Volume 15 No. 1: 20-27

Pebruari 2023

DOI: 10.24843/bulvet.2023.v01.i01.p03

Buletin Veteriner Udayana

pISSN: 2085-2495; eISSN: 2477-2712

Online pada: http://ojs.unud.ac.id/index.php/buletinvet

Terakreditasi Nasional Sinta 4, berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi No. 158/E/KPT/2021

Prevalensi Infeksi Cacing Nematoda Gastrointestinal pada Ayam Petelur di Desa Peninjoan, Kecamatan Tembuku, Kabupaten Bangli, Bali

(PREVALENCE OF GASTROINTESTINAL NEMATODE INFECTION IN LAYERS IN PENINJOAN VILLAGE, TEMBUKU DISTRICT, BANGLI REGENCY, BALI)

Agostinho Moreira Belo1*, I Nyoman Adi Suratma2, Ida Bagus Made Oka2

  • 1Mahasiswa Sarjana Dokter Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Udayana, Jl. Sudirman, Sanglah, Denpasar, Bali; Indonesia, 80234;

  • 2Laboratorium Parasitologi Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Udayana, Jl. Sudirman, Sanglah, Denpasar, Bali; Indonesia, 80234.

*Email: [email protected]

Abstrak

Nematoda termasuk kelompok parasit cacing yang penting menginfeksi unggas sehubungan dengan banyaknya spesies dan kerusakan yang ditimbulkan. Cacing nematoda yang umum menginfeksi saluran pencernaan ayam diantaranya adalah Capilaria spp, Tetrameres spp, Aquaria spp, Ascaridia galli, Strongyloides avium, Trichostrongylus sp dan Heterakis gallinarum. Faktor risiko yang berpengaruh terhadap kejadian infeksi parasit dipengaruhi oleh; hospes, parasit dan lingkungan. Faktor hospes yang paling umum berpengaruh, terhadap kejadian infeksi diantaranya: jenis ayam, umur, jenis kelamin, sedangkan faktor parasit yang mempengaruhi terjadi infeksi diantaranya: cara penularan, viabilitas (daya tahan hidup), patogenitas dan imunogenitas, serta faktor lingkungan yang berpengaruh terutama : cuaca, sanitasi kandang dan kelembaban. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui prevalensi infeksi cacing nematoda grasterointestinal pada ayam petelur serta hubungannya dengan umur ayam di Desa Peninjoan, Kecamatan Tembuku, Kabupaten Bangli, Bali. Objek penelitian yang digunakan adalah feses dari ayam petelur yang diambil secara lagsung sebanyak 240 sampel. Metode pemeriksaan yang digunakan adalah secara kualitatif dengan menggunakan metode apung. Hasil penelitian didapatkan bahwa prevalensi infeksi cacing nematoda gastrointestinal pada ayam petelur sebesar 9,17 %. Hasil analisis menunjukkan tidak ada hubungan antara umur ayam petelur dengan prevalensi infeksi cacing nematoda gastrointestinal pada ayam petelur yang dipelihara di Desa Peninjoan, Kecamatan Tembuku, Kabupaten Bangli, Bali.

Kata kunci: nematoda; cacing gasterointestinal; ayam petelur; prevalensi.

Abstract

Nematodes are among the most important class of worm parasites in poultry in terms of the number of species and the damage they cause. Common nematode worms that infect the digestive tract of chickens include: Capilaria spp, Tetrameres spp, Aquaria spp, Ascaridia galli, Strongyloides avium, and Heterakis gallinarum. Risk factors that influence the incidence of parasite infection are influenced by; host, parasites and environment. Host factors that most commonly affect the incidence of infection include: type, age, sex, while parasite factors that affect infection include: mode of transmission, viability (survival), pathogenicity and immunogenicity, as well as environmental factors that influence, especially: weather, enclosure sanitation and humidity. The purpose of this study was to determine the prevalence of nematode grastrointestinal infection in laying hens in Tembuku Subdistrict, Bangli District, Bali. The object of this study is feces from laying hens taken directly as many as 240 laying hens. The inspection method used is qualitatively using the floating method. The result showed that the prevalence of gastrointestinal nematode worm infection in laying hens was 9,17 %. The result of the data analysis showed that there was no relationship between the age of the laying

hens and the prevalence of gastrointestinal nematode worn infection in laying hens reared in Peninjoan village, Tembuku Sub-district, Bangli district, Bali.

