Buletin Veteriner Udayana

ISSN : 2085-2495

Vol. 5 No. 2

August 2013

Identifikasi dan Prevalensi Cacing Tipe Strongyle pada Babi di Bali

(IDENTIFICATION AND PREVALENCE OF STRONGYLE TYPE WORM ON PIGS IN BALI)

Kadek Karang Agustina

Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana Email: karang_dvm@yahoo.co.id

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan menghitung prevalensi spesies cacing pada babi di Bali yang memiliki bentuk telur yang sama yaitu bentuk tipe strongyle. Sebanyak 240 sampel feses babi yang berasal dari peternakan babi yang tersebar di seluruh wilayah Bali telah diperiksa menggunakan modifikasi dari metode Roberts dan O’Sullivan yaitu kultur feses yang menunjukkan hasil positif pada pemeriksaan mikroskopis. Hasil penelitian menunjukkan sebanyak 60% babi di Bali terinfeksi cacing type strongyle. Setelah dilakukan kultur feses, teridentifikasi dua jenis cacing yaitu Hyostrongylus rubidus dan Oesophagostomum dentatum dengan prevalensi masing-masing yaitu 41,25% dan 47,5%.

Kata kunci : babi, cacing tipe strongyle, Hyostrongylus rubidus, Oesophagostomum dentatum

ABSTRACT

This research aimed to identify and measure the prevalence of worms on pigs in Bali which have the same egg shape as the strongyle type egg. 240 fecal samples were collected from pig farm around Bali. All samples checked by modification of Roberts dan O’Sullivan method. All samples checked by microscopic assay, fecal culture were only for positive samples. The result showed that 60% pigs in Bali were infected by strongyle type worm, identified two species worm who infected the pigs. They were Hyostrongylus rubidus and Oesophagostomum dentatum with prevalence of each were 41,25 % and 47,5 %.

Key words : Pigs, strongyle type worms, Oesophagostomum dentatum and Hyostrongylus rubidus

PENDAHULUAN

Peternakan babi di daerah Bali memegang peranan yang sangat penting, terutama dalam hubungannya dengan kebiasaan masyarakat serta adat istiadat di Bali (Masudana. 1975). Berdasarkan statistik peternakan, Bali merupakan daerah dengan populasi babi tertinggi kedua di Indonesia setelah Nusa Tenggara Timur, populasi babi di Bali pada tahun 2011 tercatat sebanyak 992 739 ekor (BPS, 2011).

Terdapat tiga sistem pemeliharaan babi di Bali yaitu cara tradisional, semi intensif dan intensif. Pemeliharaan dan perawatan merupakan salah satu kunci penting dalam usaha ternak babi, sebab pemeliharaan akan menentukan berhasil atau tidaknya suatu usaha, maka dalam hal ini perlu mendapat perhatian. Penyakit akan lebih mudah menyerang babi bila perawatan tidak optimal (AAK. 1981). Sistim pemeliharaan yang kurang bagus akan menyediakan lingkungan yang sesuai bagi kehidupan dan perkembangan agen penyakit (Kendall and Small. 1974).

Babi rentan terhadap berbagai macam penyakit, salah satunya adalah parasit cacing. Parasit cacing dapat menyebabakan kerugian ekonomi bagi peternak babi (Collins. 2002). Di Amerika Serikat parasit cacing pada babi diperkirakan dapat menyebabkan kerugian

250 juta dolar tiap tahunnya, terkait penyakit yang ditimbulkan dan menurunnya efisiensi ternak. Cacing pada babi akan menurunkan kesehatan tubuh dengan menyerap bahan nutrisi penting dan mengganggu berbagai organ vital sehingga babi akan lebih peka terhadap berbagai macam penyakit (Myer and Walker. 2003). Oleh sebab itu, hampir semua sistim peternakan babi memiliki program pencegahan dan pemberantasan penyakit, termasuk terapi untuk parasit. Untuk efektifitas dari suatu pengobatan, diperlukan suatu diagnosis yang tepat untuk mengetahui penyebabnya (Collins. 2002).

Cacing yang cukup banyak menyerang babi di bali adalah jenis cacing tipe strongyle. Pada tahun 2001 Nilasasih dalam penelitiannya melaporkan bahwa prevalensi cacing tipe strongyle pada babi betina dewasa di Bali sebesar 69,85%. Jenis cacing ini dikelompokkan menjadi tipe strongyle karena memiliki bentuk telur yang hamper sama walaupun dapat berasal dari tiga jenis cacing berbeda yaitu Hyostrongylus rubidus, Oseophagostomum dentatum ataukah dari infeksi cacing Trichostrongylus (Roepstorff dan Nansen. 1998). Penyakit yang ditimbulkan ketiga jenis cacing tersebut berbeda-beda karena tempat predileksi mereka yang berbeda, sehingga perlu dilakukan identifikasi

terhadap spesies cacing tipe strongyle yang menginfeksi babi di Bali.

