Buletin Veteriner Udayana                                                   Volume 15 No. 6: 1138-1149

pISSN: 2085-2495; eISSN: 2477-2712                                                Desember 2023

Online pada: http://ojs.unud.ac.id/index.php/buletinvet        https://doi.org/10.24843/bulvet.2023.v15.i06.p13

Terakreditasi Nasional Sinta 4, berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi No. 158/E/KPT/2021

Pembentukan Perarem Tentang Tata Cara Pemeliharaan Anjing dan Kucing di Desa Adat Sega, Bunutan, Karangasem, Bali

(ESTABLISHMENT OF A TRADITIONAL VILLAGE REGULATION CONCERNING TO THE MANAGEMENT OF DOGS AND CATS IN THE TRADITIONAL SEGA VILLAGE, BUNUTAN, KARANGASEM BALI)

Putu Velynawati 1*, Janice Girardi 2, I Made Subrata3,4, Pande Putu Januraga 3,4, Ni Wayan Arya Utami4, Sang Gde Purnama4, Ida Bagus Ngurah Swacita5, Anne Dawdoya6, Ngakan Putu Anom Harjana3,4, Kadek Karang Agustina5

  • 1Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat, Universitas Udayana, Bali, Jl. PB Sudirman Denpasar, Bali 80223;

  • 2Bali Animal Welfare Association, Jl. A.A. Gede Rai No.550, Lodtunduh, Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar, Bali 80571;

  • 3Center Public Health of Innovation, , Jl. PB Sudirman Denpasar, Bali 80223; 4Departemen Kesehatan Masyarakat dan Kedokteran Pencegahan, Universitas Udayana, Bali, Jl. PB Sudirman Denpasar, Bali 80223;

  • 5Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Udayana, Jl. PB Sudirman Denpasar, Bali 80223;

*Corresponding author email: [email protected]

Abstrak

Kematian manusia akibat rabies yang terjadi di wilayah Desa Adat Sega pada tahun 2018 membuat aparat desa menilai bahwa rabies merupakan ancaman bagi masyarakat di wilayah desa adat tersebut. Kehadiran program dharma di tahun 2020 di desa adat sega membantu upaya penyadaran masyarakat terkait bahaya rabies dan pentingnya vaksinasi dalam pencegahan dan penanggulangan rabies. Pembentukan sebuah peraturan di internal desa dinilai perlu dan penting untuk disusun untuk membantu dan menunjang upaya pengendalian rabies di wilayah Desa Adat Sega. Perarem pangele mulai disusun menggunakan metode FGD (Focus Group Discussion) bersama dengan pihak internal desa adat yang terdiri dari bendesa adat, prajuru dan tokoh masyarakat. Pertimbangan pakar hukum dan akademisi dari Program Dharma juga dimasukkan dalam menyempurnakan draft perarem pangele. Hasil draft Perarem kemudian dikonsultasikan dengan lembaga terkait dan direvisi sesuai dengan kaidah, tata bahasa yang sistematis. Perarem ini telah terbit dengan nomor registrasi P/0038/1206/043/07/DPMA/2022 dengan judul Perarem Pangele No 07 Tahun 2021 Tentang Tata Cara Pemeliharaan Anjing dan Kucing di Desa Adat Sega, Desa Bunutan Kecamatan Abang Kabupaten Karangasem. Terdapat 4 point penting yang terkandung dalam perarem pangele ini adalah berkaitan dengan hak dan kewajiban pemilik anjing dan kucing, cara pemeliharaan anjing dan kucing, cara penanganan anjing dan kucing serta larangan dan sanksi pelanggaran. Sosialisasi lebih lanjut perlu dilakukan untuk mengimplementasikan perarem pangele ini.

Kata kunci: anjing; cara pemeliharaan; kucing; perarem; rabies

Abstract

Human deaths due to rabies that occurred in the Sega traditional village area in 2018 made the village consider that rabies is a threat to the community in the Sega traditional village area. The presence of the dharma program in 2020 in Sega traditional villages helps raise public awareness regarding the dangers of rabies and the importance of vaccination in the prevention and control of rabies. The establishment of an internal regulation in the village is considered necessary and important to be drafted to assist and support efforts to control rabies in the area of the Sega traditional village. Perarem pangele

began to be compiled using the FGD (Focus Group Discussion) method together with the internal parties of the traditional village consisting of the traditional bendesa, prajuru and community leaders. The considerations of legal experts and academics from the Dharma Program were also included in perfecting the draft perarem pangele. The results of the Perarem draft were then consulted with related institutions and revised in accordance with the rules, systematic grammar. This Perarem has been issued with registration number P/0038/1206/043/07/DPMA/2022 with the title Perarem Pangele No. 07 of 2021 concerning Procedures for Caring for Dogs and Cats in Sega Traditional Village, Bunutan Village, Abang District, Karangasem Regency. 4 important points contained in this pangele perarem are related to the rights and obligations of dog and cat owners, how to maintain dogs and cats, how to handle dogs and cats as well as prohibitions and sanctions for violations. Further socialization needs to be done to implement this pangele perarem.

