Volume 15 No. 4: 570-584

Agustus 2023

DOI: 10.24843/bulvet.2023.v15.i04.p10

Buletin Veteriner Udayana pISSN: 2085-2495; eISSN: 2477-2712 Online pada: http://ojs.unud.ac.id/index.php/buletinvet Terakreditasi Nasional Sinta 4, berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi No. 158/E/KPT/2021

Laporan Kasus: Tindakan Pembedahan dan Kemoterapi Transmissible Venereal Tumor pada Anjing Lokal Betina dengan Riwayat Anemia Makrositik-Hipokromik

(CASE REPORT: TRANSMISSIBLE VENEREAL TUMOR SURGERY AND CHEMOTHERAPY IN A FEMALE LOCAL DOG WITH A HISTORY OF MACROCYTIC-HYPOCHROMIC ANEMIA)

An’nisafitri Lutviana1*, I Gusti Ngurah Sudisma2, I Nengah Wandia2

  • 1Mahasiswa Profesi Dokter Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Udayana, Jl. PB. Sudirman, Denpasar, Bali, Indonesia, 80234;

  • 2Laboratorium Ilmu Bedah Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Udayana, Jl. PB. Sudirman, Denpasar, Bali, Indonesia, 80234;

*Email: [email protected]

Abstrak

Canine transmissible venereal tumor (CTVT) merupakan tumor ganas pada organ genital anjing yang bersifat menular melalui implantasi sel tumor yang terdapat dalam membran mukosa pada saat kawin, menjilati, menggigit, berkelahi, atau berbagai bentuk kontak langsung. Hewan kasus merupakan seekor anjing lokal berjenis kelamin betina yang berumur 1,5 tahun dengan bobot badan 10,45 kg dengan keluhan terdapat benjolan pada daerah vagina sekitar 2 bulan terakhir dan keluar tetesan darah dari vaginanya. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang yang meliputi pemeriksaan hematologi, ditemukan bahwa anjing kasus mengalami anemia makrositik hipokromik, pada pemeriksaan sitologi ditemukan adanya intranuclear dan intrasitoplasma vakuola CTVT, serta pemeriksaan histopatologi ditemukan adanya limfoblas dan limfosit yang bersifat homogen, sel mitosis, dan stroma jaringan ikat, sehingga anjing kasus didiagnosa menderita Canine Transmissible Venereal Tumor. Penanganan CTVT dilakukan melalui tindakan pembedahan dan kemoterapi. Preoperasi diberikan premedikasi atropine sulfat dengan dosis 0,02 mg/kg BB secara subkutan, dan dianestesi menggunakan kombinasi ketamin-xylazine dengan dosis masing-masing 2 mg/kg BB dan 12 mg/kg BB secara intravena. Tindakan pembedahan dilakukan dengan eksisi massa tumor pada daerah vagina. Pascaoperasi diberikan cefotaxime dengan dosis 25 mg/kg BB secara intravena dua kali dalam sehari dan analgesik tolfenamic acid dengan dosis 4 mg/kg BB secara intramuscular satu kali dalam sehari. Dilanjutkan pada hari kedua dengan pemberian obat secara oral yaitu antibiotik cefixime dengan dosis 5 mg/kg BB diberikan dua kali dalam sehari selama lima hari, meloxicam dengan dosis 0,1 mg/kg BB diberikan satu kali dalam sehari selama lima hari. Sangobion kapsul diberikan satu kali dalam sehari selama lima hari. Anjing diberikan obat kemoterapi vincristin sulfat dengan dosis 0,025 mg/kg BB secara intravena pada hari ke-4 dan ke-11 pascaoperasi. Pada hari keempat pascaoperasi, vulva tidak mengalami kebengkakan, anjing aktif bermain, urinasi normal, makan dan minum baik, tidak terjadi keluhan apapun, sehingga anjing kasus dinyatakan mengalami perkembangan yang baik pascaoperasi.

Kata kunci: Canine transmissible venereal tumor; limfoblas; vakuola; eksisi massa tumor

Abstract

Canine transmissible venereal tumor (CTVT) is a malignant tumor of the genital organs that is transmitted to dogs through implantation of tumor cells in the mucous membranes during mating, licking, biting, fighting, or various forms of direct contact. The case animal is a 1.5 years old female local dog with a body weight of 10.45 kg with a complaint of a lump in the vaginal area for the last 2 months and blood dripping from her vagina. Based on anamnesis, physical examination, and supporting examinations including hematological examination, it was found that the case dog had hypochromic macrocytic anemia, on cytology examination found the presence of intranuclear and intracytoplasmic CTVT vacuoles, and histopathological examination revealed homogeneous lymphoblasts and

lymphocytes, mitotic cells, and connective tissue stroma, so the case dog was diagnosed with Canine Transmissible Venereal Tumor. Treatment for CTVT is done through surgery and chemotherapy. Preoperatively given atropine sulfate premedication at a dose of 0.02 mg/kg BW subcutaneously, and anesthetized using a combination of ketamine-xylazine at a dose of 2 mg/kg BW and 12 mg/kg BW intravenously, respectively. Surgery is performed by excision of the tumor mass in the vaginal area. Postoperatively, cefotaxime at a dose of 25 mg/kg BW was administered intravenously twice a day and the analgesic tolfenamic acid at a dose of 4 mg/kg BW was administered intramuscularly once a day. Followed on the second day by administering the drug orally, namely the antibiotic cefixime at a dose of 5 mg/kg BW given twice a day for five days, meloxicam at a dose of 0.1 mg/kg BW given once a day for five days. Sangobion capsules are given once a day for five days. Dogs were given chemotherapy drug vincristin sulfate at a dose of 0.025 mg/kg BW intravenously on the 4th and 11th postoperative days. On the fourth postoperative day, the vulva did not experience swelling, the dog was actively playing, normal urination, eating and drinking well, no disturbances occurred, so the case dog was declared to have developed well after surgery.

