Buletin Veteriner Udayana                                                   Volume 15 No. 6: 1211-1217

pISSN: 2085-2495; eISSN: 2477-2712                                                Desember 2023

Online pada: http://ojs.unud.ac.id/index.php/bulvet           https://doi.org/10.24843/bulvet.2023.v15.i06.p20

Terakreditasi Nasional Sinta 4, berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi No. 158/E/KPT/2021

Angka Lempeng Total Bakteri pada Retikulum Omasum dan Abomasum Sapi Bali Berdasarkan Letak Geografis

(TOTAL BACTERIAL PLATE NUMBERS IN RETICULUM OMASUM AND ABOMASUM AT BALI CATTLE BASED ON GEOGRAPHICAL LOCATION)

Siti Putrindah Mentari1*, I Ketut Suarjana2, Ketut Tono Pasek Gelgel2

  • 1Mahasiswa Sarjana Kedokteran Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Udayana, Jl. PB. Sudirman, Denpasar, Bali, Indonesia;

  • 2Laboratorium Bakteriologi Dan Mikologi Veteriner, Fakultas Kedoteran Hewan, Universitas Udayana, Jl. PB. Sudirman, Denpasar, Bali, Indonesia;

*Corresponding author email: [email protected]

Abstrak

Sapi bali merupakan salah satu plasma nutfah asli Indonesia sebagai penghasil daging kualitas terbaik dibandingkan sapi lokal lain sehingga penting untuk terus ditingkatkan produksinya. Salah satu usaha dalam peningkatan produksi sapi bali yaitu dengan mengetahui jumlah bakteri sebagai indikator yang berpengaruh pada proses pencernaan pakan pada geografis yang berbeda. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui ALTB pada retikulum, omasum, dan abomasum pada sapi bali berdasarkan letak geografis serta untuk mengetahui perbedaan ALTB pada retikulum, omasum, dan abomasum sapi bali pada dataran rendah dan dataran tinggi. Pengambilan sampel berupa isi retikulum, omasum, dan abomasum sapi bali dilakukan di rumah pemotongan hewan. Penelitian ini menggunakan sampel sebanyak 32 sampel. Metode yang digunakan adalah penanaman bakteri pada media Nutrient Agar (NA) dengan metode tuang. Data yang diperoleh ditabulasikan dalam bentuk Rata-rata (Mean) ± Standar Deviasi (SD). Kemudian di analisis dengan uji Independent Sampel T untuk menentukan nilai signifikan. Hasil penelitian menunjukan jumlah ALTB pada retikulum, omasum, dan abomasum sapi bali yang dipelihara di dataran rendah yaitu berturut-turut sebanyak 238x105±37,1 CFU/g, 205x105±56,8 CFU/g, 197x105±34,1 CFU/g, dan dataran tinggi yaitu berturut-turut sebanyak 248x105±43,1 CFU/g, 223x105±37,5 CFU/g, 211x105±28,2 CFU/g. Hasil lanjutan uji Independent Sampel T yaitu nilai ALTB pada masing-masing organ tidak ada perbedaan signifikan (P>0,05) pada dataran rendah dengan dataran tinggi. Kesimpulan penelitian ini yaitu tidak ada perbedaan signifikan ALTB pada retikulum, omasum, dan abomasum sapi bali yang dipelihara di dataran tinggi dengan dataran rendah. Untuk selanjutnya perlu dilakukan penelitian tentang karakteristik bakteri pada retikulum, omasum, dan abomasum sapi bali.

Kata kunci: abomasum; ALTB; omasum; retikulum; sapi bali

Abstract

Bali cattle is one of Indonesia's original germplasm as a producer of the best quality meat compared to other local cattle, so it is important to continue to increase production. One of the efforts to increase the production of Bali cattle is to know the number of bacteria as an indicator that affects the digestive process of feed in different geographical areas. The purpose of this study was to determine the ALTB in the reticulum, omasum, and abomasum of Bali cattle based on geographical location and to determine differences in the ALTB in the reticulum, omasum, and abomasum of Bali cattle in the lowlands and highlands. Sampling in the form of contents of the reticulum, omasum, and abomasum of Bali cattle was carried out at the slaughterhouse. This study used a sample of 32 samples. The method used is the cultivation of bacteria on Nutrient Agar (NA) media with the pouring method. The data obtained are tabulated in the form of Average (Mean) ± Standard Deviation (SD). Then analyzed with the Independent Sample T-test to determine the significant value. The results showed that the amount of ALTB in the reticulum, omasum, and abomasum of Bali cattle reared in the lowlands were

