Buletin Veteriner Udayana

pISSN: 2085-2495; eISSN: 2477-2712

Online pada: http://ojs.unud.ac.id/index.php/buletinvet

Volume 9 No. 2: 139-144

Agustus 2017

DOI: 10.21531/bulvet.2017.9.2.139

Perbandingan Jumlah Bakteri Non-Coliform pada Feses Sapi Bali Berdasarkan Tingkat Kedewasaan dan Tipe Pemeliharan

(COMPARISON OF NON-COLIFORM BACTERIA IN BALI CATTLE FAECES BASED ON LEVEL OF MATURITY AND MAINTENANCE PATTERN)

Kadek Andre Sulaksana1*, I Gusti Ketut Suarjana2, I Nengah Kerta Besung2

1Praktisi Dokter Hewan di Denpasar, 2Laboratorium Mikrobiologi Veteriner.

Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana

Jl. P.B. Sudirman Denpasar-Bali telp. 0361-223791.

*Email: [email protected]

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan jumlah bakteri non-coliform pada feses sapi bali berdasarkan tingkat kedewasaan dan tipe pemeliharan yang diisolasi dari feses sapi bali. Sampel yang digunakan adalah feses sapi bali dengan total keseluruhan 24 sampel. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok pola faktorial 2x3 yaitu dua tipe pemeliharaan (TPA Suwung dan Sobangan) dan tiga tingkat kedewasaan sapi (pedet, dara, dewasa) dengan kelompok berdasarkan waktu pengambilan sampel. Data yang diperoleh diuji dengan Analisis Ragam dan dilanjutkan dengan Uji Beda Nyata Terkecil. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah bakteri non coliform pada feses sapi bali dewasa lebih tinggi bila dibandingkan dengan sapi dara dan pedet. Jumlah bakteri non coliform pada sapi bali di Tempat Pembuangan Akhir lebih tinggi bila dibandingkan dengan sapi yang dikandangkan secara normal di Sentra Pembibitan Sapi Bali di Desa Sobangan Kecamatan Mengwi Kabupaten Badung.

Kata kunci : sapi bali; TPA Suwung; non coliform; feses

ABSTRACT

This study aim was to determine the effect of maintenance type and maturity level of bali cattle to the total of non coliform bacteria in bali cattle. A total of 24 samples of bali cattle’s feces were used. This study was a Factorial 2 x 3 of group-randomised design, contained of two type maintenance (TPA Suwung and Sobangan) and three levels of cattle maturity (calves, heifers, and adult). The groups were based on time sampling. The data then analyzed using Analysis of Variance Test and continued by using Least Significant Different test. The results showed that the amount of non-coliform bacteria in adult bali cattle feces were higher then heifers and calves. Total of non coliform bacteria in bali cattle in landfill was higher then the cattle that reared in captivity in Bali Cattle Breeding Center, the Sobangan village of Mengwi Badung regency.

Keywords: bali cattle; TPA Suwung; non coliform bacteria; feces

PENDAHULUAN

Pemerintah Indonesia telah mencanangkan swasembada daging sejak tahun 2005, dengan berbagai permasalahan yang dihadapi, sampai saat ini swasembada daging sapi masih belum tercapai. Salah satu upaya untuk mencapai swasembada daging sapi adalah dengan menggiatkan peternakan rakyat untuk meningkatkan kuantitas populasi sapi lokal, salah satunya adalah

sapi bali. Sapi bali merupakan plasma nuftah asli Indonesia asal Bali, sehingga keberadaannya perlu dilestarikan. Sapi bali ini sudah menyebar ke seluruh pelosok Indonesia dan mendominasi spesies sapi di Indonesia khususnya Indonesia Timur. Peternakan sapi bali di Bali tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat petani di Bali dan sudah dipelihara secara

turun menurun oleh masyarakat petani sejak jaman dahulu (Dewantari et al., 2016).

Beberapa keunggulan karakteristik sapi bali antara lain: mempunyai fertilitas tinggi bila dibandingkan dengan jenis sapi yang lain. Selain itu sapi bali juga memiliki keunggulan seperti cepat berkembang biak, cepat beradaptasi pada pemberian pakan berkualitas rendah, kandungan lemak karkas rendah, tahan terhadap kondisi lingkungan yang kurang baik dan memiliki daya adaptasi tinggi pada daerah dataran tinggi, berbukit dan dataran rendah (Kadarsih, 2004; Soares dan Dryden, 2011). Dibalik keunggulan yang ada pada sapi bali tersebut, terdapat hambatan dalam memeliharanya. Hambatan yang paling signifikan adalah gangguan kesehatan akibat penyakit dan ketersediaan pakan. Penyakit yang muncul pada sapi bali biasanya disebabkan oleh virus, parasit, dan bakteri dengan gejala ringan sampai parah.

