Buletin Veteriner Udayana                                                   Volume 15 No. 6: 1130-1137

pISSN: 2085-2495; eISSN: 2477-2712                                                Desember 2023

Online pada: http://ojs.unud.ac.id/index.php/buletinvet        https://doi.org/10.24843/bulvet.2023.v15.i06.p12

Terakreditasi Nasional Sinta 4, berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal

Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi No. 158/E/KPT/2021

Jumlah Fungi pada Retikulum, Omasum dan Abomasum Sapi Bali Berdasarkan Letak Geografis

(NUMBER OF FUNGI IN RETICULUM, OMASUM AND ABOMASUM BALI CATTLE BASED ON GEOGRAPHICAL LOCATION)

Ardhita Nurma Gupita1*, I Gusti Ketut Suarjana2, Ketut Tono Pasek Gelgel3

  • 1Mahasiswa Sarjana Pendidikan Dokter Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Udayana, Denpasar-Bali, Jl. PB. Sudirman, Denpasar, Bali, Indonesia;

  • 2Laboratorium Mikrobiologi Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Udayana, Jl. PB. Sudirman, Denpasar, Bali, Indonesia.

*Corresponding author email: [email protected]

Abstrak

Sapi bali merupakan salah satu plasma nutfah Indonesia jenis ternak besar sebagai sumber protein hewani, sapi bali sangat terkenal akan keunggulan dan keberadaannya harus dilestarikan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui jumlah fungi pada retikulum, omasum dan abomasum berdasarkan letak geografisnya serta untuk mengetahui perbedaan jumlah fungi pada retikulum, omasum dan abomasum sapi bali pada dataran rendah dan tinggi. Materi penelitian yang digunakan sebanyak 32 sampel dari masing masing isi retikulum, omasum dan abomasum yang diambil dari rumah pemotongan hewan (RPH) Pesanggaran, Denpasar. Variabel yang diteliti pada penelitian ini adalah jumlah mikrobia fungi yang terdapat pada retikulum, omasum dan abomasum pada sapi bali. Data yang diperoleh ditampilkan secara deskriptif, dengan menggunakan rancangan penelitian kualitatif observasional dengan design penelitian crossectional study. Rerata jumlah fungi pada retikulum, omasum dan abomasum sapi bali di dataran tinggi dan rendah secara berturut turut 90,63x105±53,475CFU/g dan 51,88x105±13,276 CFU/g ; 70,63x105±32,755 CFU/g dan 40,63x105±8,539 CFU/g ; 36,88x105±4,787 CFU/g dan 21,88x105±4,031 CFU/g. Hasil analisis uji independent t test menunjukkan jumlah fungi pada retikulum, omasum dan abomasum sapi bali di dataran tinggi lebih banyak secara nyata (P<0,05) dibandingkan sapi bali yang dipelihara di dataran rendah. Penelitian ini memerlukan penelitian lebih lanjut mengenai isolasi dan karakteristik fungi pada retikulum, omasum dan abomasum sapi bali di lokasi dataran yang berbeda untuk menguatkan hasil penelitian baik secara teoris maupun praktis.

Kata kunci: abomasum; fungi; omasum; retikulum; sapi bali

Abstract

Bali cattle are one of Indonesia's germplasm of large livestock species as a source of animal protein, Bali cattle are very well known for their superiority and their existence must be preserved. The purpose of this study was to determine the number of fungi in the reticulum, omasum and abomasum of Bali cattle based on their geographical location and to determine differences in the number of fungi in the reticulum, omasum and abomasum of Bali cattle in the lowlands and highlands. The research materials used were 32 samples from each of the contents of the reticulum, omasum and abomasum taken from the Pesanggaran slaughterhouse (RPH), Denpasar. The variables studied in this study were the number of fungal microbes found in the reticulum, omasum and abomasum of Bali cattle. The data obtained is displayed descriptively, using a qualitative observational research design with a cross-sectional study design. The mean number of fungi in the reticulum, omasum and abomasum of Bali cattle in the highlands and lowlands were respectively 90,63x105±53,475CFU/g and 51,88x105±13,276 CFU/g ; 70,63x105±32,755 CFU/g and 40,63x105±8,539 CFU/g ;  36,88x105±4,787 CFU/g and