METODE PENELITIAN

Pemeriksaan mikroskopis

Penelitian ini menggunakan 240 sampel feses babi yang berasal dari peternakan babi yang tersebar diseluruh wilayah provinsi Bali. Seluruh sampel diperiksa menggunakan metode Mc. Master. Tiap sampel diberi label sesuai dengan jenis sistim pemeliharaan babi. Sampel feces ditimbang seberat 4 gram, dimasukkan kedalam gelas ukur. Tambahkan larutan garam jenuh sebanyak 56 ml atau sampai volumenya 60 ml dan aduk sampai homogen. Saring campuran menggunakan saringan teh dan kotorannya dibuang. Air hasil penyaringan ditampung untuk selanjutnya dipergunakan kembali. Dengan menggunakan pipet Pasteur, sedot cairan hasil penyaringan tadi pada pertengahan gelas lalu dimasukkan kedalam kamar hitung Mc. Master (kanan dan kiri) sampai memenuhi kamar hitung dengan hati-hati agar tidak ada gelembung udara. Diamkan antara 3-5 menit lali diperiksa dibawah mikroskop dengan menggunakan pembesaran obyektif 10x untuk melihat adanya telur cacing tipe strongyle.

Kultur feses

Kultur feces menggunakan modifikasi dari metode Roberts dan O’Sullivan. Prinsip dari metode ini adalah menyediakan suasana yang sesuai untuk perkembangan telur cacing hingga menjadi larva stadium III yang infektif. Feces yang positif mengandung telur tipe strongyl kira – kira 10 gram dimasukkan kedalam gelas becker ditambah serpihan kayu lalu dicampur hingga homogen. Tambahkan air secukupnya supaya campuran menjadi lembab. Tutup gelas becker dengan plastik yang diikat dengan karet, kemudian dibuatkan beberapa lubang untuk sirkulasi udara. Masukkan kedalam inkubator dengan suhu 27º C selama 9-11 hari. Lakukan kontrol terhadap kelembabannya, jika campuran terlalu kering maka tambahkan air secukupnya. Setelah didiamkan selama 9 – 11 hari, tutup plastik dibuka dari gelas becker. Masukkan air kedalam gelas sampai penuh, tutup gelas dengan cawan petri lalu posisinya dibalik, sehingga cawan petri berada dibawah. Tambahkan air pada cawan petri hingga penuh. Diamkan selama 12 jam sampai larva keluar dan terkumpul dalam cawan petri (Damriyasa, 2001).

Identifikasi larva

Identifikasi terhadap larva cacing tipe strongyle dikalukan dengan menuangkan cairan yang terdapat pada

cawan petri kedalam tabung reaksi menggunakan corong air. Pertahankan posisi tabung tetap berdiri tegak. Diamkan antara 30 – 60 menit hingga seluruh larva mengendap didasar tabung. Cairan dibagian atas tabung reaksi dibuang, lalu endapannya diambil dan diletakkan pada cawan petri kemudian dilihat dibawah mikroskop stereo untuk melihat gerakan larvanya. Dengan menggunakan pipet Pasteur larva diambil yang kemudian diletakkan diatas gelas

obyek dan ditutup dengan cover glass lalu diperiksa dibawah mikroskop dengan pembesaran obyektif 10x untuk melihat morfologi larva cacing. Sebagai dasar untuk membedakan antara larva cacing Hyostrongylus rubidus, Oesophagostomum dentatum dan Trichostrongylus dapat dilihat pada Tabel 1 yang bersumber dari Roepstorff dan Nansen (1998); Levine (1990) dan Roman (2000).

Tabel 1. Perbandingan larva cacing Hyostrongylus rubidus, Oesophagostomum dentatum dan Trichostrongylus.

Parasit

Lebar x panjang (µ)

Karakteristik morfologi

Hyostrongylus rubidus

22 x 715-735

Panjang, langsing, bagian posterior terdapat proses digitiform yang kecil, ekor berselubung pendek, bergerak dengan cepat

Oesophagostomum denatum

26 x 500-532

Pendek, tebal, tubuhnya bergerigi, tidak terdapat proses digitiform, ekornya berselubung panjang dan berfilamen, gerakannya lambat

Trichostrongylus

22 x 619-762

Ekor larva berselubung, jarak antara ujung ekor dan ujung selubung ekor 25-39 mikron, bentuk tubuh larva agak berkerut

HASIL DAN PEMBAHASAN

kultur feses menggunakan modifikasi dari metode Roberts dan O’Sullivan teridentifikasi

Identifikasi cacing tipe strongyle

Setelah dilakukan pemeriksaan

dua jenis cacing yang menginfeksi babi di Bali. Cacing tersebut adalah Hyostrongylus rubidus

mikroskopis menggunakan metode Mc. Master terhadap 240 sampel feses babi

dan Oesophagostomum dentatum.