238x105±37,1 CFU/g, 205x105±56,8 CFU/g, 197x105±34,1 CFU/g, respectively. and highlands, namely 248x105±43,1 CFU/g, 223x105±37,5 CFU/g, 211x105±28,2 CFU/g. The results of the Independent Sample T-test continued, namely the value of ALTB in each organ there was no significant difference (P> 0,05) in the lowlands and highlands. This study concluded that there was no significant difference in ALTB in the reticulum, omasum, and abomasum of Bali cattle reared in the highlands and the lowlands. Henceforth, it is necessary to research the characteristics of bacteria in the reticulum, omasum, and abomasum of Bali cattle.

Keywords: abomasum; ALTB; bali cattle; omasum; reticulum

PENDAHULUAN

Sapi bali merupakan plasma nutfah asli Indonesia yang berasal dari pulau Bali. Sapi bali memiliki banyak keunggulan, sehingga banyak dipelihara oleh peternak (Saputra et al., 2019). Indonesia belum dapat memenuhi tingkat konsumsi daging masyarakat yang semakin meningkat tiap tahunnya dikarenakan laju produksi daging sapi dalam negeri yang menurun. Total produksi daging sapi tahun 2020 sebesar 4,6 juta ton, turun 6,81 persen dari produksi tahun 2019 (Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian, 2021:iv). Besarnya daya konsumsi daging sapi di masyarakat disebabkan jumlah penduduk yang meningkat, serta perekonimian masyarakat semakin tinggi dan kesadaran untuk memenuhi kebutuhan nutrisi. Berdasarkan fakta berikut, maka perlu dilakukan usaha untuk meningkatkan produksi sapi bali melalui peningkatan teknologi dibidang peternakan.

Ternak yang memiliki postur bagus dan produksi daging yang banyak tentunya mempunyai sistem pencernaan yang baik. Pada ternak ruminansia seperti sapi memiliki empat kompartemen perut yang terdiri dari rumen, retikulum, omasum, dan abomasum yang memiliki fungsi yang berbeda-beda dalam proses pencernaan pakan. Bakteri mempunyai jenis dan populasi tinggi dalam pencernaan ruminansia dalam hal ini yaitu sapi. Bakteri yang normal pada saluran pencernan adalah Enterocbacteriaceae seperti Escherchia coli, Proteus, Nitrobacter, Citrobakter, Shigella (Hungate, 1966). Letak geografis, seperti dataran rendah dan dataran tinggi juga sangat berpengaruh terhadap

pertumbuhan dan jumlah mikrobia dalam saluran pencernaan. Perbedaan variasi pakan yang tumbuh pada ketinggian yang berbeda serta pengaruh suhu terhadap metabolisme sapi bali terhadap jumlah pakan yang di konsumsi secara tidak langsung mempengaruhi Angka Lempeng Total Bakteri (ALTB) serta produksi sapi bali.

Deteksi jumlah bakteri pada saluran pencernaan sapi merupakan hal yang penting karena menggambarkan tingkat kesehatan ternak, mampu memberikan gambaran lokasi peternakan yang sesuai. Berdasarkan pernyataan tersebut, maka perlu di lakukannya penelitian untuk mengetahui angka lempeng total bakteri pada retikulum, omasum, dan abomasum pada sapi bali berdasarkan letak geografis.

METODE PENELITIAN

Objek Penelitian

Penelitian ini menggunakan isi retikulum, omasum, dan abomasum sapi bali sebanyak 32 sampel setiap organ yang berasal dari dataran tinggi dan dataran rendah di Rumah Pemotongan Hewan Pesanggaran (RPH).

Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakan 32 ekor sapi sehat yang dibagi dalam 16 ekor sapi dari dataran rendah dan 16 ekor sapi dari dataran tinggi. Untuk membedakan asal sapi terlebih dahulu melakukan observasi sebelum dilakukan pemotongan. Sampel diambil dari masing-masing bagian retikulum, omasum, dan abomasum. Kemudian sampel diinokulasi pada media Nutrient Agar (NA), pengamatan dan perhitungan jumlah koloni bakteri dilakukan secara makroskopis. Penelitian

ini menggunakan rancangan penelitian observasional menggunakan cross sectional study.

