Buletin Veteriner Udayana

ISSN : 2085-2495

Vol. 3 No.2. :91-98

Agustus 2011

PENGARUH SISTEM PETERNAKAN DAN LAMA PENYIMPANAN TERHADAP KUALITAS TELUR ITIK

(THE EFFECT OF FARMING SYSTEM AND LONG STORAGE TO DUCK’S EGG QUALITY)

I.B.N. Swacita dan I P Sudiantara Cipta

Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner

Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Udayana.

E- mail : [email protected]

ABSTRAK

Itik merupakan salah satu ternak unggas penghasil telur yang sangat potensial di Indonesia. Umumnya sistem peternakan itik dilakukan secara intensif dan semi intensif. Adanya perbedaan sistem peternakan tersebut kemungkinan dapat menghasilkan kualitas telur itik yang berbeda jika disimpan pada suhu kamar (28°C). Kualitas telur itik yang terkait sistem peternakan dan lama penyimpanan, dapat diukur dari aspek Indeks Putih Telur (IPT), Indeks Kuning Telur (IKT) dan Haugh Unit (HU). Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola faktorial 2 (sistem peternakan ) x 4 (lama penyimpanan). Dua sistem peternakan yaitu peternakan secara intensif dan semi intensif, sedangkan empat factor : hari ke-0, ke-7, ke-14, dan hari ke-21. Setiap kombinasi perlakuan diulang sebanyak 4 kali. Data hasil penelitian (IPT, IKT, dan HU) dianalisis dengan sidik ragam yang dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan, jika terdapat perbedaan yang nyata. Hasil penelitian menunjukkan, sistem peternakan intensif dan semi intensif menghasilkan telur dengan IPT, IKT, dan HU yang tidak berbeda nyata (P>0,05). IPT, IKT, dan HU sangat nyata (P<0,01) dipengaruhi oleh lama penyimpanan. Makin lama telur disimpan maka IPT, IKT, dan HU makin menurun.

Kata kunci : Telur itik, Indeks Putih Telur, Indeks Kuning Telur, Haugh Unit

ABSTRACT

Duck is one of the potential egg poultry production in Indonesia. General farming system of duck was carried out an intensive and semi-intensive. The effect of difference farming system may be contribute to differences in the duck’s egg quality, especially in relation to aspects of Egg White Index (EWI), Egg Yolk Index (EYI) and Haugh Unit (HU) of duck’s egg, as well as to the long storage at room temperature (±28°C). The research used Completely Randomized Design (CRD), the pattern of 2 (farming system) x 4 (0,7,14 and 21 day) two factor treatments farming system as intensive farming and semi-intensive and four factor that is a long storage at room temperature. Each treatment combination was replicated 4 times. Data were analyzed with ANOVA, and followed by Duncan multiple range test. Based on these results it can be concluded, farming system intensive and semi-intensive to produce duck’s egg quality with EWI, EYI and HU are not significantly different (P>0.05). EWI, EYI and HU were significantly (P <0.01) influenced by long storage; if the longer stored, the duck’s egg quality to be decreased.

Key words: duck egg’s, Egg White Index, Egg Yolk Index, Haugh Unit

PENDAHULUAN

Telur itik memiliki kualitas lebih baik bila dibandingkan dengan telur ayam karena mengandung protein, kalori dan lemak lebih tinggi (Sultoni, 2004). Di samping keunggulan tersebut, telur itik juga memiliki sifat mudah rusak. Kerusakan tersebut disebabkan adanya kontaminasi pada kulit telur oleh mikroorganisme yang berasal dari kotoran induk maupun yang ada pada kandang (Kautsar, 2004).

Sistem peternakan itik yang berbeda juga menyebabkan perbedaan kualitas telur yang dihasilkan. Pada sistem peternakan intensif, itik dikandangkan dengan segala kebutuhannya dipenuhi dan dilayani oleh peternak (Rasyaf, 1993). Dengan pemberian pakan yang terprogram ditambah dengan pemberian vitamin dan suplemen akan sangat berpengaruh terhadap kualitas telur yang dihasilkan. Sedangkan pada peternakan semi intensif, itik saat dilepas di area persawahan akan mencari makanannya sendiri tanpa diatur oleh peternaknya. Sumber pakan mereka peroleh dari lingkungan sawah berupa serangga, keong, katak kecil dan sebagainya (Susilorini dkk., 2008). Perbedaan sistem peternakan itik, tentunya akan menghasilkan kualitas telur yang berbeda. Namun sampai saat ini, penelitian mengenai kualitas telur pada peternakan intensif dan tradisional belum pernah diungkapkan.