21,88x105±4,031 CFU/g. The results of the independent t test analysis showed that the number of fungi in the reticulum, omasum and abomasum of Bali cattle in the highlands was significantly higher

Buletin Veteriner Udayana

pISSN: 2085-2495; eISSN: 2477-2712

Online pada: http://ojs.unud.ac.id/index.php/buletinvet

Volume 15 No. 6: 1130-1137

Desember 2023

https://doi.org/10.24843/bulvet.2023.v15.i06.p12

(P<0.05) compared to bali cattle reared in the lowlands. This research requires further research regarding the isolation and characteristics of the fungi in the reticulum, omasum and abomasum of Bali cattle in different plains locations to strengthen the research results both theoretically and practically.

Keyword: abomasum; balicattle; fungi; omasum; reticulum

PENDAHULUAN

Sapi adalah salah satu jenis ternak besar sebagai sumber protein hewani yang dibutuhkan oleh tubuh manusia. Sapi bali merupakan salah satu plasma nutfah Indonesia yang sangat terkenal akan keunggulan dan keberadaannya harus dilestarikan. Kebutuhan daging sapi di Indonesia terus meningkat setiap tahunnya, sepanjang 2021 kebutuhan daging sapi diperkirakan mencapai hampir namun produksi daging sapi dalam negeri hanya sebanyak 400.000 ton sapi per tahun. (Masitoh, 2021). Tingginya kebutuhan daging sapi di Indonesia disebabkan oleh konsumsi yang semakin meningkat, hal ini selaras dengan peningkatan jumlah pertumbuhan penduduk, peningkatan pendapatan per kapita serta meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya konsumsi protein hewani. Permintaan daging setiap tahunnya semakin meningkat termasuk permintaan daging sapi, namun dari segi produksi belum dapat sepenuhnya memenuhi permintaan tersebut sehingga pemenuhannya dilakukan dengan mengimpor, baik dalam bentuk sapi hidup maupun daging. (Lamid, 2016). Pemenuhan daging sapi di Indonesia mengalami kesulitan hal ini disebabkan oleh rendahnya produktivitas/performans ternak. Rendahnya produktivitas usaha pembibitan sapi diyakini sebagai kendala utamanya (Purwoko, 2015) hal ini dapat disebabkan oleh pemberian pakan ternak dengan kualitas rendah. Untuk meningkatkan produksi ternak khususnya sapi bali maka perlu dilakukan pengembangan bioteknologi pengolahan pakan ternak sebagai sebuah teknologi pendukung untuk usaha ternak. Sebagai ternak ruminansia, sapi bali memiliki alat pencernaan yang sangat kompleks dibandingkan dengan ternak non ruminansia. Hal ini dikarenakan sapi bali

memiliki anatomi saluran pencernaan yang kompleks terdiri atas empat kompartemen lambung (rumen, retikulum, omasum dan abomasum) begitu juga ternak ruminansia lainnya.

