THE EFFECTS OF PROPOLIS ON THE LIVER HISTOPATHOLOGY OF WHITE RATS GIVEN PARACETAMOL
on
Buletin Veteriner Udayana
pISSN: 2085-2495; eISSN: 2477-2712
Online pada: http://ojs.unud.ac.id/index.php/buletinvet
Volume 9 No.1: 87-93
Pebruari 2017
DOI: 10.21531/bulvet.2017.9.1.87
Efek Pemberian Propolis terhadap Gambaran Histopatologi Hepar Tikus Putih yang diberi Parasetamol
(THE EFFECTS OF PROPOLIS ON THE LIVER HISTOPATHOLOGY OF WHITE RATS GIVEN PARACETAMOL)
Alviana Rizqiyah Utami1, I Ketut Berata2, Samsuri3, I Made Merdana3
1Praktisi Dokter Hewan di Banyuwangi Jawa Timur
2Laboratorium Patologi Veteriner, 3Laboratorium Farmakologi dan Farmasi Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana
Jl. PB. Sudirman Denpasar Bali, Email: [email protected]
ABSTRAK
Parasetamol merupakan salah satu obat antiinflamasi non steroid (AINS) yang berperan sebagai agen analgesik dan antipiretik, namun memiliki aktivitas antiinflamasi yang lemah. Parasetamol memiliki efek toksik terhadap hepar yaitu kerusakan pada hepar. Sebagai upaya untuk mencegah efek toksik dari parasetamol, diperlukan pemberian zat antioksidan yang dapat melindungi sel-sel hepar terhadap kerusakan yang disebabkan oleh parasetamol. Antioksidan tinggi terdapat pada propolis yang banyak digunakan pada saat ini. Penelitian ini menggunakan 25 ekor tikus putih jantan (Rattus norvegicus) yang dibagi atas 5 kelompok perlakuan. Setiap kelompok perlakuan diberikan pakan dan minum standar. Perlakuan 1 (kontrol negatif) diberi pakan dan minum standar, kelompok perlakuan 2 (kontrol positif) diberikan parasetamol 250 mg/kgBB peroral, kelompok perlakuan 3 (Pp1) diberi parasetamol 250 mg/kgBB dan propolis 0,05 ml/ekor peroral, kelompok perlakuan 4 (Pp2) diberi parasetamol 250 mg/kgBB dan propolis 0,1 ml/ekor peroral, serta kelompok perlakuan 5 (Pp3) diberi parasetamol 250 mg/kgBB dan propolis 0,15 ml/ekor peroral. Perlakuan diberikan selama 10 hari dan hari ke-11 tikus dinekropsi, kemudian diambil organ heparnya untuk dibuat preparat histopatologi. Variabel yang diperiksa meliputi kongesti, degenerasi melemak, dan nekrosis dengan skoring (0: Tidak ada lesi; 1: lesi fokal; 2: lesi multifocal; 3: lesi difusa). Uji Kruskall-Wallis menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna pada rerata kongesti pembuluh darah, degenerasi melemak, dan nekrosis dari kelompok yang diuji. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa parasetamol dosis 250 mg/kgBB dapat menyebabkan kerusakan hepar. Propolis dosis 0,15 ml/ekor dapat memperbaiki kerusakan jaringan lebih baik dibandingkan dengan dosis propolis 0,05 ml/ekor dan 0,1 ml/ekor.
Kata kunci: hepar, parasetamol, propolis
ABSTRACT
Paracetamol is one of NSAIDs (Non Steroidal Anti Inflammatory Drugs) that acts as an analgesic and antipyretic agents but with weak anti-inflammatory activity. Paracetamol has toxic effects to liver in the form of damage to the liver. To prevent the toxic effects of paracetamol, the provision of antioxidants which can protect liver cells damage caused by paracetamol is needed. High antioxidant found in propolis which is widely used at this time. This study used 25 male rats (Rattus norvegicus), which consists of five groups. Each treatment group was given standard food and drink. Group 1 (control negative) was given standard food and drink, group 2 (control positive) was given 250 mg/kg body weight of paracetamol orally, group 3 (Pp1) was given 250 mg/kg body weight of paracetamol and each rat was given 0.05 ml of propolis orally, group 4 (Pp2) was given 250 mg/kg body-weight of paracetamol and each rat was given 0.1 ml of propolis orally, and group 5 (Pp3) was given 250 mg/kg body weight of paracetamol and each rat was given 0.15 ml of propolis orally. The treatments were given for 10 days, and on the 11th day, the necropsy was done to take the livers of the 25 rats for histopathology preparation. The examined variables included vascular congestion, fatty degeneration, and necrosis with the score (0: no lesions; 1: focal lesions; 2: multifocal lesions; 3: diffuse lesions.
