Volume 11 No. 1: 14-20

Pebruari 2019

DOI: 10.24843/bulvet.2019.v11.i01.p03

Buletin Veteriner Udayana

pISSN: 2085-2495; eISSN: 2477-2712

Online pada: http://ojs.unud.ac.id/index.php/buletinvet

Terakreditasi Nasional Peringkat 3, DJPRP Kementerian Ristekdikti No. 21/E/KPT/2018, Tanggal 9 Juli 2018

Histopatologi Hepar Tikus Putih Setelah Pemberian Ekstrak Sarang Semut yang Diinduksi Paracetamol Dosis Toksik

(HISTOPATHOLOGICAL OF WHITE RATS LIVER AFTER GIVING of ANT NEST EXTRACT INDUCED BY TOXIC DOSE OF PARACETAMOL)

I Made Merdana1*, I Made Kardena2, Ketut Budiasa1, I Made Dodi Gunawan3

1Laboratorium Farmakologi dan Farmasi Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Udayana, Jln. PB. Sudirman, Denpasar, Bali. 2Laboratorium Patologi Veteriner Fakultas

Kedokteran Hewan Universitas Udayana. 3Praktisi Dokter Hewan di Kecamatan Tegalalang, Gianyar Bali. *Email: [email protected]

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian ekstrak sarang semut (Myrmecodia pendans) terhadap perubahan histopatologis hepar tikus putih (Rattus novergicus) akibatiinduksi paracetamol dosis toksik. Penelitian ini menggunakan 24 ekor tikus putih jantan, dibagi dalam empat kelompok, yaitu kelompok kontrol negatif (P0) diberikan placebo, kelompok kontrol positif (P1) diberikan paracetamol dosis 250 mg/kg bb selama 10 hari, P2 diberikan ekstrak sarang semut 250 mg/kg bb dan paracetamol dosis 250 mg/kg bb selama 10 hari, P3 diberikan ekstrak sarang semut 250 mg/kg bb selama tujuh hari, kemudian dilanjutkan dengan pemberian paracetamol dosis 250 mg/kg bb dan ekstrak sarang semut dengan dosis 250 mg/kg bb selama 10 hari. Setelah perlakuan seluruh tikus dinekropsi, organ hepar diambil dan diproses untuk pembuatan preparat histopatologi. Parameter yang diperiksa meliputi adanya hemoragi, kongesti, degenerasi dan nekrosis. Data yang diperoleh dianalisis statistik dengan menggunakan uji Kruskal Wallis dilanjutkan dengan uji Mann Whitney. Hasil uji Mann-Whitney untuk semua kategori perubahan histopatologi baik hemoragi, kongesti, degenerasi, dan nekrosis antara kelompok kontrol negatif (P0) dengan kontrol positif (P1) terdapat perbedaan yang nyata (P<0,05), antara kontrol negatif (P0) dengan P2 dan P3 tidak terdapat perbedaan nyata (P>0,05). Kemudian antara kontrol positif (P1) dengan P2 dan P3 terdapat perbedaan yang nyata (P<0,05). Simpulan dari penelitian ini adalah pemberian paracetamol dosis 250 mg/kg bb menyebabkan perubahan histopatologi hepar tikus putih. Pemberian ekstrak sarang semut dosis 250 mg/kg bb mampu mengurangi efek toksik paracetamol.

Kata kunci: Paracetamol; histopatologi; kerusakan hepar; ekstrak sarang semut.