Variabel Penelitian

Variabel dalam penelitian ini dapat dibagi menjadi variabel bebas, variable terikat dan variabel kontrol atau kendali. Pada penelitian ini, variabel bebas adalah isi retikulum, omasum, dan abomasum sapi bali dataran rendah dan dataran tinggi di RPH Pesanggaran, Denpasar. Variabel terikat adalah ALTB pada media tanam NA. Variabel control adalah cara pengambilan sampel, media tanam NA dan RPH Pesanggaran, Denpasar.

Pengambilan Sampel

Isi retikulum, omasum, dan abomasum diambil dengan menggunakan sendok secukupnya, kemudian dimasukkan dalam wadah sampel. Wadah yang sudah berisi sampel disimpan ke dalam coolbox yang berisi dry ice.

Prosedur Penelitian

Pengambilan sampel isi retikulum, omasum, dan abomasum diambil dengan menggunakan sendok secukupnya, kemudian timbang masing-masing isi retikulum, omasum, dan abomasum sebanyak 0,5gram dan dituangkan ke dalam mortar dengan ditambahkan larutan pengecer 10-1 hingga homogen. Selanjutnya dari larutan yang sudah dihomogen dalam mortar diambil 0,5 ml menggunakan pipet mikro, kemudian di homogenkan dalam tabung reaksi larutan pengencer 10-2 dan selanjutnya lakukan hal yang sama hingga tingkat pengencer terakhir. Sampel yang telah diencerkan pada pengenceran 10-5 diambil sebanyak 1 ml lalu tuangkan secara merata pada cawan petri yang kosong, kemudian menuangkan media NA yang masih cair sehingga media dengan sampel tercampur. Langkah selanjutnya adalah memutar cawan petri mengikuti pola angka delapan dan inkubasi pada dengan suhu 37°C selama 24 jam. Penanaman sampel dilakukan secara duplo. Setelah 24 jam lalukan penghitungan jumlah bakteri yang tumbuh pada media tersebut. Pada

penelitian ini perhitungan ALTB menggunakan metode Fardiaz (1992).

Analisis Data

Data yang diperoleh pada penelitian ini selanjutnya dianalisis menggunakan metode Independent Sample T-Tes dengan bantuan SPSS untuk melihat perbedaan signifikan dari dua variable yang dibandingkan. Jumlah bakteri yang tumbuh di media NA akan disajikan secara deskriptif kuantitatif. Hasil data ALTB ditabulasikan dalam bentuk rata rata (mean) + standar deviasi (SD).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Penelitian

Hasil penelitian angka lempeng total bakteri pada retikulum, omasum, dan abomasum sapi bali berdasarkan letak geografis terhadap 32 sampel sapi bali yaitu 16 sampel dari dataran rendah dan 16 sampel dari dataran tinggi yang selanjutnya, data jumlah bakteri diolah dengan uji Independent T Test untuk mencari perbedaan signifikan kedua variabel. Berikut hasil perhitungan ALTB yang telah disajikan pada tabel (Tabel 1).

Berdasarkan (Tabel 1) didapatkan rata-rata dan standar deviasi pada masing-masing dataran terhadap ALTB pada retikulum, omasum, dan abomasum sapi bali yaitu retikulum sapi bali di dataran rendah sebanyak 238x105±37,1 CFU/g, dengan dataran tinggi sebanyak 248x105±43,1 CFU/g, pada omasum sapi bali di dataran rendah sebanyak 205x105±56,8 CFU/g, dengan dataran tinggi sebanyak 223x105±37,5 CFU/g, dan pada abomasum sapi bali di dataran rendah sebanyak 197x105±34,1 CFU/g, dengan dataran tinggi sebanyak 211x105±28,2 CFU/g.

Berdasarkan statistik nilai signifikan (2-arah) untuk retikulum sapi bali pada dataran rendah yaitu 0,461 dan pada dataran tinggi yaitu 0,461, untuk omasum sapi bali pada dataran rendah yaitu 0,296 dan pada dataran tinggi yaitu 0,297, untuk abomasum sapi bali pada dataran rendah

yaitu 0,224 dan pada dataran tinggi yaitu 0,225 yang berarti nilai sig (P>0,05) sehingga tidak terdapat perbedaan signifikan antara jumlah ALTB pada retikulum, omasum, dan abomasum sapi bali pada dataran tinggi dengan dataran rendah.

