Volume 11 No. 1: 71-77

Pebruari 2019

DOI: 10.24843/bulvet.2019.v11.i01.p12

Buletin Veteriner Udayana

pISSN: 2085-2495; eISSN: 2477-2712

Online pada: http://ojs.unud.ac.id/index.php/buletinvet

Terakreditasi Nasional Peringkat 3, DJPRP Kementerian Ristekdikti No. 21/E/KPT/2018, Tanggal 9 Juli 2018

Gambaran Histopatologi Ginjal Tikus Wistar Diabetes Melitus Eksperimental yang Diberikan Ekstrak Etanol Daun Kelor

(HISTOPATHOLOGICAL KIDNEY OVERVIEW OF EXPERIMENTAL DIABETES MELLITUS WISTAR RATS GIVEN ETHANOL EXTRACT OF MORINGA LEAF)

Baiq Renny Kamaliani1*, Ni Luh Eka Setiasih2, Ida Bagus Oka Winaya3

  • 1Praktisi Dokter Hewan di Kota Mataram Lombok, Nusa Tenggara Barat.

  • 2Laboratorium Histologi Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana 3Laboratorium Patologi Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana, *Email: [email protected]

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan bahwa pemberian ekstrak daun kelor (Moringa oleifera) dapat memperbaiki struktur histologis ginjal tikus Wistar penderita diabetes melitus. Tikus Wistar dibagi ke dalam enam kelompok dengan masing-masing empat kali ulangan. Kelompok K1 sebagai kontrol positif tidak diberikan ekstrak, kelompok K2 diberikan ekstrak dosis 100 mg/kgBB, kelompok K3 diberikan ekstrak dosis 200 mg/kgBB, kelompok K4 diberikan ekstrak dosis 300 mg/kgBB, kelompok K5 diberikan ekstrak dosis 400 mg/kgBB, dan kelompok K6 diberikan ekstrak dosis 500 mg/kgBB yang dilaksanakan selama lima minggu. Tikus kemudian dikorbankan dan organ ginjal diambil untuk pembuatan preparat histopatologi dengan pewarnaan Hematoxylin Eosin (HE). Hasil pengamatan menunjukkan adanya degenerasi melemak dan nekrosis pada ginjal. Hasil uji Kruskal Wallis dari seluruh perlakuan menunjukkan p= 0,001 baik pada degenerasi melemak dan nekrosis (p<0,05).

Kata kunci: diabetes melitus; ginjal; kelor; streptozotocin.

ABSTRACT

This study aims to prove that the extract of Moringa leaf can improve renal histological structure of diabetic Wistar rats. Wistar rats were divided into six groups, so that each group has four replications. The K1 group as the positive control was not given the extract, K2 group was administered the extract dose of 100 mg/kg, K3 group was administered the extract dose 200 mg/kg, K4 group was administered the extract dose 300 mg/kg, K5 group was administered the extract dose 400 mg/kg, and K6 group was given the extract dose 500 mg/kg, which was carried out for five weeks. Rats were then sacrificed and the kidneys were taken for the histopathology preparations with Hematoxylin-Eosin staining (HE). The results showed fatty degeneration and necrosis of the kidneys. Kruskal Wallis test results of all treatments showed p = 0.001 both in fatty degeneration and necrosis (p <0.05).

Keywords: diabetes mellitus; kidneys; Moringa oleifera; streptozotocin.

PENDAHULUAN

Kejadian diabetes melitus pada hewan peliharaan dilaporkan meningkat setiap tahun. Prevalensi pada kucing adalah sekitar 7,4 per 1.000 (Lederer et al., 2009), sedangkan pada anjing sekitar 2 per 1.000 (Nelson, 2010). Diabetes melitus (DM) adalah gangguan metabolisme umum yang serius dan terkait dengan banyak komplikasi baik secara fungsional maupun struktural (Gispen dan Biessels, 2000).

Diabetes melitus ditandai dengan meningkatnya kadar gula darah atau hiperglikemia. Kondisi ini sebagai akibat dari kelainan sekresi insulin, aksi insulin, ataupun gabungan keduanya. Hiperglikemia kronis merujuk pada kerusakan berlanjut pada organ dan disfungsi atau kegagalan berbagai organ. Kerusakan yang disebabkan diabetes melitus dikenal dengan mikroangiopati atau kerusakan pembuluh darah kecil yang meliputi nefropati, neuropati, dan retinopati

(Nelson, 2010).