Untuk menentukan kualitas telur itik dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan peneropongan (candling) dan pengukuran terhadap parameter Indeks Putih Telur (IPT), Indeks Kuning Telur (IKT) dan Haugh Unit (HU). IPT adalah parameter yang menyatakan perbandingan antara tinggi albumin dengan rata-rata diameter panjang dan lebar albumin kental. Menurut Buckle dkk. (1987), telur ayam yang baru ditelurkan nilai IPTnya berkisar antara 0,050-0,174. Umumnya dalam keadaan normal berkisar antara 0,090-0,120. IPT akan menurun selama penyimpanan, disebabkan oleh pemecahan ovomusin. Penurunan IPT sangat dipengaruhi oleh suhu penyimpanan, semakin rendah suhu penyimpanan, semakin kecil penurunannya.

Indeks Kuning Telur (IKT) adalah perbandingan antara tinggi kuning telur dengan diameternya setelah kuning telur dipisahkan dari putih telur. Telur segar mempunyai IKT 0,33-0,50 dengan nilai rata-rata IKT 0,42. Dengan bertambahnya umur telur, maka IKT akan menurun karena penambahan ukuran kuning telur akibat perpindahan air (Buckle dkk., 1987).

Haugh Unit (HU) adalah satuan yang memberi kolerasi antara tinggi putih telur dengan berat telur. Makin tinggi HU makin baik kualitas telur tersebut (Buckle dkk., 1987). Buckle dkk., (1987) menyatakan bahwa telur yang baru

ditelurkan mempunyai nilai HU 100. Lebih lanjut dinyatakan bahwa telur dengan mutu yang baik nilainya 75 sedangkan telur yang rusak mempunyai nilai HU di bawah 50. Telur yang tidak diawetkan mengalami perubahan HU sangat cepat. Telur yang disimpan pada suhu rendah atau pendinginan mengalami perubahan HU dari 80 menjadi 68 setelah 19 hari, sedangkan tanpa pendinginan mengalami penurunan rata-rata 1,51 unit per hari (Kulsum, 1992).

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh sistem peternakan, lama penyimpanan pada suhu kamar (±28oC) dan interaksi antara keduanya terhadap kualitas telur itik ditinjau dari IPT, IKT dan HU.

METODE PENELITIAN

Materi Penelitian

Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah telur itik yang diperoleh dari dua sistem peternakan itik yang berbeda, yaitu telur itik yang berasal dari peternakan intensif dan semi-intensif. Telur yang diambil adalah telur segar yang berumur 0 hari (baru ditelurkan) dengan berat 60g – 64g masing-masing sebanyak 32 butir dari suatu peternakan intensif dan semi-intensif di Kabupaten Badung.

Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola faktorial 2 x 4, dengan 2 faktor perlakuan sistem

peternakan yaitu peternakan secara intensif dan semi- intensif. Sedangkan 4 faktor kedua yaitu lama penyimpanan pada suhu kamar (±28°C) pada hari ke-0, ke-7, ke-14, dan hari ke-21. Setiap kombinasi perlakuan diulang sebanyak 4 kali. Variabel yang diukur dalam penelitian ini adalah kualitas telur itik seperti : Indeks Putih Telur (IPT), Indeks Kuning Telur (IKT) dan Haugh Unit (HU).

Cara Pengukuran Kualitas Telur Itik

Indeks Putih Telur (IPT)

Cara pengukuran IPT adalah dengan memecahkan telur yang telah mendapat perlakuan penyimpanan pada suhu kamar pada hari ke-0, 7, 14 dan 21 di atas kaca, kemudian kuning telur dipisahkan dari putih telur secara hati-hati. Panjang dan lebar putih telur diukur dengan menggunakan jangka sorong kemudian IPT dihitung menggunakan rumus Laily dan Suhendra (1978) sebagai berikut :

T

IPT= --------- ½ (LI + L2)

Keterangan :

T : Tinggi putih telur (cm)

L1 : Lebar putih telur (cm)

L2 : Panjang putih telur (cm)