Keywords: Canine transmissible venereal tumor; lymphoblast; vacuole; excision of tumor mass

PENDAHULUAN

Tumor merupakan pertumbuhan sel yang tidak terkontrol dan tidak memiliki fungsi yang bermanfaat bagi tubuh (Nasrudin et al., 2014). Salah satu tumor yang dapat menyerang anjing adalah canine transmissible venereal tumor (CTVT) atau sering disebut transmissible venereal sarcoma, Sticker’s sarcoma, venereal granuloma dan infeksius sarcoma, merupakan tumor ganas pada organ genital yang bersifat menular pada anjing (Ganguly et al., 2013). Canine transmissible venereal tumor dapat ditularkan melalui implantasi sel tumor yang terdapat dalam membran mukosa pada saat kawin, menjilati atau mengendus, menggigit, berkelahi, atau berbagai bentuk kontak langsung terhadap tumor penderita. Pertumbuhan tumor terjadi sekitar 15 sampai 60 hari setelah implantasi sel tumor. Secara klinis tumor dapat berbentuk tunggal atau multipel, nodular atau bertangkai, mulai dari nodul kecil kurang dari 1 cm sampai lebih dari 10 cm, berwarna kemerahan, hemorragi, rapuh, dan seperti bunga kol. Kejadian ekstragenital CTVT tanpa lesi genital pernah dilaporkan yakni pada rongga mulut dan hidung, konjungtiva dan mata, kulit dan subkutis, tonsil, mukosa bukal, dan mukosa anus (Mascarenhas et al., 2014; Islam et al., 2014; Hiblu et al., 2019; Regmi et al., 2020). Penyakit ini paling umum terjadi di daerah tropis dan subtropis, terutama pada

anjing yang berkeliaran bebas dan aktif secara seksual (Ajayi et al., 2018). Anjing dari segala ras, usia, atau jenis kelamin rentan terhadap CTVT, meskipun anjing dengan usia lebih dari satu tahun berisiko tinggi. Namun, paling umum terjadi pada usia sampai 5 tahun (Andari et al., 2016).

Canine transmissible venereal tumor jarang bermetastasis dan kurang dari 5-17% kasus metastasis telah dilaporkan tetapi ketika metastasis terjadi, biasanya diamati di daerah ekstragenital. Metastasis yang ditemukan umum pada anjing jantan (15,6%) dibandingkan pada anjing betina (1,8%). Kecepatan metastasis tergantung pada kesehatan dan status kekebalan anjing penderita (Mascarenhas et al., 2014; Regmi et al., 2020; Kucukbekir et al., 2021). Anjing yang memiliki sistem kekebalan yang terganggu atau immunocompromised memainkan peran utama dalam memperoleh dan menyebarkan TVT (Das et al., 2020). Nekrosis lokal di beberapa bagian tumor atau infeksi bakteri sekunder juga dapat terjadi (Kucukbekir et al., 2021). Tingkat pertumbuhan dan metastasis tumor tergantung pada usia, jenis kelamin, dan status kekebalan anjing (Bastan et al., 2008 dalam Ajayi et al., 2018). Sel CTVT dapat menginfiltrasi jaringan tubuh baik pada jaringan kulit kelamin anjing jantan maupun betina, tetapi anjing betina cenderung lebih peka terhadap tumor ini (Berata et al., 2011). Pada pemeriksaan genitalia, jantan umumnya memiliki tumor

yang terletak pada cranial glans, bulbus preputial, dan mukosa, dengan konsekuensi terjadinya phimosis, sedangkan pada betina, CTVT terletak di caudal vagina dan vestibulum vagina, tetapi jarang ditemukan di regio uteri. Umumnya, proyeksinya dari vulva menyebabkan deformasi daerah perineum tanpa mengganggu buang air kecil. Lesi ulserasi pada organ jantan yang disertai hemorragi biasanya membingungkan dengan urethritis, cystitis, dan prostatitis. Pada betina, lesi tersebut dapat menyebabkan anemia (Rocha et al., 2014). Awalnya tumor biasanya berupa papula hiperemik berukuran kecil yang kemudian berkembang menjadi nodular, papilla, multilobuler, dan massa bertangkai seperti kembang kol (Eze et al., 2007).

Diagnosis definitif CTVT didasarkan pada pemeriksaan fisik dan gambaran sitologi yang khas pada sel tumor yang diperoleh dari swab, fine needle aspiration (FNA), atau acetate tape impression. Histopatologi, polymerase chain reaction (PCR), dan pewarnaan imunohistokimia juga dapat digunakan sebagai metode diagnosa CTVT (Rocha et al., 2014). Beberapa penanganan pada CTVT yang dapat dilakukan adalah tindakan pembedahan, radioterapi, imunoterapi, bioterapi, dan kemoterapi (Kumar et al., 2020). Tujuan penulisan artikel ini adalah untuk membahas penanganan terhadap canine transmissible venereal tumour (CTVT) melalui tindakan pembedahan.

METODE PENELITIAN

Sinyalemen dan Anamnesis

Hewan kasus bernama Coklat, merupakan anjing lokal berjenis kelamin betina yang berumur 1,5 tahun dengan bobot badan 10,45 kg. Anjing kasus memiliki rambut berwarna coklat di seluruh tubuhnya.

Anjing tersebut memiliki riwayat vaksin rabies dan sudah steril pada bulan November 2021. Berdasarkan keluhan pemilik, terjadi benjolan pada daerah vagina sekitar 2 bulan terakhir dan keluar tetesan darah dari vaginanya (Gambar 1).

Anjing tersebut merupakan anjing jalanan yang dipelihara oleh pemilik, bersama puluhan anjing jalansn lainnya di sebuah pondok. Anjing tersebut dilepasliarkan disekitar pondok sehingga sering berinteraksi dengan anjing lainnya. Anjing kasus memiliki nafsu makan dan minum normal. Anjing tersebut aktif bermain namun bersikap waspada.

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan anjing kasus menggunakan metode pemeriksaan fisik yang mencakup keadaan anjing kasus secara menyeluruh seperti status praesens, pemeriksaan setiap sistem yang terdapat dalam tubuh, serta pemeriksaan hematologi.

Pemeriksaan Penunjang

Pada kasus ini dilakukan beberapa pemeriksaan penunjang diantaranya yaitu:

Pemeriksaan Hematologi

Pemeriksaan hematologi lengkap dilakukan untuk mengetahui status kesehatan anjing kasus yang dapat dilihat melalui parameter komponen darah yang dilakukan 5 hari sebelum dilakukan tindakan operasi. Hal tersebut dilakukan dengan tujuan apabila anjing kasus mengalami abnormalitas pada hasil pemeriksaan hematologi dapat segera diberikan penanganan sebelum dilakukan tindakan operasi. Pemeriksaan hematologi dilakukan dengan mengambil darah pada vena cephalica menggunakan spuit 3 mL, kemudian dimasukkan ke dalam tabung EDTA dan dibawa ke klinik dokter hewan swasta untuk dianalisis menggunakan mesin hematology analyzer. Sehingga diperoleh hasil pemeriksaan hematologi yang disajikan pada tabel 1.

