STAPHYLOCOCCUS SPP. BACTERIA IN KOI FISH REARED DURING QUARANTINE PERIOD
on
Volume 14 No. 3: 287-294
Juni 2022
DOI: 10.24843/bulvet.2022.v14.i03.p13
Buletin Veteriner Udayana
pISSN: 2085-2495; eISSN: 2477-2712
Online pada: http://ojs.unud.ac.id/index.php/buletinvet
Terakreditasi Nasional Sinta 4, berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi No. 158/E/KPT/2021
Staphylococcus spp. pada Ikan Koi yang Dipelihara dalam Kolam Isolasi pada Masa Karantina
(STAPHYLOCOCCUS SPP. BACTERIA IN KOI FISH REARED DURING QUARANTINE PERIOD)
Syafiana Fairizca1*, Hapsari Mahatmi2**, Putu Henrywaesa Sudipa2 1Mahasiswa Pendidikan Dokter Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana Jl. PB. Sudirman, Denpasar-Bali;
2Laboratorium Bakteriologi dan Mikologi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana Jl. PB. Sudirman, Denpasar-Bali.
-
*Email: [email protected] **Correspondeing author: [email protected]
Abstrak
Saat ini peminat dan penggemar ikan koi berbagai daerah di Indonesia khususnya di Bali meningkat sangat tajam. Pada kondisi dalam transportasi dari luar Bali menuju Bali, memicu stress yang mengakibatkan daya tahan koi menjadi turun sehingga penyakit timbul. Oleh karena itu adanya proses karantina sangat perlu dilakukan untuk mendapatkan koi yang sehat dan layak untuk dibudidaya. Penyakit pada Ikan koi bisa disebabkan oleh virus, parasit, dan juga bakteri, salah satunya bakteri Staphylococcus spp. Penelitian tentang infeksi bakteri pada Ikan koi sampai saat ini masih sangat langka, khususnya tentang Staphylococcus spp. pada ikan koi di Indonesia maupun di Bali. Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh data awal mengenai infeksi Staphylococcus spp. pada ikan koi. Pada penelitian ini, objek yang digunakan adalah ikan koi yang memiliki gejala penyakit maupun yang mengalami kematian pada masa karantina 14 hari. Ikan koi yang diteliti berasal dari supplier ikan koi asal Tulungagung dan Blitar, Jawa Timur. Ukuran ikan koi berkisar antara 15 -25 cm yang dipelihara di kolam isolasi ikan di Raka koi and Tilapia Farm, Denpasar. Sampel yang diambil berjumlah 19 sampel, berupa 8 sampel swab sisik dari ikan koi asal Tulungagung dan 11 sampel swab sisik pada ikan koi asal Blitar menggunakan teknik random sampling. Staphylococcus spp. diisolasi dengan media Blood Agar dan MacConkey Agar dan diidentifikasi dengan uji pewarnaan Gram dan uji katalase. Dari hasil isolasi dan identifikasi bakteri, didapatkan 1 sampel yang positif terhadap bakteri Staphylococcus spp. (5,26%).
Kata kunci: Ikan koi; karantina ikan; kolam isolasi; Staphylococcus spp.;
Abstract
Currently, koi fish enthusiasts and fans in various regions in Indonesia, especially in Bali, have increased very sharply. In the conditions of transportation from outside Bali to Bali, it triggers stress which causes the koi's resistance to decrease so that disease occurs. Therefore, a quarantine process is very necessary to get koi that are healthy and suitable for cultivation. Diseases in koi fish can be caused by viruses, parasites, and bacteria, one of which is Staphylococcus spp. Research on bacterial infections in koi fish is still very rare, especially regarding Staphylococcus spp. in koi fish in Indonesia and in Bali. This study was conducted to obtain preliminary data regarding Staphylococcus sp infection in koi fish. In this study, the object used was koi fish which has any symptomps of diseases or died during a 14-day quarantine period.The researched koi fish came from suppliers in Tulungagung and Blitar, East Java. The size of the koi fish ranged from 15 -25 cm which was kept in fish isolation ponds at Raka koi and Tilapia Farm, Denpasar. The samples taken were 19 samples, the 8 samples are thescale swabs from koi fish from Tulungagung and 11 scale swab samples from koi fish from Blitar using random sampling technique. Staphylococcus sp was isolated with Blood Agar and MacConkey Agar media and identified by Gram stain test and catalase test. From the results of the isolation and identification of bacteria, 1 sample was positive for Staphylococcus spp. (5.26%).