Indeks Kuning Telur (IKT)

Cara pengukuran IKT adalah dengan memecahkan telur yang telah mendapat perlakuan penyimpanan pada suhu kamar pada hari ke-0, 7, 14 dan 21 di atas kaca,

kemudian kuning telur dipisahkan dari putih telur secara hati-hati. Tinggi dan diameter kuning telur diukur dengan menggunakan jangka sorong, kemudian IKT dihitung menggunakan rumus Laily dan Suhendra (1978) sebagai berikut :

Tinggi kuning telur (cm)

IKT= ——------------ Diameter kuning telur (cm)

Haugh Unit (HU)

Telur yang telah mendapat perlakuan penyimpanan pada suhu kamar pada hari ke-0, 7, 14 dan 21 ditimbang dan beri label sesuai dengan beratnya, kemudian telur dipecahkan di atas kaca. Kuning telur dipisahkan dari putih telur secara hati-hati. Selanjutnya tinggi putih telur diukur dengan menggunakan alat jangka sorong kemudian HU dihitung menggunakan rumus Panda (1996) sebagai berikut.

HU = 100 log (H + 7,57 – 1,7W 0,37)

Keterangan :

H : Tinggi putih telur (mm)

W : Berat telur (gram)

Analisis Penelitian

Data hasil penelitian berupa Indeks Putih Telur (IPT), Indeks Kuning Telur (IKT) dan Haugh Unit (HU) dianalisis dengan sidik ragam yang dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan (Steel dan Torrie, 1993).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Indeks Putih Telur (IPT) pada sistem peternakan intensif dan semi intensif serta

lama penyimpanan telur itik pada suhu kamar (±28°C) dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Diagram Sistem Peternakan dan Lama Penyimpanan terhadap IPT Telur Itik

Gambar 1. menunjukkan bahwa penyimpanan pada suhu kamar (±28°C) pada hari ke-0, sampai hari ke-21, IPT telur itik pada sistem peternakan intensif lebih besar dari semi-intensif.

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa sistem peternakan tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap IPT telur itik. Namun lama penyimpanan pada suhu kamar (±28°C) berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap IPT telur itik. Tidak terdapat interaksi yang nyata (P > 0,05) antara sistem pemeliharaan dan lama penyimpanan terhadap IPT telur itik.

Sistem peternakan tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap IPT telur itik, kemungkinan karena pada kedua sistem peternakan itik memperoleh pakan yang cukup baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Pada sistem peternakan intensif, itik memperoleh pakan yang cukup karena diberikan pakan secara ad libitum, sedangkan itik yang dipelihara secara semi-intensif memperoleh pakan

selain dari konsentrat sebagai pakan tambahan, juga diperoleh dari lingkungan sawah tempatnya digembalakan. Menurut Susilorini dkk., (2008) serangga, keong, katak kecil dan sebagainya merupakan pakan bagi itik yang digembalakan di sawah. Kemungkinan lainnya adalah sawah lokasi pengembalaan itik yang diteliti mengalami gagal panen karena terserang hama tikus. Hama tikus menyebabkan banyaknya buah padi yang rontok yang selanjutnya buah padi tersebut menjadi pakan bagi itik-itik tersebut.

Lama penyimpanan pada suhu kamar (±28°C) berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap IPT telur itik. Untuk mengetahui lebih lanjut pengaruh tersebut, maka analisis dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan (Steel dan Torie, 1993).

Hasil uji jarak berganda Duncan menunjukkan bahwa IPT dengan lama penyimpanan antara hari ke-0, dengan hari ke-7 sampai hari ke-21, terdapat perbedaan yang sangat nyata (P < 0,01). Demikian pula hari ke-7 dengan hari ke-21. Sedangkan hari ke-14 dengan hari ke-21 hanya berbeda nyata (P<0,05). Hal ini karena selama penyimpanan, IPT mengalami penurunan. Menurut Kulsum (1992), serabut ovomusin yang berserat dan membentuk jala mengalami kerusakan dan pecah, sehingga bagian kental dari putih telur akan keluar dari ikatannya dan menjadi lebih encer.