Morfologi larva kedua spesies cacing

dari seluruh Kabupaten di Bali, terdapat

tersebut dapat dilihat pada Gambar 1. dan

144 (60%) sampel positif terinfeksi oleh

Gambar 2. Larva cacing pada Gambar 1.

cacing tipe strongyle. Setelah dilanjutkan

merupakan larva dari cacing Hyostrongylus

rubidus dengan ciri khas yaitu ukurannya yang panjang, langsing, ekor berselubung pendek serta bagian

posterior terdapat proses digitiform yang kecil (Roman, 2000).



Gambar 1. Larva Hyostrongylus rubidus


Gambar 2. Larva Oesophagostomum dentatum

Gambar 2. diatas merupakan larva cacing Oesophagostomum dentatum dengan morfologi yang memiliki ciri khas yaitu berukuran pendek, tebal, tubuhnya bergerigi, tidak

didapatkan prevalensi cacing tipe strongyle

dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Prevalensi

cacing tipe strongyle

No

Jenis cacing

Sampel positif

Prevalensi

terdapat proses digitiform serta ekornya berselubung panjang dan berfilamen

1

Hyostrongylus rubidus

99

41,25%

(Roepstorff dan Nansen, 1998)

2

Oesophagostomum dentatum

144

47, 5%

Prevalensi cacing tipe strongyle

Setelah dilakukan penghitungan dari 240 sampel yang diperiksa,


Prevalensi cacing tipe strongyle di Bali sebesar 60% mendukung hasil penelitian yang dilaporkan oleh Nilasasih pada tahun 2001 yang

dalam hasil penelitiannya mendapatkan prevalensi cacing tipe strongyle pada babi dewasa di Bali sebesar 69,85%. Namun pada penelitian ini sampel yang dipergunakan berasal dari babi segala umur, babi muda hingga dewasa. Penelitian sebelumnya melaprkan bahwa infeksi cacing tipe strongyle berkorelasi positif terhadap umur, dimana semakin dewasa umur babi maka prevalensi cacing btipe strongyle makin meningkat (Roepstorff and Murrell, 1996; Tarigan dkk, 2004).

Cacing Hyostrongylus rubidus yang juga dikenal dengan sebutan cacing lambung merah (Johnstone, 1997) sebelumnya belum pernah dilaporkan menginfeksi babi di Bali, namun ternyata prevalensinya cukup tinggi yaitu 41,25%. Cacing ini berpredileksi pada lambung babi dan hidup dengan menghisap darah pada pembuluh darah yang terdapat pada lambung babi. Efek phatogenik Hyostrongylus rubidus adalah menyebabkan hemorrhagic gastritis dan menyebabkan turunnya kondisi tubuh dengan keadaan anemia, anorexia dan kadang-kadang diare. Hal ini disebabkan oleh larva stadium III dari cacing Hyostrongylus rubidus menyerbu masuk kedalam kelenjar lambung dengan menghisap darah dan mengakibatkan terjadinya peradangan


pada lapisan mucosa lambung. Infeksi berat dapat mengakibatkan ulcer pada lapisan mucosa dengan perdarahan akibt pecahnya pembuluh darah (Johnstone. 2000).

Cacing Oesophagostomum dentatum juga dikenal dengan sebutan cacing nodul (Corwin and Tubbs. 1993) merupakan cacing yang berpredileksi di dalam lumen usus besar babi yaitu caecum dan colon (Levine. 1990). Infeksi cacing Oesophagostomum dentatum berlangsung pada saat babi memakan tumbuh-tumbuhan atau pakan yang mengandung larva infektif (Kusumamihardja. 1992). Prevalensinya sebesar 47,5% cukup tinggi untuk mempengaruhi performa babi di Bali. Nodul akan terbentuk pada usus besar babi yang terinfeksi yang mengakibatkan gangguan proses pencernaan, sehingga akan menimbulkan pmborosan biaya produksi. Levine (1990) mencatat kerugian yang diakibatkan oleh infeksi cacing ini di Amerika Serikat sebesar 26 Juta $ US per tahun.

Prevalensi cacing Hyostrongylus rubidus dan Oesophagostomum dentatum masing-masing sebesar 41,25% dan 47,5%, dari jumlah tersebut terdapat 69 (28,75%) sampel merupakan infeksi gabungan dari kedua jenis cacing tersebut. Keadaan ini sangat memprihatinkan, diamana pertumbuhan babi akan sangat terganggu akibat adanya infeksi gabungan (Lee, 2012).

