SEROEPIDEMIOLOGI OF SEPTICHAEMIA EPIZOOTICA BY GENDER IN BALI CATTLE IN SUMBAWA
on
Buletin Veteriner Udayana
pISSN: 2085-2495; eISSN: 2477-2712
Online pada: http://ojs.unud.ac.id/index.php/buletinvet
Volume 9 No.1: 42-46
Pebruari 2017
DOI: 10.21531/bulvet.2017.9.1.42
Seroepidemiologi Septichaemia Epizootica Berdasarkan Jenis Kelamin pada Sapi Bali di Sumbawa
(SEROEPIDEMIOLOGI OF SEPTICHAEMIA EPIZOOTICA BY GENDER IN BALI CATTLE IN SUMBAWA)
I Nengah Kerta Besung1, I Gusti Ketut Suarjana1, Ketut Tono PG1, Ni Ketut Suwiti2
1Laboratorium Bakteriologi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana 2Laboratorium Histologi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana Jl. PB. Sudirman Denpasar Bali. Email:[email protected]
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peta sebaran Septicaemia epizootica (SE) berdasarkan jenis kelamin di Nusa Tenggara Barat khususnya di Kabupaten Dompu, Bima dan Kabupaten Sumbawa. Sebanyak 240 sampel serum yang berasal dari 3 kabupaten di Nusa Tenggara Barat dipakai sampel penelitian. Serum diuji dengan ELISA (Enzyme Linked Immunosorbent Assay). Data yang diperoleh berupa serum sampel yang positif dan negatif SE, disajikan secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa seropositip SE pada sapijantan sebesar 18% dan sapi betina sebesar 12%. Dapat disimpulkan bahwa kejadian SE pada sapi jantan lebih tinggi dari sapi betina.
Kata kunci: Septicaemia epizootica, Nusa Tenggara Barat, sapi.
ABSTRACT
This study aims to determine the distribution map Septicaemiaepizootica (SE) by gender in Dompu, Bima and Sumbawa. A total of 240 serum samples derived from three districts in West Nusa Tenggara used the study sample. Serum was tested by ELISA (Enzyme Linked Immunosorbent Assay). Data samples positive and negative SE, presented descriptively. The results showed that seropositive SE at 18% bulls and cows by 12%. It can be concluded that the incidence of SE in the bulls higher than cows.
Keywords: Septicaemia epizootica, West Nusa Tenggara, cattle
PENDAHULUAN
Sapi bali merupakan sapi yang unggul yang asli berasal dari Bali Indonesia. Sapi ini merupakan hasil domestikasi dari sapi jenis banteng liar beberapa tahun yang lalu. Umumnya sapi jantan dewasa berwarna hitam, sedangkan sapi anakan atau betina berwarna merah bata. Bagian kaki dan pantat berwarna putih, bagian ujung hidung atau cermin hidung dan ujung ekor berwarna hitam. Punggung sampai ujung ekor ada garis hitam. Ciri khas sapi bali lainnya adalah tidak berpunuk, mempunyai dada yang dalam,
ukuran badannya sedang dengan kaki yang ramping, dan ujung kuku berwarna hitam. Kulit berwarna putih atau oval terdapat pada bagian paha sebelah dalam (Mahardika, et al., 2015; Gunawan, et al., 2016; Dewi, et al., 2016).
Sapi bali ini memliki keunggulan dibandinglan dengan sapi lainnya. Keunggulan terletak pada tulang sapi yang relatif kecil dibandingkan dengan sapi pedaging lainnya yang disertai dengan otot daging yang lebih tebal, sehingga dminati oleh para konsumen daging. Keunggulan lainnya adalah mudah beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya, cepat beradaptasi
dengan lingkungan termasuk dapat hidup di lahan yang kritis, kemampuan daya cernanya cukuptinggi dengan pakan yang beranekaragam, dapat hidup di lahan kritis dan menghasilkan persentase karkas yang cukup tinggi (Pradana, et al., 2014; Nugraha, et al., 2016; Besung, 2013).
Pada perkembangan peternakan sapi bali di masyarakat, sering ditemui kendala. Sapi yang dipelihara sering menderita penyakit seperti parasit, bakteri, alergi, dan penyakit virus. Beberapa laporan kejadian penyakit pada sapi bali sering dilaporkan. Sapi bali sering terinfeksi penyakit virus yang khusus menyerang sapi bali yang disebut penyakit jembrana. Sapi bali juga peka terhadap penyakit brucella dan pasteurella (Besung, et al., 2016). Pasteurella multocida memegang peranan penting dalam menimbulkan penyakit pada saluran pernapasan sapi. Peranannya tidak hanya sebagai penyebab primer, tetapi juga sebagai penyebab sekunder terhadap organisme lain. Infeksi oleh kuman tersebut disebut pasteurellosis atau Septichaemia epizootica (SE) yang penyakitnya dapat berjalan secara subklinis atau bergabung dengan pneumonia dan septikemia dari beberapa perubahan yang akan mengakibatkan kematian, dan kondisi tubuh menurun. Gejala penyakit ditandai dengan demam yang disertai gangguan pernafasan dan kebengkakan daerah leher yang meluas ke atas dan ke daerah dada (Hall, et al., 1988; Shivachandra, et al., 2011).