Keywords: Fish; quarantine; isolation ponds; koi; Staphylococcus spp.
PENDAHULUAN
Hingga saat ini budidaya ikan koi telah tersebar di berbagai negara di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Ikan koi merupakan salah satu jenis ikan hias yang banyak digemari masyarakat Indonesia dari segala kalangan. Ikan koi menjadi ikan yang digemari oleh masyarakat Indonesia karena memiliki bentuk dan warna yang indah dan beragam, bahkan ikan koi juga kerap kali dinilai dapat membawa keuntungan bagi pemiliknya. Warna dan pola sisik ikan koi sangat bervariasi. Beragam warna dan pola warna telah dikembangkan; warna umum termasuk putih, hitam, merah, kuning, biru, dan krem. Dan berdasarkan warna serta pola-pola yang berbeda tersebut, ikan koi dibagi menjadi banyak sekali tipe dan varietas yang berbeda. Beberapa tipe Ikan koi yang umum saat ini adalah tipe koi Gosanke, Shiro, Utsurimono, Asagi, Tancho, Hikarimono, Goromo, Hikarimoyo, Matsuba, dan Kawarimono (De Kock & Boris, 2015).
Kendala dalam pemeliharaan ikan koi adalah masih banyaknya ikan koi yang berasal dari luar Bali karena pembenihan ikan koi sangat memerlukan insvestasi yang sangat besar dan lama. Transportasi yang memakan waktu lama dapat memicu stress yang mengakibatkan daya tahan koi menjadi turun sehingga dapat menimbulkan sakit. Oleh karena itu adanya proses karantina sangat perlu dilakukan untuk mendapatkan koi yang sehat dan layak untuk dibudidaya. Penyakit pada Ikan koi bisa disebabkan oleh virus, parasit, dan juga bakteri serta faktor non infeksius yaitu kondisi air tempat hidup ikan koi.
Salah satu bakteri yang dapat menjadi agen infeksi adalah Staphylococcus spp. Staphylococcus spp. selain secara umum sering menginfeksi hewan, sebagai infeksi sekunder dan juga bisa menyerang manusia ternyata juga dilaporkan dapat menyebabkan penyakit pada Ikan. Staphylococcus spp. umumnya sering menyerang mukosa, kulit dan sisik dan kelenjar ikan (Bujjama & Padmavathi,
-
2015). Staphylococcus spp. pada ikan juga sering dijumpai pada kulit atau sisik, hati, usus, dan juga otot, sehingga isolat bakteri dapat diambil dari bagian-bagian tersebut (Ali, 2013). Hasil penelitian Weerakkody et al. (2011) menunjukkan bahwa terdapat infeksi Staphylococcus spP. pada udang dan kerang laut. Oh, et al. (2019) melaporkan bahwa Staphylococcus xylosus dapat menyebabkan proptosis okular, yang menginduksi kematian berkelanjutan pada ikan Trout (Oncorhynchus mykiss) dan menyebabkan kerugian ekonomi yang besar. Penelitian tentang infeksi bakteri pada Ikan koi sampai saat ini masih sangat langka, khususnya tentang Staphylococcus spp. pada ikan koi di Indonesia terutama di Bali. Sehingga penelitian ini diharapkan menjadi data penting tentang penyakit Ikan koi di Bali khususnya di Denpasar, terutama ikan koi yang baru didatangkan ke Bali dari daerah lain.
