibarani, J. Pengaruh Biofilm Terhadap Efektivitas Penurunan BOD, COD, TSS, Minyak dan Lemak dari Limbah Pengolahan Ikan Menggunakan Trickling Filter. Cakra Kimia. 2016, 4 (2): 137-149.
-
[18] Astuti, S. W. dan Sinaga, M. S. Pengolahan Limbah Laundry Menggunakan Metode Biosand Filter Untuk Mendegradasi Fosfat. Jurnal
Teknik Kimia USU. 2015, 4(2): 5358.
-
[19] Oktafiani, M. dan Hermana, J. Pengaruh Konsentrasi Nutrien dan Konsentrasi Bakteri pada Produksi Alga dalam Sistem Bioreaktor Proses Batch. Jurnal Teknik Pomits. 2013, 2(2): 57-62.
-
[20] Cutright, T. J. Biotechnology: Principles and Advances in Waste Control. Departement of Civil Engineering: University of Akron, 2001.
-
[21] Abo-state, M. A. M., Saleh, Y. E., dan Hazaa, H. A. Decolorization of Congo Red Dye by Bacterial Isolates. Journal of Ecology of Health & Environment. 2017, 5(2):41-48
-
[22] Raj, D. S., Prabha, R. J., dan Leena, R. Analysis of Bacterial Degradation of Azo Dye Congo Red Using HPLC. Jr. of Industrial Pollution Control. 2012, 28(1): 57-62.
-
[23] Mau, Y. P., Suyasa, I W. B., dan Suprihatin, I. E. Biodegradasi Zat Warna Naphtol Blue Black Menggunakan Biosistem Horizontal. Jurnal Kimia. 2018, 12(2):201-206
-
[24] Manurung, R., Hasibuan, R., Irvan. Perombakan Zat Warna Azo Reaktif Secara Anaerob – Aerob. e-USU Repositoty Universitas Sumatera Utara, 2004.
-
[25] Davies, P. S. The biological basis of wastewater treatment. Glasgow, UK: Strathkelvin Instruments Ltd. 2005.
45
Discussion and feedback