Kuman pasteurella dapat bertindak sebagai flora normal dalam saluran pernapasan sapi dan kerbau terutama di daerah trakhea. Namun, pada kondisi tubuh sapi yang menurun dapat berubah sifat menjadi patogen dengan menimbulkan gejala klinis seperti sesak napas, oedem bahkan berakibat kematian. Pada kasus yang ringan ditandai dengan bulu berdiri, pertumbuhan terhambat dan adanya oedem disekitar mandibula. Musim panas yang berkepanjangan dan perubahan dari musim panas ke musim hujan
berdampak meningkatkan kejadian penyakit.
Pulau Sumbawa dikenal sebagai pulau sejuta sapi. Sistem pemeliharaan sapi di Pulau Sumbawa masih bersifat tradisional dengan melepas di padang pengembalaan yang dikenal dengan Lar. Pemberian vaksin, dan pengobatan terhadap penyakit sangat jarang dilakukan. Begitu juga dengan kualitas pakan, jarang mendapat perhatian. Sapi makan di padang pengembalaan tanpa pemberian pakan tambahan. Ratusan sapi yang dilepas di padang pengembalaan, tanpa ada upaya pencegahan terhadap penyakit, dan tanpa pakan yang kurang memadai sering menimbulkan gangguan kesehatan. Kuman pasteurella yang ada di dalam saluran pernapasan sapi selalu mengancam sapi ini. Dengan demikian studi tentang kejadian SE pada sapi di Pulau Sumbawa sangat penting untuk dilakukan.
METODE PENELITIAN
Sampel penelitian
Sebanyak 240 sampel darah sapi bali diambil sebagai sampel penelitian, yang terdiri dari 120 ekor sampel sapi jantan dan 120 ekor sapi betina. Sapi tersebut yang berasal dari Kabupaten Sumbawa, Kabupaten Bima, dan Kabupaten Dompu. Darah tersebut diperoleh dengan mengambil darah sapi melalui vena jugularis dan diendapkan selama beberapa menit. Serum yang diperoleh ditampung dan disimpan pada suhu 200C. Sampel diuji di Laboratorium Mikrobiologi Balai Besar Veteriner Denpasar.
Uji ELISA
Penentuan titer antibodi terhadap kuman Pasteurella multocida pada sampel serum tersebut dilakukan dengan uji ELISA menurut prosedur Natalia dan Petten (1993). Antigen yang digunakan adalah crude extract, dari P. multocida tipe B:2. Coating plate sebanyak 100 µg antigen yang sudah diencerkan dalam Phosphat Buffer Saline (PBS), kemudian diinkubasikan semalam pada suhu 4oC.
Cuci coating plate sebanyak tiga kali dengan PBS tween (PBST). Sebanyak 240 sampel serum sampel diencerkan 1:200 dalam PBST pada lubang satu sampai sepuluh. Pada setiap plate diisi kontrol serum positif, negatif, dan kontrol konjugat yaitu pada lubang 11 dan 12. Sampel diinkubasikan pada suhu kamar selama 1 jam selanjutnya dicuci tiga kali dengan PBST. Setiap lubang diisi 100 µl anti conjugate bovine (IgG anti-sapi yang telah dilabel dengan horse raddish peroxidase) dan diinkubasi pada suhu kamarselama 1 jam. Setelah dicuci tiga kali dengan PBST, ditambahkan 100 µl substrat (2,2' azino-bis (3-ethylbenzthiazoline-6-sulfonic acid) produk ABTS, SIGMA) pada setiap lubang, kemudian diinkubasikan selama 30-45 menit pada suhu kamar. Pembacaan densitasoptikal pada ELISA reader dilakukan pada panjang gelombang 405 nm. Hasil dianggap valid apabila optical dencity (OD) yang ditunjukkan pada lubang 11 dan 12 baris E sebesar 0,5-0,75.
Dan kontrol negatif kurang dari 0,3, serta kontrol konjugat tidak lebih dari 0,2. Sampel dianggap positif jika memiliki titer lebih besar atau sama dengan 200 Elisa Unit (EU).