ABSTRACT

This study aim was to determine the influence ant nest plant extract (Myrmecodia pendans) on histopathological changeof white rat liver (Rattus novergicus) due to induced with paracetamol toxic dose. This study used 24 male white rats, divided into four groups, negative control group (P0) given placebo, positive control group (P1) given paracetamol dose 250 mg / kg bw for 10 days, P2 given ant nest extract 250 mg / kg bw and paracetamol dose 250 mg / kg bw for 10 days, P3 given ants nest extract 250 mg / kg bw for seven days, then continued by giving paracetamol and ants nest extract with dose 250 mg / kg bw for ten days. After the treatment done, all the rats were dinecropsed. Liver organs were taken and processed for making histopathology preparations. Parameters examined included hemorrhage, congestion, degeneration and necrosis. The data obtained were analyzed statistically by using Kruskal Wallis test followed by Mann Whitney test. Mann Whitney test results for all categories of histopathologic changes in hemorrhagic, congestion, degeneration, and necrosis between negative control group (P0) and positive control group (P1) were significantly different (P <0.05), between negative control (P0) with P2 and P3 there was no significant difference (P> 0,05). Afterward, between the positive control (P1) and P2 with P3 there was a significant difference (P <0.05). I can be concludedthat the administration of paracetamol dose 250 mg/kg bw for 10 days affects the histopathologic changes of white rat liver. The administration of ant nest plant extracts can reduce the side effects of toxic doses of paracetamol.

Keywords: Paracetamol; histopathology; liver damage; ant nest extract.

PENDAHULUAN

Dewasa ini penggunaan obat-obat sintetik beralih ke obat-obatan tradisional melalui pemanfaatan tanaman berkhasiat obat. Salah satu tanaman yang potensial sebagai tanaman obat adalah tanaman sarang semut (Myrmecodia pendans) (Tatukude et al., 2014). Sarang semut dilaporkan mengandung zat aktif berupa senyawa flavonoid yang dapat berperan sebagai zat antioksidan. Pada penelitian pendahuluan pemberian ekstrak etanol sarang semut dengan dosis 100-300 mg/kgbb per oral selama 21 hari tidak menunjukkan toksisitas pada organ hepar. Dilaporkan ekstrak sarang semut mengandung senyawa fenol dan flavonoid yang aman digunakan sebagai obat herbal tanpa menimbulkan toksisitas (Sudiono et al, 2015). Secara empiris, rebusan tanaman sarang semut memiliki aktivitas antioksidan yang kuat, sehingga efektif dan mampu menyembuhkan beragam penyakit ringan dan berat, seperti kanker, tumor, asam urat, jantung koroner, wasir, tuberkulosis, migren, rematik, dan leukemia (Soeksmanto et al., 2010). Sarang semut mampu mengurangi kerusakan hepar akibat radikal bebas, karena sarang semut mengandung flavonoid yang mampu bertindak sebagai antioksidan dan berfungsi menetralisir radikal bebas, sehingga dapat meminimalkan efek kerusakan pada hepar (Sudiono et al., 2015). Sarang semut mampu meningkatkan fungsi fisiologis tubuh terhadap serangan penyakit dan radikal bebas, salah satunya toksisitas akibat penggunaan paracetamol dosis tinggi (Subroto, 2010).

Paracetamol merupakan salah satu obat golongan analgetik-antipiretik yang banyak digunakan pada manusia dan hewan. Meskipun obat ini sesungguhnya aman bila digunakan pada dosis terapi. Namun, overdosis paracetamol telah dilaporkan sebagai penyebab nekrosis hepar. Utami (2017), melaporkan bahwa pemberian dosis paracetamol sebesar 250 mg/kg bb dalam jangka waktu 10 hari dapat menyebabkan kerusakan histologi jaringan hepar berupa

kongesti, degenerasi, dannekrosis. Konsumsi paracetamol yang berlebihan dapat menyebabkan terbentuknya radikal bebas dalam sel hepar, dan kerusakan hepar terjadi karena dosis yang berlebihan dan dalam jangka waktu yang lama. Hasil metabolisme paracetamol berupa N-acetyl-para-benzoquinone-imine (NAPQI) tidak dapat dinetralisir semuanya oleh glutation hepar. N-acetyl-para-benzoquinone-imine bersifat toksik dan dapat menyebabkan terbentuknya reaksi rantai radikal bebas (Eric et al, 2016). Penumpukan radikal bebas merupakan salah satu mekanisme yang berperan terhadap kerusakan hepar. Radikal bebas yang berlebihan akan menimbulkan stres oksidatif yang memicu proses peroksidasi terhadap lipid, sehingga menimbulkan kerusakan pada hepar (Koch et al., 2007).