Keywords: first perarem; how to raise dogs and cats; rabies

PENDAHULUAN

Rabies merupakan salah satu penyakit zoonosis yang artinya ditularkan oleh hewan ke manusia malalui air liur pada gigitan hewan penular rabies dan mengakibatkan tingkat kefatalan hampir 100% (Suardana, 2015). Rabies tersebar di semua benua, kecuali benua Antartika dan 95% kematian manusia terjadi di kawasan benua Asia dan Afrika. Diperkirakan 35.172 kematian manusia (59,6% dari kematian global) terjadi per tahun di Asia karena rabies yang ditularkan melalui anjing (WHO, 2018). Dalam 99% kasus yang terjadi, anjing peliharaan merupakan hewan yang bertanggung jawab atas kasus penularan virus rabies ke manusia yang paling tinggi. Penyakit rabies menjadi salah satu masalah prioritas secara nasional. Saat ini terdapat 26 provinsi di Indonesia dinyatakan tertular rabies (Hukmi, 2019). Provinsi Bali sendiri mengalami Kejadian Luar Biasa (KLB) Rabies pada tahun 2020 dimana terjadi kejadian kematian manusia 2 orang dibandingkan tahun sebelumnya yaitu tahun 2019 terdapat nol kasus (Dinkes Prov.Bali, 2020).

Di Karangasem, ada beberapa kecamatan yang termasuk ke dalam zona merah rabies. Zona merah rabies adalah area dimana ditemukannya banyak kasus gigitan anjing dengan spesimen hewan positif rabies dalam 6 bulan terakhir. Pada tahun 2020 terdapat 40 kasus GHPR dengan spesimen hewan yang diuji positif rabies tersebar di seluruh kecamatan di

Kabupaten Karangasem termasuk Kecamatan Abang. Sejak tahun 2016 sampai tahun 2020, kematian manusia akibat rabies di Kabupaten Karangasem terjadi setiap tahun, dan di tahun 2018 terjadi 1 kematian manusia akibat rabies di wilayah Desa Adat Sega yakni di Banjar Banyuning (Dinkes Kab. Karangasem, 2021).

Mempertimbangkan bahwa rabies merupakan penyakit dengan CFR (Case Fatality rate) 100% maka pencegahan merupakan hal yang sangat penting dan krusial untuk dilakukan. Sifat penyakit zoonosis terutama rabies yang multifaset mempersulit cara pencegahan dan pengendalian rabies. Pendekatan One Health yang bersifat multi-sektoral menjadi strategi yang paling efektif dan efisien untuk mengatasi rabies (Acharya et al., 2020). Di Indonesia, Kementerian Kesehatan telah menetapkan strategi eliminasi rabies yang dilakukan melalui integrasi strategi One Health dengan melibatkan banyak pemangku kepentingan melalui advokasi, sosialisasi, vaksinasi massal HPR, manajemen populasi terhadap anjing, dan profilaksis sebelum dan sesudah pajanan dengan pemberian VAR. Strategi ini sejalan dengan “Zero by 30” yakni gerakan secara global untuk mencapai nol kematian manusia akibat rabies yang ditularkan melalui perantara anjing pada tahun 2030, yang didukung oleh World Health Organization (WHO), World Organization for Animal Health (OIE), Food and Agriculture Organization of the

United Nations (FAO), and Global Alliance for Rabies Control (GARC) (Gholami dan Alamdary, 2020).

Dalam strategi pengentasan rabies “Zero by 30” salah satu strategi yang harus dilaksanakan oleh setiap daerah dalam pengendalian dan penanggulangan rabies adalah KIE (Komunikasi, Informasi dan Edukasi). Dalam mensukseskan gerakan global “Zero by 30” dibentuklah “Program dharma” sebuah program kolaborasi antara Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat FK. Udayana bersama dengan CPHI FK. Udayana, Fakultas Kedokteran Hewan Udayana, Dinas Pertanian, Dinas Kesehatan, Yayasan BAWA, FourPaws dan pemerintah Desa terkait yang dirancang berdasarkan teori perubahan perilaku untuk mengendalikan rabies melalui pemberdayaan masyarakat dengan meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang rabies, peningkatan cakupan vaksinasi rabies, pengendalian populasi HPR dan layanan Hotline darurat (Utami et al., 2019).

Program Dharma diimplementasikan di 3 desa di wilayah Kabupaten Karangasem, salah satunya berada di wilayah Desa Adat Sega dimana terjadi 1 kasus kematian akibat rabies pada tahun 2018. Program ini dijalankan sejak tahun 2020 untuk mengentaskan rabies dengan cara yang paling humanis dengan memeperhatikan konsep kesehatan manusia yang ditunjang oleh kesehatan hewan dan kesehatan lingkungan di wilayah desa. Banyak tantangan yang dihadapi dalam menjalankan program ini di wilayah desa Adat Sega, menilai dari segi geografis desa ini sangat multicultural dimana topografinya tidak hanya pegunungan tetapi juga perbukitan, daerah pesisir sampai daerah pariwisata dan terdapat beberapa wilayah di desa adat sega juga masih terisolir tanpa jaringan dan internet, bahkan ketersediaan air juga terbatas. Hal ini membuat sifat kelompok masyarakat yang multidimensi mempengaruhi Program Dharma dalam

upaya penyadaran perilaku masyarakat akan bahaya rabies.