Umur sapi berperan penting dalam pemeliharaan ternak. Umur ini berpengaruh terhadap pertumbuhan badan sapi dan ketahanan terhadap penyakit infeksi. Secara umum sapi digolongkan menjadi tiga kategori yaitu sapi pedet, sapi dara dan sapi dewasa. Umur sapi bali dapat diketahui dengan melihat gigi permanennya. Sapi dengan gigi tetap atau permanen satu pasang berumur 1,5-2 tahun, dua pasang berumur 2,5 tahun, tiga pasang, sapi berumur 3-3,5 tahun, empat pasang berumur empat tahun atau lebih (Pradana et al., 2014). Sapi bali dikategorikan dewasa apabila sudah melahirkan anak pertama yaitu berumur sekitar tiga tahun ke atas.

Huyen et al. (2011) menyatakan bahwa performa sapi sangat dipengaruhi oleh manajemen pakan dan bangsa sapi. Sapi muda membutuhkan pakan yang mempunyai kandungan protein dan energi tinggi, karena digunakan untuk pertumbuhan otot, tulang dan lemak. Perubahan ukuran meliputi perubahan bobot hidup, bentuk,

komposisi tubuh, termasuk pula perubahan pada komponen tubuh antara lain otot, lemak, tulang dan organ serta komponen kimia, terutama air, lemak, protein dan abu. Pertumbuhan ternak merupakan kumpulan dari pertumbuhan bagian-bagian komponennya (Montiel dan Ahuja, 2005).

Pemeliharaan sapi bali beraneka ragam, ada yang dikandangkan, dikandangkan berkelompok dalam bentuk koloni, diikat tanpa kandang, dan dilepas. Di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) seperti di Desa Suwung Kauh, Kecamatan Denpasar Selatan, sapi dilepas dipadang pengembalaan untuk mencari makanan sendiri. Hal ini karena sulitnya peternak mendapatkan rumput untuk pakan sapi, sedangkan di tempat tersebut banyak persediaan pakan sapi dari hasil limbah yang dibuang oleh masyarakat. Menyempitnya lahan peternakan menyebabkan peternak memindahkan lokasi ternak ke tempat pembuangan akhir (Reddy et al., 2014).

Permasalahan penyediaan pakan ternak sering mendapat kendala, baik dari strategi pemberiannya maupun kesesuaian zat gizi yang dibutuhkan ternak. Beberapa hal yang dapat berpengaruh terhadap kadar mineral pada sapi yakni: jumlah mineral yang dikonsumsi, banyaknya mineral yang dapat dimetabolisme tubuh dan ketersediaan mineral di lingkungan (Besung, 2013). Perubahan komposisi pakan pada saluran pencernaan akibat suplemen ini akan berpengaruh terhadap bakteri non coliform dan total bakteri yang ada di saluran pencernaan sapi bali. Bakteri yang ada di dalam rumen atau usus membutuhkan sejumlah mineral untuk kebutuhan metabolismenya (Pramita et al., 2016).

Das dan Qin (2012) mengemukakan bahwa bakteri yang normal berada di saluran pencernaan adalah bakteri golongan Enterobactericeae (Escherichia coli, Proteus, Nitrobacter, Citrobacter, Shigella) bakteri pencerna selulosa

(Bacteroidessuccinogenes,   Ruminococcus

flavafaciens,     Ruminococcus     albus,

Butyrivibrio fibrisolvens), bakteri pencerna hemiselulosa (Butyrivibrio fibrisolvens, Bakteroides ruminocola, Ruminococcus sp), bakteri pencerna pati (Bakteroides ammylophilus,     Streptococcus    bovis,

Succinnimonas    amylolytica),    bakteri

pencerna gula (Triponema bryantii, Lactobasilus ruminus), dan bakteri pencerna protein (Clostridium sporogenus, Bacillus licheniformis). Bakteri ini hidup secara normal di saluran pencernaan dari rumen, usus halus, usus besar sampai ke kolon (Pramita et al., 2016).