Hepar merupakan organ yang berpotensi mengalami kerusakan akibat berbagai bahan kimia maupun lingkungan karena fungsinya dalam proses metabolisme dan detoksifikasi bahan kimia yang masuk ke dalam tubuh. Pemberian senyawa-senyawa yang bersifat toksik dapat menimbulkan perubahan-perubahan seperti hemoragi, kongesti, degenerasi sampai nekrosis (Lu, 2010). Melihat efek sarang semut (Myrmecodia pendans) sebagai obat promotif dan rehabilitatif serta efek samping hepatotoksik paracetamol maka perlu dilakukan penelitian pada hewan coba. Untuk itu dilakukan penelitian tentang pengaruh pemberian ekstrak sarang semut (Myrmecodia pendans) pada tikus putih (Rattus novergicus) yang diinduksi dengan paracetamol dosis toksik, untuk diamati perubahan struktur histopatologi hepar.

MATERI DAN METODE

Penelitian ini menggunakan 24 ekor tikus putih jantan galur wistar, berumur 2-3 bulan, berat badan 200-300 gr yang diperoleh di Kota Denpasar, Provinsi Bali. Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain kandang hewan percobaan, tempat minum, spuit 1 ml, timbangan

digital, mikroskop binokuler, gelas objek, kaca penutup, alat bedah, tissue cassette, staining jar, embedding set, dan microtome. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain tikus putih galur wistar, sarang semut sudah disediakan dalam bentuk ekstrak ethanol,  parasetamol, pakan

(pellet), air minum, larutan Neutral Buffer Formalin (NBF)  10%. Bahan yang

digunakan untuk  pembuatan preparat

histopatologi     dengan     pewarnaan

Haematoxilin-Eosin (HE), alkohol 70%, alkohol 80%, alkohol 90%, alkohol 96%, alkohol absolut, toluena, dan paraffin.

Penelitian     ini     menggunakan

paracetamol dosis 250 mg/kg bb dan ekstrak sarang semut dosis 250 mg/kg bb per oral, induksi parasetamol selama 10 hari. Percobaan menggunakan 24 ekor tikus putih jantan yang dibagi menjadi empat kelompok sebagai berikut; P0 : diberikan placebo (kontrol negatif), P1 :   diberikan

paracetamol dosis 250 mg/kg bb selama 10 hari (kontrol positif), P2 : diberikan ekstrak sarang semut dosis 250 mg/kg bb dan paracetamol dosis 250 mg/kg bbb selama 10 hari, P3 : diberikan ekstrak sarang semut 250 mg/kg bb selama tujuh hari, kemudian dilanjutkan dengan pemberian paracetamol dosis 250 mg/kg bb dan ekstrak sarang semut 250 mg/kg bb selama 10 hari.

Pada hari ke-18 dilakukan euthanasia dan nekropsi sesuai prosedur. Sampel hepar yang telah diambil kemudian direndam dalam larutan Neutral Buffer Formalin (NBF) 10%. Kemudian dilakukan pembuatan preparat dan pewarnaan dengan metode Kiernan (2001). Preparat diamati di bawah mikroskop binokuler dengan pembesaran 400 kali masing-masing pada lima lapang pandang berbeda.

Variabel yang diperiksa meliputi: hemoragi, kongesti, degenerasi dan nekrosis. Masing-masing variabel diperiksa dan diamati derajat keparahannya dan diberikan skor sebagai berikut: Skor 0 = tidak ada perubahan Skor 1 = bersifat fokal (ringan) Skor 2 = bersifat multifokal (sedang)

Skor 3 = bersifat difusa (parah) (Sativani, 2010).