Secara sosiologis penyadaran sosial dengan tujuan perubahan perilaku masyarakat tidak hanya dapat dilakukan oleh bantuan program external desa namun hal ini dapat dilakukan dengan menggerakkan struktur sosial yang ada, memanfaatkan kearifan dan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat serta rekayasa sosial. Dalam konteks ini, Bali mempunyai struktur sosial yang berpengalaman, melekat, tradisional dan “ditakuti” oleh masyarakat yaitu Desa Adat Pekraman. Pada peraturan daerah Bali yang mengatur mengenai desa adat terkandung pesan pada bidang keagamaan yang dapat diartikan secara luas yang salah satunya adalah menjaga dan memelihara kenyamanan hidup masyarakat dan menjaganya dari ancaman penyakit menular (Bali, 2019). Maka dari itu pencegahan dan penanggulangan rabies di desa adat Sega akan lebih kuat ruhnya ketika diimplementasikannya sebuah “Perarem”. Penulis akan menjabarkan bagaimana program Dharma membantu Desa Adat Sega dalam menyadarkan seluruh masyarakat di lingkungan wilayah desa adat sega melalui penyusunan dan penerbitan Perarem di desa Adat Sega dalam rangka pencegahan dan penanggulangan rabies.

METODE PENELITIAN

Langkah-langkah yang diambil dalam menjawab isu pencegahan dan penaggulangan rabies yang dihadapi oleh Desa Adat Sega yaitu dengan berkolaborasi bersama Program Dharma (Universitas Udayana, Yayasan BAWA dan Fourpaws) dimulai dengan langkah-langkah berikut : mengulas kembali norma-norma yang ada di Desa Adat yang telah diformulasikan sebelumnya, mengumpulkan peratutan perundang-undangan/ peraturan daerah mengenai pemberantasan rabies di Bali dan di Karangasem, melakukan studi telaah pustaka mengenai pengecegahan dan penanggulangan rabies, dilanjutkan dengan

menyusun draft Perarem (Hasil diskusi dari setiap perwakilan prajuru banjar Adat dan pihak terkait) dan penyesuaian aspek tata bahasa yang sistematis. Hasil penyusunan draft tulisan Perarem kemudian dibahas pada Paruman berikutnya. Focus Group Discuccion merupakan metode yang digunakan oleh setiap prajuru dalam Paruman penyusunan perarem ini. Revisi dan penyesuaian dilakukan sesuai dengan hasil paruman. Hasil draft Perarem kemudian dikonsultasikan kepada MDA (Majelis Desa Adat) Kecamatan, Kabupaten dan Provinsi Bali. Draft akhir perarem yang telah dikonfirmasi oleh MDA kemudian disubmit ke Dinas PMA (Pemajuan Masyarakat Adat) Provinsi Bali untuk mendapatkan nomor registrasi.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Interpretasi Fungsi Legal Hukum Adat “Perarem” dalam pencegahan dan penanggulangan rabies

Sebelum jaman penjajahan masuk ke Indonesia eksistensi pemerintahan desa adat dalam penyelenggaraan pemerintah desa telah terlebih dulu ada. Hal ini dapat dilihat dari instrumen yang memfasilitasi hukum adat telah dijalankan oleh sistem kepemerintahan desa pada jaman dahulu. Hal lain dapat dibuktikan dengan adanya penerapan konsep Tri Hita Karana yang merupakan filosofi Hindu yang mengatur kehidupan sosial bermasyarakat (Adharinalti, 2012).

Menurut Perda Bali No. 4 Tahun 2019, Pemerintahan Desa Adat adalah penyelenggaraan tata kehidupan bermasyarakat di Desa Adat yang berkaitan dengan Tri Hita Karana (Parahyangan, Pawongan, dan Palemahan). Tri Hita Karana yang dimaksud memiliki cakupan a. rasa bhakti Krama kepada Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa; b. kebersamaan, kepedulian, dan kesetiakawanan/punia antara Krama dengan sesama; dan c. keserasian, keselarasan, serta kewelas-asihan/asih Krama terhadap alam dan lingkungan (Bali, 2019).

Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasal 18B ayat (2) menyatakan bahwa “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Reepublik Indonesia yang diatur dalam undang-undang”. Dengan ketentuan ini maka dapat disimpulkan bahwa Hukum Adat dilandasi oleh hukum negara yang mendapatkan pengayoman serta diakui konstitusi memiliki kemampuan hukum (Legal capacity).