Analisis Data
Data yang diperoleh berupa serum sampel yang positif dan negatif SE pada pengujian dengan ELISA, disajikan secara deskriptif yaitu membuat persentase sapi positif SE pada sapi betina dan jantan dari masing-masing Kabupaten.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sebanyak 240 ekor sapi yang berasal dari Sumbawa, Dompu dan Bima diambil sebagai sampel penelitian. Sampel tersebut berasal dari sapi pedet, sapi dara, dan sapi dewasa. Sampel darah penuh dan serum dimasukkan ke dalam boks yang berisi es untuk segera diperiksa di laboratorium. Sebaran hasil uji Elisa tersaji padaGambar 1.
Gambar 1. Sebaran data hasil uji Elisa terhadap sampel sapi bali terhadap SE di Pulau
Sumbawa
Gambar di atas menunjukkan bahwa secara serologis titer antibodi SE pada sapi bali di Pulau Sumbawa bervariasi dari 8,67 sampai dengan 371,78 IU. Variasi titer antibodi juga terjadi di semua kabupaten. Titer tertinggi di Kabupaten Sumbawa ada pada sapi betina (371,78 IU) dan terendah pada sapi jantan (8,67 IU). Tertinggi di
Kabupaten Bima ada pada sapi jantan (323,25 IU), yang terendah pada sapi jantan (9,65 IU), tertinggi di Kabupaten Dompu ada pada sapi betina (322,82 IU) dan terendah pada sapi betina (10,99). Hasil uji Elisa yang menunjukkan data di atas 200 IU dikatagorikan sebagai positif SE, sedangkan titer di bawah 200 IU
dikatagorikan negatif SE. Data di atas menunjukkan bahwa sampel seropositip terjadi pada ketiga Kabupaten di Pulau Sumbawa. Frekwensi jumlah sampel positif dan negatif pada sapi jantan dan betina di Pulau Sumbawa dapat dilihat padaTabel 1.
Tabel. Frekwensi jenis kelamin terhadap | |||
seropositip dan negatip pada sapi di Pulau | |||
Sumbawa. | |||
Jeniskelamin |
Seropositip |
Seronegatip |
Jumlah |
Betina |
28 ekor |
92 ekor |
120 |
(12%) |
(77%) |
ekor | |
Jantan |
42 ekor |
78 ekor |
120 |
(18%) |
(65%) |
ekor | |
Jumlah |
70 ekor |
170 ekor |
240 |
(29%) |
(71%) |
ekor |
Tabel 1 menunjukkan bahwa kejadian SE paling tinggi terdapat pada sampel dari Kabupaten Dompu (45%), Kabupaten Bima (24%), dan dari Kabupaten Sumbawa (19%). Perbedaan ini disebabkan oleh perbedaan karakteristik dari area peternakan dari masing-masing Kabupaten. Karakteristik tanah padapeternakan di Kabupaten Dompu rendah berbagai mineral seperti tembaga, kobalt dan kalium. Minimnya kadar mineral pada tanah akan berpengaruh terhadap tumbuhan yang tumbuh di atasnya, sehingga berdampak pada ternak yang mengkonsumsi pakan di lahan tersebut (Suwiti et al., 2012). Hasil yang sama ditunjukkan oleh (Sujani, et al., 2014), dalam hal ini sapi yang diternakkan di tegalan mengalami defisiensi tembaga.
Adanya defisiensi mineral pada sapi akan berpengaruh terhadap kesehatannya. Mineral dibutuhkan oleh tubu huntuk metabolisme, penyusun enzym dan pertumbuhan berat badan (Dwipartha, et al., 2014). Sapi yang mengalami defisiensi mineral lebih rentan terhadap berbagai penyakit. Mineral yang diperlukan oleh tubuh untuk pembentukan antibodi. Gangguan terhadap pembentukan antibodi akan menimbulkan ketahanan tubuh terhadap agen penyakit akan menurun.
Kuman Pasteurella multocida yang menyebabkan penyakit Septichaemia
epizootica dapat bertindak sebagai flora normal di dalam saluran pernapasan. Adanya kuman yang tinggal secara normal pada saluran nafas sapi akan berakibat buruk pada perkembangan sapi tersebut. Kuman sewaktu-waktu akan bersifat patogen jika kondisi tubuh menurun. Pada peralihan musim dari musim panas ke musim penghujan, akan terjadi penurunan kondisi tubuh. Akibatnya kuman yang ada pada saluran nafas akan berkembang menjadi patogen, dengan menimbulkan gangguan kesehatan seperti kondisi tubuh menurun, demam, napsu makan menurun dan penurunan berat badan. Penyakit yang ditimbulkan dikenal dengan nama Septicaemia Epizootica (SE) atau Haemorrhagic Septicaemia (HS)(Farooq, et al., 2007; El-Jakee, et al., 2016).