Pemeriksaan Sitologi

Sitologi merupakan metode yang menjadi pilihan untuk diagnosis dugaan CTVT, karena tekniknya yang sederhana, murah, invasif minimal, dan menghasilkan distorsi morfologi sel yang jauh lebih sedikit daripada sampel biopsy yang difiksasi dalam formalin. Pemeriksaan ini telah digunakan secara luas dalam

diagnosis. Pemeriksaan sitologi terbukti memiliki akurasi tinggi, efisien, dan konklusif dalam mendiagnosiss CTVT serta pemantauan pengobatan terkait genital dan ekstragenital tumor (Rocha et al., 2014; Abeka, 2019).

Pengambilan sampel dilakukan dengan cara mengkuakkan vulva sehingga massa tumor menonjol keluar vagina kemudian menempelkan object glass pada massa tumor dengan cara ditekan. Selanjutnya dilakukan fiksasi menggunakan methanol kemudian     dilakukan     pewarnaan

menggunakan giemsa setelah sekitar satu menit dibilas menggunakan air mengalir dengan pelan. Kemudian object glass sampel tersebut diamati di bawah mikroskop dengan pembesaran objektif 400x disajikan pada gambar 2.

Pemeriksaan Histopatologi

Preparat histopatologi dari sampel biopsi anjing kasus dibuat di Laboratorium Patologi Veteriner Universitas Udayana. Pemeriksaan tersebut untuk mengetahui dan menentukan jenis tumor. Sampel biopsi anjing kasus dimasukkan ke dalam pot organ berisi neutral buffered formaldehyde (NBF) 10%. Kemudian sampel organ dipotong menjadi beberapa bagain dengan ukuran 1x1 cm. Setelah itu dilakukan pewarnaan menggunakan hematoxylin-eosin. Setelah kering, preparat histopatologi di amati di bawah mikroskop dengan perbesaran objektif 400x. Pada pemeriksaan ini dapat diamati adanya limsosit dan limfoblas dengan bentuk dan ukuran yang homogen dan dibatasi oleh stroma jaringan ikat serta adanya gambaran beberapa sel mitosis. Hasil dapat dilihat pada gambar 3.

Diagnosis dan Prognosis

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, anjing kasus didiagnosis mengalami Canine Transmissible Venereal Tumor (CTVT) atau Transmissible Venereal Sarcoma. Dilihat dari keadaan hewan kasus dan ukuran dari massa tumor, anjing kasus memiliki prognosa fausta.

Penanganan

Prosedur penanganan tindakan operasi terdiri dari beberapa tahap yaitu tahap praoperasi, operasi, dan pasca operasi.

Praoperasi

Sebelum dilakukan operasi terdapat beberapa hal yang harus dipersiapkan yaitu persiapan ruang operasi, persiapan alat dan bahan operasi, persiapan hewan yang akan dioperasi, dan persiapan operator yang akan melakukan operasi. Persiapan ruang operasi dilakukan dengan melakukan desinfeksi ruang operasi dan meja operasi yang akan digunakan. Alat dan bahan seperti alat bedah, kain drape, dan tampon disterilkan menggunakan autoclave dengan tujuan mencegah terjadinya kontaminasi bakteri. Selanjutnya, persiapan hewan yang akan dioperasi, berdasarkan hasil pemeriksaan hematologi lengkap anjing kasus mengalami anemia makrositik hipokromik yang umumnya dapat terjadi akibat peningkatan aktivitas sumsum tulang sebagai kelanjutan perdarahan, hemolisis, defisiensi vitamin B12, asam folat, zat besi dan sistesis hemoglobin yang belum sempurna (Stockham dan Scott, 2008; Longo et al., 2012), sehingga diberikan sangobion (Sangobion®, Merck Indonesia) satu kali dalam sehari selama 3 hari sebelum dilakukan operasi. Kemudian anjing kasus dipuasakan makan selama 12 jam dan dipuasakan minum 6 jam sebelum operasi. Sebelum hewan dioperasi, dilakukan pemeriksaan status praesens seperti frekuensi denyut jantung, pulsus, frekuensi nafas, suhu, CRT, turgor kulit, serta dilakukan pencukuran rambut pada daerah sekitar vulva untuk mempermudah melakukan operasi dan mencegah terjadinya kontaminasi bakteri.

Untuk mencegah terjadinya perdarahan yang berlebihan pada saat operasi, hewan diinjeksi asam traneksamat satu jam sebelum dilakukan tindakan operasi dengan dosis 10 mg/kg BB yaitu sebanyak 1 mL secara intramuscular. Selanjutnya hewan diinjeksi atropine sulfate sebagai premedikasi dengan dosis 0,02 mg/kg BB yaitu sebanyak 0,8 mL secara subkutan.

Kemudian dilakukan pemasangan kateter intravena untuk memberikan terapi cairan menggunakan NaCl 0,9%. Lima belas menit setelah diberikan atropine sulfate, hewan dianestesi menggunakan xylazine dan ketamin yang dihomogenkan dengan dosis masing-masing 2 mg/kg BB sebanyak 1 mL dan 12 mg/kg BB sebanyak 1,25 mL secara intravena. Selanjutnya hewan disiapkan secara aseptik pada daerah yang akan dilakukan operasi dengan menggunakan alkohol dan rivanol.

Teknik Operasi

Hewan diletakkan pada meja operasi dengan posisi ventral recumbency. Kemudian dilakukan pemasangan kain drape pada daerah yang akan dioperasi menggunakan towel clamp (4A). Daerah sekitar vulva dikuakkan menggunakan allis forceps supaya massa tumor menonjol keluar vagina (4B).

Masukkan jari telunjuk untuk mengetahui posisi vagina dan perbatasan antara jaringan sehat dengan jaringan tumor. Kemudian jepit menggunakan arteri clamp pada jaringan tumor yang berbatasan dengan jaringan sehat (4C). Setelah itu dilakukan eksisi massa tumor pada beberapa bagian yang berbatasan dengan vagina menggunakan blade (4D).