METODE PENELITIAN
Sampel dan Cara Pengambilan Sampel
Pada penelitian ini, objek yang digunakan adalah ikan koi yang memiliki gejala klinis dan/atau ikan koi yang mengalami kematian pada masa karantina 14 hari yang berasal dari supplier ikan koi. Ukuran ikan koi berkisar antara 15 -25 cm yang dipelihara di kolam isolasi ikan di Raka koi and Tilapia Farm, Denpasar. Rancangan penelitian ini menggunakan metode deskriptif eksploratif. Pengambilan sampel dilakukan secara aspetis pada ikan koi yang berada dalam masa karantina. Sampel diambil sebanyak 19 buah sampel, 8 sampel asal Tulungagung dan 11 sampel asal Blitar. Sampel berupa hasil swab pada mukosa kulit ikan koi. Selain itu pemeriksaan air kolam ikan koi dilakukan dengan cara mengamati tingkat kekeruhan air, mengukur pH air menggunakan pH meter digital, dan mengukur temperatur air menggunakan termometer air digital.
Prosedur Isolasi dan Identifikasi
Hasil swab mukosa ikan koi ditanam pada media Blood Agar dan Macconkey
Agar untuk memperoleh isolat bakteri Staphylococcus spp. Identifikasi terhadap bakteri yang dicurigai merupakan bakteri Staphylococcus spp. disimpulkan
berdasarkan uji pewarnaan Gram dan uji katalase. Sampel kemudian diisolasi dan dilakukan identifikasi bakteri di Laboratorium Bakteriologi Balai Besar Veteriner Denpasar. Penelitian ini dilaksanakan selama kurang lebih 1 bulan yaitu pada bulan Maret-April 2021.
Analisis Data
Data hasil penelitian disajikan secara deskriptif kualitatif.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Pemeriksaan dilakukan terhadap kondisi umum ikan dan juga kondisi serta suhu, pH dari air kolam isolasi pada hari ke-1, ke-3, ke-6, ke-9, ke-12, hingga hari ke-14 masa karantina. Terdapat 8 ekor ikan asal Tulungagung, sampel diambil dari 8 ekor ikan yaitu 5 ekor ikan yang memiliki gejala klinis dan 3 ekor ikan yang mengalami kematian. Sedangkan pada ikan koi asal Blitar, sampel diambil pada 11 ikan yang mengalami kematian disertai gejala klinis (Tabel 1).
Pembahasan
Berdasarkan pengamatan serta wawancara terhadap pihak Raka koi and Tilapia Farm, ikan koi yang berasal dari Tulungagung tidak melalui masa karantina sebelum dikirimkan ke Bali. Hal ini menentukan kemampuan ikan dalam beradaptasi, ikan yang telah melalui masa karantina sebelum pengiriman akan lebih mudah beradaptasi dalam perjalanan dan juga akan lebih mudah untuk beradaptasi ketika dipindahkan ke kolam isolasi di kota tujuan (Arthur, 2004). Dalam
perjalanannya menuju Bali, ikan koi asal Tulungagung mengalami sedikit hambatan dikarenakan adanya bencana berupa banjir dan juga longsor akibat cuaca ekstrim di daerah sekitar Tulungagung. Akibat hal ini, pengiriman memakan waktu yang lebih lama dibandingkan biasanya. Pengiriman
yang lama ini menyebabkan menurunnya kadar oksigen serta menyebabkan ikan menjadi lebih rentan stress (Carneiro et al., 2007).