Kruskal-Wallis test showed a significant difference on the average of the vascular congestion, fatty degeneration, and necrosis of the tested group. The result of the research, it can be concluded that the 250 mg/kg body weight of Parasetamol can cause liver damage and the 0.15 ml of Propolis for each rat could repair the tissue damage better than the dose of 0.05 ml and 0.1 ml.
Keywords: liver, paracetamol, propolis
PENDAHULUAN
Propolis merupakan salah satu produk alami yang dihasilkan lebah madu, dan telah banyak dimanfaatkan sebagai obat atau suplemen, pencuci mulut, anti radang, terapi penyakit, mempercepat penyembuhan luka dan lain-lain (Lestari et al., 2014). Kata propolis berasal dari bahasa Yunani, dari akar kata pro yang berarti pertahanan terhadap sesuatu, dan polis yang berarti kota (Salatino et al., 2005).
Pada zaman mesir kuno propolis telah digunakan sebagai salah satu bahan untuk pembalsaman mayat yang pada saat itu diyakini dapat menghambat organisme yang dapat menyebabkan pembusukan pada mayat (Bankova et al., 2000). Suku Inca juga memanfaatkan propolis ini sebagai zat antipiretik. Menurut Wollenweber (1990) propolis digunakan untuk mengobati luka, luka bakar, sakit tenggorokan dan ulkus lambung.
Senyawa kimia utama dalam propolis terdiri atas senyawa golongan flavonoid, fenolik dan berbagai senyawa aromatik. Menurut Hegazi (1997) tingginya kandungan flavonoid dalam propolis memiliki aktivitas antioksidan yang tinggi pula. Bhadauria et al. (2012) mengemukakan bahwa propolis berpotensi sebagai hepatoprotektif pada cedera hepar kronis dengan cara mempertahankan aktivitas antioksidan yang dimiliki.
Hepar merupakan kelenjar terbesar di dalam tubuh. Namun hepar sangat rentan terhadap berbagai macam kerusakan, sehingga dibutuhkan zat yang dapat melindungi hepar dari kerusakan-kerusakan tersebut (Suastika, 2011; Li et al., 2015). Fungsi hepar adalah detoksifikasi, yaitu melalui reaksi
konjugasi dengan beberapa senyawa yang dihasilkan di dalam hepar, seperti glutation, asam glukuronat, glisin dan asetat.
Parasetamol merupakan obat yang paling banyak digunakan pada manusia maupun hewan. Parasetamol sering digunakan karena merupakan obat analgetik-antipiretik sekaligus memiliki zat anti inflamasi. Analgesik sendiri merupakan zat yang dapat menghilangkan atau meminimalisir rasa sakit atau nyeri tanpa harus menghilangkan kesadaran. Sedangkan antipiretik ialah zat-zat yang dapat digunakan untuk menurunkan suhu tubuh (Lee, 2003).
Konsumsi parasetamol yang berlebihan dapat menyebabkan terbentuknya radikal bebas dalam sel hepar. Kerusakan hepar terjadi karena pada dosis yang berlebihan, hasil metabolisme parasetamol berupa N-acetyl-para-benzoquinone-imine (NAPQI) tidak dapat dinetralisir semuanya oleh glutation hepar. N-acetyl-para-benzoquinone-imine bersifat toksik dan dapat menyebabkan terbentuknya reaksi rantai radikal bebas.
