Volume 14 No. 4: 344-350

Agustus 2022

DOI: 10.24843/bulvet.2022.v14.i04.p05

Buletin Veteriner Udayana

pISSN: 2085-2495; eISSN: 2477-2712

Online pada: http://ojs.unud.ac.id/index.php/buletinvet

Terakreditasi Nasional Sinta 4, berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal

Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi No. 158/E/KPT/2021

Penampilan Reproduksi Sapi Bali yang Dipelihara di Sentra Pembibitan Sapi Bali Sobangan

(REPRODUCTIVE PERFORMANCE OF BALI CATTLE IN BREEDING INSTALATION BALI CATTLE OF SOBANGAN)

I Gede Hendi Saputra1*, I Gusti Ngurah Bagus Trilaksana2, I Ketut Puja3

  • 1Dinas Pertanian dan Pangan Kabupaten Badung, JL. Raya Sempidi, Kec. Mengwi, Kabupaten Badung, Bali 80351;

  • 2Laboratorium Reproduksi Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana, Jl. PB. Sudirman Denpasar, Bali;

  • 3Laboratorium Genetika Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana, Jl. PB. Sudirman Denpasar, Bali.

*Email: igedehendisaputra@yahoo.com

Abstrak

Penelitian ini dilakukan untuk mengamati penampilan reproduksi sapi bali di Sentra Pembibitan Sapi Bali Sobangan, Badung, Bali, selama periode 2013-2016. Sebanyak 288 ekor sapi indukan digunakan sebagai sumber informasi mengenai penampilan reproduksi sapi bali. Data yang dikumpulkan antara lain service perconception (S/C), lama kebuntingan, berat lahir, dan estrus postpartum. Angka service perconception, rata-rata lama kebuntingan, berat lahir, dan estrus postpartum berturut-turut adalah 1,3 kali; 284,63±10,73 kg; 17,89±1,04 kg; dan 101,71±32,31 hari.

Kata kunci: Berat lahir; estrus postpartum; lama kebuntingan; penampilan reproduksi; sapi bali; service per conception

Abstract

This study was conducted to investigate the reproductive performance of bali cattle in breeding instalation bali cattle of Sobangan, Badung, Bali. Totaling 288 heifers were use to represents the benchmark reproductive performance of bali cattle. Data collected were service per conception (S/C), gestation length, birth weight, and postpartum estrus. The overall means for service per conception (S/C), gestation length, birth weight, and postpartum estrus were 1,3 times; 284,63±10,73 kg; 17,89±1,04 kg; dan 101,71±32,31 days.

Keywords: Bali cattle; birth weight; gestation length; postpartum estrus; reproductive performance; service per conception

PENDAHULUAN

Sapi bali berasal dari banteng (Bibos banteng) yang telah didomestikasi berabad-abad lalu. Beberapa sinonim sapi bali yaitu Bos javanicus, Bos banteng dan Bos sondaicus. Sapi bali termasuk Famili Bovidae, Genus Bos dan Subgenus Bibovine (Hardjosubroto dan Astuti, 1993). Sumber sapi bali murni di Indonesia adalah pulau Bali. Sapi bali termasuk sapi unggul dengan reproduksi tinggi, bobot karkas

tinggi, mudah digemukkan dan mudah beradaptasi dengan lingkungan baru, sehingga dikenal sebagai sapi perintis. Sebagai sapi asli yang potensi reproduksinya lebih baik dibanding sapi lainnya maka upaya pengembangan sapi bali sangatlah memungkinkan (Soesanto, 1997).

Sapi bali adalah ternak lokal yang menjadi hewan primadona dalam menyediakan kebutuhan daging selain

ternak impor. Hal ini disebabkan sapi bali memiliki mutu genetik yang bagus. Permintaan daging yang berasal dari sapi bali terus mengalami kenaikan. Tingginya permintaan sapi bali berdampak pada populasi sapi bali serta berakibat pula pada penurunan mutu genetik yang diakibatkan oleh eksploitasi sapi yang berkualitas (Samariyanto, 2004).