Kelor (Moringa oleifera) digolongkan kedalam salah satu tanaman obat-obatan dan teruji mengandung banyak nilai nutrisi. Rajanandh dan Kavitha (2010) menyatakan kandungan tanaman kelor bervariasi tergantung pada bagian tubuh tanaman ini, diantaranya mineral, protein, vitamin A, C, E, β-karoten, asam amino dan polifenol. Ekstrak daun kelor mampu memperbaiki kerusakan pankreas secara langsung dengan meningkatkan penyerapan glukosa oleh jaringan, mencegah glukoneogenesis pada hati, atau menyerap glukosa masuk ke dalam otot dan jaringan adiposa (Jaiswal et al., 2009).

Penelitian terbaru menyimpulkan bahwa peningkatan glukosa plasma mengakibatkan kerusakan sel β pankreas. Kelor yang merupakan sumber asam askorbat mampu merangsang pelepasan insulin sehingga dimanfaatkan sebagai agen hipoglikemik (El-desouki et al., 2015). Penelitian El-Desouki et al. (2015) yang menguji pengaruh ekstrak daun kelor dosis tinggi (400 mg/kg berat badan) pada tikus diabetes selama pemberian 30 hari membuktikan bahwa kelor mampu menurunkan kadar glukosa darah, meningkatkan produksi insulin, dan mengembalikan aktivitas kerja sel β pankreas. Sebuah studi yang dilakukan Ndong et al. (2007) dan Al-Malki dan El-Rabey (2015) menunjukkan efektivitas penggunaan ekstrak biji kelor dalam memulihkan kerusakan ginjal dan pankreas secara histologis. Khasiat tersebut merujuk pada kandungan antioksidan yang dimiliki kelor berupa glukomoringin, fenol, dan flavonoid. Paliwal et al. (2011) menyatakan bahwa kandungan antioksidan pada Moringa oleifera memiliki aktivitas nefroprotektif pada mencit yang mengalami karsinogenesis ginjal.

Kadar glukosa yang tinggi merupakan penyebab utama perubahan struktural ginjal. Sel mesangial menghasilkan TGF-β1 dibawah kondisi hiperglikemia sehingga menyebabkan peningkatan konsumsi dan transport glukosa akibat ekspresi berlebih

dari mRNA dan protein GLUT-1. Kondisi tersebut menyebabkan abnormalitas metabolisme pada sel mesangial. Gangguan fungsi ginjal pada penderita DM diindikasikan melalui peningkatan kreatinin serum, asam urat, dan nitrogen urea darah (Francesco dan Loreto, 2005).

Berdasarkan uraian diatas maka dapat dirumuskan suatu masalah yaitu apakah pemberian ekstrak daun kelor (Moringa oleifera) menyebabkan perbaikan histopatologi ginjal tikus Wistar diabetes melitus eksperimental. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh pemberian ekstrak daun kelor (Moringa oleifera) terhadap perbaikan histopatologi ginjal tikus Wistar diabetes melitus eksperimental.

METODE PENELITIAN

Persiapan dan Perlakuan

Penelitian ini menggunakan 24 ekor tikus Wistar jantan yang berumur 3-4 bulan dengan berat badan sekitar 150-200 gr yang terlebih dahulu diadaptasikan terhadap lingkungan kandang selama seminggu. Tikus Wistar diberikan streptozotocin (STZ) dosis tunggal sebanyak 45 mg/kg bb secara intraperitoneal. Pada hari ketiga setelah injeksi STZ, seluruh tikus Wistar diukur kadar glukosa darahnya sehingga memenuhi kriteria DM yaitu 400-500 mg/dl. Tikus Wistar DM kemudian dikelompokkan ke dalam enam kelompok. Kelompok I (diabetes kontrol, ekstrak daun kelor dosis 0 mg/kg bb/hari), kelompok II (ekstrak daun kelor dosis 100 mg/kg bb/hari), kelompok III (ekstrak daun kelor dosis 200 mg/kg bb/hari), kelompok IV (ekstrak daun kelor dosis 300 mg/kg bb/hari), kelompok V (ekstrak daun kelor dosis 400 mg/kg bb/hari), dan kelompok VI (ekstrak daun kelor dosis 500 mg/kg bb/hari).