Untuk mengetahui perbedaan struktur histopatologi hepar tikus putih pada masing-masing dosis yang diberikan, data ditabulasi dan selanjutnya dianalisis dengan uji statistik non parametrik Kruskal-Wallis. Jika terdapat perbedaan nyata (P<0,05) dilanjutkan dengan uji Mann-Whitney. Analisis menggunakan program Statistical Package for the Social Science (SPSS).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada penelitian ini diperoleh rerata kerusakan struktur histopatologi hepar tikus putih (Rattus novergicus) pada kelompok kontrol negatif (P0), kontrol positif (P1), dan perlakuan (P2 dan P3) (Tabel 1).

Tabel  1. Rerata

perubahan

struktur

histopatologi hepar tikus putih dari

masing-

masingperlakuan.

Perubahan

Rerata ± SD

N

Hemoragi

0,00 ± 0,000

Kongesti

0,00 ± 0,000

6

Degenerasi

0,00 ± 0,000

Nekrosis

0,00 ± 0,000

Hemoragi

1,00 ± 0,632

Kongesti

1,00 ± 0,000

6

Degenerasi

1,00 ± 0,000

Nekrosis

0,83 ± 0,408

Hemoragi

0,00 ± 0,000

Kongesti

0,00 ± 0,000

6

Degenerasi

0,00 ± 0,000

Nekrosis

0,00 ± 0,000

Hemoragi

0,00 ± 0,000

Kongesti

0,00 ± 0,000

6

Degenerasi

0,00 ± 0,000

Nekrosis

0,00 ± 0,000

Pada Tabel 1 menunjukkan rerata kerusakan struktur histopatologi hepar tikus putih dari kategori hemoragi, kongesti, degenerasi, dan nekrosis. Rerata kerusakan hepar kontrol negatif (P0), perlakuan P2 dan P3 adalah 0 baik pada lesi hemoragi, kongesti, degenerasi, dan nekrosis. Rerata lesi hemoragi, kongesti, dan degenerasi pada hepar kontrol positif (P1) yaitu 1,00 ±

0,632. Sedangkan pada lesi nekrosis diperoleh rerata 0,83± 0,408.

Gambar 1. Gambaran histopatologi hepar tikus putih pada kelompok P0. (HE, 400X). Terlihat vena sentralis (tanda panah) dan tidak ditemukan adanya perubahan lesi hemoragi, kongesti, degenerasi dan nekrosis.

■^■■■■■■■M^^H^M^^^HH^^^M

Gambar 2. Gambaran histopatologi hepar tikus putih pada kelompok P1 (HE. 400X). Terlihat adanya hemoragi yang ringan pada hepar (A), kongesti yang ringan pada sel hepatosit (B), degenerasi yang ringan pada sel hepatosit (C), dan nekrosis yang ringan pada sel hepatosit (D).

Hasil analisis uji Kruskal Wallis untuk perubahan histopatologi kategori hemoragi, kongesti, degenerasi dan nekrosis diproleh hasil ada perbedaan yang nyata (P<0,05) antara kelompok kontrol dengan kelompok perlakuan. Sementara hasil uji Mann Whitney diperoleh untuk semua kategori perubahan histopatologi baik pada lesi hemoragi, kongesti, degenerasi, dan nekrosis adalah antara kelompok P0 dengan kelompok P1 terdapat perbedaan yang nyata (P<0,05), sedangkan antara kelompok P0 dengan kelompok P2 dan

kelompok P3 tidak terdapat perbedaan nyata (P>0,05). Namun perbandingan antara kelompok P1 dengan kelompok P2 dan kelompok P3 terdapat perbedaan yang nyata (P<0,05).

Gambar 3. Gambaran histopatologi hepar tikus putih pada kelompok P2 (HE, 400X). Terlihat vena sentralis (A) dan tidak ditemukan adanya perubahan baik lesi hemoragi, kongesti, degenerasi dan nekrosis.