Mikroorganisme atau mikroba ini memiliki peran yang penting bagi ternak karena dapat memfermentasikan nutrisi tanaman secara efisien sebagai sumber energi, baik pakan yang berkualitas rendah sekalipun. Beberapa mikroba penting yang berfungsi dalam proses fermentatif ini diantaranya bakteri, protozoa, archaea, dan fungi (Sari, 2017). Fungi merupakan organisme yang bersifat heterotrof. Berdasarkan fungsinya dalam pencernaan ruminansia, fungi bekerja memisahkan serat kasar pada tanaman, hal ini akan mempermudah mikroba lain untuk mencerna. Fungi memiliki pengaruh besar terhadap aktivitas fibrolitik pada rumen. Berkurangnya populasi fungi dapat menyebabkan penurunan degradasi serat pakan, akibatnya pakan akan mengalami penurunan proses fermentatif, terutama ketika pakan memilki kualitas yang kurang baik. Kemampuan fungi inilah yang dapat memperbaiki hasil fermentasi pada lambung yang selanjutnya akan dicerna dalam usus untuk diabsorpsi sebagai energi pada tubuh sapi bali (Mould et al., 2005). Kemampuan fungi dalam mendegradasi polisakarida pada dinding sel tanaman lebih baik bila dibandingkan dengan protozoa dan bakteri (Nagpal et al., 2010). Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi populasi mikroba dalam lambung ruminansia antara lain, suhu, derajat keasaaman (pH), dan kondisi lingkungan geografisnya (Mould et al., 2005). Berkenaan dengan letak pemeliharaan sapi bali dengan kondisi geografis yang berbeda tentu berkaitan dengan kandungan bahan pakan sapi bali di lingkungan tersebut.

Perbedaan kandungan bahan pakan di dataran rendah dan dataran tinggi akan mempengaruhi jumlah fungi pada lambung ruminansia. Kajian mengenai jumlah fungi yang ada pada retikulum, omasum dan abomasum sapi bali belum pernah dilaporkan, maka dari itu penulis terinpirasi untuk meneliti jumlah fungi dengan judul penelitian “Jumlah Fungi pada Retikulum, Omasum dan Abomasum Sapi Bali Berdasarkan Letak Geografis”.

METODE PENELTIAN

Objek Penelitian

Objek penelitian yang diteliti pada penelitian ini adalah isi retikulum, omasum dan abomasum sapi bali sehat yang diambil secara steril di Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Pesanggaran, Denpasar. Banyaknya sampel yang diambil pada penelitian ini berjumlah 32 sampel dari setiap organ. Penentuan jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian dihitung dengan berdasarkan rumus Federer (1963):

(t-1)(n-1)≥15

t = Jumlah perlakuan

n = Jumlah ulangan

15= Derajat bebas

Penelitian ini menggunakan 2 perlakuan sehingga diperoleh perhitungan:

(2-1) (n-1) ≥ 15

1n-1 ≥ 15

1n≥ 15 +1

1n ≥ 16, n ≥ 16

Dengan     perhitungan     tersebut

didapatkan bahwa masing masing perlakuan menggunakan 16 ekor sapi, total keseluruhan sapi yang digunakan dalam penelitian berjumlah 32 ekor. Sampel yang diambil adalah isi retikulum, omasum dan abomasum sapi bali.

Bahan Penelitian

Bahan bahan yang digunakan pada penelitian ini seperti Aquades steril, tissue, kapas, air pepton 0,01%, kertas label, alkohol 70%, dry ice, sabun cair dan media kultur fungi Saboraoud Dextrouse Agar (SDA) dengan merk dagang MERCK.

Alat Penelitian

Alat alat yang dipakai pada penelitian ini meliputi wadah tabung sampel, spuit 5 ml, botol plastik tertutup, sendok logam, pinset, sarung tangan latex, tabung reaksi, rak tabung reaksi, cawan petri, gelas ukur, mortar, aluminium foil, timbangan digital, mikropipet 1000 ml, tip mikropipet, batang bengkok, serbet/kain lap, preparat glass, operation scissors, erlenmeyer tube , stirring hot plate, magnetic stirrer, autoclave, laminar flow dan coldbox.

Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakan 32 ekor sapi sehat yang dibagi sebanyak 16 ekor dataran rendah dan 16 ekor dataran tinggi. Untuk membedakan asal sapi terlebih dahulu dilakukan observasi sebelum dilakukan pemotongan. Sampel dari tiap sapi diambil 3 sampel isi retikulum, omasum dan abomasum, kemudian sampel diinokulasikan pada media tumbuh Saboraud Dextrouse Agar   (SDA),

pengamatan dan penghitungan jumlah koloni fungi dilakukan secara makroskopis. Rancangan   penelitian   ini bersifat

observasional dengan   menggunakan

Crossectional Study.