Sedangkan ikan yang berasal dari Blitar telah melalui masa karantina yang meliputi masa pemeliharaan pada kolam tanah, kemudian pemeliharaan pada kolam beton, dan pemeliharaan pada kolam aquarium sebelum akhirnya ikan siap untuk dikirimkan ke Bali. Masa karantina yang dilalui sebelum ikan koi dikirimkan ke Bali mempengaruhi kemampuan adaptasi ikan koi asal Blitar ketika menjalani masa karantina di Bali. Hal ini dapat dilihat dari persentase jumlah ikan asal Blitar yang mati pada masa karantina yaitu sebesar 5,5%, lebih kecil dibandingkan persentase jumlah ikan asal Tulungagung yang mati pada masa karantina yaitu sebesar 100%. Sama dengan pengiriman ikan koi asal Tulungagung, pengiriman ikan koi asal Blitar ini juga mengalami sedikit hambatan dikarenakan adanya bencana berupa banjir yang menyebabkan beberapa jalan sulit untuk diakses. Sehingga waktu pengiriman juga menjadi sedikit lebih lama dibandingkan biasanya.
Berdasarkan hasil pemeriksaan suhu air kolam pada ikan koi yang berasal dari Tulungagung, suhu didapatkan sebesar 26,6 oC dan 27,2 oC. Dan suhu air kolam pada ikan koi yang berasal dari Blitar, suhu didapatkan secara keseluruhan berkisar antara 27,3 oC hingga 28,6 oC. Suhu yang didapatkan dipengaruhi oleh cuaca saat pemeriksaan berlangsung dan juga oleh jam atau waktu pemeriksaan dilakukan. Pengamatan pada ikan asal Tulungagung dilakukan pada musim hujan, sehingga suhu tergolong lebih rendah. Suhu air kolam masih tergolong baik untuk ikan koi, karena ikan koi mampu tumbuh dan hidup dengan baik pada rentang suhu mulai dari 0 oC hingga 45 oC (Watson et al., 2004). PH air kolam ikan koi asal Tulungagung didapatkan sebesar 7,3 dan 7,1. PH optimal air kolam ikan koi adalah 6,5 – 9 (Stone & Thomforde, 2003), maka berdasarkan hal ini pH air kolam ikan koi yang berasal dari
Tulungagung masih tergolong dalam pH yang baik bagi keberlangsungan hidup ikan koi. Secara umum pH air kolam ikan koi asal Blitar relatif stabil yaitu berkisar antara 6,6-7,6. Walaupun pada hari ke-6 karantina pH yang didapatkan adalah 6,6 yang merupakan batas bawah dari rentang pH optimal ikan koi. Kondisi air kolam air kolam ikan koi asal Tulungagung terlihat sedikit keruh dan sedikit berbau, hal ini dapat terjadi akibat beberapa faktor misalnya adanya konstituen yang terlarut pada air seperti fosfat, silikat ataupun adanya logam berat. Selain itu air yang keruh juga dapat disebabkan oleh adanya pertumbuhan bakteri (Chyan et al., 2012). Kondisi air kolam ikan koi asal Blitar secara keseluruhan berada dalam kondisi yang cukup baik. Pada awal masa karantina air kolam terlihat jernih, bersih, dan tidak berbusa maupun berbau. Akan tetapi air kolam terlihat sedikit keruh setelah hari ke-8 hingga hari ke-14 masa karantina. Namun demikian, tidak ditemui bau yang menyengat maupun busa yang banyak pada air kolam isolasi. Menurut Chyan et al. (2012), air kolam ikan yang baik adalah air kolam yang jernih, tidak berbau, tidak berbusa, serta memiliki kadar oksigen yang sesuai. Maka berdasarkan hal ini air kolam ikan koi asal Blitar masih tergolong air kolam ikan yang baik.