Selanjutnya, dilakukan ligasi pada pembuluh darah yang mensuplai jaringan tumor menggunakan benang absorbable chromic cutgut 3/0 dengan pola jahitan simple interrupted suture (4E). Setelah dipastikan semua jaringan tumor terangkat, kemudian mukosa vagina dibilas menggunakan cairan fisiologis dan diberikan antibiotik cefotaxime yang sudah diencerkan dengan larutan NaCl 0,9% dengan perbandingan 1:10 mL untuk mencegah terjadinya kontaminasi bakteri yang dapat menghambat proses penyembuhan luka. Pada vagina diberikan tampon yang sudah dibasahi dengan epinephrine untuk menghentikan perdarahan pada pembuluh darah perifer. Setelah beberapa saat tampon tersebut diganti menggunakan tampon biasa tanpa

epinephrine dan dapat dilepas setelah 10-15 menit kemudian (4F).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik, anjing memiliki tingkah laku yang aktif namun sedikit waspada dan cemas. Setelah dilakukan pemeriksaan status praesens diperoleh frekuensi denyut jantung 98 kali/menit, pulsus 92 kali/menit, respirasi 27 kali/menit, capillary refill time (CRT) <2 detik, dengan suhu 38,7 ºC, elastisitas turgor kulit normal, dan warna mukosa berwarna merah muda.

Pada pemeriksaan daerah perineum terlihat adanya massa seperti bunga kol dengan ukuran yang tidak terlalu besar menonjol keluar vagina, massa tersebut berwarna kemerahan dan mengalami hemorragi. Pemeriksaan pada sistem lainnya seperti respirasi, sirkulasi, digesti, urogenital, syaraf, musculoskeletal tidak ditemukan adanya abnormalitas.

Pemeriksaan Hematologi

Hasil pemeriksaan hematologi lengkap pada anjing kasus dapat dilihat pada Tabel 1.

Pemeriksaan Sitologi

Hasil yang didapatkan pada pemeriksaan sitologi menunjukkan adanya multipel vakuola yang tersusun dari intra-nuclear dan intra-sitoplasma dan ditemukan banyak limfosit.

Pemeriksaan Histopatologi

Hasil pemeriksaan histopatologi menunjukkan adanya limsosit dan limfoblas dengan bentuk dan ukuran yang homogen dan dibatasi oleh stroma jaringan ikat serta adanya gambaran beberapa sel mitosis (Gambar 3).

Pascaoperasi

Hewan yang telah dioperasi diberikan pengobatan dengan cefotaxime sebagai antibiotik (Cefotaxime sodium, PT. Dankos Farma, Jakarta, Indonesia) dengan dosis 25 mg/kg BB secara intravena dengan volume pemberian sebanyak 2,6 mL dua kali dalam

sehari untuk mencegah terjadinya kontaminasi bakteri yang dapat menyebabkan infeksi sekunder. Kemudian diberikan tolfenamic acid (Tolfedine®, Vetoquinol, Perancis) yang merupakan obat golongan nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAID) sebagai analgesik pascaoperasi dengan dosis 4 mg/kg BB secara intramuscular dengan volume pemberian 1 mL satu kali dalam sehari. Pada hari kedua pascaoperasi, dilanjutkan dengan pemberian antibiotik cefixime secara peroral dengan sediaan kapsul 100 mg (Cefixime trihydrate®, PT. Dexa Medica, Cikarang, Indonesia) dengan dosis 5 mg/kg BB diberikan dua kali dalam sehari selama lima hari. Meloxicam sebagai analgesik, yang merupakan obat golongan nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAID) dengan sediaan tablet 7,5 mg (Meloxicam®, PT. Dexa Medica, Cikarang, Indonesia) dengan dosis 0,1 mg/kg BB diberikan satu kali dalam sehari secara peroral selama lima hari. Sangobion kapsul sebagai vitamin dan zat besi penambah darah (Sangobion®, Merck Indonesia) diberikan satu kali dalam sehari selama lima hari. Obat kemoterapi vincristine sulfat (PT. Kalbe Farma, Jakarta, Indonesia) diberikan pada hari ke-4 dan ke-11 pascaoperasi dengan dosis 0,025 mg/kg BB sebanyak 0,26 mL secara intravena.

Perkembangan anjing kasus dipantau pada hari kedua pascaoperasi, terlihat bahwa tidak terjadi perdarahan pada vagina, vulva mengalami kebengkakan, urinasi normal, nafsu makan dan minum baik (Gambar 5). Pada hari ketiga, luka pascaoperasi tidak terjadi perdarahan, vulva masih mengalami kebengkakan, urinasi normal, makan dan minum baik. Kemudian hari keempat, kebengkakan vulva mulai berkurang, anjing aktif bermain, urinasi normal, makan dan minum baik. Hari kelima sampai ketujuh, vulva anjing kasus sudah tidak mengalami kebengkakan, tidak terjadi keluhan apapun, anjing kasus aktif bermain, urinasi normal, nafsu makan dan minum baik sehingga anjing kasus

dinyatakan mengalami perkembangan yang baik pascaoperasi.

Pembahasan

Pada pemeriksaan fisik, status praesens anjing kasus memiliki frekuensi denyut jantung dan pulsus normal, respirasi dan suhu normal, serta CRT dan turgor kulit normal. Pada pemeriksaan daerah perineum ditemukan adanya massa berwarna kemerahan dan terjadi hemorragi, massa tersebut menonjol keluar vagina dan berbentuk seperti bunga kol, namun ukurannya tidak terlalu besar. Secara klinis CTVT dapat berbentuk tunggal atau multipel, nodular atau bertangkai, mulai dari nodul kecil kurang dari 1 cm sampai lebih dari 10 cm, berwarna kemerahan, hemorragi, rapuh, dan seperti bunga kol (Mascarenhas et al., 2014; Islam et al., 2014; Hiblu et al.,  2019). Canine

Transmissible Venereal Tumor (CTVT) merupakan tumor ganas yang ditularkan dari hewan ke hewan selama kopulasi oleh sel tumor yang hidup pada genitalia eksterna ataupun genitalia interna (Abeka, 2019). Tumor ini juga dapat ditularkan melalui implantasi sel tumor pada saat menjilati, mengendus, menggigit, bekelahi, atau berbagai kontak langsung terhadap tumor penderita (Hiblu et al.,  2019).

Pertumbuhan tumor dapat terjadi sekitar 15 sampai 60 hari setelah implantasi tumor (Regmi et al., 2020). Pada anjing kasus memiliki riwayat sudah steril, namun anjing tersebut masih berisiko menderita CTVT, hal ini kemungkinan disebabkan terjadi kopulasi sebelum dilakukan steril. Meskipun anjing tersebut sudah steril, sel tumor yang sudah terimplantasi pada mukosa vagina akan mengalami pertumbuhan yang tidak terkontrol. Menurut Abeka, 2019 perkembangan tumor bersifat unik karena mengikuti pola pertumbuhan yang dapat diprediksi. Pola pertumbuhan ini meliputi beberapa fase yaitu fase perumbuhan progresif, fase statis, dan fase regresi. Pola pertumbuhan ini diikuti oleh sistem kekebalan tubuh pada anjing imunokompeten sedangkan

metastasis terjadi pada anjing yang mengalami imunosupresif.