Keywords: nematodes; gastrointestinal worms; laying hens; prevalence infection.

PENDAHULUAN

Ternak unggas yang dipelihara secara modern dan tradisional mempunyai peran yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat Indonesia (Tantri et al., 2013). Ternak unggas memiliki arti sebagai sumber pendapatan dan dilain pihak sebagai sumber pangan yang bermutu tinggi untuk masyarakat. Ternak unggas yang banyak dikenali masyarakat salah satunya adalah ayam yang merupakan salah satu sumber protein hewani yang sangat tinggi (Halidazia, 2015). Kebutuhan pemenuhan protein hewani meningkat terutama telur ayam. Telur ayam merupakan hasil ternak unggas yang mempunyai nilai gizi yang tinggi, lengkap dan mudah untuk dicerna oleh tubuh. Telur ayam merupakan sumber protein hewani di samping daging, ikan dan susu (Sudaryani dan Santoso, 1996). Cacing nematoda yang umum menginfeksi saluran pencernaan ayam diantaranya: Capilaria spp, Tetrameres spp, Aquaria spp, Ascaridia galli, Strongyloides avium, dan Heterakis gallinarum (soulsby, 1982).

Infeksi cacing nematoda gastrointestinal pada ayam selain berkompetisi memperebutkan nutrisi, juga dapat menimbulkan kerusakan ekstensif pada mukosa usus sehingga dan menggangu penyerapan (Jacob et, al., 2014). Kerugian akibat infeksi cacing pada ayam petelur, terutama menyebabkan pertumbuhan yang tidak optimal, perlambatan mencapai usia produksi, penurunan laju produksi, penurunan bobot telur dan pengafkiran lebih cepat. Kualitas telur ayam juga menjadi rendah akibat penurunan berat telur sebesar 5,35%, penurunan tebal kerabang sebesar 5,55%, dan penurunan kadar kalsium serum darah sebesar 36,6% (Zalizar et, al., 2007) dan pada infeksi berat dapat menyebabkan kematian (Kose et, al., 2009).

Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh (Ananda et al, 2017) mendapatkan prevalensi infeksi cacing gastrointestinal pada ayam petelur di Kabupaten Pringsewu, Lampung ditemukan cacing nematoda Ascaridia galli sebesar 43%, Heterakis gallinarum 10 % dan Syngamus trachea sebesar 4%. Putri (2019) melaporkan dari 75 sampel feses ayam petelur di peternakan Jhoar, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara pada umur 8 – 14 bulan terinfeksi cacing Ascaris sp. sebesar 8% dengan intensitas infeksi sebesar 33,33 telur per gram tinja, Heterakis sp. sebesar 20% dengan intensitas infeksi sebesar 300 telur/gram tinja serta pada ayam petelur berumur 15 – 21 bulan terinfeksi Heterakis spp. sebesar 8% dengan intensitas infeksi sebesar 150 telur/gram tinja.

Berdasarkan latar belakang diatas, maka peneliti berkeinginan untuk meneliti prevalensi infeksi cacing nematoda gantrointestinal pada ayam petelur serta hubungannya dengan umur ayam di Desa Peninjoan, Kecamatan Tembuku, Kabupaten Bangli.

METODE PENELITIAN

Sampel Penelitian

Objek penelitian adalah ayam petelur yang dipelihara di Desa Peninjoan, Kecamatan Tembuku, kabupaten Bangli. Sampel ayam petelur yang diambil sebanyak 240 ekor, masing-masing kelompok umur ayam diambil sebanyak 80 sampel. Sampel umur ayam petelur yang diambil dipelihara dengan sistem kendang batteray. Sampel feses ayam yang baru keluar saat defikasi diambil secara langsung menggunakan pinset lalu dimasukan kedalam pot sampel yang sebelumnya sudah diberikan larutan pengawet formalin 10% dan sudah ditandai dengan kertas label.