Pada hari keempat setelah injeksi STZ, tikus Wistar DM mulai diterapi menggunakan ekstrak etanol daun kelor dengan dosis sesuai dengan ketentuan perlakuan masing-masing kelompok. Pemberian ekstrak daun kelor dilakukan

per-oral menggunakan sonde lambung dan diberikan selama lima minggu. Setelah lima minggu pemberian ekstrak daun kelor, tikus Wistar DM dikorbankan dan diambil organ ginjalnya. Organ tersebut disimpan dalam Neutral Buffered Formalin untuk kemudian diproses menjadi preparat histopatologi.

Pembuatan Ekstrak Daun Kelor

Prosedur pembuatan ekstrak daun kelor mengacu pada metode yang dilaporkan oleh Setiasih (2014). Daun kelor yang sudah bersih dikeringkan pada suhu ruangan. Setelah mencapai berat kering konstan lalu dihancurkan dengan menggunakan blender dan diayak sehingga diperoleh tepung daun kelor. Tepung tersebut      kemudian      dimaserasi

menggunakan etanol 96% selama 48 jam. Campuran ini dibiarkan selama 24 jam, kemudian disaring menggunakan kertas saring dan diuapkan menggunakan rotary vacuum evaporator pada suhu 450C sampai seluruh pelarut menguap sehingga diperoleh ekstrak kasar. Seluruh ekstrak kasar disimpan di dalam refrigerator dengan suhu 100C sebelum dianalisis dan diaplikasikan pada hewan coba.

Pembuatan Preparat Histopatologi

Prosedur     pembuatan     preparat

histopatologi mengacu pada metode yang dilaporkan Muntiha (2001). Langkah pertama yaitu memfiksasi ginjal menggunakan Neutral Buffered Formalin 10% selama 48 jam. Organ kemudian dipotong dengan ukuran 1 x 1 x 1 cm dan dimasukkan ke dalam cassette jaringan. Potongan jaringan didehidrasi secara berturut-turut menggunakan alkohol 70%, 80%, 90%, alkohol absolut I, dan alkohol absolut II selama dua jam pada masing-masing konsentrasi alkohol. Langkah selanjutnya yaitu clearing atau proses mengeluarkan alkohol dari dalam jaringan dengan cara merendam jaringan dalam senyawa xylene. Setelah proses clearing, jaringan harus melalui proses embedding atau impregnation untuk mengeluarkan clearing agent dari dalam jaringan. Pada proses embedding, jaringan diinfiltrasi oleh

senyawa paraffin sehingga jaringan yang awalnya lunak menjadi keras dan mudah dipotong menggunakan mikrotom. Jaringan selanjutnya melalui proses blocking sehingga jaringan tercetak di dalam blok-blok paraffin dan disimpan dalam lemari es selama 24 jam. Blok-blok paraffin kemudian dipotong (cutting) menggunakan mikrotom dengan ketebalan 4-5 mikron. Hasil pemotongan diapungkan dalam air hangat bersuhu 60oC untuk menghindari terbentuknya lipatan. Sediaan kemudian diangkat dan diletakkan pada gelas objek untuk dilakukan pewarnaan Harris Hematoksilin-Eosin.

Pemeriksaan Preparat Histopatologi

Pengamatan preparat histopatologi ginjal dilakukan di bawah mikroskop binokuler dengan pembesaran 400x. Pengamatan dilakukan pada lima lapang pandang terhadap berbagai perubahan yang terjadi, kemudian diskoring berdasarkan rerata perubahan jaringan. Kriteria perubahan yang diamati berupa degenerasi melemak dan nekrosis pada jaringan ginjal dengan skor 0 untuk tidak ada degenerasi melemak/nekrosis, skor 1 untuk degenerasi melemak/nekrosis fokal, skor 2 untuk degenerasi melemak/nekrosis multifokal, skor 3 untuk degenerasi melemak/nekrosis difusa.

Analisis Data

Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri dari enam kelompok perlakuan dan masing-masing empat ulangan. Data dianalisis menggunakan uji statistik non-parametrik Kruskal-Wallis, jika berpengaruh nyata maka akan dilanjutkan dengan uji Mann-Whitney. Kedua uji tersebut dioperasikan menggunakan SPSS versi 17.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil analisis uji Kruskal Wallis dari seluruh perlakuan menunjukkan p= 0,001 baik pada degenerasi melemak dan nekrosis (p<0,05). Hal tersebut menandakan pemberian ekstrak daun kelor berpengaruh nyata terhadap perbaikan

struktur histologis ginjal berupa penurunan jumlah degenerasi melemak dan nekrosis. Oleh karena hasil analisis yang diperoleh berpengaruh nyata, maka dilanjutkan dengan uji Mann-Whitney untuk melihat perbedaan antar perlakuan.