Sapi yang dipelihara di tempat pembuangan sampah mengkonsumsi pakan yang tidak sesuai standar pakan yang seharusnya diberikan. Sapi tersebut mengkonsumsi sampah limbah rumah tangga dan limbah-limbah dapur lainnya. Tumpukan berbagai macam sampah yang terdapat di TPA seperti limbah rumah tangga maupun limbah pabrik menjadi tempat berkumpulnya mikroorganisme. Beberapa jenis bakteri non coliform merupakan flora normal dalam saluran pencernaan sapi bali. Meningkatnya jumlah bakteri dalam saluran pencernaan, yang melebihi kapasitas normal, akan berakibat buruk terhadap pertumbuhan sapi tersebut. Sejauh ini pengaruh terhadap jumlah bakteri non coliform di saluran pencernaan sapi bali akibat konsumsi pakan sampah dan limbah rumah tangga belum pernah dilaporkan.

METODE PENELITIAN

Materi Penelitian

Pada penelitian ini sampel yang digunakan adalah feses sapi bali segar yang berasal dari sapi pedet, sapi dara dan sapi dewasa. Sebanyak 24 sampel feses diambil dari peternakan sapi di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Desa Suwung Kecamatan Denpasar Selatan dan di Sentra Pembibitan Sapi Bali di Desa Sobangan, Kecamatan

Mengwi, Kabupaten Badung. Sampel feses diambil sebanyak 10 gram melalui palpasi rektal, kemudian ditempatkan pada boks berisi es.

Metode Penelitian

Sebanyak satu gram feses dari masing-masing sampel diencerkan kelipatan sepuluh sampai pengenceran   10-4. Kemudian

sebanyak 0,1 ml dari masing-masing pengenceran ditanam pada Eosin Methylene Blue Agar (EMBA) produk “Criterion”, dengan menggunakan metode sebar. Media biakan lalu diinkubasi selama 18-24 jam. Penghitungan bakteri dilakukan dengan metode secara langsung. Koloni yang dihitung adalah koloni yang transparan atau tidak berwarna.

Analisis Data

Untuk menghitung jumlah koloni per gram feses digunakan rumus:

Jumlah Bakteri= ∑ koloni x

—---------:—— CFU/g FaktorPengencer XVoLinokulum

Data jumlah bakteri non coliform dianalisis dengan analisis varian untuk menentukan ada atau tidaknya perbedaan dari beberapa perlakuan. Jika perlakuan menunjukkan perbedaan yang nyata dilanjutkan dengan uji Beda Nyata Terkecil (BNT).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian perbandingan jumlah bakteri non coliform feses sapi bali menurut tingkat kedewasaan dan tipe pemeliharaan pada 24 sampel, didapatkan jumlah bakteri non coliform yang berbeda setiap pemeriksaannya. Data hasil uji rataan jumlah bakteri non coliform feses sapi bali disajikan pada Gambar 1.

Berdasarkan data di atas diketahui bahwa terdapat perbedaan rataan pada masing-masing tingkat kedewasaan dan tipe pemeliharaannya terhadap jumlah bakteri non coliform feses sapi bali.

Gambar 1. Jumlah Bakteri non coliform Feses Sapi Bali Menurut Tingkat Kedewasaan dan Tipe Pemeliharaannya.

Rataan masing-masing tingkat kedewasaan sapi bali pada TPA Suwung yaitu berturut-turut pada sapi pedet 4.925.000±525.000 CFU/gr; pada sapi dara 7.000.000±1.254.000 CFU/gr dan pada sapi dewasa 12.100.000±4.922.000 CFU/gr. Sedangkan pada tipe pemeliharaan di Sobangan menunjukkan rataan bakteri non coliform feses sapi pedet 4.325.000±359.000 CFU/gr, sapi dara 5.250.000±754.000 CFU/gr dan pada sapi dewasa 7.250.000±1.258.000 CFU/gr.