Variabel Penelitian

Variabel penelitian terdiri atas 1). Variabel bebas: Umur ayam petelur (fase starter 6 – 10 minggu, fase grower 11 – 18 minggu, fase finisher 20 – 21 minggu), 2). Variabel terikat: Prevalensi infeksi cacing gastrointestinal, 3). Variabel kendali: Cara pemeliharaan ayam petelur di Kecamatan Tembuku, Kabupaten Bangli, Bali.

Pemeriksaan Sampel

Metode pemeriksaan yang digunakan adalah secara kualitatif. Pemeriksaan secara kualitatif untuk menentukan prevalensi menggunkan konsentrasi pengapungan dengan garan jenuh (larutan NACl) sebagai pengapung. Untuk pemeriksaan feses dengan metode kualitatif menggunakan konsentrasi pengapungan dengan garam jenuh (larutan NACl), dengan prosedur sebagai berikut: tinja diambil sebesar biji kemiri (± 3 gram) dimasukkan kedalam gelas beker, tambahkan akuades sampai konsentrasinya kira-kira 10% kemudian aduk sampai homogen. Saring memakai saringan untuk menyingkirkan bagian yang berukuran besar. Masukkan kedalam tabung sentrifuge sampai 3/4 volume tabung. Sentrifuge dengan kecepatan 1.500 rpm selama 2 – 3 menit. Tabung sentrifuge dikeluarkan dari dalam sentrifugator, supernatannya dibuang. Tambahkan larutan pengapung sampai 3/4 volume tabung, aduk hingga homogen, kemudian masukkan lagi kedalam sentrifugator dan disentrifuge dengan kecepatan 1.500 rpm selama 2 – 3 menit. Tabung sentrifuge dikeluarkan secara hati – hati dari dalam sentrifugator dan selanjutnya ditaruh pada rak tabung reaksi dengan posisi tegak lurus. Tambahkan cairan pengapung secara perlahan – lahan dengan cara ditetesi menggunakan pipet pasteur sampai permukaan cairan cembung, Tunggu selama 1 – 2 menit.Ambil gelas penutup, sentuhkan pada permukaan cairan pengapung dan tempelkan diatas gelas obyek. Periksa menggunakan miskroskop dengan pembesaran obyektif 40X.

Analisis Data

Data yang diperoleh akan dianalisis menggunakan analisis deskriptif. Untuk mengetahui hubungan antara umur ayam dengan prevalensi dianalisis menggunakan uji regresi.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Hasil pemeriksaan feses 240 ekor ayam petelur yang dipelihara di Desa Peninjoan, Kecamatan Tembuku, Kabupaten Bangli, didapatkan pada 24 sampel ditemukan mengadung telur cacing nematoda gastrointestinal dengan prevalensi 9,17% (22/240).

Hasil identifikasi telur cacing nematoda yang menginfeksi ayam petelur yang dipelihara di Desa Peninjoan, Kecamatan Tembuku, Kabupaten Bangli, baik infeksi tunggal dan gabungan, diantaranya adalah Strongyloides avium berjumlah 12 dengan prevalensi 5%, Heterakis gallinarum berjumlah 1 dengan prevalensi 0,41%, Tetrameres sp. berjumlah 5 dengan prevalensi 2,08%, Trichostrongylus tenuis berjumah 8 dengan prevalensi 3,33% dan Aquaria sp. berjumlah 3 dengan prevalensi 1,25%, ringkasannya pada tabel 1.

Berdasarkan umur ayam, hasil identifikasi telur cacing yang menginfeksi ayam fase starter, terinfeksi oleh cacing Strongyloides avium dengan prevalensi 6,25% (5/80), dan Tetrameres sp. 3,75 (3/80), sedangkan cacing Heterakis gallinarum Trichostrongylus tenuis dan Aquaria sp. tidak ditemukan. Pada fase grower terinfeksi oleh cacing Strongyloides avium dengan prevalensi 2,5% (2/80), Heterakis gallinarum 1,25% (1/80), Tetrameres sp. 2,5% (2/80), Trichostrongylus tenuis 5% (4/80), sedangkan Aquaria sp tidak ditemukan. Pada fase finisher terinfeksi oleh cacing Strongyloides avium dengan prevalensi 6,25% (5/80), Trichostrongylus tenuis 5% (4/80) dan Aquaria sp. 3,75% (3/80), sedangkan cacing Heterakis gallinarum dan Tetrameres sp. tidak ditemukan, ringkasannya seperti table 2.