Data yang diperoleh dari penelitian ini, telur itik yang berasal dari sistem peternakan intensif mempunyai nilai rata-rata IPT dengan lama penyimpanan hari ke-0 sampai ke-21 berkisar antara 0,0590,131, sedangkan dari peternakan semi intensif berkisar antara 0,058-0,122. Pada kedua sistem pemeliharaan ini, umur telur itik sampai pada hari ke-21 mempunyai nilai IPT masih dalam batas normal kalau mengacu nilai IPT telur ayam (0,050-0,174). Menurut Buckle dkk., (1987), telur ayam yang baru ditelurkan nilai IPT berkisar antara 0,0500,174. Hal ini menunjukkan IPT telur itik sampai pada hari ke-21 hampir sama dengan IPT telur ayam.

Perbandingan sistem peternakan intensif dan semi-intensif dengan lama penyimpanan telur itik pada suhu kamar (±28°C) terhadap IKT dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Diagram Perbandingan Sistem Peternakan dan Lama Penyimpanan terhadap IKT Telur Itik

Gambar 2 menunjukkan bahwa penyimpanan pada suhu kamar (±28°C) pada hari ke-0, IKT telur itik yang berasal dari peternakan semi-intensif lebih besar bila dibandingkan dengan peternakan intensif, namun pada hari ke-7 sampai

hari ke-21, IKT telur itik pada sistem peternakan intensif lebih besar dari semi-intensif.

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa sistem peternakan tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap IKT telur itik, sedangkan lama penyimpanan pada suhu kamar (±28°C) berpengaruh sangat nyata (P < 0,01) terhadap IKT telur itik. Hasil analisis juga menunjukkan tidak terdapat interaksi yang nyata (P>0,05) antara sistem peternakan dengan lama penyimpanan suhu kamar (±28°C) terhadap IKT telur itik.

Lama Penyimpanan pada suhu kamar (±28°C) berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap IKT telur itik. Untuk mengetahui bagaimana pengaruh dari perlakuan tersebut, maka dilakukan uji jarak berganda Duncan (Steel dan Torie, 1993).

Hasil uji jarak berganda Duncan menunjukkan bahwa lama penyimpanan antara hari ke- 0, dengan hari ke-7 sampai hari ke-21 terdapat perbedaan IKT yang sangat nyata (P < 0,01). Dalam hal ini IKT hari ke-0 sangat nyata (P < 0,01) lebih tinggi dibandingkan hari ke-7, sampai hari ke-21. Hasil ini sesuai dengan pernyataan Buckle dkk., (1987), bahwa dengan bertambahnya umur telur, maka IKT akan semakin menurun karena penambahan ukuran kuning telur akibat perpindahan air dari putih telur ke kuning telur.

Data yang diperoleh dari penelitian ini, telur itik yang berasal dari sistem peternakan intensif mempunyai nilai rata-rata IKT dengan lama penyimpanan pada hari ke-0 sampai ke-21 berkisar antara 0,36-0,44, sedangkan dari peternakan semi-intensif berkisar antara 0,35-0,45. Dari kedua sistem peternakan ini, IKT telur itik sampai pada hari ke-21 mempunyai nilai IKT masih dalam batas normal jika mengacu pada nilai IKT telur ayam. Menurut Buckle dkk., (1987), telur ayam segar mempunyai IKT 0,33-0,50 dengan nilai rata-rata 0,42. Hal ini juga menunjukkan IKT telur itik sampai pada hari ke-21 mempunyai nilai yang hampir sama dengan IKT ayam.

Perbandingan sistem peternakan intensif dan semi-intensif dengan lama penyimpanan telur itik pada suhu kamar (±28°C) terhadap telur itik dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Diagram Perbandingan sistem peternakan intensif dan semi-intensif dengan lama penyimpanan telur itik pada suhu kamar (±28°C) terhadap HU Telur Itik

Gambar 3 menunjukkan bahwa

penyimpanan pada suhu kamar (±28°C)

pada hari ke-0 sampai hari ke-21 HU telur

itik pada sistem peternakan intensif lebih besar dari semi-intensif. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa sistem peternakan tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap HU telur itik. Lama penyimpanan pada suhu kamar (±28°C) berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap HU telur itik. Tidak terdapat interaksi yang nyata (P>0,05) antara kedua perlakuan di atas terhadap HU telur itik.

Lama penyimpanan pada suhu kamar (±28°C) berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap HU telur itik. Untuk mengetahui bagaimana perbedaan pengaruh antar perlakuan tersebut, selanjutnya dilakukan uji jarak berganda Duncan (Steel dan Torrie, 1993).