Fase progresif awal, umumnya berlangsung selama beberapa minggu, ditandai dengan peningkatan volume tumor yang cepat dengan waktu proliferasi antara 4 sampai 7 hari, terdapat sedikit stroma jaringan ikat, kontaminasi bakteri pada massa biasanya terjadi dengan kemungkinan eksudasi neutrofilik dan terjadinya hemorragi (Islam et al., 2014). Selama fase perkembangan sel tumor menghindari sistem kekebalan tubuh dengan mekanisme yang berbeda. Sel tumor ini menghasilkan transforming growth factor-1 (TGF-1) untuk menghambat aktivitas sel NK (Natural Killer Cell) dan infiltrasi limfosit sitotoksik serta menurunkan ekspresi major histocompatibility complex (MHC). Sel tumor juga mengeluarkan substansi yang dapat menghancurkan sel-B dan mencegah terjadinya differensiasi dan aktivitas sel dendrit. Setelah fase progresif, pertumbuhan tumor melambat dan menjadi rentan terhadap respon imun inang kemudian masuk ke fase statis. Selama fase statis, pertumbuhan tumor sangat lambat dengan waktu proliferasi sekitar 20 hari. Fase statis dapat berlangsung dari minggu ke bulan sampai tanpa batas, hingga memasuki fase regresi yang umumnya berlangsung antara 2 sampai 12 minggu. Pada fase regresi subakut ditemukan lebih banyak sel mononuclear seperti limfosit, makrofag, dan sitoplasma yang mendominasi, sedangkan pada fase regresi kronis ditemukan adanya sel mononuclear disertai adanya fibroplasia. Hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya (Hsiao et al., 2002; Pai et al., 2011 dalam Ajayi et al., 2018) dimana tumor infiltrating lymphocytes (TILs) dikaitkan dengan fase pertumbuhan tumor regresif daripada fase pertumbuhan progresif. Terjadinya apoptosis, mitosis, proliferasi sel, fibrosis, dan infiltrasi TIL merupakan indikator baik dari tahap perkembangan CTVT (Ojayi et al., 2018; Abeka, 2019).

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang berupa sitologi dan histopatologi anjing kasus didiagnosa menderita CTVT. Dari hasil sitologi ditemukan adanya intranuclear dan intra-sitoplasma vakuola, nucleus, dan limfosit. Sesuai dengan pernyataan Kucubekir et al., (2021) bahwa bentuk sel CTVT dalam sitologi berkisar dari struktur bulat hingga oval. Sel sebagian besar memiliki sitoplasma biru pucat atau transparan dengan nucleus tunggal yang khas. Pada hasil sitologi CTVT juga terlihat adanya vakuola intra-sitoplasma yang berwarna bening dan banyak gambaran sel mitosis. Metode sitologi merupakan metode diagnosa CTVT yang sederhana, murah, cepat, invasif minimal, dan menyebabkan kerusakan morfologi sel yang jauh lebih sedikit daripada sampel biopsi yang difiksasi formalin, sehingga metode diagnosa ini merupakan pilihan yang terbaik untuk mendiagnosa CTVT (Das et al., 2020). Hal ini disebabkan fakta bahwa histopatologi CTVT sangat sulit dibedakan dengan sel tumor yang berbentuk bulat lainnya seperti limfoma, histositoma, dan tumor sel mast (Das et al., 1990; Ganguly et al., 2016). Sedangkan pada hasil pemeriksaan histopatologi jaringan tumor anjing kasus ditemukan adanya sel limfoblas dan limfosit dengan ukuran yang homogen, ditemukannya sel mitosis, dan stroma jaringan ikat. Adanya stroma merupakan salah satu faktor yang berperan untuk menghambat pertumbuhan tumor. Menurut Mackie et al., (1988) peningkatan stroma selama tahap regresi venereal sarcoma akan mengakibatkan runtuhnya parenkim tumor dan terjadi penggantian oleh stroma fibrovascular dimana tahapan ini umumnya terjadi selama proses penyembuhan jaringan setelah infeksi atau peradangan. Berdasarkan hasil histopatologi, CTVT pada anjing kasus diduga berada pada fase pertumbuhan regresi subakut. Sesuai dengan pernyataan Ajayi et al., (2018), fase regresi subakut ditemukan lebih banyak sel

Buletin Veteriner Udayana

pISSN: 2085-2495; eISSN: 2477-2712

Online pada: http://ojs.unud.ac.id/index.php/buletinvet mononuclear seperti limfosit, makrofag, dan sitoplasma yang mendominasi.

Beberapa penanganan pada CTVT yang dapat dilakukan adalah tindakan pembedahan, radioterapi, imunoterapi, bioterapi, dan kemoterapi (Kumar et al., 2020). Menurut Sudisma et al., (2006) penanganan tumor dimanapun letaknya adalah dengan melakukan eksisi atau pengangkatan massa tumor secara total. Pada anjing kasus dilakukan penanganan melalui tindakan pembedahan dan dilanjutkan dengan kemoterapi. Menurut Athar et al., (2001) menyatakan bahwa penanganan CTVT melalui tindakan pembedahan disertai dengan 2-3 kali kemoterapi dengan vincristin sulfate akan memberikan efek penyembuhan lebih cepat dan dapat mencegah terjadinya kekambuhan. Sebelum dilakukan tindakan pembedahan pada anjing kasus, harus dilakukan pemeriksaan penunjang yaitu hematologi lengkap untuk mengetahui status kesehatan dan kondisi tubuh anjing. Hasil pemeriksaan hematologi lengkap menunjukkan jumlah eritrosit (RBC), hemoglobin (HGB), hematokrit (HCT) dan Mean     Corpuscular     Hemoglobin

Concentration (MCHC) mengalami penurunan, sedangkan jumlah limfosit dan nilai Mean Corpuscular Volume (MCV) mengalami peningkatan. Berdasarkan interpretasi hasil pemeriksaan hematologi lengkap anjing kasus didiagnosa mengalami anemia makrositik hipokromik. Menurut Stockham dan Scott, (2008) menyatakan bahwa MCHC rendah sering ditemukan pada anemia yang mengalami defisiensi zat besi dan sistesis hemoglobin yang belum sempurna. Sedangkan anemia dengan nilai Mean Corpuscular Volume (MCV) meningkat umum ditemukan pada anemia akibat perdarahan yang menyebabkan terjadinya peningkatan aktivitas sumsum tulang, hemolisis, defisiensi vitamin B12, dan asam folat, sehingga membutuhkan   pengobatan

sebelum dilakukan tindakan operasi. Pengobatan yang diberikan adalah sangobion kapsul (Sangobion®, Merck

Indonesia) satu kali dalam sehari selama 3 hari sebelum dilakukan operasi. Setelah menjalani pengobatan, hewan tersebut dapat dilakukan penanganan melalui tindakan operasi yang meliputi praoperasi, operasi, dan pascaoperasi.