Pengambilan Sampel

Proses pengambilan sampel diawali dengan mengambil isi retikulum, omasum dan abomasum sapi bali menggunakan sendok kemudian dimasukkan kedalam wadah sampel yang sudah disterilkan dengan alkohol sebelumnya. Selanjutnya sampel dimasukkan ke dalam coolbox yang sudah diisi dengan dry ice.

Prosedur Penelitian

Pembuatan media SDA

Pada pembuatan media SDA, pertama siapkan aquades sebanyak 200 ml serta bubuk media SDA seberat 13 gram, untuk perbandingan antara bubuk media dan aquades sudah disesuaikan dengan aturan pembuatan media. Selanjutnya media dituang kedalam tabung Erlenmeyer dan dihomogenkan menggunakan hot plate dan magnetic stirrer. Setelah media sudah

homogen, diamkan sekitar 1 sampai 3 menit kemudian disterilkan ke dalam autoclave selama kurang lebih satu jam dengan suhu 120 derajat celcius. Kemudian, media yang sudah steril didiamkan kembali hingga media terasa tidak terlalu panas dan bisa langsung dituangkan ke dalam cawan petri steril dengan volume 20 ml. Diamkan media dalam laminar flow, tunggu media hingga memadat setelah itu sampel dapat disebar.

Pengenceran sampel

Pengenceran sampel diawali dengan mengambil isi organ pencernaan yaitu retikulum, omasum dan abomasum menggunakan pipet steril kemudian timbang sampel sebanyak 0,5 gram dan dihomogenkan dengan air pepton 0,01% sebanyak 4,5 ml di dalam mortar, maka dihasilkanlah pengenceran 10-1. Selanjutnya dilakukan tingkat pengenceran hingga 10-5 dengan menggunakan cara pengenceran yang sama.

Penanaman dan pengamatan fungi pada media SDA

Sampel dengan konsentrasi 10-3 dan 104 diambil sebanyak 0,1 ml lalu diinokulasikan secara merata diatas media SDA menggunakan batang bengkok dengan metode sebar. Penanaman sampel dilakukan secara duplo. Media yang sudah ditanam ditaruh dalam wadah kotak yang tertutup rapat kemudian diinkubasikan di suhu ruang 26 sampai 30 celcius selama 3 sampai 5 hari, kemudian pengamatan dan penghitungan jumlah koloni jamur dilakukan pada hari ke 5.

Metode yang digunakan dalam penghitungan jumlah fungi dalam penelitian ini adalah metode Fardiaz (1992), untuk mendapatkan jumlah koloni per gram sampel dengan rumus sebagai berikut:

Analisis Data

Data yang diperoleh pada penelitian ini selanjutnya maka analisis statistik yang

digunakan adalah uji Independent sample T Test dengan batas kemaknaan P = 0,05 menggunakan SPSS. Jumlah total fungi yang tumbuh di media SDA akan disajikan secara deskriptif kuantitatif. Hasil data fungi ditabulasikan dalam bentuk rata rata (mean) + standar deviasi (SD).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Berdasarkan tabel 1. Hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan rerata jumlah fungi pada retikulum, omasum dan abomasum sapi bali di dataran tinggi dan rendah secara berturut turut 90,63x105±53,475CFU/g dan 51,88x105±13,276 CFU/g ; 70,63x105±32,755CFU/g dan 40,63x105±8,539 CFU/g ; 36,88x105±4,787 CFU/g dan 21,88x105±4,031 CFU/g. Perbedaan rerata jumlah fungi pada retikulum, omasum dan abomasum sapi bali di dataran rendah lebih rendah dibanding dengan sapi bali di dataran tinggi. Data hasil kemudian diolah dengan uji independent t-test, jika data hasil (P<0,05) maka terdapat perbedaan yang nyata. Dapat dilihat nilai Signifikansi (2-arah) pada retikulum, omasum dan abomasum sapi bali di dataran tinggi secara berturut-turut sebesar 0,009<0,05 ; 0,001<0,05 ; 0,000<0,05, sedangkan pada retikulum, omasum dan abomasum sapi bali di dataran rendah secara berturut-turut sebesar 0,012<0,05 ; 0,002<0,05 ; 0,000<0,05, hasil analisis menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (P<0,05) antara jumlah fungi retikulum, omasum dan abomasum sapi bali di dataran rendah dan dataran tinggi.