Hasil pengamatan awal dari ikan koi yang berasal dari Tulungagung yang diterima pada hari Jumat, tanggal 5 Maret 2021 dari 8 ekor ikan koi terdapat 5 ekor ikan koi dengan gejala klinis berupa adanya lesi kemerahan pada beberapa daerah kulit atau sisiknya. Kemudian terdapat 3 ekor ikan koi yang mati pada hari Sabtu, 6 Maret 2021 dini hari, dengan adanya beberapa gejala klinis berupa lesi pada kulit atau sisik, lesi pada sirip, dan adanya bercak keputihan pada insang. Pada hari Selasa, 9 Maret 2021, 5 ekor ikan yang tersisa
mengalami kematian dalam masa karantina. Pemeriksaan tidak dilanjutkan pada hari ke-6 hingga ke-14 masa karantina dikarenakan ikan telah seluruhnya mengalami kematian. Kematian seluruh
ikan koi asal Tulungagung ini dapat disebabkan oleh berbagai faktor, salah satu kemungkinannya adalah akibat stress yang ditimbulkan karena perjalanan yang terhambat. Perjalanan yang terhambat diakibatkan oleh banjir dan tanah longsor ini menyebabkan ikan mudah stress sehingga kemampuan ikan untuk
beradaptasi menurun, daya tahan tubuh ikan juga dapat menurun (Barton, 2002). Ketika daya tahan tubuh ikan menurun, maka agen-agen patogen akan lebih mudah menginfeksi ikan. Hal inilah yang menyebabkan ikan banyak yang menunjukkan gejala penyakit serta mengalami kematian.
Pada hari Senin tanggal 29 Maret 2021, seluruh ikan asal Blitar yang berjumlah 200 ekor masih terlihat sehat dan belum timbul gejala klinis, namun ikan terlihat bergerombol di pojok kolam. Hal ini mungkin terjadi akibat stress yang timbul karena perjalanan dan ikan masih dalam tahap adaptasi (Haque et al., 2019). Selanjutnya pada hari ke-3 masa karantina hingga hari ke-14 masa karantina ditemukan 11 ekor ikan koi yang mengalami kematian disertai gejala klinis umum yang serupa, yaitu mata terlihat cekung, sisik terkelupas, dan beberapa ikan memiliki lesi di bagian tubuhnya.
Pada pemeriksaan isolasi dan identifikasi terhadap bakteri
Staphylococcus spp., seluruh sampel dari ikan koi asal Tulungagung tidak ditemukan hasil yang positif terhadap Staphylococcus spp. Maka Morbidity Rate dan Mortality Rate yang didapatkan adalah 0%. Namun dari 8 sampel tersebut didapatkan bakteri lain seperti Shigella sp., Citrobacter sp., E. coli, dan Edwardsiella sp. Tidak ditemukannya bakteri Staphylococcus spp. dapat disebabkan oleh beberapa hal seperti kondisi lingkungan yang kurang mendukung pertumbuhan Staphylococcus spp. Menurut Stewart (2003),
Staphylococcus spp. memiliki rentang suhu pertumbuhan sebesar 7 - 48 oC dan pH sebesar 4 - 10. Namun, suhu optimalnya adalah 37 oC dan pH optimalnya adalah 6-
7. Suhu air kolam ikan koi asal Tulungagung berkisar antara 26,6 oC dan 27,2 oC, dimana suhu ini masih lebih rendah daripada suhu optimal pertumbuhan bakteri Staphylococcus spp. Hal ini mungkin menjadi salah satu faktor yang menyebabkan tidak ditemukannya bakteri Staphylococcus spp. Faktor lainnya yang mungkin terjadi adalah karena bakteri lainnya yang tumbuh memiliki sifat antagonis terhadap bakteri Staphylococcus spp. Bakteri dengan sifat antagonis ini akan menekan pertumbuhan bakteri Staphylococcus spp. Spesies bakteri dengan sifat antagonis ini biasanya akan menghasilkan suatu senyawa kimia yang dapat meracuni spesies lain sehingga pertumbuhannya terganggu (Rifai et al., 2020). Bentuk interaksi ini dapat terjadi akibat adanya dua atau lebih spesies mikroorganisme berbeda yang menempati ruang dan waktu yang sama sehingga terjadi perebutan nutrisi agar dapat bertahan hidup dan berkembang biak (Kusnadi & Hamdiyati, 2003). Sehingga saat proses isolasi dan identifikasi, pertumbuhan bakteri Staphylococcus spp. tidak terlihat karena pertumbuhannya telah ditekan oleh bakteri yang bersifat antagonis tersebut.