Masyarakat di Bali khususnya di Karangsem memiliki nilai sosial yang sangat tinggi sehingga bisa menggerakkan massa jika terdapat sebuah ancaman. “Gering” adalah konsepsi ancaman masyarakat berupa sakit keras, menyebar, dan mengancam eksistensi sosial. Pada tahun 2020 Covid-19 merupakan salah satu penyakit yang disebut oleh Majelis Desa Adat sebagai Gering agung yang artinya penyakit mematikan yang mengancam masyarakat dan memiliki dampak negatif yang sangat besar (Artajaya, 2020).

Rabies merupakan penyakit zoonisis yang pernah eksis di wilayah Desa Adat Sega, bahkan kasus kematian 1 orang laki-laki dari banjar Banyuning pernah membuat geger 1 wilayah desa adat. Beberapa banjar adat membuat awig-awig terkait sanksi ketika terjadi kasus gigitan hewan penular rabies, mengingat perantara virus ini yaitu anjing yang populasinya sangat besar di wilayah ini. Namun awig-awig ini berjalan kurang efektif dalam pencegahan dan penanggulangan rabies di wilayah desa adat sega. Hal ini dinilai dari cakupan vaksinasi rabies di wilayah desa adat sega masih rendah. Cakupan vaksinasi yang rendah berhubungan positif dengan peningkatan risiko penularan rabies (Arief et al., 2017)

Dengan urgency ini maka Rabies dipandang sebagai “Gering Agung” sehingga masyarakat seluruhnya turun bersama mengentaskan rabies dengan cara yang paling efektif. Sebagai legitimasi

sosial, seluruh tokoh masyarakat, tokoh agama dan Desa pekraman memfatwakan rabies ini sebagai ancaman masyarakat sehingga pembentukan “Perarem” memiliki roh yang kuat dalam memberantas rabies. Perarem adalah aturan /keputusan Paruman Desa Adat sebagai pelaksanaan Awig-Awig atau mengatur hal-hal baru dan/atau menyelesaikan perkara adat/wicara di Desa Adat.

Pembentukan perarem terkait pencegahan dan penanggulangan rabies ini sejalan dengan Tugas Desa Adat dalam mewujudkan kasukretan sakala dan niskala dimana salah satunya adalah melaksanakan kegiatan sesuai dengan nilai-nilai Sad Kerthi. Hal ini juga seirama dengan visi pemerintah provinsi Bali yaitu Nangun Sad Kerthi Loka Bali yang salah satu misinya adalah terkait kesehatan masyarakat (DISDIKPORA BALI, 2019).

Pertimbangan dan Telaah pustaka dalam penyusunan Isi Perarem

Penelitian Setiawan pada tahun 2008 mengungkapkan bahwa populasi anjing sangat tinggi di provinsi Bali dan mayoritas hidup berkeliaran sehingga permasalahan utama dalam pencegahan rabies adalah kurangnya respon masyarakat dalam pengendalian populasi anjing dan mobilitas anjing serta kurangnya partisipasi aktif pemilik anjing untuk memvaksinasi anjingnya (Setiawan, 2018). Permasalahan anjing yang berkeliaran ini tidak hanya dapat dipahami pada satu sisi namun berbagai aspek seperti lingkungan, budaya, agama, sosio-ekonomi bahkan aspek mistik yang juga berkembang di masyarakat. Tingginya populasi anjing berkeliaran di pulau Bali merupakan salah satu faktor penghambat dalam pengentasan rabies.

Eksistensi anjing di pulau Bali merupakan bagian dari adat dan ritual kelompok masyarakat. Anjing yang berkeliaran di tempat-tempat umum seperti jalan, pantai adalah mayoritas anjing berpemilik (60-70%) namun tidak dipelihara dengan baik dan dilepas liarkan. Mereka hidup dengan mengandalkan kemampuan bertahan dirinya sendiri dari

sisa makanan pada tempat-tempat umum atau sesajen (Satya and Naipospos, 2010). Berdasarkan hasil data pemetaan yang dilakukan oleh program dharma dari tahun 2020 sampai 2021 di wilayah desa adat sega, total populasi anjing berpemilik adalah 1850 ekor. Kepadatan populasi ini cukup mengkhawatirkan mengingat mayoritas masyarakat juga melepas liarkan anjing-anjing mereka.

Terdapat banyak negara termasuk di Indonesia dan di Bali melakukan eliminasi massal pada anjing yang berkeliaran (pembantaian anjing besar-besaran) sebagai tindakan pemberantasan rabies namun tidak mengahsilkan dampak positif pada pengendalian rabies. Eliminasi massal atau pemusnahan populasi anjing sangat tidak efektif dalam mengurangi kasus rabies dan pengaruh eliminasi anjing pada rabies sangat kecil (Morters et al., 2013) karena anjing yang telah tervaksin juga berpeluang untuk tereliminasi. Terlebih biaya untuk eliminasi jauh lebih besar dibandingkan dengan memvaksin anjing (Haesler B et al., 2012). Ada beberapa wilayah di Indonesia masih menerapkan praktek ini karena ketakutan dan persepsi masyarakat akan program pemerintah yang terdahulu, oleh karena itu kampanye wajib dilakukan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat bahwasanya eliminasi massal bukan solusi pemberantasan rabies (Widyastuti et al., 2015).