Gambar 4. Gambaran histopatologi hepar tikus putih pada kelompok P3 (HE, 400X). Terlihat vena sentralis (A) dan tidak ditemukan adanya perubahan lesi hemoragi, kongesti, degenerasi dan nekrosis.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian paracetamol 250 mg/kg bb mempengaruhi perubahan histopatologi hepar tikus putih dengan teramati lesi hemoragi, kongesti, degenerasi, dan nekrosis pada kelompok P1. Pemberian ekstrak sarang semut mampu memperbaiki kerusakan sel hepar tikus putih setelah induksi paracetamol dosis toksik 250 mg/kg bb (Gambar 3).

Perubahan yang terjadi pada kelompok kontrol P1 akibat dari efek radikal bebas paracetamol yang berikatan dengan sel hepar. Konsumsi paracetamol yang berlebihan dan dalam waktu yang lama dapat menyebabkan terbentuknya radikal bebas dalam sel hepar. Kerusakan hepar terjadi karena pada dosis yang berlebihan, hasil metabolisme paracetamol berupa N-acetyl-para-benzoquinone-imine (NAPQI) tidak dapat dinetralisir semuanya oleh glutation hepar. N-acetyl-para-benzoquinone-imine bersifat toksik dan dapat menyebabkan terbentuknya rantai radikal bebas (Utami, 2017). Metabolit reaktif toksik dan radikal bebas dapat mengganggu integritas membran sel dan berlanjut menjadi kerusakan hepar (Ikawati, 2010).

Kerusakan-kerusakan yang ditemukan pada pemeriksaan secara mikroskopis adalah hemoragi. Hemoragi terjadi akibat keluarnya darah dari pembuluh darah yang secara patologis ditandai dengan adanya sel darah merah di luar pembuluh darah atau dalam jaringan (Berata et al., 2011). Pada penelitian ini, terlihat lesi hemoragi pada kelopok P1 yang ditandai dengan adanya darah di luar pembuluh darah yaitu sel-sel berwarna merah terutama pada pewarnaan HE. Hal ini dapat disebabkan oleh keracunan akibat pemberian paracetamol secara berlebihan dan penyakit hepar karena obstruksi (penyumbatan pembuluh darah).

Perubahan yang lain yaitu pada kelompok P1 terlihat adanya lesi kongesti pada vena sentralis. Kongesti merupakan lesi dualisme yaitu lesi yang menggambarkan gangguan sirkulasi dan dapat pula sebagai indikator perbaikan jaringan (Bhadauria, 2012). Kongesti yang ditandai dengan adanya penimbunan darah pada vena akibat aliran darah yang melambat atau bahkan berhenti (Berata et al., 2011). Pada penelitian ini lesi kongesti masih bersifat ringan, yang ditandai dengan obstruksi (penyumbatan pembuluh darah) dan stenosis (penyempitan) pada pembuluh

darah kecil atau besar yang menyebabkan kegagalan pengaliran darah, adanya akumulasi darah dalam kapiler atau vena, beraspek biru karena darah kekurangan oksigen.

Degenerasi paling banyak ditemukan pada kelompok P1. Degenerasi merupakan perubahan abnormal dari morfologi jaringan atau sel (Berata et al., 2011). Degenerasi ditandai dengan adanya akumulasi lemak dalam sitoplasma. Hasil metabolit     reaktif     N-acetyl-para-

benzoquinone-imine (NAPQI) yang berperan sebagai radikal bebas yang akan mengoksidasi makromolekul seperti lemak. Pemberian parasetamol dosis 250 mg/kg bb juga    menyebabkan    meningkatnya

kolesterol yang diikuti dengan menurunnya konsentrasi fosfolipid (Ojo et al., 2006).