Dari seluruh sampel asal Blitar terdapat 1 buah hasil yang menunjukkan positif terhadap bakteri Staphylococcus spp. Dari hal ini didapatkan Morbidity Rate 0,5%, Morbidity Rate ini tergolong rendah apabila dibandingkan dengan literatur Bujjama & Padmavathi (2015) yang mendapatkan Morbidity Rate Staphylococcus spp. sebesar 24,47% pada beberapa jenis ikan, kemudian literatur Singh & Kulshreshtha (1994) dengan Morbidity Rate Staphylococcus sp. sebesar 16,6% pada berbagai jenis ikan dan hasil laut, dan juga literatur Ali H. H. (2014) yang mendapatkan Morbidity Rate bakteri S. aureus sebesar 17,75% dan Staphylococcus epidermis sebesar 21% pada ikan Cyprinus carpio. Mortality Rate Staphylococcus spp. dari ikan koi asal Blitar ini didapatkan sebesar 0,5%.
Mortality Rate ini tergolong rendah apabila dibandingkan dengan literatur Oh et al. (2019) yang mendapatkan Mortality Rate sebesar 23,3% pada ikan trout pelangi.
Keberadaan dan tingkat prevalensi dari infeksi Staphylococcus spp. pada ikan koi ini bisa disebabkan oleh berbagai macam faktor, salah satu yang paling umum adalah kontaminasi dari lingkungan, karena Staphylococcus spp. biasa ditemukan di lingkungan seperti tanah dan air (Dordet-Frisoni et al., 2010). Selain itu, Pertumbuhan bakteri Staphylococcus spp. dipengaruhi oleh beberapa faktor lingkungan, seperti suhu lingkungan dan juga pH lingkungan (Stewart, 2003). Contohnya S. aureus yang memiliki suhu pertumbuhan optimum 37°C-40°C, dan S. epidermidis yang memiliki kisaran suhu optimal pada suhu 30°C hingga 37°C dalam kondisi aerobik (Otto, 2009). Suhu air kolam ikan koi asal Blitar secara umum lebih rendah daripada suhu optimal pertumbuhan Staphylococcus spp., hal ini menjadi salah satu faktor mengapa bakteri Staphylococcus spp. tidak banyak ditemukan pada sampel ikan koi. Selain itu, proses karantina yang telah dilalui oleh ikan koi asal Blitar sebelum dikirimkan ke Bali juga dapat berpengaruh terhadap tingkat infeksi dari bakteri Staphylococcus spp. Ikan koi yang telah melalui masa karantina sebelum pengiriman akan lebih mudah beradaptasi dan terhindar dari stress berlebih, sehingga daya tahan tubuh ikan koi tersebut akan lebih baik jika dibandingkan dengan ikan koi yang tidak melalui masa karantina sebelum pengiriman (Arthur, 2004) seperti contohnya ikan koi asal Tulungagung. Apabila ikan koi mudah beradaptasi, tidak stress, dan memiliki daya tahan tubuh yang baik maka ikan koi akan lebih mudah untuk terhindar dari infeksi berbagai macam patogen, salah satunya bakteri Staphylococcus spp.
Ikan koi asal Blitar ini mengalami kematian dalam masa karantina dan disertai gejala klinis umum berupa adanya sisik yang terkelupas, insang sedikit pucat, mata
cekung, namun tidak ditemukan adanya lesi pada tubuhnya. Gejala klinis yang timbul merupakan gejala klinis umum pada ikan yang sakit dan bukan merupakan gejala yang khas pada infeksi Staphylococcus spp., karena menurut Kusuda dan Sugiyama (1981), tanda khas adanya infeksi Staphylococcus spp. adalah eksophthalmia, hidung tersumbat dan ulserasi pada bagian ekor. Sehingga gejala klinis serta kematian ikan tersebut dapat terjadi akibat beberapa kemungkinan faktor, beberapa diantaranya adalah adanya infeksi primer yang dapat mempengaruhi sistem imun ikan dan kemudian diperparah dengan keberadaan Staphylococcus spp., namun dapat juga disebabkan oleh stress akibat perjalanan dan proses adaptasi di lingkungan baru, dan juga dapat disebabkan oleh patogen lainnya (Arthur, 2004).