Berdasarkan atas jenis kelamin seropositip sapi betina (12%) lebih rendah dibandingkan dengan sapi jantan (18%). Sapi betina lebih tahan terhadap infeksi dibandingkan sapi jantan. Sapi betina yang punya hormon estrogen berperan terhadap ketahanan suatu penyakit. Hormon ini mampu memicu aktivitas sel fagosit melalui aktivasi makrofag. Makrofag yang teraktivasi akan lebih aktif melakukan pelenyapan bahan asing yang masuk ke dalam tubuh (Besung, 2011). Makrofag teraktivasi akan melakukan fagositosis lebih sempurna (Besung, et al., 2016).
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa kejadian SE pada sapi bali di Pulau Sumbawa sebanyak 29%. Kejadian SE pada sapi jantan (18%) lebih tinggi dibandingkan dengan sapi betina (12%).
Saran
Perlu upaya pencegahan penyakit SE dengan cara melakukan vaksinasi secara menyeluruh dan kontinyu.
UCAPAN TERIMAKASIH
Ucapan terimakasih ditujukan kepada Rektor, Ketua Lembaga Penelitian
Universitas Udayana, Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana atas kesempatan yang diberikan melakukan penelitian. Ucapan terimakasih juga ditujukan kepada pimpinan dan staf Balai Karantina Sumbawa atas bantuan pengambilan sampel, pimpinan dan staf Bakteriologi Balai Besar Veteriner atas bantuan pemeriksaan sampel.
DAFTAR PUSTAKA
Besung INK. 2011. Pengaruh ekstrak pegagan (Centella Asiatica) dalam meningkatkan kapasitas fagosit makrofag peritoneum mencit terhadapSalmonella typhi. Bul Vet Udayana 3(2): 71-78.
Besung INK. 2013. Analisis faktor tipe lahan dengan kadar mineral serum sapi bali. Bul Vet Udayana 5(2): 96106.
Besung INK, Astawa NM, Suata K,Suwiti NK.2016. Hubungan antara aktivasi makrofag dengan kadar interleukin-6 dan antibodi terhadap Salmonella typhipada mencit.J Ked Hewan 10(1): 1-4.
Besung INK, Tono PGK, Rompis ALT, Suarjana IGK, 2016. Prevalensi Pasteurella multocidapada sapi bali di Bali. Bul Vet Udayana 8(2): 145-150.
Dewi AMD, Swacita IBN, Suwiti NK.
2016. Pengaruh Perbedaan jenis otot dan lama penyimpanan terhadap nilai nutrisi daging sapi bali. Bul Vet Udayana 8(2):135-144.
Dwipartha SD, Suarsana IN, Suwiti NK. 2014. Profil mineral kalium (K) dan kobalt (Co) pada serum sapi bali. Bul Vet Udayana 6(2): 125-128.
El-Jakee JK, Ali S, El-Shafii S, Hessain A, Al-Arfaj A. Mohamed M. 2016. Comparative studies for serodiagnosis of haemorrhagic septicaemia in cattle sera. Saudi J Biol Sci 23(1): 48-53.
Farooq U, HussainM, Irshad H, BadarN, MunirR, Ali Q.2007. Status haemorrhagic sept icaemia based on epidemiology in Pakistan. Pakistan Vet J 27(2):67-72.
Gunawan IW, Suwiti NK, Sampurna IP. 2016. Pengaruh pemberian mineral terhadap lingkar dada, panjang dan tinggi sapi bali. Bul VetUdayana 8(2): 128-134.
Hall W, Bane D, Kilroy C, EssExSorlie, D. 1988. A model for the induction of Pasteurella multocida. Can JVet Res 54: 238-243.
Mahardika IPW, Sampurna IP, Nindhia TS. 2015. Hubungan Antara dimensi lebar induk dengan pedet pada sapi bali. Bul Vet Udayana 7(1): 9-16.
Nugraha HY, Sampurna IP, Suatha IK. 2016. Pengaruh Pemberian pakan tambahan pada induk sapi bali. Bul Vet Udayana 8(2): 159-165.
PradanaIMW, Sampurna IP, SuathaIK. 2014. Pertumbuhan dimensi tinggi tubuh pedet sapi bali. Bul Vet Udayana 6(1): 81-85.
ShivachandraSB, Nagaleekar VK,Kumar AA. 2011. A review of hemorrhagic septicemia in cattle and buffalo.An H Res 12(1): 67-82.
Sujani NKDS, Piraksa IW, SuwitiNK. 2014. Profil mineral magnesium dan tembaga serum darah sapi bali yang dipelihara. Bul Vet Udayana 6(2): 119-123.
46
Discussion and feedback