Sifat reproduksi merupakan penampilan fenotip penting bernilai ekonomi pada perternakan sapi. Penampilan reproduksi yang buruk merupakan alasan utama petani untuk menjual sapi. Buruknya penampilan reproduksi sapi menyebabkan juga meningkatnya biaya pengobatan, meningkatnya sapi dibawa ke rumah potong, dan dilakukannya inseminasi berulang. Seleksi negatif akibat pengiriman ternak potong keluar Bali dan pemotongan betina produktif di rumah potong telah menyebabkan terjadinya penurunan penampilan sapi bali. Samariyanto (2004) menyatakan bahwa belum bermutunya sistem peremajaan bibit yang diikuti seleksi yang kurang baik serta pemotongan sapi berkualitas menyebabkan penurunan penampilan sapi bali.

Efisiensi reproduksi merupakan aspek penting pada pengembangan sapi. Penampilan reproduksi yang baik merupakan kunci sukses pada pengembangan sapi. Pada peternakan sapi bali diharapkan kelahiran satu ekor pertahun. Untuk itu penting diperhatikan manajemen reproduksi sapi betina agar meningkat produktivitas dan reproduktivitasnya. Dalam usaha manejemen reproduksi sapi bali perlu dilakukan pengukuran efisiensi reproduksi untuk mengetahui penampilan reproduksi sapi bali yang nantinya dapat digunakan dalam peningkatan efisiensi reproduksi sapi bali pada umumnya.

Sentra pembibitan sapi Desa Sobangan merupakan sentra pembibitan yang dimiliki oleh Dinas Pertanian dan Pangan Kabupaten Badung. Sentra pembibitan ini

merupakan pusat pembibitan sapi bali yang ada di Bali. Sentra ini akan menghasilkan bibit unggul yang akan disebarkan ke seluruh Bali. Pada sentra ini, sistem manajemen     pemeliharaan     telah

menerapkan sistem peternakan intensif.

Sampai saat ini, belum ada penelitian mengenai penampilan reproduksi pada sistem peternakan intensif seperti di Sentra Pembibitan Sobangan. Karena itu penelitian ini dilakukan untuk mengetahui penampilan reproduksi sapi bali yang dipelihara dengan sistem intensif.

METODE PENELITIAN

Sampel

Data penampilan reproduksi didapatkan dari data reproduksi sapi bali indukan yang dipelihara di Sentra Pembibitan Sapi Bali Sobangan, Badung, Bali, selama periode 2013-2016.

Variabel Penelitian

Sebanyak 288 ekor sapi indukan digunakan sebagai sumber informasi mengenai penampilan reproduksi sapi bali. Data yang dikumpulkan antara lain service per conception (S/C), lama kebuntingan, berat lahir, dan estrus postpartum.

Analisis Data

Data yang diperoleh disajikan secara deskriptif.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Service per Conception

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa jumlah sapi yang bunting dengan satu kali IB sebanyak 125 ekor, dua kali IB sebanyak 36 ekor, tiga kali IB sebanyak 6 ekor, dan empat kali IB sebanyak 2 ekor total keseluruhan sapi yang bunting adalah 169 ekor, sehingga straw yang dihabiskan keseluruhan adalah 223 straw (Tabel 1).

Dari data di atas S/C dalam penelitian ini adalah 223:169=1,3 kali. Service per conception merupakan perhitungan jumlah pelayanan perkawinan yang dibutuhkan oleh seekor betina sampai terjadinya

kebuntingan atau konsepsi. Service per conception dapat menggambarkan tingkat kesuburan ternak di suatu peternakan. Nilai S/C yang rendah merupakan faktor ekonomis yang sangat menguntungkan dalam perkawinan alam maupun IB. Pada penelitian ini didapatkan S/C sebesar 1,3 tersebut lebih kecil dibandingkan dengan penilitian yang dilakukan oleh Siswanto et al. (2013) yang juga dilakukan pada sapi bali di Pusat Pembibitan Sapi Bali Pulukan sebesar 1,65 dan pada penelitian Rusdi et al. (2016) dengan S/C pada sapi bali di Kabupaten Pringsewu sebesar 1,8.