Pendekatan One Health menyatakan bahwa kesehatan manusia secara bersamaan terhubung dengan kesehatan hewan dan kesehatan lingkungan, maka dari itu pendekatan ini paling efektif dalam manajemen pengentasan wabah rabies pada manusia dan hewan. Pengendalian penularan rabies dari hewan ke manusia tidak hanya mengurangi kebutuhan vaksin pasca pajanan/ PEP namun juga mengurangi beban anggaran pengendalian rabies pada manusia, mengingat beban anggaran rabies paling tinggi berada pada tindakan kuratif yakni pemberian VAR pada manusia. Gambar 1 menjabarkan kerangka konseptual pengendalian rabies

pada manusia melalui pendekatan One Health (Acharya et al., 2020).

Surveilans yang efektif dan efisien

Dalam perencanaan dan pelaksanaan program pengendalian rabies baik pada manusia dan hewan, variabel jumlah populasi anjing merupakan merupakan variabel penentu yang dianggap sebagai integral dari program pengendalian rabies (Widyastuti et al., 2015). Jumlah populasi anjing dapat diketahui dengan kegiatan surveilans aktif di tingkat desa dengan mendata jumlah anjing yang berada di desa tersebut. Jumlah populasi anjing menjadi sangat penting dalam menilai risiko paparan rabies pada manusia dan angka ini juga dibutuhkan dalam merencanakan pelaksanaan vaksinasi rabies sehingga dapat diketahui presentase cakupan vaksinasi, ketika cakupan vaksinasi rabies setidaknya 70  % maka dinilai dapat

memutus rantai penularan rabies (States, 2017).

Kesejahteraan Hewan

Keberadaan anjing-anjing yang berkeliaran tanpa pengawasan pemilik memiliki implikasi serius terhadap pengendalian penyakit pada hewan bahkan mempengaruhi kesejahteraan hewan termasuk mempengaruhi cakupan vaksinasi (Bouli et al., 2020). Perhatian pemilik anjing terhadap kesejahteraah hewan peliharaannya masih sangat rendah, edukasi mengenai tata cara pemeliharaan anjing sangat perlu dilakukan untuk bali bebas rabies (Suartha et al., 2014). Kondisi di desa adat Sega juga tidak jauh berbeda, masih banyak masyarakat yang tidak menaruh perhatian pada kondisi hewan peliharaan padahal hal tersebut berdampak pada berbagai macam penyakit hewan yang dapat timbul dan dapat menular ke manusia terutama rabies.

Tata cara pemeliharaan hewan yang baik menurut kaidah hukum internasional adalah menganut pada 5 kebebasan yaitu : bebas dari rasa haus dan lapar; bebas dari rasa sakit, cidera dan penyakit; bebas dari rasa tidak nyaman; bebas dari rasa takut dan penderitaan dan bebas mengekpresikan

tingkah laku alamiah (Lloyd, 2008). Pentingnya mengatur regulasi mengenai cara pemeliharaan terkait pencegahan penularan rabies di wilayah desa adat sega selain mengurangi kepadatan anjing liar yang berpotensi menularkan rabies, hal ini juga meningkatkan kesejahteraan hewan yang berimplikasi pada peningkatan cakupan vaksinasi rabies.

Perdagangan dan Konsumsi daging anjing

Perdagangan, penyembelihan, dan konsumsi daging anjing adalah faktor-faktor ini mungkin merupakan sumber paparan dan infeksi penyakit rabies ke manusia. Hal ini juga merupakan bentuk kekejaman pada hewan, dimana biasanya anjing dibantai sebelum disembelih, tidak hanya itu hal seperti ini juga berpengaruh pada pengendalian rabies, bukti menguatkan bahwa 28% anjing yang disembelih mengandung virus rabies (Garba et al.,  2013). Penelitian lain

menyebutkan antigen rabies diteksi sejumlah 5,3% dari seluruh sampel otak anjing yang disembelih. Praktek penyembelihan anjing ini merupakan faktor risiko penularan rabies dan berimplikasi pada kesehatan masyarakat (Okeme et al., 2020). Tidak dapat dipungkiri bahwa masih ada kebiasaan mengkonsumsi daging anjing di wilayah dea adat sega, untuk itu perlu adanya edukasi atau regulasi yang mengatur mengenai konsumsi daging anjing untuk mencegah penularan rabies ke manusia

Dari berbagai sumber hasil penelitian diatas, maka tim penyusun Perarem di desa Adat Sega memtutuskan untuk mengambil 4 pendekatan informasi yang akan dituangkan untuk meregulasi masyarkat adat di desa adat sega terkait pengendalian rabies di desa adat sega, diantaranya: Surveilans aktif berupa pendataan populasi anjing yang nanti akan dilakukan oleh desa adat; Cara pemeliharaan hewan menganut kesejahteraan hewan termasuk anjing dan kucing; Cara penanganan hewan terkait perawatan kesehatan (manajemen populasi dan vaksinasi); dan Pelarangan penelantaran dan konsumsi daging anjing.