Pembahasan

Berdasarkan umur, hasil penelitian prevalensi infeksi cacing nematoda gastrointestinal pada fase starter, grower dan finisher yang masing masing berjumlah 80 sampel secara berurutan didapatkan sebesar 10%  (8/80),  7,5%

(6/80) dan 10%  (8/80). Hasil analisis

menggunakan uji Chi-sqaure menunjukkan bahwa tidak adanya hubungan antara umur ayam dengan prevalensi infeksi cacing nematoda      gastrointestinal.      Data

selengkapnya ada pada lampiran 3 dan ringkasannya seperti tabel 3.

Hasil penelitian didapatkan prevalensi infeksi cacing gastrointestinal pada ayam petelur yang dipelihara di Desa Peninjoan, Kecamatan Tembuku, Kabupaten Bangli, sebesar 9,17%. Hasil penelitian ini lebih rendah dibandingkan dengan hasil yang didapatkan pada ayam buras di Kabupaten Sukabumi dengan prevalensi nematoda sebesar 42,66 % (Ajat Sudarjat, 2001). Desa Kramat, Kecamatan Bangkalan, Madura yaitu pada ayam jantan sebesar 15 % dan pada ayam betina sebesar 23 % (Damayanti, dkk, 2019). Berdasarkan penelitian dari Kusumadewi dkk (2020), pasar trandisional Jakarta 56 % dan Bogor 70 % dimana perbedaan hasil yang didapat disebabkan karena perbedaan cara pemeliharan, dimana ayam petelur yang diteliti dipelihara dalam kandang, sedangkan ayam kampung yang diteliti oleh Sudarjat (2001) Damayanti (2019) dan Kusumadewi dkk (2020) dipelihara secara ekstesif. Selain itu juga disebabkan karena perbedaan jenis ayam, dimana pada penelitian ini diteliti ayam petelur, sedangkan peneliti lain meneliti ayam buras.

Hasil yang didapatkan pada penelitian ini berbeda dengan yang dilaporkan oleh Putri (2019) pada ayam petelur yang hanya mendapatkan cacing Ascaridia galli dan Heterakis sp, perbedaan hasil yang didapatkan disebabkan karena perbedaan umur ayan di teliti, Putri (2019) meneliti ayam fase strarter pada umur 6-10 minggu,

grower 11-18 minggu dan finisher 21 minggu. Semakin meningkat umur ayam kemungkinan akan terinfeksi parasit saluran cerna juga akan semakin meningkat. Hasil yang didapatkan juga berbeda dengan yang dilaporkan oleh Silaban et al. (2016) pada ayam broiler di Peternakan Submitra Indojaya Agrinusa di Desa Pudun Jae yaitu Ascaridia galli, Heterajis gallinarum, Strongyloides ransomi. Perbedaan ini diduga disebabkan karena perbedaan ras ayam.

Hasil yang tidak jauh berbeda dilaporkan oleh Hariani dan Simanjuntak (2018) yaitu Ascaridia galli, Capillaria anulata dan Trichostrongylus tenuis. Tidak ditemukan cacing Ascaridia galli dan Capillaria sp, pada penelitian ini secara epidemiologi dipengaruhi oleh : hospes, agen parasit yang paling nyata oleh lingkungan. Faktor risiko lingkungan terutama suhu dan kelembaban akan sangat       berpengaruh       terhadap

perkembangan telur mencapai stadium infektif. Semakin telur mencapai stadium infektif akan meningkatkan terjadinya infeksi.