Berdasarkan data tersebut dapat diketahui bahwa pemeliharaan sapi bali di Sobangan jauh lebih baik bila dibandingkan dengan pemeliharaan di TPA Suwung. Jumlah rataan bakteri non coliform feses sapi bali di TPA Suwung lebih besar yaitu 8.008.000±4.126.000 CFU/gr bila dibandingkan dengan tipe pemeliharaan di sobangan dengan rataan sebesar 5.608.000±1.499.000 CFU/gr. Hasil analisis ini menunjukkan bahwa sapi yang dipelihara di TPA Suwung memiliki rataan jumlah bakteri non coliform yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan sapi yang dipelihara di Sentra Pembibitan Sapi Sobangan. Hal ini dikarenakan sapi bali yang dipelihara di TPA mengkonsumsi pakan berupa sampah yang telah terkontaminasi berbagai jenis mikroorganisme yang terdapat pada tumpukan sampah di TPA ini antara lain bakteri, jamur, ragi dan actinomycetes (Tchnobanoglous et al., 1977). Rataan jumlah bakteri non coliform feses sapi bali

berdasarkan tingkat kedewasaan disajikan pada Tabel 2. berikut:

Tabel 1. Rataan jumlah Bakteri non Coliform Feses Sapi Bali Menurut Tingkat Kedewasaan dan Tipe Pemeliharaannya.

Dewasa   Pedet     Dara

Perlakuan    (x105     (x105     (x105

CFU/g)  CFU/g)   CFU/g)

Rataan     96,75     46,25     61,25

±SD     ±42,17    ±5,26    ±13,39

Berdasarkan data di atas menunjukkan bahwa jumlah rataan bakteri non coliform pada sapi dewasa paling besar yaitu 9.675.000±4.217.000 CFU/gr, sedangkan pada sapi pedet menunjukkan rataan lebih kecil sebesar 4.625.000±526.000 CFU/gr bila dibandingkan dengan sapi dara yaitu 6.125.000±1.339.000 CFU/gr. Hal ini menunjukkan bahwa sapi yang lebih tua rataan jumlah bakteri non coliform lebih besar bila dibandingkan dengan sapi muda. Bakteri non coliform merupakan kelompok bakteri dari golongan Enterobacteriaceae yang tidak memfermentasi laktosa. Kelompok bakteri ini meliputi Salmonella, Proteus dan Shigella. Bakteri Proteus mirabillis telah dilaporkan dapat sebagai penyebab beberapa kasus infeksi pada manusia, termasuk infeksi nasokomial. Infeksi Proteus mampu menyebabkan derajat kerusakan sel yang lebih parah bila dibandingkan dengan infeksi E.coli (Manos dan Belas, 2006).

Pada pemeliharaan sapi bali dibutuhkan manajemen pemeliharaan yang baik dan benar seperti penanganan pakan, minum yang baik, dan pemeliharaan yang baik sehingga nantinya dapat menghasilkan sapi yang berkualitas baik dan layak dikonsumsi.    Contohnya    di    Sentra

Pembibitan    Sobangan    sapi    bali

dikandangkan dengan sistem manajemen perkandangan yang baik dan dengan jadwal pemberian pakan yang memperhatikan kualitas nutrisi dan gizi yang baik serta

Buletin Veteriner Udayana

pISSN: 2085-2495; eISSN: 2477-2712

Online pada: http://ojs.unud.ac.id/index.php/buletinvet pemberian minum yang teratur sesuai kebutuhan sapi bali.

Penggembalaan sapi bali di TPA Suwung menjadi perhatian kalayak umum. Dikarenakan sapi-sapi tersebut dibiarkan bebas dan mengkonsumsi sampah sebagai pakan utamanya. Tak jarang sapi-sapi tersebut berkubang dan minum air kubangan yang kotor dan berwarna hitam pekat. TPA Suwung beroperasi dengan sistem open dumping (sampah dibuang begitu saja dalam sebuah tempat pembuangan akhir tanpa ada perlakuan apapun) sehingga berpotensi untuk mencemari air tanah dangkal di sekitarnya. Sehingga akan sangat berpengaruh terhadap kualitas lingkungan sekitarnya, khususnya kualitas air yang berada sekitar TPA Suwung (Arbain et al., 2008).

Sapi bali membutuhkan mikroba saluran cerna untuk melakukan proses pencernaan pakan padat khususnya komponen serat. Bakteri berperan penting dalam pencernaan serat kasar, karena banyak diantaranya yang memproduksi enzim selulase, amilase dan polisakaridase lainnya yang berperan dalam proses pencernaan pakan (Suhartanto et al., 2000). Suraini (2011) melaporkan bahwa terdapat lima jenis bakteri yang terdapat pada permukaan tubuh lalat yang terdapat di TPA yang terdiri atas empat jenis bakteri Enterobacteriaceae yaitu Enterobacter aerogenes, Escherichia coli, Proteus sp. dan Serratia marcescens serta satu jenis bakteri basil dari genus Bacillus sp. Dari kelima jenis bakteri yang ditemukan salah satunya merupakan bakteri dari golongan non coliform yaitu Proteus sp. Bakteri yang ada di dalam tumpukan sampah tersebut dapat berpindah pada tubuh sapi yang mengkonsumsi pakan sampah tersebut, hal ini dapat menyebabkan jumlah bakteri non coliform pada sapi yang dipelihara di TPA lebih tinggi bila dibandingkan dengan sapi

