THE EFFECT OF MUSCLE TYPE AND LONGER STORAGE TO THE NUTRITION VALUE OF BALI CATTLE
on
Buletin Veteriner Udayana
pISSN: 2085-2495; eISSN: 2477-2712
Volume 8 No. 2: 135-144
Agustus 2016
Pengaruh Perbedaan Jenis Otot Dan Lama Penyimpanan Terhadap Nilai Nutrisi Daging Sapi Bali
(THE EFFECT OF MUSCLE TYPE AND LONGER STORAGE TO THE NUTRITION VALUE OF BALI CATTLE)
Anjelia Martina Dewi1, Ida Bagus Ngurah Swacita², Ni Ketut Suwiti³
1Praktisi Dokter hewan di Manggarai, Nusa Tenggara Timur,
2
2Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner, Universitas Udayana, 3Laboratorium Histologi Veteriner, Universitas Udayana,
Email: [email protected]
ABSTRAK
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh jenis otot dan lama penyimpanan terhadap nilai nutrisi daging sapi bali yang terdiri atas lima parameter yaitu kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar protein dan kadar karbohidrat dari otot aktif dan otot pasif daging sapi bali. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh hasil bahwa jenis otot berpengaruh berpengaruh nyata terhadap kadar air, kadar abu, kadar protein dan kadar karbohidrat daging sapi bali. Lama penyimpanan berpengaruh nyata terhadap kadar air, kadar lemak dan kadar karbohidrat. Kadar abu, kadar protein dan kadar karbohidrat otot aktif lebih tinggi bila dibandingkan dengan otot pasif. Sedangkan kadar air dan kadar lemak otot aktif, lebih rendah bila dibandingkan dengan otot pasif.
Kata kunci: daging sapi bali, jenis otot, lama penyimpanan, nilai nutrisi
ABSTRACT
The research aimed to find out the influence of muscle type and longer storage of bali beef to the nutrition value consisting of five parameters included water, fat, protein, ash and carbohydrate content originally from the active muscle and passive muscle of bali beef. The results showed that the effect of muscle type was significantly against water, ash, protein and carbohydrate content of bali beef. Moreover, longer storage significantly affect to the water, fat and carbohydrate content. Ash, protein and carbohydrate content of active muscle were higher than the passive muscle, while the water and fat content of active muscle were lower than the passive muscle.
Keywords: bali beef, muscle type, longer storage, nutrition value
PENDAHULUAN
Sapi Bali dikenal sebagai sapi lokal yang banyak dipelihara di Pulau Bali karena sangat menguntungkan peternak disamping cara pemeliharaannya yang mudah dan sifatnya yang mampu beradaptasi baik pada lingkungan. Sapi bali dimanfaatkan sebagai tenaga kerja pertanian, sebagai sumber pendapatan, sarana upacara keagamaan, dan hiburan serta obyek wisata (Batan, 2006). Disamping itu, sapi bali mempunyai peranan utama sebagai penghasil daging
untuk memenuhi kebutuhan gizi masyarakat, karena mempunyai kualitas daging yang bagus.
Kualitas daging sapi dapat dinilai melalui pengujian nilai nutrisi daging sapi yang terdiri atas kadar protein, kadar karbohidrat, kadar lemak, kadar abu dan kadar air. Menurut Lawrie (2003) protein dalam daging dapat berkisar antara 1622%. Menurut Nurwantoro dan Mulyani (2003), protein merupakan suatu persenyawaaan yang khas yang ditemukan dalam sel dan merupakan komponen besar dalam membran sel,
dapat membentuk jaringan ikat misalnya kolagen dan elastin.
Lemak berdasarkan lokasi distribusinya, terdiri atas lemak intermuskuler, lemak intra muskuler, lemak dalam jaringan lemak (adiposa), lemak dalam jaringan saraf dan lemak di dalam darah. Lemak terdiri atas lemak netral, fosfolipid, asam-asam lemak dan komponen larut dalam lemak.Lemak sapi mengandung 0,1% kolesterol (Nurwantoro dan Mulyani, 2003).