Prevalensi infeksi cacing nematoda gastrointestinal pada ayam petelur yang dipelihara di Kabupaten Bangli didapatkan telur cacing Strongyloides avium berjumlah 5 %. Hasil ini lebih rendah dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan oleh Rahman et al. (2009) pada ayam petelur jantan sebesar 67,7 % dan pada ayam betina 53,3 %. Haryono et al. (2015) ditemukan sebesar 28 % pada ayam petelur. Perbedaan ini sangat nyata dipengaruhi oleh cara pemeliharaan ayam, dimana ayam petelur yang diteliti dipelihara secara dikandangkan, sedangkan Rahman (2009) dan Haryono (2015) meneliti ayam petelur yang hidup bebas atau tidak dikandangkan.

Prevalensi infkesi cacing Tetrameres sp. berjumlah 2,08 %. Hasil penelitian ini lebih rendah dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan Chandra et al. (2017) pada 110 ekor ayam buras di bukit

Jimbaran, Badung sebesar 33,6 %. Perbedaan ini berpengaruh yaitu ras ayam dan pemeliharaan. Pemeliharaan ayam buras di Bukit Jimbaran bersifat tradisional atau semi-intensif, pemeliharaan ayam buras yang dibebas liarkan akan memperbesar peluang ayam buras memakan inang antara yang terinfeksi oleh larva infektif cacing Tetrameres sp. sedangkan pemeliharaan ayam petelur di desa Peninjoan dipelihara secara dikangkangkan.

Prevalensi infeksi cacing Heterakis gallinarum didapatkan sebesar 0,41 % lebih rendah jika dibandingkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Suratma dkk (2014) pada ayam lokal sebesar 62,5 %. Perbedaan tersebut disebabkan karena perbedaan : ras dan cara pemeliharaan ayam. Ayam yang diteliti adalah ayam ras petelur yang dipelihara secara dikandangkan sedangkan Suratma dkk (2014) meneliti ayan buras yang dipelihara dengan cara tidak dikandangkan.

Prevalensi infeksi cacing Aquaria sp. didapatkan sebesar 1,25 %, hasil ini lebih rendah dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan oleh Slimane (2014) pada ayam kampung sebesar 37 %. Perbedaan ini dipengaruhi oleh cara pemeliharaan yang diduga karena sistem pemeliharaan ayam kampung yang bebas berkeliharan sedangkan ayam petelur yang diteliti dipelihara secara dikandangkan.

Prevalensi infeksi cacing Trichostrongylus tenuis yaitu 3,33 % berbeda dengan hasil yang dilaporkan oleh Hariani dan Simanjuntak (2018) sebesar 6,67 %. Perbedaan ini dikarenakan perbedaan suhu dan kelembaban, dimana suhu dan kelembaban di Desa Peninjoan lebih rendah dan kurang mendukung perkembangan telur mencapai stadium infektif jika dibandingkan dengan di Kecamatan Muara Badak, Kutai Kartanegara.

Hasil analisis menggunakan uji chisquare menunjukkan bahwa tidak adanya hubungan umur ayam dengan prevalensi infeksi cacing nematoda gastrointestinal

pada ayam petelur yang di pelihara di desa Peninjoan,    Kecamatan    Tembuku,

Kabupaten Bangli. Umur tidak berhubungan dengan prevalensi, karena sesuai dengan cara pemeliharaan ayam, dimana pada fase starter ayam dipelihara dalam    satu kandang    sehingga

memungkinkan untuk terinfeksi cacing, setelah fase grower dan finisher ayam baru dipelihara secara individual. Telah terinfeksinya ayam pada fase starter, akan melanjut sampai fase grower dan finisher.

Hasil yang didapatkan berbeda dengan yang dilaporkan oleh Retnani, et al. (2009) pada ayam ras petelur komersial di Bogor, pada umur <20, >20 – 50 dan >50 minggu secara berurutan didapatkan sebesar : 10,34 %, 15,91 % dan 37,00 %. Perbedaan ini disebabkan karena perbedaan jenis cacing, Retnani, dkk (2009) meneliti cacing pita, karena cacing pita cara penularannya melalui hospes intermedier, seperti semut, kumbang, belalang dan insekta lainnya yang secara aktif akan mendatangi hospes. Semakin meningkat umur kesempatan menelan hospes intermedier infektif akan semakin besar sehingga pada akhirnya akan berpengaruh terhadap prevalensi.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Prevalensi        infeksi        cacing