Pembahasan Penelitian

Berdasarkan hasil penelitian pada (Tabel 1) secara statistik diketahui nilai sig (P>0,05) yang berarti nilai rata-rata jumlah ALTB berturut-turut pada retikulum, omasum, dan abomasum sapi bali di dataran rendah dengan dataran tinggi tidak terdapat perbedaan signifikan (nyata). Adapun hasil rata-rata dan standar deviasi di dataran rendah berturut-turut pada retikulum sebanyak 238x105±37,1 CFU/g, omasum 205x105±56,8 CFU/g, abomasum 197x105±34,1 CFU/g dan di dataran tinggi berturut-turut pada retikulum sebanyak 248x105±43,1     CFU/g,     omasum

223x105±37,5    CFU/g,    abomasum

211x105±28,2 CFU/g.

Menurut Habeeb et al. (1992), pengaruh ketinggian tempat yang terpenting adalah memberikan suhu lingkungan     yang     mendatangkan

kenyamanan bagi ternak untuk melancarkan fungsi dan proses fisiologis. Adapun suhu lingkungan yang nyaman (comfort zone) dimaksud yakni, pada suhu 10-27 °C untuk sapi-sapi tropis dan 4-20 °C untuk sapi-sapi sub tropis (Santosa, 1997) tergantung bangsa, ukuran tubuh, umur, dan nutrisi.  LeDividich et al.  (1994)

menyatakan,  pengaruh langsung suhu

lingkungan terlebih dahulu adalah terhadap penggunaan  energi dan pemanfaatan

asupan pakan barulah kemudian terhadap

performan produksi ternak; Preston dan Leng (1997) menyatakan, pada lingkungan dingin ternak akan meningkatkan konsumsi pakannya untuk mengantisipasi cekaman dengan mengubah energi yang dikonsumsi menjadi panas (termogenesis); sebaliknya pada lingkungan panas konsumsi pakan akan menurun guna menekan produksi panas hasil metabolisme energi. Kuantitas konsumsi pakan akan ikut mempengaruhi

aktivitas serta peningkatan bakteri di lambung sapi bali. Pada lingkungan panas (dataran rendah), sapi bali yang membawa gen sapi tropis seutuhnya dan diketahui memilki daya tahan panas yang tinggi, sangat mampu menyesuaikan diri dengan baik, namun dengan konsekuensi suhu tubuh, frekuensi respirasi dan pulsus, masing-masing akan mendekati atau cenderung berada pada batas atas angka normalnya. Salah satu keunggulan dari sapi bali ini memungkinkan sapi bali cepat beradaptasi sehingga dalam konsumsi pakan tetap stabil yang menyebabkan tidak terdapat perbedaan dalam jumlah ALTB pada retikulum, omasum, dan abomasum sapi bali antara dataran rendah dan dataran tinggi.

Sapi bali pada penelitian ini, berasal dari dataran rendah (Denpasar dan Tabanan) dengan kisaran ketinggian berada 0-500 mdpl dan dataran tinggi (Karangasem) dengan kisaran 0-1500 mdpl. Berdasarkan data monografi dataran rendah dengan curah hujan 2000-2500 mm per tahun dengan temperature max/min yaitu 28-30 °C dan pada dataran tinggi curah hujan 3200-3400 mm per tahun dengan temperature max/min yaitu 22-24 °C. Berdasarkan data hasil penelitian (Tabel 1) yaitu tidak terdapatnya berbedaan signifikan jumlah ALTB dapat dipengaruhi oleh sampel sapi bali yang di ambil di RPH yang spesifikasi ketinggian pemeliharaan serta temperatur kandang bisa dipastikan tidak berbeda signifikan.

Iklim tropik berpengaruh pada produktivitas ternak secara tidak langsung melalui pakan, pakan hijauan mengandung nutrien lebih baik pada daerah yang mempunyai curah hujan tinggi dibandingkan dengan yang kurang curah hujannnya. Daerah yang mempunyai curah hujan tinggi akan beraneka ragam jenis pakan dan berlimpah yang dapat di manfaatkan menjadi pakan ternak. Adapun jenis yang sering dijadikan pakan sapi yaitu rumput lapangan, rumput gajah, rumput raja, hijauan lamtoro, hijauan gamal, hijauan kaliandra, hijauan turi, limbah