Langkah Penyusunan Perarem

Proses penyusunan perarem di desa adat sega dilakukan oleh Jero Bendesa Desa Adat Sega, pihak intern dari jajaran prajuru desa adat dan banjar adat yang berjumlah 15 orang. Tidak hanya dari internal desa adat, beberapa pakar hukum dan tim akademisi dari tim project Program Dharma juga meberikan pertimbangan dalam penyusunan Perarem ini agar sesuai dengan kaidah hukum yang berlaku dan rasional serta humanis untuk dapat diimplementasikan di desa adat sega melalui pendekatan “One Health” dalam mencegah dan mengendalikan rabies. Meode yang digunakan di setiap Paruman yang dilakukan adalah FGD (Focus Groups Discussion). Gambar 2 menjelaskan langkah dan tahapan dan penyusunan perarem di desa adat Sega:

Penerbitan dan isi dari “Perarem Tata Cara Pemeliharaan Anjing dan Kucing”

Perarem yang telah terbit berjudul Perarem Pangele No 07 Tahun 2021 Tentang Tata Cara Pemeliharaan Anjing dan Kucing di Desa Adat Sega, Desa Bunutan Kecamatan Abang Kabupaten Karangasem yang disetujui oleh MDA Provinsi Bali pada tanggal 2 Februari 2022 dan ditanda tangani oleh Bendesa Agung Ida Panglingsir Agung Putra Sukahet kemudian telah teregistrasi di Dinas PMA (Pemajuan Masyarakat Adat) Provinsi Bali dengan nomor registrasi P/0038/1206/043/07/DPMA/2022.

Perarem pangele artinya peraturan yang dibuat melalui keputusan rapat adat untuk mengisi kekosongan aturan yang belum pernah diatur sebelumnya. Dalam Pearem Perarem Pangele No 07 Tahun 2021 Tentang Tata Cara Pemeliharaan Anjing dan Kucing di Desa Adat Sega terkandung 7 bab intisari, ringkasan penjelasan untuk masing masing bab akan diuraikan dalam tabel 1.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan pemaparan diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa Desa Adat Sega mengambill keputusan untuk membuat Perarem Pangele untuk melindungi masyarakatnya dari ancaman rabies. Berbagai pertimbangan pakar hukum dan akademisi juga telah dimasukkan untuk menyempurnakan perarem yang dibuat dengan menggunakan pendekatan “One Health” dengan cara yang paling humanis dan rasional untuk dapat diimplementasikan. Perarem ini telah terbit dengan         nomor         registrasi

P/0038/1206/043/07/DPMA/2022 dengan judul Perarem Pangele No 07 Tahun 2021 Tentang Tata Cara Pemeliharaan Anjing dan Kucing di Desa Adat Sega, Desa Bunutan Kecamatan Abang Kabupaten Karangasem.

Saran

Perlu sosialisasi lebih lanjut mengenai isi perarem tersebut kepada seluruh krama desa adat sega termasuk tamu yang berada di wilayah desa adat sega.

UCAPAN TERIMAKASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada bendesa dan masyarakat Desa Adat Sega, Majelis Desa Adat Kabupaten Karangasem, Majelis Desa Adat Provinsi Bali dan Dinas Pemajuan Desa Adat.

DAFTAR PUSTAKA

Acharya KP, Acharya N, Phuyal S, Upadhyaya M, Lasee S. 2020. Onehealth approach: A best possible way to control rabies. One Health. 10: 100161.

Adharinalti A. 2012. Eksistensi hukum adat dalam penyelenggaraan pemerintahan desa di Bali. J. Rechts. Vinding. 1(3): 409-418.

Arief RA, Hampson K, Jatikusumah A, Widyastuti MD, Basri C, Putra AA, Unger F. 2017. Determinants of vaccination      coverage      and

consequences for rabies control in Bali, Indonesia. Front. Vet. Sci.3(123): 1-8.

Artajaya GS. 2020. The COVID-19 pandemic perspective of religious literature studies In Bali. Widyadari. 21(2): 652–664.

Bali G. 2019. Perda Provinsi Bali No 4 Tahun 2019 Tentang Desa Adat di Bali.

Bouli FPNO, Awah-Ndukum J, Mingoas KJP, Tejiokem MC, Tchoumboue J. 2020. Dog demographics and husbandry practices related with rabies in Cameroon. Trop.  Anim.  Health

Prod. 52(3): 979-987.

Dinkes Kab. Karangasem. 2021. Laporan rabies karangsem 2016-2020.

Dinkes Prov. Bali. 2020. Laporan kasus GHPR Provinsi Bali.