SIMPULAN DAN SARAN

DAFTAR PUSTAKA

Simpulan

Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa cacing tipe strongyle yang menginfeksi babi di Bali adalah Hyostrongylus rubidus dan Oesophagostomum dentatum dengan prevalensi masing-masing yaitu 41,25% dan 47,5%.


Saran

Melihat hasil penelitian ini dimana prevalensi cacing Oesophagostomum dentatum dan Hyostrongylus rubidus yang sangat tinggi maka disarankan kepada dinas terkait untuk segera melakukan tindakan penanganan yang sesuai. Bagi peternak disarankan untuk selalu memperhatikan status kesehatan ternaknya serta rutin memberikan obat cacing.

UCAPAN TERIMAKASIH

Ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada bapak Drh. I Made Dwinata, M.Kes dan Prof.Dr.drh. I Made Damriyasa, MS yang telah membimbing penulis dalam melaksanakan penelitian ini.


AAK. 1981. Pedoman Lengkap Beternak Babi. Kanisius, Yogyakarta.

BPS, 2011. Populasi Ternak Menurut Kabupaten/Kota dan Jenis Ternak di Bali Tahun 2011. Badan Pusat Statistik Provinsi Bali.

Collins, F. 2002. Preventive Paracitices in Swine : Parasite Treatment. Veterinary Service, United States Department of Agriculture.

Corwin, R.M and Tubbs, R.C. 1993. Common Internal Parasites of Swine. Department of Veterinary Microbiology, College of Veterinary Medicine. University of Missouri. Columbia.

Damriyasa, I.M. 2001. Querschnittsstudie zu Parasitosen    bei    Zuchtsauen in

Sudhessischen Betrieben. InauguralDissertation    zur    Erlangung    des

Doktorgrades beim Fachbereich Veterinarmedizin der Jestus-liebig Universitat Geissen.

Johnstone, C. 1997. Nematodes of Veterinary Importance. University of Pennsylvania, School of Veterinary Medicine & Merck.

Johnstone, C. 2000. Parasites and Parasitic Diseases of Domestic Animals, University of Pennsylvania, School of Veterinary Medicine & Merck.

Kendall, S.B. and Small. A.J. 1974 Hyostrongylus Rubidus In Sows At Pasture. Central Veterinary Laboratory, New Haw. Weybridge, Surrey.

Kusumamihardja, S. 1992. Parasit dan Parasitosis pada Hewan Ternak dan Hewan Piaraan di Indonesia. Pusat Antar Universitas Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor.

Lee, A. 2012. Internal Parasites of Pig. Department of Primary Industries, Primefact 1149 first edition, May 2012.

Levine, N.D.    1990.   Parasitologi

Veteriner.       G.       Ashadi,

(penerjemah). Gajah Mada Universitas   Press   Yogyakarta.

Terjemahan    dari    Veterinary

Parasitology.

Masudana, I.W. 1975. Peternakan Babi di Daerah Bali, Usaha Perbaikan Melalui    Pembibitan,    Dinas

Peternakan Provinsi     Bali.

Denpasar.

Myer, R. O. and Walker, W. R. 2003. Controlling Internal Parasites in Swine, Institute of Food and Agricultural Sciences. University of Florida.

Nilasasih, N.P. 2001. Prevalensi Infeksi cacing Nematoda pada Babi Betina Dewasa di Kecamatan Payangan Kabupaten Gianyar dan Kecamatan Marga   Kabupaten   Tabanan.

Skripsi.   Fakultas   Kedokteran

Hewan.   Universitas   Udayana.

Denpasar.

Roepstorff, A and Murrell, K.D. 1996. Transmission dynamics of helminth parasites of pigs on continuous                pasture:

Oesophagostomum dentatum and Hyostrongylus rubidus. Danish Centre for Experimental Parasitology, Royal Veterinary and Agricultural University, Bülowsvej 13, DK-1870 Frederiksberg C, Copenhagen, Denmark.

Roepstorff, A dan Nansen, P. 1998. Epidemiology, Diagnosis and Control of Helminth Parasites of Swine. Food and Agriculture Organization of The United Nations, Rome.

Roman, N. 2000. Red De Helmintologia Para America Latina Y El Caribe. Cultivo e Identificación de Larvas Infectantes de Nematodes Gastrointestinales. Instituto de Patología Animal, Centro Nacional de Investigaciones Agropecuarias, Instituto Nacional de Tecnología Agropecuaria, Secretaría de Estado de Agricultura y Ganadería de la Nación. Argentina.

Tarigan, R.F; Sianturi, C; Tiuria, R; dan Tampubolon, M.P. 2004. Perbandingan Prevalensi Infeksi Kecacingan pada Babi di Kecamatan Siborongborong dan Kecamatan Patumbak Sumatra Utara. Departemen Parasitologi dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

138