Parasetamol dengan dosis terapi relatif aman namun jika dikonsumsi dalam dosis tinggi dapat menyebabkan nekrosis (Zhao, 2009). Dosis parasetamol yang berlebihan dapat menyebabkan kerusakan hepar berupa degenerasi parenkimatosa, degenerasi hidropik, sampai dengan nekrosis. Keracunan pada hepar juga dapat menyebabkan degenerasi melemak, dimana degenerasi jenis ini biasanya terjadi pada sel-sel parenkimatosa terutama sel hepar (Berata et al., 2011; Li et al., 2015).
Buletin Veteriner Udayana
pISSN: 2085-2495; eISSN: 2477-2712
Online pada: http://ojs.unud.ac.id/index.php/buletinvet METODE PENELITIAN
Sampel Penelitian
Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah 25 ekor tikus putih jantan berumur 2-3 bulan berat badan 180200 gram. Sampel kemudian dibagi dalam 5 kelompok perlakuan.
Prosedur Penelitian
Tikus dibagi dalam 5 kelompok secara acak yang terdiri dari: kelompok kontrol negatif (K-) yang diberi pakan dan minum saja berupa air dan pellet. Kelompok kontrol positif (K+) yang diberikan parasetamol 250 mg/kgBB secara oral. Kelompok (Pp1) diberikan parasetamol 250 mg/kgBB secara oral dan propolis 0,05 ml/ekor secara oral. Kelompok (Pp2) diberikan parasetamol 250 mg/kgBB secara oral dan propolis 0,1 ml/ekor secara oral. Kelompok (Pp3) diberikan parasetamol 250 mg/kgBB secara oral dan propolis 0,15 ml/ekor secara oral. Perlakuan ini diberikan setiap hari selama 10 hari. Pada hari ke-11 tikus dinekropsi untuk diambil organ hepar dan dibuat preparat histopatologi.
Pembuatan preparat histopatologi
Lima kelompok tikus yang telah diberi perlakuan selama 10 hari diterminasi dengan cara dislokasi os cervicalis kemudian diambil organ heparnya. Selanjutnya dilakukan pembuatan preparat histopatologi dengan metode pewarnaan Hematoxylin-Eosin (HE). Sampel hepar yang telah diambil dengan ukuran 1x1x1 cm, direndam dalam larutan Neutral Buffer Formalin (NBF). Sampel kemudian diperkecil lagi lalu disimpan dalam tissue cassette dan dilakukan fiksasi kembali dengan menggunakan larutan NBF. Setelah dilakukan fiksasi, dilakukan proses dehidrasi dan clearing dengan larutan yang terdiri dari: alkohol 70%, alkohol 80%, alkohol 90%, alkohol 96%, alcohol absolute, toluene, dan paraffin, masing-masing 2 jam. Sampel organ kemudian di blocking dengan embedding set yang
dituang paraffin cair kemudian didinginkan. Blok yang sudah dingin kemudian dipotong menggunakan microtome dengan ketebalan ± 4-5 mikron. Proses berikutnya adalah pewarnaan dengan metode Hematoxylin-Eosin (HE) dan mounting media. Preparat diamati di bawah mikroskop binokuler dengan perbesaran 400x masing-masing pada 5 lapang pandang mikroskopik.