Kadar abu adalah sisa yang tertinggal bila suatu sampel bahan pangan dibakar sempurna di dalam tungku pengabuan. Kadar abu menggambarkan banyaknya mineral yang tidak terbakar menjadi zat yang mudah menguap. Karbohidrat dalam daging terdapat dalam jumlah yang sangat sedikit kurang dari 1% berat daging. Sebagian besar terdapat dalam bentuk glikogen dan asam laktat. Glikogen juga terdapat di dalam hati (Nurwantoro dan Mulyani, 2003).
Selain ke empat komponen kimia daging tersebut, yang paling banyak terdapat dalam daging adalah kadar airnya (Nurwantoro dan Mulyani, 2003). Maka dari itu kadar air dalam daging juga menentukan nilai nutrisi daging. Keberadaan molekul air dalam daging dikelompokkan menjadi 3, yaitu dalam bentuk air terikat (bound water), air yang tidak bergerak (immobilized water) dan air bebas (free water) (Forrest, 1975). Salah satu sifat fisik daging yang terkait dengan keberadaan air yaitu water holding capacity (WHC) dan kadar air. Besar ataupun kecilnya WHC ini, akan berpengaruh terhadap warna/colour, tekstur, kekenyalan (firmness), kesan jus (juiciness) dan keempukan (tenderness).
Faktor lain yang menentukan nilai nutrisi daging adalah jenis otot dan lama penyimpanan daging. Jenis otot yang berbeda mempunyai panjang sarkomer, sifat serabut dan fungsi yang berbeda. Adanya perbedaan ini dikarenakan adanya perubahan karakteristik
struktural, fungsional dan metabolik diantara otot sehingga terjadi perbedaan kadar protein otot (Soeparno, 2005). Hal ini juga didukung oleh Judge et al. (2003) bahwa nilai nutrisi dan kualitas daging juga dapat dipengaruhi oleh lokasi atau jenis otot daging. Jenis otot daging berpengaruh terhadap tingkat kesukaan konsumen terhadap daging. Daging yang berasal dari otot yang paha belakang cenderung memberikan tingkat konsistensi daging yang lebih tinggi, demikian sebaliknya, daging yang berasal dari jenis otot lamusir depan memiliki daging dengan tekstur yang lebih lembut (Suwiti et al., 2013). Selain itu, adanya perbedaan letak di antara otot tubuh sebagai otot rangka berkaitan dengan ukuran serat otot serta kandungan jaringan ikat (Lawrie, 2003).
Berkaitan dengan faktor penyimpanan, ada beberapa hal yang bisa dilakukan untuk mempertahankan nilai nutrisi dan kualitas daging. Salah satu caranya adalah dengan menyimpan pada suhu dingin. Menurut Schweigert (1991) penyimpanan dingin biasanya dilakukan dalam kisaran suhu -1°C sampai 4°C. Selain itu ada fenomena atau budaya dimasyarakat baik di pasar maupun di rumah, cenderung menyimpan dagingnya apabila belum laku dijual atau belum sempat dimakan. Lama penyimpanan juga berpengaruh terhadap nilai nutrisi atau kualitas daging. Adanya faktor-faktor yang mempengaruhi kerusakan daging itu sendiri yaitu jumlah mikroba awal, temperatur dan kelembaban selama penyimpanan, ada atau tidaknya pelindung (lemak atau kulit) (Soeparno, 2005).
Sampai saat ini belum ada penelitian yang membahas tentang pengaruh jenis otot (paha belakang dan lamusir depan) terhadap nilai nutrisi (kadar protein, kadar karbohidrat, kadar lemak, kadar abu dan kadar air daging), setelah disimpan dalam suhu dingin selama beberapa waktu.