pertanian; batang pisang, jerami padi, daun kacang-kacangan, daun ketela, kacang dan daun jagung. Imbangan hijauan dan konsentrat dalam ransum sangat menentukan substrat yang tersedia bagi mikroorganisme di dalam rumen. Intensitas matahari mempengaruhi variasi pakan, sehingga tidak terdapatnya perbedaan signifikan jumlah ALTB disebabkan variasi pakan yang tumbuh dan dikonsumsi pada dataran rendah dan dataran tinggi sama, hal ini dapat dipengaruhi ketinggian peternakan sapi bali pada penelitian ini kemungkinan tidak begitu berbeda signifikan sehingga intensitas matahari sama. Sesuai dengan penelitian Mantrawan et al. (2018) menyatakan tinggi rendahnya dataran tidak berpengaruh terhadap jumlah total bakteri dikarenakan pemeliharaan dan pakan yang diberikan relatif sama.

Salah satu indikator yang dapat mempengaruhi aktivitas bakteri pada pencernaan sapi bali yaitu pH cairan rumen. Menurut Hoover dan Miller (1992), pH cairan rumen yang baik untuk pertumbuhan, perkembangbiakan, dan aktivitas bakteri rumen terutama pencerna serat kasar adalah pada pH 5,5 - 7,3 dengan suhu 38° - 41 °C. Wales et al. (2004) melaporkan bahwa berubah-ubahnya pH cairan rumen dari 5,1 menjadi 6,0 selama empat jam/hari akan sangat mempengaruhi kehidupan bakteri di dalam rumen jika dibandingkan dengan keadaan pH 5,6 yang stabil. Tingkat keasaman yang optimum bagi kehidupan mikroorganisme adalah 6,8 – 7,8 (Simamora et al., 2006). Hasil penelitian Suarjana et al. (2021) pada pH rumen 6,8-7 kisaran jumlah ALTB sebanyak 11x104-171x104 CFU/g dan pada pH 6,9 sebanyak 64x104 CFU/g. Jika nilai pH rumen yang rendah, hal tersebut dihubungkan dengan penurunan degradasi serat, penurunan rasio asetat/propionat, dan penurunan CH4 (Dijkstra et al., 2012). Nilai pH rumen mempunyai peranan dalam mengatur beberapa proses dalam pencernaan sapi bali, baik mendukung

pertumbuhan mikroba rumen, maupun menghasilkan produk VFA dan NH3 (Uhi et al., 2006). Nilai pH rumen yang optimal menjadi salah satu indikator terjadinya degradasi pakan yang baik, karena pada pH tersebut mikroba penghasil enzim pencerna serat kasar dapat hidup secara optimum dalam rumen (Purbowati et al., 2014).

Cemaran juga merupakan salah satu yang dapat mempengaruhi jumlah bakteri pada pencernaan sapi bali. Bakteri dalam pencernaan dapat berasal dari bahan pakan maupun adanya kontak langsung dengan bahan lain yang mengandung bakteri. Galyean dan Tedeschi (2014) dan Jost et al. (2013) menyatakan bahwa ada hubungan antara pakan yang diberikan dengan total bakteri pada saluran cerna. Pemeliharaan ternak di TPA sampah yang sering ditemukan pada dataran rendah dengan memanfaatkan sampah sebagai pakan ternak sapi bali yang umumnya dimakan yaitu terdiri atas hijauan dan konsentrat. Semua pakan yang berasal dari TPA tersebut sudah pasti telah terkontaminasi bakteri dan ikut masuk bersama pakan, sehingga dapat mempengaruhi jumlah bakteri pada pencernaan sapi bali khususnya. Sehubungan dengan sapi yang dipakai dalam penelitian ini bukan merupakan sapi yang di gembalakan di TPA melainkan sapi bali yang dikandangkan demi menjaga kualitas sapi yang akan di potong di RPH sehingga tidak mempengaruhi jumlah ALTB.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan tidak ada perbedaan signifikan ALTB pada retikulum, omasum, dan abomasum sapi bali yang dipelihara di dataran tinggi dengan dataran rendah.

Saran

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang karakteristik bakteri pada retikulum, omasum, dan abomasum sapi bali.

UCAPAN TERIMAKASIH

Penulis mengucapkan terimakasih kepada Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana, Laboratorium Bakteriologi Dan Mikologi Veteriner Fakultas Kedoteran HewanUniversitas Udayana dan Rumah Pemotongan Hewan Pesanggaran Denpasar yang telah membantu dan menfasilitasi penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

Dijkstra TJL, Elis E, Kebreab AB, Strathe

S, Lopez J, France, Bannink A. 2012. Ruminal pH Regulation and Nutritional Consequences of Low pH. J. Anim. Feed Sci. Tech. 172: 22-23.