Variabel yang Diperiksa
Pengamatan lesi kongesti, degenerasi melemak dan nekrosis dikategorikan sebagai beikut:
0 = tidak ada kongesti/degenerasi
melemak/nekrosis
-
1 = ada lesi kongesti/degenerasi
melemak/nekrosis fokal (ringan)
-
2 = ada lesi kongesti/degenerasi
melemak/nekrosis multifokal (sedang)
-
3 = ada lesi kongesti/degenerasi
melemak/nekrosis difusa (berat)
Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisis dengan Kruskal-Wallis. Jika terdapat perbedaan yang bermakna maka dilanjutkan dengan uji Mann-Whitney untuk mengetahui perbedaan pengaruh dosis propolis yang diberikan (Stell dan Torrie, 1980).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengamatan histopatologi
Hasil pengamatan yang dilakukan pada kelompok kontrol negatif tidak menunjukkan adanya kerusakan hepar (Gambar 1). Sedangkan kelompok kontrol positif menunjukkan kerusakan hepar paling parah dibandingkan dengan perlakuan yang diberi suplementasi propolis yang ditunjukkan pada Gambar 2 sampai Gambar 5. Kerusakan yang terjadi yaitu kongesti pembuluh darah, degenerasi melemak dan nekrosis jaringan. Kongesti pembuluh darah tetap banyak ditemukan pada kelompok perlakuan kontrol positif, Pp1, Pp2 dan Pp3. Hasil pemeriksaan pada tiap-tiap perlakuan dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Hasil pemeriksaan histopatologi sesuai kelompok perlakuan
Perubahan Histopatologi |
Perlakuan |
Skor | |||
0 |
1 |
2 |
3 | ||
Negatif |
5 |
- |
- |
- | |
Kongesti |
Positif |
- |
- |
1 |
4 |
pembuluh |
Pp1 |
- |
- |
1 |
4 |
darah |
Pp2 |
- |
- |
3 |
2 |
Pp3 |
- |
- |
2 |
3 | |
Negatif |
4 |
1 |
- |
- | |
Positif |
4 |
1 | |||
Degenerasi melemak |
Pp1 |
- |
1 |
4 |
- |
Pp2 |
- |
5 |
- |
- | |
Pp3 |
3 |
2 |
- |
- | |
Negatif |
3 |
2 |
- |
- | |
Positif |
- |
- |
5 |
- | |
Nekrosis |
Pp1 |
- |
- |
3 |
2 |
Pp2 |
- |
4 |
1 |
- | |
Pp3 |
1 |
4 |
- |
- |
Kelompok perlakuan Pp3 merupakan kelompok yang menunjukkan gambaran histopatologis paling baik diantara kelompok perlakuan lainnya. Pada Gambar 5 dapat dilihat bahwa degenerasi melemak dan nekrosis mulai berkurang. Sehingga dengan kata lain jaringan hepar pada Gambar 5 mendekati jaringan hepar yang normal. Sebagian besar sampel kelompok perlakuan Pp3 masuk dalam kategori 1 untuk kriteria pengamatan degenerasi melemak dan nekrosis. Berdasarkan pengamatan histopatologi kelompok perlakuan Pp3 yang diberikan parasetamol 250 mg/kgBB dan propolis dosis 0,15 ml/ekor menunjukkan perbaikan jaringan pada hepar tikus putih, walaupun masih ditemukan kongesti pembuluh darah.
Gambar 1. Gambaran histopatologi hepar tikus putih pada kelompok kontrol negatif
dengan pakan dan minum standar (HE, 400x)
Gambar 2.Gambaran histopatologi hepar tikus putih pada kelompok kontrol positif. Lesi Kongesti (A) Lesi Nekrosis (B) Lesi Degenerasi Melemak (C) (HE, 400x)
Gambar 3. Gambaran histopatologi hepar tikus putih pada kelompok kontrol positif. Lesi Kongesti (A) Lesi Nekrosis (B) Lesi Degenerasi Melemak (C) (HE, 400x)
Gambar 4. Gambaran histopatologi hepar tikus putih pada kelompok kontrol positif. Lesi Kongesti (A) Lesi Nekrosis (B) Lesi Degenerasi Melemak (C) (HE, 400x)
Gambar 5. Gambaran histopatologi hepar
tikus putih pada kelompok kontrol positif. Lesi Kongesti (A) Lesi Nekrosis (B) Lesi Degenerasi Melemak (C) (HE, 400x)
Hasil pemeriksaan histopatologi dan analisis statistik uji Kruskall-Wallis pada penelitian pengaruh pemberian propolis terhadap gambaran histopatologi hepar tikus putih yang diberi parasetamol dosis toksik, menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan (P<0,05). Hal ini menunjukkan bahwa parasetamol dosis 250 mg/kgBB menimbulkan lesi patologi berupa degenerasi melemak, nekrosis dan kongesti pembuluh darah.
Pada lesi kongesti pembuluh darah terdapat perbedaan yang signifikan pada perlakuan kontrol negatif dan perlakuan (kontrol positif, Pp1, Pp2, dan Pp3). Sedangkan antara kontrol positif, Pp1, Pp2 dan Pp3 tidak ada perbedaan signifikan. Kongesti adalah pembendungan darah dalam suatu pembuluh. Kongesti merupakan lesi dualisme yaitu lesi yang menggambarkan gangguan sirkulasi dan dapat pula sebagai indikator perbaikan jaringan (Bhadauria, 2012).