Pada persiapan praoperasi hewan diinjeksi menggunakan asam traneksamat yang bertujuan untuk mencegah terjadinya perdarahan yang berlebihan pada saat operasi.     Penanganan     perdarahan

merupakan modalitas yang penting dalam mempertahankan keadaan pasien dalam homeostasis fisiologis. Asam traneksamat bekerja sebagai anti-fibrinolitik dengan menghambat pemecahan fibrin polimer oleh plasmin, sehingga hemostasis dapat terjadi dengan efektif (Hijrineli et al., 2013). Kemudian diberikan premedikasi atropine sulfat sebelum dilakukan anestesi. Hal tersebut bertujuan untuk mendukung kerja dari obat anestesi umum seperti pada penggunaan anestesi ketamin yang menyebabkan terjadinya hipersalivasi sehingga diberikan atropine sulfate untuk mencegah terjadinya hipersalivasi. Menurut Brock, (2001) atropine sulfate merupakan antikholinergik yang memiliki efek pengurangan sekresi gastrointestinal seperti salivasi, mengurangi motilitas gastrointestinal      seperti      muntah,

mengurangi sekresi saluran pernapasan dan dilatasi bronkiolus, memblok impuls saraf vagus yang berperan dalam mengatur jantung seperti mencegah terjadinya bradikardia. Anestesi yang digunakan pada anjing kasus adalah kombinasi ketamin dan xylazine. Ketamin merupakan obat anestesi yang dapat digunakan pada hampir semua jenis hewan. Ketamin dapat menimbulkan efek yang membahayakan yaitu takikardia, hipersalivasi, meningkatkan ketegangan otot, nyeri pada tempat penyuntikan, dan bila berlebihan dosis yang diberikan akan menyebabkan pemulihan berjalan lamban dan bahkan membahayakan (Jones et al., 1997), sehingga mengkombinasikan ketamin dan xylazine merupakan pilihan yang efektif. Ketamin dapat memberikan efek analgesik, sedangkan xylazine

menyebabkan relaksasi otot yang baik. Penggunaan xylazine dapat mengurangi sekresi saliva dan peningkatan tekanan darah yang diakibatkan oleh penggunaan ketamin (Yudaniayanti et al., 2010).

Pada tindakan pembedahan transmissible venereal tumor pada anjing kasus, seluruh massa tumor yang berbatasan dengan jaringan sehat vagina diangkat. Pada saat pengangkatan massa tumor tersebut tidak terjadi perdarahan yang hebat, hal tersebut kemungkinan disebabkan karena pemberian asam traneksamat untuk mencegah terjadinya perdarahan yang berlebihan, sehingga penanganannya hanya membutuhkan tekanan menggunakan tampon dan dua ligasi pada pembuluh darah menggunakan benang absorbable chromic cutcut 3/0 dengan pola jahitan simple interrupted suture atau pola jahitan terputus. Perawatan pascaoperasi merupakan bagian yang sangat penting, sehingga diperlukan monitoring pada proses kesembuhan luka eksisi. Proses kesembuhan luka pascaoperasi berlangsung dalam beberapa fase yaitu fase inflamasi, fase proliferasi, dan fase remodeling (pembentukan kembali) (Mitaart et al., 2017). Fase inflamasi dimulai sejak terjadinya luka dan berlangsung selama 5-7 hari. Proses kontriksi dan retriksi pembuluh darah yang putus disertai dengan reaksi hemostasis berupa agregasi trombosit dan jala fibrin yang melakukan pembekuan darah untuk mencegah kehilangan darah. Agregat trombosit mengeluarkan sitokin dan growth factor mediator inflamasi TGF-β1. Proses angiogenesis terjadi saat sel endotel pembuluh darah di sekitar luka membentuk kapiler baru. Reaksi inflamasi berfungsi sebagai proteksi jaringan yang mengalami kerusakan agar tidak mengalami infeksi dan meluas tanpa terkendali. Salah satu fungsi utama dari fase inflamasi adalah untuk membawa sel-sel inflamasi ke area luka sehingga dapat menghindarkan luka dari bakteri yang dapat menyebabkan infeksi dan membuang sel-sel yang mati agar dapat dilakukan perbaikan. Fase proliferasi

terjadi pada hari ke 7 sampai dengan 14 hari setelah terjadi luka. Sementara itu, fase remodelling dapat berlangsung selama berminggu-minggu, bulan, bahkan tahunan setelah terjadinya luka (Pramono et al., 2016; Wintoko dan Yadika, 2020).

Perawatan pascaoperasi untuk membantu proses penyembuhan luka anjing kasus adalah dengan memberikan antibiotik cefotaxime (Cefotaxime sodium, PT. Dankos Farma, Jakarta, Indonesia) dengan dosis 25 mg/kg BB secara intravena dengan volume pemberian sebanyak 2,6 mL dua kali dalam sehari dan dilanjutkan dengan pemberian antibiotik secara peroral pada hari kedua pascaoperasi menggunakan cefixime dengan sediaan kapsul 100 mg (Cefixime trihydrate®, PT. Dexa Medica, Cikarang, Indonesia) dengan dosis 5 mg/kg BB diberikan sebanyak dua kali dalam sehari selama lima hari. Pemberian antibiotik tersebut pada kasus CTVT bertujuan untuk mencegah terjadinya infeksi saat penanganan postoperasi, mengingat risiko semakin besar karena vulva berkontak secara langsung dengan lingkungan yang dapat memicu terjadinya infeksi sekunder. Sehingga pemilihan antibiotik dengan spektrum luas merupakan keharusan dalam penanganan luka pascaoperasi pada CTVT karena tidak menutup kemungkinan dapat terjadi infeksi bakteri baik bakteri positif ataupun negatif melalui vulva. Cefotaxime dan cefixime merupakan antibiotik golongan sefalosporin generasi ketiga yang dapat menghambat sistesis dinding sel bakteri. Cefotaxime dan cefixime memiliki spektrum yang relative luas terhadap bakteri gram positif dan negatif (Plump, 2008). Selain antibiotik, pemberian analgesik tolfenamic acid (Tolfedine®, Vetoquinol, Perancis) yang merupakan obat golongan nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAID) sebagai analgesik pascaoperasi dengan dosis 4 mg/kg BB secara intramuscular dengan volume pemberian 1 mL satu kali dalam sehari. Dilanjutkan pada hari kedua pascaoperasi dengan pemberian meloxicam yang