Pembahasan

Berdasarkan hasil pada tabel 1., menunjukkan perbedaan yang nyata rerata jumlah fungi retikulum, omasum dan abomasum antara sapi bali di dataran rendah dan dataran tinggi. Penyebab rendahnya populasi fungi pada pencernaan sapi bali di dataran rendah dibanding dataran tinggi disebabkan oleh beberapa

faktor salah satunya pertumbuhan ternak yang dipengaruhi secara langsung oleh lingkungan habitatnya. Faktor yang mempengaruhi adalah ketinggian tempat pemeliharaan (letak geografis) yang berkaitan dengan kondisi pakan. Menurut Xiao et al., (2010) ketinggian tempat pemeliharaan berpengaruh baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap pertumbuhan. Kondisi agroekosistem (curah hujan, karakteristik lahan, suhu dan kelembaban) dari ketinggian tempat pemeliharaan berpengaruh secara tidak langsung terhadap ketersediaan hijauan pakan ternak baik dari segi kualitas maupun maupun kuantitas (Noor, 1999). Sapi bali yang dipotong di RPH Pesanggaran datang dari berbagai kabupaten yang berbeda, pola pemeliharaan dan pemberian jenis pakan yang diberikan akan sesuai dengan letak geografis dari tiap kabupaten. Secara geografis Denpasar dan Badung merupakan dataran rendah dan memiliki suhu yang tinggi berkisar 250c hingga 320c.

Peningkatan suhu lingkungan bisa menyebabkan peningkatan pertambahan panas melebihi panas yang dilepas dari tubuh dan bisa menyebabkan cekaman panas pada ternak. Cekaman panas secara konsisten menyebabkan penurunan konsumsi pakan dan peningkatan konsumsi air. Di samping itu, cekaman panas juga berdampak pada fisiologi ternak baik melalui pengaruh langsungnya maupun pengaruh tidak langsung sebagai akibat penurunan konsumsi pakan (Sutedjo, 2016). Selama tahun 2009 tingkat curah hujan Kabupaten Gianyar tercatat mencapai 3.546,0 mm, sedangkan Kabupaten Badung tercatat memiliki curah hujan berkisar 1.700 sampai 1.850,00 mm. Tingkat curah hujan yang tinggi memiliki kualitas tanah yang cenderung subur dan secara langsung mempengaruhi kesuburan tumbuhan.

Ternak ruminansia membutuhkan sejumlah tumbuhan serat kasar dalam pakannya agar proses pencernaanya berlangsung secara optimal. Sumber utama serat kasar adalah hijauan, oleh karena itu hijauan dan sejenisnya terutama rumput