Disdikpora Bali. 2019. Nangun Sat Kerthi Loka Bali, Online, p. 1. Available at: https://disbud.baliprov.go.id/nangun-sat-kerthi-loka-bali/.

Garba A, Dzikwi AA, Okewole PA, Chitunya WB, Tirmidhi AB, Kazeem HM, Umoh JU. 2013. Evaluation of dog slaughter and consumption practices related to the control of rabies in Nigeria. J. Exp. Biol. Agric. Sci. 1(2S): 125-130.

Gholami A, Alamdary A. 2020. The world rabies day 2020: Collaborate and vaccinate. Iranian Biomed. J. 24(5): 264–268.

Haesler B. 2012. Evaluation of rabies control in the province of Bali, Indonesia. World Society for the Protection of Animals. Economic analysis of rabies control in Bali, Indonesia.

Hukmi A. 2019. National master plan for eradicating   rabies   in Indonesia.

Direktorat Jendral Peternakan dan Kesehatan   Hewan Kementerian

Pertanian. Pp. 1–100. Available at: http://keswan.ditjenpkh.pertanian.go.i

d/?p=2681.

Lloyd JKF. 2008. Concepts in animal welfare: environment enrichment. New Zealand Veterinary Nurse.

Morters MK, Restif O, Hampson K, Cleaveland S, Wood JL, Conlan AJ. 2013. Evidencebased control of canine rabies: a critical review of population density reduction. J. Anim. Ecol. 82(1): 6-14.

Okeme SS, Kia GS, Mshelbwala PP, Umoh JU, Magalhães RS. 2020. Profiling the public health risk of canine rabies transmission in Kogi state, Nigeria. One Health. 10: 100154.

Satya T, Naipospos P. 2010. Rabies, zoonosis dan anjing jalanan. Pp. 1–4.

Setiawan KH. 2018. Human behaviour in keeping dogs and its relationship to rabies. Int. Res. J. Manag. IT Soc. Sci. 5(6): 105-113.

States WHO M. 2017. Human rabies: 2016 updates and call for data Rage humaine : mise a jour de 2016 et appel à la communication de données. Pp. 13–20.

Suardana IW. 2015. Penyakit menular dari hewan ke manusia. PT. Kanisius.

Suartha I, Anthara M, Dewi NMRK, Wirata IW, Mahardika IGNK, Dharmayudha AAGO,  Sudimartini LM.  2014.

Perhatian  pemilik  anjing  dalam

mendukung Bali bebas rabies. Bul. Vet.Udayana. 6(1): 87-91.

Utami NWA, Agustina KK, Atema KN, Bagus GN, Girardi J, Harfoot M, Hiby E. 2019. Evaluation of communitybased dog welfare and rabies project in sanur, a sub-district of the Indonesian island province of Bali. Front. Vet. Sci. 6(193): 1-12.

WHO. 2018. WHO Expert Consultation on Rabies: WHO TRS N°1012, World Health Organization - Technical Report Series. Available at: https://www.who.int/publications/i/ite m/WHO-TRS-1012.

Widyastuti MDW, Bardosh KL, Basri C, Basuno E, Jatikusumah A, Arief RA, Gilbert J. 2015. On dogs, people, and a

rabies epidemic: results from a sociocultural study in Bali,

Indonesia. Infect. Dis. Poverty. 4(1): 118.


Program kesadaran masyarakat

Gambar 1 Kerangka konseptual tentang cara pengendalian rabies pada manusia. (Garis hijau adalah opsi pengurangan risiko dan garis merah adalah faktor risiko).

Gambar 2. Langkah penyusunan perarem


Tabel 1. Isi perarem mengenai pengaturan tata cara pemeliharaan anjing dan kucing

No

Bab

Pasal

Point terkandung

Uraian

I

Ketentuan umum

(1)

Definisi kata, istilah yang dipergunakan

Definisi Desa, Bendesa, Pemerintah desa adat, perarem desa adat, perarem, pemeliharaan, penanganan, anjing dan kucing, pemilik hewan dan krama desa adat sega, krama tamiu dan tamiu

II

(2)

Ruang Lingkup

Berlaku untuk setiap krama di wilayah desa adat sega

(3)

Maksud

  • 1.    Untuk menciptakan hubungan yang harmonis antara manusia, anjing dan kucing khususnya serta hewan pada umumnya, guna meningkatkan kualitas pariwisata.

  • 2.    Untuk mendukung upaya penanggulangan rabies secara manusiawi.

  • 3.    Untuk meningkatkan ketertiban, kebersihan dan kenyamanan di Desa Adat Sega.

(4)

Tujuan

  • 1.    Mengatur tatacara pemeliharaan anjing dan kucing.

  • 2.    Mengatur tatacara penanganan anjing dan kucing.

  • 3.    Mengatur hak dan kewajiban dalam pemeliharaan dan penanganan anjing dan kucing

III

(5)

Tata Cara Pemeliharaan Anjing dan Kucing

  • 1.    Pemeliharaan    hewan    selanjutnya    disebut

pemeliharaan anjing dan kucing adalah keseluruhan kegiatan    pemeliharaan,    sekurang-kurangnya

mencakup: penyediaan tempat hidup, pemberian makanan, dan perawatan kesehatan.