yang dipelihara di Sentra Pembibitan Sapi Sobangan.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Jumlah bakteri non coliform pada feses sapi bali dewasa lebih tinggi bila dibandingkan dengan sapi dara dan pedet. Jumlah bakteri non coliform pada sapi bali di Tempat Pembuangan Akhir lebih tinggi bila dibandingkan dengan sapi yang dikandangkan.

Saran

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai identifikasi jenis-jenis bakteri non coliform yang lebih spesifik yang terdapat dalam feses sapi bali.

UCAPAN TERIMAKASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak pengelola Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Desa Suwung, Kecamatan Denpasar Selatan dan Sentra Pembibitan Sapi Bali di Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung yang telah memberikan izin dalam pengumpulan data dalam penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

Arbain, Mardana NK, Sudana IB. 2008.

Pengaruh air Limbah tempat pembuangan akhir sampah Suwung terhadap kualitas air tanah dangkal di sekitarnya di Kelurahan Pedungan Kota Denpasar. Ecotrophic 3(2): 5560.

Besung INK. 2013. Analisis faktor tipe lahan dengan kadar mineral serum sapi bali. Buletin Veteriner Udayana 5(2): 96-107.

Das KC, Qin W. 2012. Isolation and characterization of superior rumen bacteria of cattle (bos taurus) and potential application in animal feedstuff. J Anim Sci 2(4): 224-228.

Dewantari NRA, Besung INK, Sampurna IP. 2016. Pengaruh pemberian mineral terhadap jumlah bakteri Eschericia coli dan Coliform Pada Sapi Bali di dataran tinggi dan dataran rendah. Buletin Veteriner Udayana 8(1): 7178.

Huyen LTT, Herold P, Markemann A, Zarate AV. 2011. Resource use, cattle performance and output patterns on different farm types in a mountainous province of Northern Vietnam. Anim Prod Sci 51(7): 650-661.

Kadarsih S. 2004. Performans sapi bali berdasarkan ketinggiantempat di daerah transmigrasi Bengkulu: I. Performance Pertumbuhan. J Ilmu Pertanian Indonesia 6(1):50-56.

Manos J, Belas R. 2006. The Genera Proteus, Providencia, and Morganella. Prokaryotes 6: 245-269.

Montiel F, Ahuja C. 2005. Body condition and suckling as factor influencing the duration of prostpartum anestrus in cattle a review. Anim Reprod Sci 85(12): 1-26.

Pradana W, Rudyanto MD, Suada IK. 2014. Hubungan umur, bobot dan karkas sapi bali betina yang dipotong di Rumah Potong Hewan Temesi. Indonesia Medicus Veterinus 3(1):37-42.

Pramita IDADP, Besung INK, Sampurna IP. 2016. Jumlah non coliform dan total bakteri pada sapi bali di dataran tinggi dan dataran rendah di bali pasca pemberian mineral. Buletin Veteriner Udayana 8(1): 52-58

Reddy R, Asha L, Reddy S. 2014. Review on metallic and non-metallic foreign bodies a threat to livestock and environment. Int J Food Agric Vet Sci 4(1): 6-14.

Soares FS, Dryden GM. 2011. A body condition scoring system for bali cattle. Asian-Aust J Anim Sci 24(11): 1587-1594.

Suhartanto, Kustantinan, Padmowijoto. 2000. Degradasi in  sacco  bahan

organik dan protein kasar empat macam bahan pakan diukur menggunakan kantong inra dan rowet research institute. Buletin Peternakan, 24(2) : 82-93.

Suraini. 2011. Jenis-jenis lalat (diptera) dan bakteri enterobacteriaceae yang terdapat di tempat pembuangan akhir sampah (TPA) kota padang. (Tesis). Pascasarjana Universitas Andalas, Padang.

Tchnobanoglous G, Theisen H, Eliassen R. 1977. Soild wastes:   engineering

principles and management issues. Tokyo: McGraw Hill, Inc. Pp: 52-327.

144