Kecilnya nilai S/C pada penelitian ini menunjukkan bahwa manajemen reproduksi di lokasi penelitiaan sudah baik. Partodihardjo (1990) menyatakan nilai angka kawin per kebutingan yang baik 1,5 sampai 1,7. Makin rendah nilai S/C suatu peternakan maka semakin tinggi fertilitasnya, sebaliknya semakin tinggi nilai S/C akan semakin rendah tingkat fertilitasnya. Hasil yang didapat menunjukkan bahwa di Sentra Pembibitan Sapi Bali Desa Sobangan telah terjadi perbaikan kualitas genetik sapi bali serta didukung oleh manajemen dan pemeliharaan yang baik, deteksi birahi yang tepat dan inseminator yang telah terlatih dengan baik.

Lama Kebuntingan

Rataan dan simpangan baku lama kebuntingan sapi bali di lokasi penelitian seperti disajikan pada Tabel 2. Lama kebuntingan adalah periode dari mulai terjadinya fertilisasi sampai terjadinya kelahiran normal. Lama kebuntingan ini berbeda dari satu bangsa ternak kebangsa ternak lainnya (Jaenudeen dan Hafez, 2000). Lama kebuntingan sapi bali pada penelitian ini adalah 284,63±10,73 hari dengan kisaran 257 sampai dengan 307 hari. Lama kebuntingan pada sapi bali telah banyak dilaporkan. Puja et al. (2018) melaporkan lama kebuntingan sapi bali adalah 279±15,31 hari; dengan kisaran 257331 hari. Lamanya kebuntingan dipengaruhi oleh jenis sapi, jenis kelamin anak, jumlah anak yang dikandung dan

faktor lain seperti umur induk, musim, sifat genetik dan letak geografik (Jaenudeen dan Hafez, 2000). Pada penelitian ini, dari sejumlah 169 kelahiran ternyata lama kebuntingan pada sapi bali antara pedet jantan dan pedet betina tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Lama kebuntingan pada induk yang mengandung pedet jantan adalah 285,19±10,72 hari, dan induk yang mengandung pedet betina hampir sama yaitu 284,09±10,77 hari (Tabel 5.2). Prasojo et al. (2010) melaporkan lama kebuntingan pada sapi bali juga menunjukkan lama kebuntingan yang hampir sama antara pedet betina (283,9± 5,6 hari) dan pedet jantan (284,9±5,7 hari).

Berat Lahir

Rataan dan simpangan baku berat lahir sapi bali di lokasi penelitian seperti disajikan pada Tabel 3. Berat lahir anak sapi bali pada penelitian ini adalah 17,89±1,04 kg. Berat lahir antara pedet jantan dan pedet betina sangat bervariasi. Kisaran berat lahir pedet jantan antara17,5 sampai dengan 22 kg dengan rata-rata 18,49±0,82 kg. Sementara pedet betina memiliki kisaran berat lahir antara 16 sampai dengan 20 kg dengan rataan 17,3±0,82 kg. Puja et al. (2015) juga menyatakan bahwa berat lahir pedet jantan lebih berat (17.38 ± 2.13 kg) daripada pedet betina (17.33 ± 1.87 kg). Hasil ini diperkuat oleh laporan Prasojo et al. (2010) bahwa berat badan pedet sapi bali antara jantan dan betina berbeda. Pedet sapi jantan menunjukkan berat 10,5 sampai dengan 22 kg dengan rata-rata 18,9±1,4 kg. Sementara pedet betina memiliki kisaran berat lahir antara 13 sampai dengan 26 kg dengan rataan 17,9±1,6 kg.

Hasil penelitian juga memperlihatkan bahwa rataan bobot lahir dan ukuran tubuh anak sapi bali jantan lebih tinggi dibandingkan dengan anak sapi betina, seperti terlihat pada Tabel 5.3. Tingginya bobot badan ternak jantan daripada betina menunjukkan potensi genetik pejantan lebih unggul daripada betina. Menurut Yusran et al. (1992) bahwa tidak terdapat

perbedaan yang nyata antara bobot lahir jantan dengan betina, walupun nilai rata-ratanya terlihat bobot lahir jantan cenderung lebih tinggi. Secara umum, potensi genetik jantan terhadap betina dalam hal bobot lahir itu sendiri mempengaruhi perbedaan bobot lahir sapi jantan dengan betina. Hal ini disebabkan adanya hormon androgen yang dimiliki anak jantan akan menyebabkan adanya retensi nitrogen lebih banyak dibandingkan dengan anak betina, sehingga akan mengakibatkan pertumbuhan yang lebih besar. Oleh karena itu, foetus jantan akan memiliki pertumbuhan pralahir lebih besar sehingga memiliki bobot lahir lebih besar pula dibandingkan dengan anak betina (Ihsan, 1997).