gastrointestinal pada pada ayam petelur di Desa Peninjoan, Kecamatan Tembuku, Kabupaten Bangli adalah sebesar 9,17%, dengan jenis cacing diantaranya : Strongyloides avium 5%, Heterakis gallinarum 0,41%, Tetrameres sp. 2,08%, Trichostrongylus tenuis 3,33% dan Aquaria sp. 1,25%. Tidak ada hubungan antara umur ayam dengan prevalensi infeksi cacing nematoda gastrointestinal pada ayam petelur yang dipelihara di Desa Peninjoan,    Kecamatan    Tembuku,

Kabupaten Bangli.

Saran

Memperhatikan dan meningkatkan manajemen pemeliharaan dan kebersihan

kandang. Merlu melakukan investigasi lebih lanjut, untuk melakukan pengendalian yang tepat dalam meningkatkan pengelolaan peternakan, dikarenakan cacing nematoda merupakan faktor penting yang dapat menimbulkan kerugian ekonomi pada peternakan ayam.

UCAPAN TERIMAKASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Udayana, pemilik peternakan ayam petelur pak Okky Budiantara di Desa Peninjoan,     Keamatan     Tembuku,

Kabupaten Bangli, Bali yang telah mengijinkan peneliti untuk melakukan penelitian di peternakan tersebut, serta para pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

Ananda RR, Rosa E, Pratami GD. 2017.

Studi nematoda pada ayam petelur (gallus gallus) strain ISA brown di peternakan mandiri Kelurahan Tegal Sari, Kecamatan Gading Rejo, Kabupaten Pringsewu, Lampung. J. Biol. Eksp. Keanekaragaman Hayati. 4(2): 23-27.

Chandra M, Apsari IAP, Sulabda IN.

2017. Prevalensi dan intensitas cacing tetrameres spp. pada ayam buras di wilayah Bukit Jimbaran, Badung. Universitas Udayana:  Laboratorium

Parasitologi Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan.

Damayanti    EA,    Hastutiek    P,

Estoepangestie ATS, Retno ND, Kusnoto, Suprihati E. 2019. The prevalence and infection’s degree of gastrointestinal worm of local chicken (gallus domesticus) in Kramat Village, District of Bangkalan, Madura, East Jawa Indonesia. J. Parasite Sci. 3(1): 43.

Halidazia. 2015. Identifikasi protozoa endoparasit pada ayam negeri (gallus gallus doemstica) di peternakan Desa Sardonoharjo, Ngaglik, Sleman.

[Skripsi]. Yogyakarta:   Universitas

Islam Negri Suan Kalijaga, Program Studi Biologi.

Hariani N, Simanjuntak I. 2021. Prevalensi dan intensitas telur cacing parasit pada ayam kampung dan ayam petelur di Kecamatan Muara, Kutai Kartanegara. Samarinda: Laboratorium Ekologi dan Sistematika Hewan, Biologi      FMIPA,      Universitas

Mulawarman.

Haryono T, Pradana DP, Ambarwati R. 2015. Identifikasi cacing endoparasit pada feses ayam pedaging dan petelur. Lentera Biol. 4: 119 – 123.

Jacob JP, Wilson HR, Miles RD, Butcher GD, Mather FB. 2014. IFAS extension: factors affecting egg production in backyard chicken flocks. Florida: University of Florida.

Kose M, Kircali-Sevimli F, Kupeli-Kozan E, Sert-Cicek H. 2009. Prevalence of gasterointestinal in chicken in Afyonkarahisar District, Turkey. Kafkas. Univ. Vet. Fak. Derg. 15(3); 411-416.

Kusumadewi S, Tiuria R, Arif R. 2020. Prevalensi kecacingan pada usus ayam kampung di Pasar Tradisional Jakarta Dan Kota Bogor. Acta Vet. Indon. 8(1): 1-9.

Putri U. 2019. Identifikasi dan prevalensi endoparasit pada feses ayam petekur di Peternakan Johar, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara. Medan: Universitas Sumatera Utara.