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Hasil penelitian terhadap bakteri Staphylococcus spp. pada sampel swab sisik ikan koi yang berasal dari Tulungagung dan Blitar pada masa karantina, dapat disimpulkan bahwa hasil yang menunjukkan positif Staphylococcus spp. berdasarkan isolasi pada Blood Agar dan MacConkey Agar, uji pewarnaan Gram, serta uji katalase adalah berjumlah 1 sampel dari jumlah total 19 sampel (5,26%).
Saran
Berdasarkan penelitian ini maka penulis sarankan bagi pembudidaya maupun supplier ikan koi untuk menjalankan masa karantina baik sebelum ikan dikirim ke kota tujuan maupun sesudah ikan sampai di kota tujuan. Selain itu, disarankan pula untuk menjalankan masa karantina sebaik mungkin untuk menghindari ikan koi dari terjangkitnya berbagai penyakit atau bahkan mengalami kematian. Untuk penelitian selanjutnya perlu dilakukan penelitian lebih lanjut
mengenai dampak bakteri Staphylococcus spp. pada ikan koi.
UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis mengucapkan terimakasih terhadap pihak Raka koi and Tilapia Farm dan pihak Laboratorium Bakteriologi Balai Besar Veteriner Denpasar sebagai laboratorium analisis sampel penelitian.
DAFTAR PUSTAKA
Ali HH. 2013. Isolation and identification of Staphylococcus bacteria from fish of fresh water and its antibiotics sensitivity in Mosul City. Bas. J. Vet. Res. (1): 33-42.
Arthur JR. 2004. The role of quarantine in preventing the spread of serious pathogens of aquatic animals in Southeast Asia. Transboun. Fish Dis. Southeast Asia: Occur. Surveillance, Res. Train. Pp. 25-33.
Barton BA. 2002. Stress in fishes: A diversity of responses with particular reference to changes in circulating corticosteroids. Integ. Comp. Biol. 42(3): 517-525.
Bujjama P, Padmavathi P. 2015. Prevalence of Staphylococcus aureus in the fish samples of local domestic fish market. Int. J. Cur. Microbiol. Appl. Sci. 4(5): 427-433.
Carneiro P, Urbinati E, Bendhack F. 2007. Osmoregulation and fish
transportation. Fish Osmoregulation. Pp. 235-248.
Chyan JM, Yang CC, Lin C, Chen IM, Yeh J. C. 2012. Investigations of water purification performance for aquarium water filters. Sustainable Environ. Res. 22(6): 363-370.
De Kock S, Boris
Ornamental Origin,Variation, Kentucky.
G. 2015. Japanese koi Carp:
and Genetics.
Dordet-Frisoni E, Dorchies G, De Araujo C, Talon R, Leroy S. 2010. Genomic diversity in staphylococcus xylosus infection in mice deficient in NADPH
oxidase and comparison with other laboratory mouse strains. J. Am. Assoc. Lab. Anim. Sci. 49(4): 480-486.
Harper C, Wolf JC. 2009. Morphologic effects of the stress response in fish. Oxford Acad. J. 50(4): 387-396.
Kusnadi Y, Hamdiyati AF. 2003.
Mikrobiologi. Bandung: FMIPA
Universitas Pendidikan Indonesia.
Kusuda R, Sugiyama A. 1981. Studies on characters of Staphylococcus
epidermidis isolated from diseased fishes. The morphological, biological, and biochemical properties. Fish Pathol. 16: 15-24.