dari berbagai spesies merupakan sumber energi utama ternak ruminansia. Tumbuhan dengan serat kasar yang tinggi akan mempengaruhi populasi mikroba dalam rumen, mikroba yang membantu mencerna serta kasar ini yaitu fungi. Populasi fungi cenderung akan meningkat bila diberikan serat kasar yang tinggi (Marlissa et al, 2020). Fungi memiliki pengaruh besar terhadap aktivitas fibrolitik pada rumen. Berkurangnya populasi fungi dapat menyebabkan penurunan degradasi serat pakan, akibatnya pakan akan mengalami penurunan proses fermentatif, terutama ketika pakan memilki kualitas yang kurang baik. Fungi mempunyai peranan penting dalam mencerna serat kasar, sehingga dapat meningkatkan konsumsi pakan (Van Soest, 1994). Ketika kebutuhan akan fungi pada pencernaan terpenuhi sesuai jumlah pakan yang di cerna maka konsumsi pakan dapat maksimal karena pakan dapat dicerna dengan baik oleh tubuh. Konsumsi hijauan di wilayah dataran rendah cenderung lebih sedikit dibanding wilayah dataran tinggi. Rata-rata ternak daerah dataran rendah mengkonsumsi konsentrat dan hijauan jerami padi sebesar 3.4 kg per ekor per hari dan 4.8 kg per ekor per hari. Sedangkan rata-rata ternak wilayah dataran tinggi mengkonsumsi konsentrat dan hijauan rumput gajah sebesar 2.6 kg per ekor hari dan 9.4 kg per ekor hari (Heraini et al, 2016).

Berdasarkan hasil penelitian Purbowati et al, (2014), jumlah populasi fungi pada cairan rumen sapi jawa berkisar 9,3.104 CFU/gram dan populasi fungi pada sapi PO (Peranakan Ongole) berkisar 1,9.103 CFU/gram lebih rendah bila dibandingkan dengan sapi jawa. Kedua jenis sapi ini mempunyai latar belakang pemeliharaan yang relatif sedikit berbeda yakni pemeliharaan secara tradisional dengan pakan berupa rumput lapangan, jerami padi, jerami jagung, dan tanpa adanya pemberian konsentrat. Tingginya populasi fungi pada sapi jawa dibandingkan dengan sapi PO dikarenakan ternak diberi pakan ransum basal dengan kandungan serat kasar yang

tinggi dan secara langsung melibatkan banyaknya fungi untuk mencerna pakan tersebut (Marlissa et al, 2020). Berdasarkan pemaparan diatas, jumlah mikrobia fungi pada retikulum dan omasum sapi bali dengan letak geografis yang berbeda dapat berpengaruh terhadap tingkat kecernaan pakan dalam pencernaan sapi bali.

Kemudian hasil jumlah fungi pada tiap organ yang menunjukkan hasil yang berbeda antara sapi bali di dataran rendah dan dataran tinggi hal ini disebabkan oleh aktivitas fisiologis tiap organ itu sendiri yang semakin kebelakang suasana pH dalam lambung ruminansia cenderung semakin asam. Susilawati (2016) menyebutkan bahwa, jika abomasum dibuka terdapat lipatan-lipatan yang menghasilkan getah lambung berisi lendir (mucus), asam lambung (HCl), dan enzim pepsinogen, nilai pH pada abomasum cenderung asam dengan rata–rata pH 4,3. Sedangkan fungi memiliki pertumbuhan optimal di suasana lingkungan pH yang cenderung netral seperti pada retikulum dan omasum, inilah yang menyebabkan jumlah fungi pada retikulum dan omasum lebih banyak dibandingkan jumlah fungi di abomasum, hal ini sejalan dengan hasil penelitian dimana jumlah fungi pada abomasum lebih rendah dibanding dengan organ lainnya.

Tingkat kecernaan tentu berkaitan dengan konsumsi pakan ternak yang secara tidak langsung akan mempengaruhi performa tubuh sapi bali. Pribadi (2014), menyatakan bahwa adanya pengaruh lingkungan terhadap performa produksi sapi bali pada ketinggian tempat yang berbeda. Penelitian Ariati (2022) menyebutkan, rataan bobot badan sapi bali jantan pra sapih lebih rendah di dataran rendah (47.56 ± 2.07 kg) dibandingkan dengan di dataran tinggi (52.69 ± 3.17 kg). Hasil analisis menunjukkan berbeda nyata (P<0,05) antara bobot badan sapi bali jantan pra sapih di dataran rendah dengan di dataran tinggi. Sapi bali di dataran tinggi memiliki bobot badan 10,13% lebih tinggi dari pada sapi di dataran rendah, hal ini