Selain karena perbedaan aktivitas hormon kelamin, perbedaan bobot lahir antara jantan dan betina juga disebabkan oleh perbedaan ukuran plasenta antara jantan dan betina. Menurut Toelihere (1997), selama pertumbuhan prenatal, salah satu faktor yang dapat mempengaruhinya adalah ukuran plasenta. Dimana plasenta jantan lebih besar jika dibandingkan dengan betina. Dengan demikian, jika plasenta jantan lebih besar, maka kesempatan foetus jantan untuk memperoleh zat makanan cukup banyak jika dibandingkan dengan yang betina, sehingga memungkinkan pertumbuhan prenatal jantan lebih besar yang pada akhirnya akan lahir dengan bobot badan yang lebih dari pada betina.

Estrus Postpartum

Rataan estrus postpartum sapi bali di lokasi penelitian seperti disajikan pada Tabel 4. Estrus postpartum pada penelitian ini adalah 101,71±32,31 hari. Sariubang et al.  (2009) yang meneliti sapi bali di

Kabupaten Takalar menjelaskan bahwa pada sapi bali yang dipelihara secara intensif dengan pakan rumput segar, dedak dan jerami fermentasi, estrus postpartum terjadi pada hari ke-81 setelah beranak. Sapi bali yang dipelihara secara tradisional

oestrus postpartum-nya lebih lama yaitu 107 hari setelah beranak. Gejala estrus sebenarnya sudah mulai terlihat 40–60 hari setelah beranak akan tetapi estrus yang disertai pembuahan (kebuntingan) terjadi lebih cepat pada induk sapi yang mendapat pakan yang lebih baik dan dipelihara intensif,dibandingkan sapi bali yang dipelihara secara tradisional. Tidak jauh berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Pemayun et al. (2015) dimana oestrus postpartum dengan pemeliharaan tiga strata (STS) yaitu 3,05 bulan (91,5 hari).

Faktor pakan merupakan faktor paling utama untuk penampilan reproduksi, khususnya pada sapi yang sangat tergantung pada hijauan untuk memenuhi gizinya, sehingga hal ini umumnya akan menyebabkan terjadinya hipofungsi ovarium (tidak adanya aktivitas ovarium) dan sapi tidak menunjukkan tanda-tanda berahi (Montiel dan Ahuja, 2005). Kondisi pakan yang baik, memicu pelepasan hormon gonadotropin pada hipofisa anterior dan memicu perkembangan folikel ovarium yang diikuti dengan meningkatnya kadar hormon estrogen yang memicu terjadinya estrus (Beam dan Butler, 1997).

Pada penelitian ini sistem pemberian pakan: berupa rumput (25kg/ekor/hari), konsentrat (2kg/ekor/hari) dan air yang diberikan secara ad libitum. Pemberian pakan berbasis daun-daunan merupakan langkah strategis dalam pengembangan sapi bali, mengingat tipikal ternak ini adalah merambah dan bukan merumput (Kearl, 1982). Lebih lanjut dijelaskan bahwa dengan kemampuan mengkonsumsi pakan hijauan berupa dedaunan sampai 70% akan mampu memenuhi kebutuhan fisiologis ternak, baik secara kuantitatif (DMI= dry matter intake, 2-2,5% dari bobot ternak) maupun secara kualitatif (NI= nutrient intake). Dengan terpenuhi kebutuhan fisiologisnya, ternak akan mampu melaksanakan aktivitasnya secara optimal, baik untuk reproduksi maupun berproduksi untuk periode berikutnya

dengan memperlihatkan performan reproduksi dan produksi yang lebih baik.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Dapat disimpulkan bahwa angka S/C pada sapi bali adalah 1,3 kali, lama kebuntingannya ini adalah 284,63±10,73 hari dengan kisaran 257 sampai dengan 307 hari, berat lahir anak sapi bali pada penelitian ini adalah 17,89±1,04 kg. Kisaran berat lahir pedet jantan antara 17,5 sampai dengan 22 kg dengan rata-rata 18,49±0,82 kg. Sementara pedet betina memiliki kisaran berat lahir antara 16 sampai dengan 20 kg dengan rataan 17,3±0,82 kg, dan estrus postpartum pada penelitian ini adalah 101,71±32,31 hari.