Oh W, Jun J, Giri S, Yun S, Kim H, Kim S, Park S. 2019. Staphylococcus xylosus infection in rainbow trout (Oncorhynchusmykiss) as a primary pathogenic cause of eye protrusion and mortality. J. Microorg. 7(9): 330.
Piper RG. 1982. Fish Hatchery Management. Washington DC: Departement of the interior: Fish and wildlife.
Randall D, Tsui T. 2002. Ammonia toxicity in fish. Mar. Pollut. Bul. Pp. 17-23.
Rifai MR, Widowati H, Sutanto A. 2020. Sinergisme dan antagonisme beberapa jenis isolat bakteri yang
dikonsursiumkan. Biolova. 1(1): 21-26.
Singh B, Kulshreshtha SB. 1994. A study on prevalence of Staphylococcus
aureus in fish and fish products and their public health significance. Indian J. Comp. Microbiol. Immunol. Infect. Dis. 14(3-4): 25-28.
Stewart CM. 2003. Staphylococcus aureus and staphylococcal enterotoxins. A. D. Hocking, Foodborne microorganisms of public health significance. Sydney: Institute of Food Science and Technology (NSW Branch). Pp. 359380.
Stone NM, Thomforde HK. 2003. Understanding Your Fish Pond Water Analysis Report. Arkansas: University of Arkansas.
Strange RJ. 1980. Acclimation temperature influences cortisol and glucose concentrations in stressed channel catfish. Trans. Am. Fish. 109(3): 298303.
Watson CA, Hill JE, Pouder DB. 2004. Species Profile: koi and Goldfish. Southern Regional Aquaculture Center.
Weerakkody N, Caffin N, Dykes G, Turner M. 2011. Effect of antimicrobial spice and herb extract combinations on Listeria monocytogenes,
Staphylococcus aureus, and spoilage microflora growth on cooked ready-to-eat vacuum-packaged shrimp. J. Food Protect. 74(7): 1119-1125
Tabel 1. Hasil pemeriksaan kondisi umum ikan koi dan pemeriksaan air kolam
Parameter |
Hari ke-1 (ekor) |
Hari ke-3 (ekor) |
Hari ke-6 (ekor) |
Hari ke-9 (ekor) |
Hari ke-12 (ekor) |
Hari ke-14 (ekor) | ||
TA |
Blt |
TA |
Blt |
TA Blt |
TA Blt |
TA Blt |
TA Blt | |
Ikan hidup tanpa gejala |
5 |
200 |
0 |
198 |
0 193 |
- 189 |
- 189 |
- 189 |
Ikan hidup disertai gejala |
- |
- |
- |
- |
- - |
- - |
- - |
- - |
Ikan mati disertai gejala |
3 |
- |
5 |
2 |
- 5 |
- 4 |
- - |
- - |
Tingkat kekeruhan air |
+ |
N |
+ |
N |
- N |
- + |
- + |
- + |
Busa pada air kolam |
+ |
N |
+ |
N |
- N |
- + |
- + |
- + |
Bau menyengat pada air kolam |
+ |
N |
+ |
N |
- N |
- N |
- N |
- N |
Suhu air |
26,6 oC |
28,3 oC |
27,2 oC |
28,6 oC |
- 28,9 oC |
- 27,3 oC |
- 28,1 oC |
- 28,0 oC |
pH air |
7,3 |
7,6 |
7,1 |
7,4 |
- 6,6 |
- 7,2 |
- 7,0 |
- 7,2 |
Staphylococcus spp. |
Pos: 0 Neg: 3 |
Pos: 0 Neg: 0 |
Pos: 0 Neg: 5 |
Pos: 1 Neg: 1 |
- Pos: 0 Neg: 5 |
- Pos: 0 Neg: 4 |
- - |
- - |
Keterangan: -: Tidak ada; ++: Sedang; N: Normal; +: Sedikit; +++: Banyak; TA: Tulungagung; Blt.: Blitar
294
Discussion and feedback