disebabkan karena adanya perbedaan lingkungan antara lain suhu udara dan kelembaban udara. Nuriyasa et al, (2016) menyatakan bahwa, kondisi iklim mikro yang nyaman (comfort zone) menyebabkan sapi di daerah dataran tinggi mampu melakukan proses homeostatis dengan baik sehingga temperatur rektal lebih rendah daripada di daerah dataran sedang dan rendah. Berdasarkan pernyataan Sutedjo (2016) sejumlah perubahan-perubahan fisiologis terjadi dalam sistem pencernaan, kimia asam basa dan hormon dalam plasma darah selama cuaca panas. Sebagian perubahan tersebut merupakan tanggapan terhadap penurunan asupan nutrisi, tetapi kebanyakan perubahan terjadi sebagai akibat kesulitan yang dialami ternak untuk mempertahankan suhu tubuhnya. West (2003) melaporkan bahwa selama cekaman panas ternak sapi menunjukkan penurunan konsumsi pakan, penurunan aktivitas, mencari naungan dan angin, peningkatan respirasi, peningkatan aliran darah tepi dan berkeringat, tanggapan-tanggapan ini berpengaruh negatif baik pada produksi maupun pada status fisiologis sapi sehingga pertumbuhan menurun dan menyebabkan kehilangan bobot badan, pendapat ini sejalan dengan Kadarsih (2004) yang menyatakan bahwa berat badan sapi bali yang dipelihara pada daerah pegunungan dan perbukitan lebih tinggi dibandingkan dengan sapi bali yang dipelihara pada dataran rendah.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Hasil analisis uji independent t test menunjukkan jumlah fungi pada retikulum, omasum dan abomasum sapi bali dataran tinggi lebih banyak secara nyata dibandingkan sapi bali yang dipelihara di dataran rendah.

Saran

Penelitian ini memerlukan penelitian lebih lanjut mengenai isolasi dan karakteristik fungi pada retikulum, omasum dan abomasum sapi bali di lokasi dataran

yang berbeda untuk menguatkan hasil penelitian baik secara teoris maupun praktis.

UCAPAN TERIMAKASIH

Penulis mengucapkan terimakasih kepada Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana, Laboratorium Bakteriologi dan Mikologi Universitas Udayana dan Rumah Pemotongan Hewan Pesanggaran Kabupaten Denpasar yang telah membantu dan memfasilitasi penelitian ini .Bakteriologi dan Mikologi Universitas Udayana dan Rumah Pemotongan    Hewan    Pesanggaran

Kabupaten Denpasar yang telah membantu dan memfasilitasi penelitian ini .

DAFTAR PUSTAKA

Ariati. 2022. Performa Produksi Sapi Bali Jantan Pra Sapih Pada Ketinggian Yang Berbeda Di Kabupaten Lombok Timur. Skripsi. Mataram.

Fardiaz S. 1992. Mikrobiologi Pangan I.

Jakarta. Gramedia Pustaka Utama

Heraini D, Purwanto BP, Suryahadi. 2016.

Perbandingan Suhu Lingkungan dan Produktivitas Ternak Sapi Perah Melalui Pendekatan Stochastic Frontier (Study Kasus di Peternakan Rakyat KUTT Suka Makmur). Bogor. J. Sains Terapan Edisi VI Vol-6 (1) : 16 – 24 Kadarsih S. 2004. Performans Sapi Bali

Berdasarkan Ketinggian Tempat di

Daerah Transmigrasi Bengkulu:

Performans Pertumbuhan. J. Ilmu-Ilmu Pertanian Indon. 6(1): 50- 56

Lamid M. 2016. Peran Bioteknologi Pakan Ternak Terhadap Pertambahan Berat Badan Sapi Sebagai Upaya Pemenuhan Konsumsi Daging Nasional: Surabaya.