Direktorat Jenderal Peternakan dan

Kesehatan Hewan Kementerian

Pertanian. 2021. Statistik Peternakan dan Kesehatan Hewan 2021. Jakarta: Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian RI.

Fardiaz S. 1992. Mikrobiologi Pangan I. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Federer W. 1963. Experimental Design, Theory, and Application. Mac. Milan, New York.

Galyean ML, Tedeschi LO. 2014.

Predicting Microbial Protein Synthesis in Beef Cattle: Relationship to Intakes of Total Digestible Nutrients and Crude Protein. J. Anim. Sci. 92(11): 50995111.

Habeeb AAM, Marai FM, dan Kamal TH.

1992. Heat Stress. In: Farm Animal and The Environment. Phillips,C and D.Piggins (Eds.). C.A.B. Int., UK.

Hardjosubroto JM. Astuti. 1993. Buku

Pintar Peternakan. PT Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta.

Hoover WH, Miller TK. 1992. Rumen Digestive Physiology and Microbial Ecology. Bull. 708T. Agric. Forestry Exp. Stn., W.V. Univ., Morgantown, WV.

Hungate RE. 1966. The Rumen and its Micorbes. 2 nd Edition Academyc Press. New Yersey.

Jost DI, Aschemann M, Lebzien P, Joergensen RG, Sundrum A. 2013. Microbial Biomass in Faeces of Dairy Cows Affected by A Nitrogen Deficient Diet. Arch. Anim. Nutr. 67(2): 104-108.

LeDividich J, Herpin P, Geraert PA, and Fermorel M. 1994. Cold Stress. In: Farm Animals and The Environment. Phillips, C. and D.Piggins (Eds). C.A.B. Intr., U.

Mantrawan NCP, Besung INK, Suarjana IGK, Suwiti NK. 2018. Total Bakteri pada Berbagai Umur dan Lokasi Peternakan Sapi Bali di Nusa Penida. Bul. Vet. Udayana.10(2): 122-126.

Preston TR, Leng RA. 1997. Matching Ruminant Production System with Available Resources in the Tropic and Sub Tropics. 16t Printed by Int. Colour Prod., Aust.

Purbowati E, Rianto E, Dilaga WS, Lestari CMS, Adiwinarti R. 2014. Karakteristik Cairan Rumen, Jenis, dan Jumlah Mikrobia Dalam Rumen Sapi Bali. J. Bul. Peternakan. 38(1): 21-26.

Santosa, U. 1997. Pengembangan Agribisnis Penggemukan Pedet. G.M.Offset, Bandung.

Saputra DA, Maskur, Rozi T. 2019. Karakteristik Morfometrik (Ukuran Linier dan Lingkar Tubuh) Sapi Bali Yang Dipelihara Secara Semi Intensif di Kabupaten Sumbawa. J. Ilmu dan Teknol. Pet. Indon. 5: 67-75.

Simamora, Suhut, Salundik. 2006. Meningkatkan Kualitas Kompos. Agro Media Pustaka. Jakarta.

Suarjana IGK, Ketut Tono PG, Sudipa PH. 2021. Charcteristics of Rumen Fluid, pH and Number of Microbia. J. Vet. 4(1): 6-10.

Uhi HT, Parakkasi A, Haryanto B. 2006. Pengaruh suplemen katalitik terhadap karakteristik dan populasi mikroba rumen domba. Met. Pet. 29(1): 20-26.

Wales WJ, Kolver ES, Thorne PL and Egan AR. 2004. Diurnal Variation in Ruminal pH on the Digestibility of Highly Digestible Perennial Ryegrass During      Continuous      Culture

Fermentation. J. Dairy Sci. 87: 1864– 1871.

Tabel 1. Hasil Perhitungan Jumlah ALTB

Organ

Dataran

ALTB (x105 CFU/g)

Rataan±SD

Sig(2-arah)

Retikulim

Rendah

238±37,1

0,461

Tinggi

238±37,1

0,461

Omasum

Rendah

205±56,8

0,296

Tinggi

223±37,5

0,297

Abomasum

Rendah

197±34,1

0,224

Tinggi

211±28,2

0,225

1217