merupakan obat golongan nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAID) dengan sediaan tablet 7,5 mg (Meloxicam®, PT. Dexa Medica, Cikarang, Indonesia) dengan dosis 0,1 mg/kg BB diberikan sebanyak satu kali dalam sehari secara peroral selama lima hari. Tolfedine dan Meloxicam merupakan obat golongan nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAID), obat ini memberikan efek analgesik dan antiinflamasi yang efektif untuk menghambat sistesis dari prostaglandin. Meloxicam umum digunakan untuk mengontrol nyeri dan peradangan pascaoperasi pada bedah ortopedi, ovariohysterectomy, dan kastrasi (Plumb, 2008). Sangobion kapsul sebagai vitamin dan zat besi penambah darah (Sangobion®, Merck Indonesia) diberikan satu kali dalam sehari selama lima hari. Sangobion kapsul mengandung 259 mg zat besi, selain itu mengandung vitamin dan mineral lainnya seperti vitamin C, asam folat, dan vitamin B12. Kemudian pada hari ke-4 dan ke-11 pascaoperasi dilakukan kemoterapi menggunakan vincristine sulfat (PT. Kalbe Farma, Jakarta, Indonesia) dengan dosis 0,025 mg/kg BB sebanyak 0,26 mL secara intravena. Vincristin merupakan senyawa kimia golongan alkaloid vinca yang berasal dari tanaman Vinca rosea. Senyawa ini merupakan agen kemoterapi yang banyak digunakan untuk mengobati berbagai gangguan neoplastik, seperti limfoma, leukemia, dan sarcoma pada anjing serta kucing (Hahn, 1990). Senyawa ini bekerja dengan cara mengikat protein tubulin sehingga pembentukan mikrotubulus terhambat. Hal ini menyebabkan sel tidak dapat memisahkan kromosomnya selama metafase sehingga sel mengalami apoptosis dan kegagalan replikasi (Coppoc, 2009 dalam Laksmi et al., 2019).

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik, tanda klinis, serta pemeriksaan penunjang     dengan     pemeriksaan

hematologi, pemeriksaan sitologi dan

histopatologi, anjing kasus didiagnosa menderita canine transmissible venereal tumor (CTVT). Anjing kasus dilakukan penanganan berupa tindakan pembedahan dengan eksisi pada massa tumor dan kemoterapi dengan vincristine sulfate sebanyak dua kali. Vincristine sultafe berfungsi untuk mencegah terjadinya pembelahan kromosom sel tumor selama metafase sehingga sel mengalami apoptosis dan kegagalan replikasi. Pada hari keempat pascaoperasi, vulva sudah tidak mengalami kebengkakan, anjing aktif bermain, urinasi normal, makan dan minum baik, tidak terjadi keluhan apapun, sehingga anjing kasus      dinyatakan      mengalami

perkembangan yang baik pascaoperasi.

Saran

Perlu     dilakukan     pemeriksaan

hematologi secara rutin pasca dilakukan kemoterapi sehingga dapat mengetahui kondisi kesehatan dan imunitas anjing tersebut karena efek kemoterapi menggunakan      vincristine      dapat

menyebabkan penurunan nilai hematologi.

UCAPAN TERIMAKASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh staf pengampu koasistensi Laboratorium Bedah dan Radiologi Veteriner Universitas Udayana yang telah memfasilitasi,     membimbing,     dan

membantu penanganan anjing kasus, serta teman-teman kelompok koasistensi 19M yang telah mendukung dan membantu dalam penyelesaian laporan kasus ini.

DAFTAR PUSTAKA

Abeka YT. 2019. Review on canine transmissible venereal tumor (CTVT). Cancer Therapy and Oncol. Int. J. 14(4): 001-009.

Ajayi OL, Oluwabi M, Ajadi RA, Antia RE, Omotainse SO, Jubril AJ, Adebayo OO, Makinde AF. 2018. Cytomorphological, histopathological                  and

immunohistochemical observations on the histiocytic origin of canine

transmissible venereal tumour. Sokoto J. Vet. Sci. 16(2): 10-20.

Andari CM, Kardena IM, Puja IK. 2016. A survey on cases of canine transmissible venereal tumor (TVT) in kintamani dog. Vet. Sci. Med. J. 4(1): 23-25.

Athar M, Suhail A, Muhammad G, Shakoor A, Azim F. 2001. Clinico-therapeutic studies on canine transmissible venereal tumour. Pakistan Vet. J. 21(1): 39-43.

Bastan AD, Baki A, Cengiz M. 2008. Uterine and ovarian metastasis of transmissible venereal tumour in a bitch. Turkey J. Vet. Anim. Sci. 32(1): 65–66.

Berata IK, Winaya IBO, Mirah AAA, Adnyana IBW, Kardena IM. 2011. Patologi veteriner umum. Bahan Ajar. Denpasar. Fakultas Kedokteran Hewan. Universitas Udayana.

Brock KA. 2001. Preanaesthetic use of atropine in small animals. Australian Vet. J. 79(1): 24-25.

Das AK, Das U, Das D, Sengupta J .1990. Histopathologial study of canine transmissible venereal tumor. Indian Vet. J. 67(5): 473-474.

Das D, Kumthekar S, Manikantha KGV, Achary KH. 2020. Sticker tumour (Transmissible venereal tumour) in dog. The Pharm. Innov. J. 9(9): 126-130.

Eze CA, Anyanwu HC, Kene ROC. 2007. Review of canine transmissible venereal tumour (TVT) in dogs. Nigerian Vet. J. 28(1): 54-70.

Ganguly B, Das U, Das AK. 2013. Canine transmissible venereal tumour: a review. Vet. Comparative Oncol. 14(1): 1-12.

Hahn KA. 1990. Vincristine sulfate as single-agent chemotherapy in a dog and a cat with malignant neoplasms. J. American Vet. Med. Assoc. 197: 504506.

Hsiao YW, Liao KW, Hung SW, Chu RM. 2002. Effect of tumor infiltrating lymphocyte on the expression of MHC molecules in canine transmissible venereal tumor cells. Vet. Immunol. Immunopathol. 87: 19–28.