  • 2.    Kegiatan lain selain yang dimaksud dalam ayat (1) adalah kegiatan yang bermanfaat bagi kesejahteraan anjing dan kucing.

IV

(6)

Tata Cara Penanganan Anjing Dan Kucing

Penanganan adalah tindakan atau proses yang dilakukan dalam pemeliharaan kesehatan dan kesejahteraan anjing dan kucing, antara lain: perawatan kesehatan, vaksinasi, sterilisasi, dan euthanasia.

V

(7)

Hak dan Kewajiban pemilik anjing

Setiap orang atau badan hukum yang berada dan atau tinggal di Desa Adat Sega berhak memelihara anjing dan kucing.

(8)

dan kucing

  • 1.    Setiap orang atau badan hukum yang memiliki anjing dan kucing wajib bertanggungjawab terhadap peliharaannya dan memperlakukannya secara baik.

  • 2.    Setiap orang atau badan hukum sebagaimana dimaksud ayat (1) wajib berperan serta dalam pemeliharaan, program vaksinasi, pemberantasan rabies, melaporkan dan menangkap anjing dan kucing yang menggigit dan mengikuti penyuluhan.

(9)

1.

Setiap orang yang memelihara anjing dan kucing baik untuk komersil/non-komersil wajib melaporkannya kepada Pemerintah Desa Adat.

2.

Setiap orang yang melakukan kegiatan perawatan anjing dan kucing baik untuk komersil/non komersil wajib melaporkannya kepada Pemerintah Desa Adat.

3.

Pemerintah Desa Adat wajib mendata populasi anjing dan kucing, status vaksinasi dan sterilisasi.

(10)

Hak dan

Setiap Krama Desa Adat, Krama Tamiu dan Tamiu

Kewajiban

adat baik secara individu ataupun kolektif berperan

Krama Desa

serta dalam pelaporan, pemeliharaan dan penanganan

Adat

anjing dan kucing di Desa Adat Sega

VI   (11)

Larangan

1.

Setiap orang dilarang menelantarkan, membuang anjing dan kucing dalam keadaan hidup atau mati di dalam dan di luar Desa Adat Sega.

2.

Setiap orang dilarang menganiaya dan/atau membunuh dan mencuri anjing dan kucing yang berada di wilayah Desa sesuai dengan pararem Desa Adat Sega.

3.

Setiap orang dilarang memproduksi dan/atau mengedarkan, menyimpan sebagai persediaan, membeli dan menjual anjing dan kucing dalam keadaan hidup atau mati sebagai persediaan makanan untuk tujuan konsumsi.

4.

Setiap orang dilarang menyediakan makanan berbahan daging anjing dan kucing untuk konsumsi sendiri maupun orang lain.

5.

Pembunuhan Anjing dan Kucing baik disengaja maupun tidak dikenakan sanksi Adat.

(12)

Sanksi dan

1.

Pelanggaran yang dilakukan oleh perseorangan

Penyelesaian

terhadap ketentuan Pasal 11 ayat (1) sampai ayat

Pelanggaran

2.

(4) masing-masing dipanggil ke Desa Adat, apabila tidak terjadi perubahan perilaku dalam panggilan kedua, maka akan dikenakan sanksi administrasi adat.

Pelanggaran yang dilakukan oleh badan hukum terhadap ketentuan Pasal 11 ayat (1) sampai ayat (4) akan dikenakan sanksi sesuai dengan Peraturan dan Perundang-Undangan yang berlaku.

3.

anjing peliharaan yang mengotori parahyangan atau tempat suci, tempat pesangkepan/ bale banjar, meskipun anjing itu sudah divaksin, maka pemiliknya akan dikenakan sanksi pemanggilan sesuai pasal 12 ayat (1)

4.

(4)Pemilik anjing yang anjingnya menggigit seseorang harus menanggung biaya pengobatan sampai sembuh dan bila meninggal karena gigitan mereka harus ikut bersama –sama mengeluarkan dana untuk biaya kamatian.

VII

(13)  Kerjasama

1. Dalam mengimplementasikan Pararem Desa Adat

dengan pihak

ini, Pemerintah Desa Adat dapat menjalin

ketiga

kerjasama dengan Pihak Ketiga.

  • 2.    Kerjasama dimaksud dalam ruang lingkup pemeliharaan dan penanganan anjing dan kucing.

  • 3.    (3)Setiap individu atau badan hukum yang bekerja sama dengan desa adat sebagaimana disebutkan dalam ayat (2) wajib berkontribusi kepada Desa

Adat Sega.

IX

(14)  Ketentuan

Pararem Desa Adat ini mulai berlaku pada tanggal

Penutup

diundangkan.

Agar setiap orang dapat mengetahui, memerintahkan pengundangan peraturan desa adat ini dalam bentuk sosialisasi Desa Adat.

1149