Hasil uji Mann-Whitney untuk degenerasi melemak menunjukkan bahwa antara K1 (kelompok kontrol) dengan K2 (ekstrak daun kelor dosis 100 mg/kgBB) tidak terdapat perbedaan yang nyata (p>0,05), sedangkan antara K1 dengan K3 (ekstrak daun kelor dosis 200 mg/kgBB), K4 (ekstrak daun kelor dosis 300 mg/kgBB), K5 (ekstrak daun kelor dosis 400 mg/kgBB), dan K6 (ekstrak daun kelor dosis 500 mg/kgBB) menunjukkan terdapat perbedaan yang nyata (p<0,05). Hasil uji Mann-Whitney antara K2 dengan K3 menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata (p>0,05), sedangkan jika melihat perbandingan hasil antara perlakuan K2 dengan K4, K5, dan K6 menunjukkan terdapat perbedaan yang nyata (p<0,05). Hasil yang menunjukkan terdapat perbedaan yang nyata (p<0,05) juga didapat dari membandingkan K3 dengan K4, K5, dan K6. Perbandingan antara K4 dengan K5 menunjukkan terdapat perbedaan yang nyata (p<0,05), sebaliknya antara K4 dengan K6 menunjukkan tidak berbeda nyata (p>0,05). Hasil dari perbandingan antara K5 dengan K6 menunjukkan terdapat perbedaan yang nyata (p<0,05). Hasil uji Mann-Whitney untuk nekrosis antara kelompok perlakuan K1 dengan K2, K3, dan K6 menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata (p>0,05), sedangkan antara K1 dengan K4 dan K5 menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05). Perbandingan jumlah nekrosis antara K2 dengan K3, K4, K5, dan K6 menunjukkan terdapat perbedaan yang nyata (p<0,05). Kelompok K3 menunjukkan adanya nekrosis yang skoringnya berbeda nyata (p<0,05) dengan kelompok perlakuan K4 dan K5, tetapi jika dibandingkan dengan K6, uji menunjukkan hasil tidak berbeda nyata (p>0,05). Hasil skoring nekrosis

antara K4 dengan K5 dan K6 menghasilkan perbedaan yang nyata (p<0,05). Hasil yang berbeda nyata (p<0,05) juga didapat dengan membandingkan jumlah nekrosis antara K5 dengan K6.

Hasil pengamatan mikroskopik menunjukkan glomerulus dan tubulus mengalami degenerasi melemak dan nekrosis. Kerusakan tersebut ditemukan pada seluruh kelompok perlakuan. Pada degenerasi melemak, inti sel epitel tubulus terdesak ke pinggir dan terlihat vakuol lemak memenuhi sitoplasma. Nekrosis yang terjadi pada tubulus meliputi hilangnya epitel, terlepasnya membran basalis, inti sel yang piknotis, inti sel yang pecah (karyorheksis), inti sel yang menghilang (karyolisis), hingga deskuamasi atau hilangnya sekumpulan sel epitel akibat tidak ada jaringan sekitar yang menahannya.

Kelompok perlakuan K1 (diabetes melitus tanpa pemberian ekstrak daun kelor) menunjukkan degenerasi melemak dan nekrosis pada tubulus dan glomerulus. Sebagian besar tubulus mengalami nekrosis dan degenerasi melemak pada lokasi yang sama. Kelompok perlakuan K2 (pemberian ekstrak daun kelor dosis 100 mg/kgBB) memiliki gambaran mikroskopis yang tidak jauh berbeda dari kelompok perlakuan K1. Organ ginjal pada kelompok perlakuan K3 (pemberian ekstrak daun kelor dosis 200 mg/kgBB) mulai menunjukkan perbaikan. Struktur tubuli teramati lebih normal dibandingkan kelompok K1 dan K2 dengan lebih sedikit degenerasi melemak dan nekrosis. Kerusakan ginjal pada kelompok perlakuan K4 (ekstrak daun kelor dosis 300 mg/kgBB) terhitung semakin berkurang pada kelima lapang pandang. Struktur tubulus terlihat membaik mendekati normal dengan epitel yang masih melekat pada membran basalis. Kelompok perlakuan K5 (ekstrak daun kelor dosis 400 mg/kgBB) menunjukkan perbaikan struktur organ yang lebih baik dari sebelumnya. Struktur korteks mendekati normal.