Hasil uji jarak berganda Duncan menunjukkan bahwa lama penyimpanan mulai hari ke-0 sampai hari ke- 21 hari terdapat perbedaan HU telur itik yang sangat nyata (P<0,01). Dalam hal ini HU telur itik hari ke-0 sangat nyata (P<0,01) lebih tinggi bila dibandingkan dengan hari ke-7 sampai hari ke-21. Demikian pula HU telur itik hari ke-7 dengan hari ke-14 dan hari ke-14 dengan hari ke-21.

Menurut Stadelman dan Cotterill, (1995), tinggi putih telur semakin lama disimpan akan semakin turun, demikian juga dengan bobot telur, semakin lama disimpan bobotnya akan semakin menurun. Selama penyimpanan terjadi kenaikan pH dan terjadi ikatan kompleksovomucin-lysozyme yang

mengakibatkan keluarnya air dari jala-jala ovomucin, sehingga putih telur menjadi encer. Semakin encer putih telur bagian kentalnya, maka nilai HU dan kualitas telurnya semakin rendah.

Data yang diperoleh dari penelitian ini, telur itik yang berasal dari sistem peternakan intensif mempunyai nilai rata-rata HU dengan lama penyimpanan mulai hari ke-0, ke-7, ke-14 dan ke-21 masing-masing 95,27, 86,69, 73,34 dan 68,90, sedangkan dari peternakan semi intensif masing-masing 93,79, 84,76, 71,95, dan 67,31. Dari kedua sistem peternakan ini umur telur itik sampai pada hari ke-7 mempunyai nilai HU masih dalam batas mutu telur yang baik. Menurut Buckle dkk., (1987) telur yang baru ditelurkan mempunyai nilai HU 100. Lebih lanjut dinyatakan bahwa untuk telur dengan mutu yang baik nilainya 75 dan telur yang rusak mempunyai nilai HU di bawah 50.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian maka dapat disimpulkan bahwa kualitas telur itik yang dipelihara secara intensif maupun semi intensif menghasilkan kualitas telur itik yang tidak berbeda. Makin lama telur itik disimpan pada suhu kamar maka kualitasnya akan makin menurun. Tidak terdapat interaksi antara lama penyimpanan pada suhu kamar dengan sistem pemeliharaan terhadap kualitas telur itik.

Saran

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui sampai hari ke berapa telur itik sudah rusak jika disimpan pada suhu kamar

DAFTAR PUSTAKA

Buckle, K.A., R.A. Edward, G.H. Fleet and Wootton. 1987. Ilmu Pangan. Penerjemah Hari Purnomo dan Adiono. Universitas Indonesia – Press. Jakarta

Kautsar, I. 2004 Pengaruh Lama Perendaman Dalam Larutan Asam Asetat 7% dan Lama Perendaman Terhadap Beberapa Karakteristik Telur Asin. Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran. Jatinangor. http://journal.ipb.ac.id/ index.php.jurnaltin/article/view/110 4/184. Tanggal akses 15 Maret 2011

Kulsum, U.1992. Pengaruh Perminyakan dan Suhu Penyimpanan Terhadap Kualitas Telur Ayam. Skripsi. Program Studi Teknologi Pertanian, Fakultas Pertanian. Universitas Udayana. Denpasar

Laily, R. A., dan P. Suhendra. 1978. Teknologi Hasil Ternak. Bagian II. Teknologi Telur.Edisi ke-2. Lephas. Ujung Pandang

Panda, P.C. 1996. Textbook of Egg and Poultry         Technology. Ram

Printograph, Delhi, India

Rasyaf, M. 1993. Beternak Ititk Komersial. Edisi ke-2. Kanisius. Yogyakarta

Stadellman, W.J dan O.J Cotteril. 1995. Egg Science and Technology. 4th Ed. The Avi Publishing Co. Inc. New York

Steel, R.G.D dan J.H. Torie. 1993 Prinsip dan Prosedur Statistika. Edisi ke-2. Penerjemah Bambang Sumantri. P.T Gramedia Pustaka Utama. Jakarta

Susilorini T.E., Sawitri M. E dan Muharlien. 2008. Budi Daya Ternak 22 Ternak   Potensial.Penebar

Swadaya. Jakarta

98