Degenerasi melemak paling tinggi ditemukan pada perlakuan kontrol positif dan Pp1. Degenerasi melemak merupakan akumulasi lemak dalam sitoplasma (Berata et al., 2011). Hasil metabolit reaktif N-acetyl-para-benzoquinone-imine (NAPQI) yang berperan sebagai radikal bebas yang akan mengoksidasi makromolekul seperti lemak. Pemberian parasetamol dosis 250 mg/kgBB juga menyebabkan meningkatnya kolesterol yang diikuti
dengan menurunnya konsentrasi fosfolipid (Ojo et al., 2006). Degenerasi melemak biasanya terjadi pada sel-sel parenkimatosa seperti sel hepar. Pada perlakuan kontrol positif dan Pp1 masih terbentuk banyak N-acetyl-para-benzoquinone-imine yang menyebabkan terperangkapnya lemak di dalam sel hepar sehingga terjadi degenerasi melemak (Swarayana et al., 2012). Propolis 0,05 ml/ekor tidak dapat mengatasi tingginya jumlah N-acetyl-para-benzoquinone-imine yang dihasilkan oleh parasetamol sehingga pada perlakuan Pp1 masih terdapat degenerasi melemak.
Nekrosis merupakan proses kematian sel/jaringan akibat proses lanjut degenerasi yang bersifat ireversibel (Berata et al., 2011). Nekrosis merupakan proses kematian sel yang abnormal akibat adanya reaksi terhadap zat tertentu seperti bahan kimia toksik. Zat toksik yang dihasilkan parasetamol menyebabkan terganggunya keseimbangan osmotik sel sehingga sel hepar tidak mendapat natrium dan glukosa. Pada akhirnya sel hepar mati karena tidak mendapat suplai natrium dan glukosa. Pada penelitian ini dapat dilihat perlakuan kontrol positif dan Pp1 paling banyak mengalami nekrosis dalam berbagai bentuk baik pada tingkat piknosis, karioreksis dan kariolisis. Pada perlakuan Pp1 yang diberi parasetamol 250 mg/kgBB dan propolis 0,05 ml/ekor juga mengalami lesi nekrosis yang tinggi. Kemungkinan hal ini terjadi karena senyawa flavonoid yang ada di dalam propolis tidak mencukupi untuk mengeliminasi N-acetyl-para-benzoquinone-imine sehingga masih terjadi kerusakan hepar berupa nekrosis.
Ada persamaan hasil penelitian antara lesi degenerasi melemak dan nekrosis, dimana pada perlakuan Pp3 yaitu parasetamol 250 mg/kgBB dan propolis 0,15 ml/ekor menunjukkan hasil perbaikan jaringan yang paling baik. Hal ini mungkin karena lesi nekrosis dan degenerasi melemak selalu berkaitan satu dengan yang lainnya. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa propolis dosis 0,15
ml/ekor pada perlakuan Pp3 merupakan dosis optimal dalam perbaikan jaringan hepar akibat paparan toksik parasetamol. Propolis berperan sebagai antioksidan yang dapat menurunkan kerusakan pada jaringan hepar. Senyawa yang berperan sebagai antioksidan adalah senyawa flavonoid. Hal ini juga menunjukkan bahwa semakin tinggi kandungan flavonoid dalam propolis maka semakin tinggi pula aktivitas antioksidannya (Hegazi, 1997). Propolis meningkatkan kadar nitrit oxide (NO) di jaringan hepar, nitrit oxide ini berfungsi untuk mengeliminasi radikal bebas yang dapat menyebabkan kerusakan hepar (Erguder, 2008; Adikara et al., 2013).
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Pemberian parasetamol dosis 250 mg/kgBB pada tikus putih menimbulkan lesi hepar berupa kongesti, degenerasi melemak, dan nekrosis. Dan propolis dosis 0,15 ml/ekor dapat memperbaiki kerusakan jaringan hepar.