Gambar 1. Gambaran Histopatologi Ginjal setelah Pemberian Berbagai Konsentrasi Ekstrak Daun Kelor. Keterangan: K1= Kelompok 1 (ekstrak dosis 0 mg/kgbb), K2= Kelompok 2 (ekstrak dosis 100 mg/kgbb), K3= Kelompok 3 (ekstrak dosis 200 mg/kgbb), K4= Kelompok 4 (ekstrak dosis 300 mg/kgbb), K5= Kelompok 5 (ekstrak dosis 400 mg/kgbb), K6= Kelompok 6 (ekstrak dosis 500 mg/kgbb). Tanda panah merah: degenerasi melemak, panah kuning: piknotis, panah biru: karyorheksis, panah hitam: karyolisis. Pada gambar terlihat tubulus yang mengalami desquamasi (d) (HE, 400x).

Nekrosis bersifat fokal, sedangkan degenerasi melemak bahkan sering tidak ditemukan. Hasil tersebut sesuai dengan

pernyataan Kumbhare et al. (2012) yang menemukan peningkatan limbah radikal seiring dengan bertambahnya konsentrasi

ekstrak kelor. Kelompok perlakuan K6 (ekstrak daun kelor 500 mg/kgBB) menunjukkan hasil yang lebih buruk dibandingkan K5. Hasil tersebut menandakan dosis 500 mg/kgBB bersifat prooksida bagi ginjal tikus sehingga menyebabkan lebih banyak lesi dibandingkan dosis 300 mg/kgBB dan 400 mg/kgBB, tetapi dosis 500 mg/kgBB lebih baik dibandingkan dosis 100 mg/kgBB dan kelompok kontrol (0 mg/kgBB). Ekstrak daun kelor dosis 500 mg/kgBB menimbulkan lebih sedikit degenerasi melemak dibandingkan dosis 200 mg/kgBB, tetapi menghasilkan lebih banyak nekrosis dibandingkan dosis 200 mg/kgBB.

Tubulus proksimal merupakan bagian nefron yang paling mudah terluka akibat zat toksik atau iskemia, dikarenakan pada tubulus proksimal terjadi proses absorbsi dan sekresi sehingga zat toksik terkonsentrasi lebih tinggi. Penyebab lain kerusakan tubulus proksimal meliputi tingginya kadar sitokrom P-450 yang dapat mengaktivasi zat toksik (Mardiastuti, 2002).

Proses kerusakan tubulus ginjal dimulai dengan masuknya zat toksik ke dalam sel epitel tubulus yang kemudian direspon berupa timbulnya degenerasi. Degenerasi melemak menandakan terjadinya nefritis akibat zat toksik pada tubulus. Kerusakan epitel lebih lanjut dapat berupa nekrosis dan desquamasi sel. Jaringan tubulus yang mengalami desquamasi kemudian berubah menjadi jaringan ikat dan menyebabkan penurunan fungsi ginjal. Penurunan fungsi ginjal lebih dari 25% dapat menimbulkan gagal ginjal (Mardiastuti, 2002).

Pada kasus diabetes melitus, keadaan angiopati menyebabkan penyempitan dan penyumbatan pembuluh darah, termasuk pembuluh darah yang menuju ke ginjal. Plasma darah penderita diabetes mempunyai kekentalan (viskositas) yang tinggi, sehingga aliran darah menjadi lambat. Hal tersebut menyebabkan hantaran oksigen dan nutrisi ke jaringan berkurang dan selanjutnya menyebabkan

nekrosis atau kematian sel berbagai organ termasuk ginjal (Wibowo, 2004). Nekrosa yang bersifat fokal dapat digantikan oleh sel yang sehat melalui proses regenerasi sel jika penyebabnya dihilangkan, sedangkan pada kasus nekrosis difusa, sel yang mati akan digantikan oleh jaringan ikat (sirosis) (Mardiastuti, 2002).