Rahman AW, Hasber S, Mohd SG. 2009. Helminthic parasites of scavening chicken (gallus domesticus) from villages in Penang Island, Malaysia. J. Trop. Life Sci. Res. 20(1): 1-6.

Retnani EB, Satrija F. 2009. Analisis faktor – faktor infeksi cacing pita pada ayam ras petelur komersial di Bogor. J. Vet. 10: 165-172.

Silaban R, Febriansyah R, Pulungan S. 2016.     Identifikasi     endoparasit

nematoda pada feses ayam broiler di Peternakan    Submitra    Indojaya

Agrinusa Desa Pudun Jae: Universitas Graha Nusantara Padangsidimpuan.

Slimane BB. 2014. Prevalence of the gastro-intestinal parasites of domenstics chicken gallus domesticus linnaeus, 1758 in Tunisia according to the Agro-ecological zones. J. Parasit. Dis. 40(3): 774-778.

Soulsby EJL. 1982. Helminths, arthropods and protozoa of domisticated animals. 7th Edition, Balliere, Tindall and Cassel, London. Pp.1-4 and 417-475.

Sudarjat A. 2001. Prevalensi kecacingan pada ayam buras di Wilayah Kecamatan    Cisaat,    Kabupaten

Sukabumi. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Sudaryani, Santoso. 1996. Pemeliharaan ayam ras petelur di kandang baterai. Penebar Swadaya. Jakarta.

Suratma NA, Prayoga IMA, Damriyasa IM. 2014. Perbedaan heritabilitas infeksi heterakis gallinarum pada ayam lokal dan ras lohman: Universitas Udayana:  Laboratorium Parasitologi

Veteriner.

Tantri N, Setyawati TR, Khotimah S. 2013. Prevalensi dan intensitas telur cacing parasit pada feses sapi (Bos sp.) Rumah Potong Hewan (RPH) Kota Pontianak Kalimatan Barat. Protobiont, 2: 102-1-6.

Zalizar L, Fadjar S, Risa T, Dewi AA. 2007. Respon ayam yang mempunyai pengalaman infeksi Ascaridia galli terhadap infeksi ulang dan impikasinya terhadap produktifitas dan kualitas telur. Anim. Prod. J. Prod. Tern. 9(2): 92-98.

Tabel 2. Jenis-jenis cacing Nematoda Gastrointestinal yang Menginfeksi Ayam Petelur Di Desa Peninajuan, Kecamatan Tembuku, Kabupaten Bangli, berdasarkan Umur Ayam.

Fase

Jumlah

Sampel

Infeksi

Positif

Prevalensi (%)

Strongyloides avium

5

6.25

Starter

Heterakis gallinarum

-

-

(6-10 minggu)

80

Tetrameres sp.

3

3.75

Trichostronggylus tenuis

-

-

Aquaria sp.

-

-

Strongyloides avium

2

2.5

Grower

Heterakis gallinarum

1

1.25

(11-18

80

Tetrameres sp.

2

2.5

minggu)

Trichostrongylus tenuis

4

5

Aquaria sp.

-

-

Strongyloides avium

5

6.25

Finisher

Heterakis gallinarum

-

-

(20-21

80

Tetrameres sp.

-

-

minggu)

Trichostringylus tenuis

4

5

Aquaria sp.

3

3.75

Tabel 1. Jenis Cacing Nematoda Gastrointestinal Pada Ayam Petelur Di Desa Peninjoan, Kecamatan Tembuku, Kabupaten Bangli, Bali.

Infeksi Cacing

Positif

Prevalensi (%)

Strongyloides avium

12

5 %

Heterakis gallinarum

1

0,41 %

Tetrameres sp.

5

2,08 %

Trichostrongylus tenuis

8

3,33 %

Aquaria sp.

3

1,25 %

Tabel 3. Prevalensi Infeksi Cacing Nematoda Gastrointestinal Pada Ayam Petelur Di Desa Peninjoan, Kecamatan Tembuku, Kabupaten Bangli, Bali.

Sampel

Jumlah

Sampel

Terinfeksi Cacing

Prevalensi (%)

Sig

Starter

80

8

10

Grower

80

6

7,5

0.819

Finisher

80

8

10

27