Lesi terakhir yang diamati adalah nekrosis atau kematian sel/jaringan akibat proses lanjut degenerasi yang bersifat irreversibel (Berata et al., 2011). Nekrosis merupakan proses kematian sel yang abnormal akibat adanya reaksi terhadap zat tertentu seperti bahan kimia toksik. Zat toksik dapat menyebabkan nekrosis pada hepatosit (Kardena dan Winaya, 2011). Zat toksik yang dihasilkan parasetamol menyebabkan terganggunya keseimbangan osmotik sel sehingga sel hepar tidak mendapat natrium dan glukosa. Pada akhirnya sel hepar mati karena tidak mendapat suplai natrium dan glukosa. Pada penelitian ini dapat dilihat kelompok P1 paling banyak mengalami nekrosis. Nekrosis dapat ditandai dengan pembengkakan sel atau hilangnya membran plasma, hilangnya gambaran kromatin, inti menjadi keriput, dan tidak vasikuler lagi. Inti sel menjadi lebih padat (piknotik) dan dapat     hancur     bersegmen-segmen

(karioreksis) kemudian inti tidak lagi mengambil zat warna, karena itu pucat dan tidak nyata (kariolisis) (Aster et al., 2013).

Pada penelitian ini didapatkan hasil pemberian ekstrak sarang semut per oral terhadap tikus putih yang sudah diberi paracetamol 250 mg/kg bb tidak teramati

adanya lesi hemoragi, kongesti, degenerasi, dan nekrosis pada hepar. Pada kelompok P2 dan P3 sudah mampu memperbaiki efek yang ditimbulkan oleh paracetamol dosis toksik yang diberikan secara oral. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa ekstrak sarang semut mampu memperbaiki gambaran histopatologi hepar tikus putih yang diberikan paracetamol. Sarang semut memiliki kandungan antioksidan yang berguna untuk meredam efek buruk dari radikal bebas yang dihasilkan oleh paracetamol. Antioksidan adalah zat yang mampu mempertahankan sel dari kerapuhan dan mampu memperbaiki sel yang rusak. Antioksidan merupakan senyawa penting yang berfungsi sebagai penangkal radikal bebas (Atika et al., 2015). Komponen utama dari sarang semut adalah flavonoid. Flavonoid merupakan antioksidan yang berfungsi menguatkan dan mengantisipasi kerusakan pembuluh darah dan merupakan bahan aktif yang berfungsi sebagai anti radang dan antivirus (Lilik et al., 2008). Flavonoid bekerja untuk memaksimalkan penentuan aktivitas penangkal terhadap radikal bebas, dengan cara menurunkan aktivitas radikal hidroksil sehingga dihasilkan radikal bebas yang tidak terlalu reaktif lagi (Engida et al, 2013).

SIMPULAN

Simpulan

Pemberian paracetamol dosis 250 mg/kg bb pada tikus putih (Rattus novergicus) jantan menimbulkan lesi pada hepar berupa hemoragi, kongesti, degenerasi dan nekrosis. Ekstrak sarang semut dosis 250 mg/kg bb mampu memperbaiki kerusakan jaringan hepar tikus putih jantan akibat diinduksi paracetamol dosis toksik.

Saran

Perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan dosis ekstrak sarang semut yang lebih rendah dari 250 mg/kg bb, karena ada kemungkinan dosis yang lebih rendah dapat berefek protektif untuk menurunkan tingkat hemoragi, kongesti, degenerasi dan

nekrosis pada hepar tikus putih (Rattus novergicus) jantan yang diinduksi paracetamol dosis 250 mg/kg bb.

UCAPANTERIMAKASIH

Terimakasih penulis ucapkan kepada Kepala Laboratorium Farmakologi dan Farmasi Veteriner dan Laboratorium Patologi Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana atas ijin penggunaan fasilitas pada penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

Aster, Kumar, Abas. 2013. Robbins Basic Pathology 9th edition student concult.