Saran

Untuk miningkatkan penampilan reproduksi sapi bali maka dapat disarankan untuk     menerapkan     manajemen

pemeliharaan seperti yang dilakukan di pusat pembibitan sapi bali Sobangan.

UCAPAN TERIMAKASIH

Penulis mengucapkan terimakasih kepada kepala UPT Sentra Pembibitan Sapi Bali Sobangan, Badung dan Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana yang telah memfasilitasi penelitian ini

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah A. 2011. Analisis pola pertumbuhan sapi perah fries holland (FH) betina sampai kawin pertama. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Beam SW, Butler WR. 1997. Energy

balance dan ovarian follicle development prior to the first ovulation postpartum in dairy cows receiving three levels of dietary fat. Biol. Reprod. 56: 133-142.

Hardjosubroto W, Astuti M. 1993. Buku Pintar Peternakan. PT Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta.

Hasriati E. 2001. Performa pedet sapi perah yang dilahirkan dari sapi dara dan laktasi akibat penyuntikan Pregnanti Mare Serum Gonadotropin (PMSG). Tesis. Fakultas Peternakan, Universitas Diponegoro. Semarang.

Ihsan MN. 1997. Ilmu Reproduksi Ternak. Fakultas Peternakan.   Universitas

Brawijaya. Malang.

Iswoyo, Widyaningrum   P. 2008.

Penampilans     reproduksi     sapi

peranakan simmental (Psm). J. Ilmiah Ilmu-Ilmu Peternakan. 11(3).

Jaenudeen MR, Hafez ESE. 2000. Gestation, prenatal physiology and parturition. In: Reproduction in Farm Animal 7 Ed. Hafez, E.S.E. and B. Hafez (Eds.). Lippincott. Williams & Wilkins.

Kearl LC. 1982. Nutrition Requirements of Ruminants in Developing Countries International Feedstuff. Institute Utah Agric. Exp. Station Utah State University, Logan Utah, USA.

Liwa AM. 1990. Produktivitas sapi Bali di Sulawesi Selatan. Tesis. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Mangkoewidjoyo S. 1990. Beberapa pemikiran tentang usaha peningkatan daya tahan sapi bali terhadap penyakit menular. Proc. Seminar Nasional Sapi Bali. Fakultas Peternakan Universitas Udayana, Bali.

Montiel F, Ahuja C. 2005. Body condition and suckling as factors influencing the duration of postpartum anestrus in cattle: A review. Anim. Reprod. Sci. 85: 1-26.

Oka IGL. 2010. Conservation and genetic improvement of Bali Cattle. Proc. Conservation and Improvement of World Indigenous Cattle. 110-117.

Pane I. 1990. Pemuliabiakan Ternak Sapi. Cetakan kedua. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Partodihardjo R. 1987. Ilmu Reproduksi Hewan. Fakultas Kedokeran Veteriner Jurusan Reproduksi Institut Pertanian Bogor.

Partodihardjo S. 1990. Ilmu Reproduksi Hewan. Sumber Widya. Jakarta.

Prasojo G, Arifiantini I, Mohamad K. 2010. Korelasi antara lama kebuntingan, bobot lahir, dan jenis kelamin pedet hasil inseminasi buatan pada sapi bali. J. Vet. 11(1): 41-45.

Pemayun TGO, Putra S, Puger W. 2015. Penampilan reproduksi sapi bali pada sistem tiga strata. J. Ked. Hewan. 8(1): 61- 63.

Puja IK, Sumarjaya INTO, Sudarsana IW, Trinayani NN, Patmawati NW, Sulabda IN, Wandia IN. 2015. Genetic characteristics of four microsatellite markers associated with birth weight in bali cattle. Glob. Vet. 14(5): 633-637.