Saran
Propolis baik digunakan sebagai agen hepatoprotektor pada dosis 0,15 ml/ekor dari paparan parasetamol 250 mg/kg BB untuk meminimalisir lesi degenerasi melemak dan nekrosis. Serta perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan dosis propolis yang lebih tinggi atau lebih dari 0,15 ml/tikus dan dalam jangka waktu pengamatan yang lebih lama, sehingga dapat diketahui dosis efektif propolis untuk menurunkan tingkat kongesti pembuluh darah pada hepar yang diberi parasetamol 250 mg/kgBB.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih kepada staff Balai Besar Veteriner Denpasar, Laboratorium Patologi Veterier dan Laboratorium Farmakologi dan Farmasi Veteriner Universitas Udayana yang telah
membantu selama penelitian ini berlangsung.
DAFTAR PUSTAKA
Adikara IPA, Winaya IBO, Sudira IW. 2013. Studi histopatologi hati tikus putih (Rattus norvegicus) yang diberi ekstrak etanol daun kedondong (Spondias dulcis G.Forst) secara oral. Bul Vet Udayana 5(2): 107-113.
Bankova VS, De Castro SL, Marcucci MC. 2000. Propolis: recent advances in chemistry and plant origin. Apidologie 31(1): 3-15.
Berata IK, Winaya IBO, Adi AAAM, Adnyana IBW. 2011. Patologi Veteriner Umum. Denpasar: Swasta Nulus.
Bhadauria M. 2012. Propolis prevents hepatorenal injury induced by chronic exposure to carbon tetrachloride. Evidence-Based Complementary Altern Med 2012: 1-12.
Erguder BI, Kilicoglu SS, Namuslu M, Kilicoglu B, Devrim E, Kismet K, Durak I. 2008. Honey prevent hepatic damage induced by obstruction of the common bile duct. World J Gastroenterol 14(23): 3729-3732.
Hegazi A, Raboo F, Shaaban D, Shaaban D, Khader D. 2012. Bee venom and propolis as a new treatment modality in patients with psoriasis. Int J Med Sci 1: 27-33.
Lee WM. 2003. Drug-induced hepatotoxity. Nutr Engl J Med 349: 74-85.
Lestari IKA, Nazip K, Estuningsih S. 2014. Test of effectiveness of antibacterial of ethanol extract of loranthus of tea (Scurulla
atropurpurea BL Danser) on the growth of Enterobacter sakazakii. International Conference on Food, Biological and Medical Sciences (FBMS-2014) Bangkok (Thailand) pp: 10-15.
Li S, Tan HY, Wang N, Zhang ZJ, Lao L, Wong CW, Feng Y. 2015. The role of
Buletin Veteriner Udayana
pISSN: 2085-2495; eISSN: 2477-2712
Online pada: http://ojs.unud.ac.id/index.php/buletinvet oxidative stress and antioxidants in liver diseases. Int J Mol Sci 16: 26087-26124.
Ojo OO, Kabutu FR, Bello M, Babayo U. 2006. Inhibition of paracetamol-induced oxidative stress in rats by extract of lemongrass (Cymbropogon cittratus) and green tea (Camelia sinensis) in rats. J Biotechnol 5(12): 1227-1232.
Salatino A, Teixeira ÉW, Negri G, Message D. 2005. Origin and chemical variation of Brazilian propolis. E CAM 2: 33-38.
Steel RGD, Torrie JH. 1980. Principles and Procedures of Statistics, 2nd Ed. New York: McGraw-Hill.
Suastika P. 2011. Efek pemberian buah merah (Pandanus conoideus) terhadap perubahan histopatologik ginjal dan
hati mencit pasca pemberian paracetamol. Bul Vet Udayana 3(1): 39-44.
Swarayana IMI, Sudira IW, Berata IK. 2012. Perubahan histopatologi hati mencit (Mus musculus) yang diberikan ekstrak daun ashitaba (Angelica keiskei). Bul Vet Udayana 4(2): 119-125.
Wollenweber E, Hausen BM, Greenaway W. 1990. Phenolic constituents and sensitizing properties of propolis, poplar balsam and balsam of Peru. Bul Liaison Groupe Polyphenols 15: 112-120.
Zhao JQ, Wen YF, Bhadauria M. 2009. Protective effects of propolis on inorganic mercury induced oxidative stress in mice. Indian J Exp Biol 47(4): 264-26.
93
Discussion and feedback