Atika RH, Muhamad NS, Abdul H, Hamdani B, Zainuddin, Sugito. 2015. Pengaruh pemberian kacang panjang (Vigna unguiculata) terhadap struktur mikroskopis ginjal mencit (Mus musculus) yang diinduksi aloksan. J. Med. Vet. 9(1): 18-22.

Berata IK, Winaya IBO, Adi AAAM, Adnyana IBW. 2011. Patologi Veteriner Umum. Denpasar: Swasta Nulus.

Bhadauria M. 2012. Propolis prevents hepatorenal injury induced by chronic exposure to carbon tetrachloride. Evidence-Based      Complementary

Altern. Med. 2012: 112.

Eric Y, Arooj B, Moaz C, Matthew K, Nikolaos P. 2016. AcetaminophenInduced       Hepatotoxicity:       a

Comprehensive Update. J. Clin. Transl. Hepatol. 4(2): 131-142.

Engida AM, Kasim NS, Tsigie YA, Ismadji S, Huynh LH, Ju YH. 2013. Extraction, Identification and Quantitative HPLC Analysis of Flavonoids from Sarang semut (Myrmecodia pendans). Ind. Crops Products. 41: 392-396.

Ikawati Z. 2010. Cerdas Mengenali Obat. Yogyakarta. Kanisiuss.

Kardena IM, Winaya IBO. 2011. Kadar Perasan Kunyit yang Efektif Memperbaiki Kerusakan Hati Mencit yang dipicu Karbon Tetraklorida. J. Vet. 12(1): 34-39.

Kiernan JA. 2001. Histological  and

Histochemical Methods. 3rd   Ed.

Toronto. Arnold Pub. Pp: 330-335.

Jeratnam KD. 2007. Buku Ajar dan Praktik Kedokteran Kerja, Jakarta: EGC.

Lilik E, Khothibul UAA, Umi K, Firman J. 2008. Pengaruh pemberian ekstrak propolis terhadap sistem kekebalan seluler pada tikus putih  (Rattus

norvegicus)  strain Wistar. J. Tek.

Pertanian. 9(1): 1-8.

Lu F. 2010. Toksikologi Dasar. Jakarta. UI-Press.

Ojo OO, Kabutu FR, Bello M, Babayo U. 2006. Inhibition of paracetamol-induced oxidative stress in rats by extract of lemongrass (Cymbropogon cittratus) and green tea (Camelia sinensis) in rats. J. Biotechnol. 5(12): 1227-1232.

Sativani I. 2010. Pengaruh Pemberian Deksametason Dosis Bertingkat Per Oral 30 HariTerhadap Kerusakan Sel Hepar Tikus    Wistar.   Fakultas

Kedokteran. Universitas Diponegoro.

Subroto MA, Saputro H. 2010. Gempur Penyakit Dengan sarang semut. Seri Agrisehat. Tanggerang.

Sudiono J, Oka CT, Trisfilha P. 2015. The Scientific Base of Myrmecodia pendans as Herbal Remedies. British J. Med. Medical Res. 8(3): 230-237.

Soeksmanto A, Simanjuntak P, Subroto MA. 2010. Uji toksisitas akut ekstrak air sarang semut   (Myrmecodia

pendans) terhadap histologi organ hati mencit. J. Nature Indonesia. 12(2): 152-155.

Tatukude P, Loho L, Lintong P. 2014. Gambaran Histopatologi Hati Tikus Putih Yang Diberi Air Rebusan Sarang Semut (Myrmecodia Pendans) Paska Induksi Dengan Carbon Tetrachlorida (CCI4). J. e-Biomed. 2(2): 459-466.

Utami AR, Berata IK, Samsuri, Merdana IM. 2017. Efek Pemberian Propolis

Terhadap Gambaran Histopatologi Hepar Tikus Putih (Rattus norvegicus) yang diberi Parasetamol. Bul.  Vet.

Udayana. 9(1): 87-93.

20