SIMPULAN

Simpulan

Pemberian ekstrak daun kelor dapat memperbaiki histopatologi ginjal tikus Wistar diabetes melitus eksperimental berupa penurunan jumlah degenerasi melemak dan nekrosis. Dosis ekstrak daun kelor yang dapat memperbaiki kerusakan ginjal yaitu dosis 100 mg/kgBB, 200 mg/kgBB, 300 mg/kgBB, 400 mg/kgBB, dan 500 mg/kgBB. Dosis 400 mg/kgBB memiliki efek terbaik memperbaiki kerusakan ginjal.

Saran

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai penggunaan ekstrak daun kelor berdasarkan uji klinis lanjutan dalam jangka waktu lebih dari lima minggu, serta dapat membandingkan efek pemberian obat herbal (ekstrak daun kelor) dengan obat sintetik untuk penderita diabetes melitus.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. drh. Nyoman Adi Suratma, M.P. selaku Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana, Dr. drh. Ni Luh Eka Setiasih, S.Kh., M.Si. dan Dr. drh. Ida Bagus Oka Winaya, M.Kes. yang telah bersedia membimbing penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Malki AL, El-Rabey HA. 2015. The antidiabetic effect of low doses of moringa oleifera lam. seeds on streptozotocin induced diabetes and diabetic nephropathy in male rats. BioMed Res. Int. 2015(381040): 1-13.

El-Desouki NI, Basyony MA, Hegazi MMA, El–Aama MSI. 2015. Moringa oleifera leaf extract ameliorates

glucose, insulin and pancreatic beta cells disorder in alloxan-induced diabetic rats. Res. J. Pharm. Biol. Chem. Sci., 6(3): 642-653.

Francesco PS, Loreto G. 2005. Pathogenetic mechanisms of diabetic nephropathy. J. Am. Soc. Nephrol., 16: S30-S33.

Gispen WH, Biessels GJ. 2000. Cognition and synaptic plasticity in diabetes mellitus. Trends Neurosci., 23: 542549.

Jaiswal D, Rai PK, Kumar A, Mehta S, Watal G. 2009. Effect of Moringa oleifera Lam. leaves aqueous extract therapy on hyperglycemic rats.  J.

Ethnopharmacol., 123: 392-396.

Kumbhare MR, Guleha V, Sivakumar T. 2012. Estimation of total phenolic content, cytotoxicity and in-vitro antioxidant activity of stem bark of Moringa oleifera. Asian Pacific J. Trop. Dis., 2(2): 144-150.

Lederer R, Rand JS, Jonsson NN. 2009. Frequency of feline diabetes mellitus and breed predisposition in domestic cats in Australia. Vet. J., 172(2): 254258.

Mardiastuti E. 2002. Gambaran histopatologi organ hati dan ginjal tikus diabetes mellitus yang diberi infus batang     brotowali     (Tinospora

tuberculate L.) sebagai bahan antidiabetik. Skripsi. Institut Pertanian Bogor.

Muntiha M. 2001. Teknik pembuatan preparat histopatologi dan jaringan

hewan dengan pewarnaan Hematoksilin dan Eosin (H&E). Balai Penelitian Veteriner Bogor.

Ndong M, Uehara M, Katsumata SI, Suzuki K. 2007. Effects of oral administration of Moringa oleifera Lam on glucose tolerance in Goto-Kakizaki and wistar rats. J. Clin. Biochem. Nutr., 40(3): 229-233.

Nelson RW. 2010. Canine diabetes mellitus. Textbook of Veterinary Internal Medicine 7th Ed. Pp: 17821796.

Paliwal R, Sharma V, Pracheta, Sharma S, Yadav S, Sharma S. 2011. Anti-nephrotoxic effect of administration of Moringa oleifera Lam in amelioration of DMBA-induced renal carcinogenesis in Swiss albino mice. Biol. Med., 3(2): 27-35.

Rajanandh MGI, Kavitha J. 2010. Quantitative estimation of β-sitosterol, total phenolic and flavonoid compounds in the leaves of Moringa oleifera. Int. J. Pharm. Tech. Res., 2(2): 1409-1414.

Setiasih NLE. 2014. Ekstrak daun kelor (Moringa oleifera) meningkatkan SOD darah dan ekspresi insulin serta menurunkan ekspresi MDA sel pulau langerhan pankreas pada tikus wistar diabetes melitus. (Disertasi). Denpasar: Universitas Udayana.

Wibowo EW. 2004. Kiat merawat kaki diabetes.   http://www.waspada.co.id/

cetak/index.php?article_id=37246 diakses pada tanggal 10 Juni 2016.

77