Puja IK, Sulabda IN, Wandia IN. 2018. Microsatellite polymorphisms and its relationship with calving interval and gestation period in bali cattle. Adv. Anim. Vet. Sci. 6(5): 197-200.

Purwantara B, Noor RR, Andersson G, and Rodriguez-Martinez H. 2012. Banteng and bali cattle in Indonesia: Status and forecasts. Reprod. Dom. Anim. 47(Suppl. 1): 2-6.

Rusdi B, Hartono M, Suharyati S. 2016. Calving interval pada sapi bali di Kabupaten Pringsewu. J. Ilmiah Peternakan Terpadu. 4(4): 277- 283

Samariyanto. 2004. Alternatif kebijakan perbibitan sapi potong dalam era otonomi daerah. Lokakarya Nasional Sapi                         Potong.

http://balitnak.litbang.deptan.go.id.

Santoso AK, Harmaji. 1990. Peranan Gaduhan, PUTP dan PIR dalam pengembangan peternakan sapi bali.

Sariubang M, Nurhayu A, Saenab A. 2009. Pengkajian sistem pembibitan sapi bali pada peternakan rakyat di Kabupaten

Takalar. Proc. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009.

http://peternakan.litbang.deptan.go.id /fullteks/semnas/pro09-11.pdf.     [20

September 2011].

Siswanto M, Patmawati NW, Trinayani NN, Wandia IN, Puja IK. 2013. Penampilan reproduksi sapi bali pada peternakan intensif di instalasi pembibitan pulukan. J. Ilmu Kesehatan Hewan. 1(1): 11-15.

Soesanto M. 1997. Pengintegrasian pembangunan sub-sektor peternakan dengan pelestarian keanekaragaman hayati. Proc. Seminar Nasional Peningkatan            Pengelolaan

Keanekaragaman Hayati dalam Pembangunan Nasional, Yogyakarta.

Sudjana. 1996. Metode Statistika. Bandung: Tarsito.

Thalib C. 2002. Sapi bali di daerah sumber bibit dan peluang pengembangannya. Wartazoa. 12: 100.

Toelihere MR. 1993. Inseminasi Buatan Pada Ternak. Edisi ke-1. Angkasa. Bandung.

Toelihere MR. 1997. Inseminasi Buatan pada Ternak. Edisi ke-2. Angkasa, Bandung.

Yusran MA, Siregar AR, Ma’sum A, Wijono DB. 1992. Berat lahir sapi madura dalam variabel bobot hidup induk, jenis kelamin dan musim di daerah program IB Kecamatan Socah-Bangkalan. Proc. Pertemuan Hasil Penelitian dan Pengembangan Sapi Madura. Sumenep, 11-12 Oktober 1992. Pusat Penelitian dan Pengembangan          Peternakan.

Departemen Pertanian. Pp. 74-78.

Tabel 1 Data straw yang diperlukan sampai terjadi kebuntngan

Parameter     IB 1 kali IB 2 kali IB 3 kali IB 4 kali Total

Bunting          125        36        6         2       169

Straw            125        72        18        8       223

Tabel 2. Lama kebuntingan pada sapi bali di Sentra Pembibitan Sobangan

Lama Kebuntingan

Jenis Kel

Jantan

min Pedet

Betina

Jumlah Sampel

83 (49,11%)

86 (50,89%)

Minimum (hari)

258

257

Maksimum (hari)

307

306

Rata-rata (hari)

285,19+ 10,72

284,09+ 10,77

Rata-rata Total (hari)

284,63+10,73

Tabel 3. Berat lahir pada sapi bali di Sentra Pembibitan Sobangan

BeratLahir

JenisKelamin

Jantan

Betina

JumlahSampel

83 (49,11%)

86 (50,89%)

Minimum (Kg)

17,5

16

Maksimum (Kg)

22

20

Rata-rata (Kg)

18,49±0,82

17,3±0,82

Rata-rata Total (Kg)

17,89±1,04

Tabel 4. Estrus postpartum pada sapi bali di Sentra Pembibitan Sobangan

Estrus Postpartum

Jumlah Sampel       169

Rata-rata (hari)        101,71±32,31

350