Hiblu MA, Khabuli NM, Gaja AO. 2019. Canine transmissible venereal tumor:

First report of three clinical cases from Tripoli, Libya. Open Vet. J. 9(2): 103105.

Hijrineli, Soenarjo, Harahap MS. 2013. Pengaruh asam traneksamat pada profil koagulasi pasien yang mendapatkan ketorolak. J. Anestesiol. Indon. 5(3): 183-192.

Islam MS, Das S, Alim MA, Uddin MM, Kabir MHB, Islam MT, Ghosh KK, Masuduzzaman M. 2014. Progressive type of canine transmissible venereal tumor (CTVT) in a male stray dog: a case report. Res. J. Vet. Pract. 2(4): 7072.

Jones LM, Booth NH, McDonald LE. 1997. Veterinary     pharmacology     and

therapeutics. Oxford and IBH Pub. Co. New Delhi. Pp. 292- 365.

Kucukbekir CN, Ucmak ZG, Tek G. 2021. Canine transmissible venereal tumor: etiology, diagnosis and treatment. J. Istanbul Vet. Sci. 5(1): 57-65.

Kumar K, Jha AK, Ray K, Gautam AK, Singh D. Diagnosis of Tvt with cell cytology and efficacy of treatment with vincristine sulfate in non- descriptive indian canine breeds. 2020. Indian Journal of Animal Research (): 1-4.

Laksmi IGA, Gorda IW, Jayawardhita AAG. 2019. Laporan kasus: penanganan venereal sarcoma pada anjing lokal betina dengan pembedahan dan kemoterapi. Indon. Med. Vet. 8(4): 414423.

Longo DL, Kasper DL, Jameson JL, Fauci AS, Hauser AL, Loscalzo J. 2012. Harrison’s principles of internal medicine.18th ed. United States of America: The McGraw-Hill Companies, Inc.

Mackie EJ, Halfter W, Liverani D. 1988. Induction of tenascin in wound healing. J. Cell Biol. 107: 2757-2767.

Mascarenhas MB, Peixoto PV, Regina RR, Elise MY, Samay ZRC, Driemeier D, Sonne L, Franca TN. 2014. Immunohistochemical study of genital and extragenital forms of canine

transmissible venereal tumor in Brazil. Pesq. Vet. Bras. 34(3): 250-254.

Mitaart D, Hatibie M, Noersasongko D. 2017. Perbandingan penyembuhan luka insisi menggunakan pisau bedah dan pisau elektrokauter dinilai dengan vancouver scar score pada operasi luka bersih. J. Biomed. 9(3): 191-197.

Nasrudin F, Kardena M, Supartika KE. 2014. Indeks mitosis venereal sarcoma pada anjing lokal di Denpasar. Indon. Med. Vet. 3(4): 334-343.

Plumb DC. 2008. Plumb’s veterinary drug handbook 6th edition. The IOWA.

Pramono WB, Leksana E, Satoto HH. 2016. Pengaruh pemberian ropivakain infiltrasi terhadap tampilan kolagen di sekitar luka insisi pada tikus wistar. J. Anestesiol. Indon. 8(1): 1-10.

Regmi S, Mahato P, Devkota I, Neupane RP, Khulal A, Tiwary AK. 2020. A case report on canine transmissible venereal tumor. J. Zool. Res. 2(2): 11-14.

Rocha NS, Tremori TM, Carneiro JAM. 2014. Fine needle aspiration cytology in the diagnosis of canine cutaneous transmissible venereal tumor-case report. Open J. Vet. Med. 4: 204-209.

Stockham   SL,   Scott MA. 2008.

Fundamentals of veterinary clinical pathology. 2nd Edition, Blackwell Publishing, Ames, 61-64.

Sudisma IGN, Pemayun IGAGP, Jayawarditha AAG, Gorda IW. 2006. Ilmu bedah veteriner dan teknik operasi. Pelawa Sari. Denpasar.

Wintoko R, Yadika AND. 2020. Manajemen terkini perawatan luka. J. Kes. Universitas Lampung. 4(2): 183189.

Yudaniayanti IS, Maulana E, Ma’rufl EM, Ma’rufl A. 2010. Profil penggunaan kombinasi ketamin-xylazine dan ketamin-midazolam sebagai anestesi umum terhadap gambaran fisiologis tubuh pada kelinci jantan. Vet. Med. 3(1): 23-30.

Tabel 1. Hasil pemeriksaan hematologi lengkap anjing kasus.

Hematologi

Hasil

Nilai Referensi

Satuan

Keterangan

WBC

11,8

6,0-17,0

10^9 /L

Normal

Limfosit

5,5

0,8-5,1

10^9 /L

Meningkat

RBC

4,88

5,5-8,5

10^12 /L

Menurun

HGB

103

110-190

g/L

Menurun

HCT

37,2

39-56

%

Menurun

MCV

76,4

62-72

fL

Meningkat

MCH

21,1

20-25

Pg

Normal

MCHC

276

300-380

g/L

Menurun

Keterangan: WBC= White Blood Cell; RBC= Red Blood Cell; HGB= Hemoglobin; MCV= Mean Corpuscular Volume; MCH= Mean Corpuscular Hemoglobin; MCHC= Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration; HCT= Hematokrit.

Gambar 1. Massa tumor yang terdapat pada bagian vagina anjing kasus

Gambar 2. Hasil pemeriksaan sitologi pada massa transmissible venereal tumor anjing kasus. Intra-nuclear (A) dan intra-sitoplasma (B) vakuola, () limfosit, () nukleus. (Perbesaran objektif 400x, Pewarnaan Giemsa).

Gambar 3. Hasil pemeriksaan histopatologi transmissible venereal tumor anjing kasus. Limfoblas (), limfosit (), dan () sel mitosis () stroma jaringan ikat.

(Perbesaran objektif 400x, Pewarnaan H&E).

Gambar 4. Prosedur Operasi Canine Transmissible Venereal Tumor (CTVT). Hewan diposisikan ventral recumbency (A), Vulva dikuakkan menggunakan allice forcep (B).

Gambar 4. Prosedur Operasi Canine Transmissible Venereal Tumor (CTVT). Perbatasan jaringan tumor dan jaringan sehat dijepit menggunakan Artery clamp (C), Eksisi pada massa tumor (D).

Gambar 4. Prosedur Operasi Canine Transmissible Venereal Tumor (CTVT).

Ligasi pembuluh darah pada luka eksisi (E), Peletakan tampon yang dibasahi dengan epinephrine pada luka eksisi yang masih mengalami perdarahan (F).

Gambar 5. Kondisi vulva anjing kasus pada hari kedua pascaoperasi.

584