Marlissa FCM, Suarjana IGK, Besung INK.

2020. Jumlah Fungi Pada Cairan Rumen Sapi Bali. Denpasar. Indonesia Mediscus Veterinus 9(3): 383-391

Masitoh S. 2021. Kebutuhan Daging Sapi

Nasional. Jakarta. Kontan.Co.Id https://nasional.kontan.co.id/news/keb utuhan-daging-sapi-tahun-ini-700000-

ton-produksi-dalam-negri-hanya-separuhnya. Artikel ini diakses pada tanggal 28 Desember 2022 pukul 12.10 WITA

Mould FL, Kliem KE, Morgan R, Mauricio RM. 2005. In Vitro Microbial Inoculum: A Review of Its Dunction and Properties. Anim. Feed Sci. Technol. 123-124: 31 50.

Nagpal R, Puniya AK, Sehgal JP, Singh K. 2010. Influence of Bacteria and Protozoa from The Rumen of Buffalo on In-Vitro Activities of Anaerobic Fungus Caecomyces Sp.Isolated from The Feces of Elephant. J. Yeast Fungal. Res. 1 (8): 152-156.

Noor RR. 1999. Peran gen kelenturan fenotip dalam mengontrol interaksi antara faktor genotipe dengan lingkungan. Pelatihan Aplikasi Pemuliaan Mendukung Pelepasan Varietas Ikan Unggul.Bogor.

Nuriyasa IM, Dewi GAMK, Budiari NLG. 2016. Indeks Kelembaban Suhu dan Respon Fisiologi Sapi Bali yang Dipelihara   Secara   Feedlot pada

Ketinggian  Berbeda. Maj. Ilmiah

Pet.18(1): 5 – 10.

Pribadi LW. 2014. Respon Pertumbuhan Sapi Bali dan Silangannya dengan Sapi Simental     terhadap     Perbedaan

Lingkungan Termal di Pulau Lombok. J. Bionomika. 11(3): 34-41.

Purbowati EE, Rianto WS, Dilaga CMS, Lestari R, Adiwinarti. 2014. Karakteristikcairan rumen, jenis, dan jumlahmikrobiadalam rumen sapiJawa dan Peranakan Ongole. Bul. Pet. 38 (1): 21 – 26.

Purwoko. 2015. Peran Kebijakan Fiskal Dalam                 Peningkatan

Produktvitas Pembibitan

Sapi Nasional. J. Kajian Ekonomi dan Keuangan. 19(2): 97-121.

Sari NF. 2017. Mengenal Keragaman Mikroba Rumen pada Perut Sapi Secara Molekuler. Bio Trends. 8(1): 5-9.

Susilawati. 2016. Fisiologi Nutrisi Abomasum Sapi Bali Jantan. Skripsi. Mataram

Sutedjo H. 2016. Dampak Fisiologis dari Cekaman Panas pada Ternak. J. Nukleus Pet. 3(1): 93-105.

Van Soest PJ. 1994. Nutritional Ecology of the Ruminant. Second Edition. Cornell University Press. London.

West JW. 2003. Effects of heat-stress on production in dairy cattle. J. Dairy Sci. 86: 2131–2144.

Xiao R, Horton STJ, Heitman JL, Ren T. 2010. Cumulative soil water evaporation as a function of depth and time. Vadose Zone J. 10(3): 1016-1022.

Tabel 1. Hasil perhitungan jumlah fungi pada isi retikulum, omasum dan abomasum sapi bali

Organ        Dataran

Fungi (x105 CFU/g)

Rataan± SD            Sig (2-arah)

Retikulum    Tinggi

Rendah

90,63±53,475              0,009

51,88±13,276

Omasum     Tinggi

Rendah

70,63±32,755              0,001

40,63±8,539

Abomasum   Tinggi

Rendah

36,88±4,787               0,000

21,88±4,031

1137