METODE PENELITIAN
Materi Penelitian
Sampel yang digunakan adalah daging sapi bali yang berasal dari otot aktif (bicep femoris) dan otot pasif (rib eye) yang dibeli di pasar Swalayan, di daerah Denpasar. Pemeriksaan sampel daging dilakukan 6 kali (lama penyimpanan yaitu hari ke- 0, 1, 2, 3, 4, 5) sebagai perlakuan. Setiap kombinasi perlakuan, penelitian diulang sebanyak 3 kali, sehingga jumlah sampel keseluruhan sebanyak 2 ×3 ×6×5 = 180 sampel. Hari ke- 0 dimulai dari pengambilan sampel sampai dilakukan pengujian terhadap sampel dan waktunya tidak melebihi 12 jam. Penyimpanan dilakukan pada suhu dingin 4ºC. Kemudian dilakukan analisis di Laboratorium Analisis Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana di Kampus Sudirman Denpasar. Dilakukan pengujian terhadap nilai nutrisi yang meliputi uji kadar protein, uji kadar lemak, uji kadar karbohidrat, uji kadar abu dan uji kadar air.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola faktorial 2 x 6, yaitu 2 faktor jenis daging (berasal dari otot aktif dan otot pasif), dan 6 faktor lama penyimpanan (hari ke-0, 1, 2, 3, 4, 5). Sampel dibagi sesuai dengan lama penyimpanan hari ke- 0, 1, 2, 3, 4, 5. Kemudian dilakukan analisis terhadap nilai nutrisi yang meliputi uji kadar protein, uji kadar lemak, uji kadar karbohidrat, uji kadar abu dan uji kadar air.
Uji Protein
Cara pengujian Kadar protein ditetapkan dengan metode mikro Kjeldahl. Sampel sebanyak 0,1 g, dimasukkan ke dalam tabung reaksi, selanjutnya tambahkan tablet Kjeldahl 0,5 gram dan juga H2SO4 sebanyak 5 ml, kemudian didestruksi diruangan asam sampai sample terlihat berwarna bening
kemudian didinginkan dan ditambahkan akuades sebanyak 25 ml. Selanjutnya sampel yang terdapat pada tabung reaksi dituang ke dalam labu Kjeldahl lalu kembali ditambahkan akuades sebanyak 25 ml, NaOH 50% sebanyak 25 ml dan juga PP sebanyak 3 tetes. Kemudian didestilasi di atas kompor listrik. Untuk penampung destilat digunakan asam borat 3% sebanyak 10 ml sehingga setelah ditampung hasil destilat menjadi 50 ml. Setelah hasil destilat tertampung sebanyak 50 ml selanjutnya dititrasi menggunakan HCl 0,1 N (dari warna biru menjadi kuning muda) kemudian catat volume akhir titrasi setelah berubah warna. Blangko ditentukan dengan cara sama tanpa menambah contoh.Titik akhir dicapai pada saat larutan berwarna merah muda.Untuk menghitung kadar protein dipergunakan rumus sebagai berikut:
(ml sampel - ml blangko) × 14,008x N HCl
%N= × 100%
berat sampel
J? =%J? ×f k
Keterangan :
N = Konsetrasi HCl
B = Volume titran blanko (ml)
A = Volume titran contoh
Uji Lemak
Kadar lemak suatu bahan makanan dinyatakan dalam gram persen (g%), lemak yang ditentukan dengan metode Soxhlet adalah lemak total atau lemak kasar (crude fat).Pengujian dimulai dengan disiapkannya kertas saring dengan ukuran 11,7x14,5 cm. Kertas saring dikeringkan terlebih dahulu dalam oven dengan suhu 100-105oC selama 1 jam, kemudian dibekukan dalam eksikator selama 15 menit setelah itu kertas saring ditimbang. Sampel ditimbang seberat 3 g (A), kemudian sampel diletakkan di tengah-tengah kertas saring,kemudian kertas saring dilipat. Sampel yang ada dikertas saring dikeringkan ke dalam oven dengan suhu 100 – 105oC selama 4-6 jam, ditimbang dan dioven kembali hingga konstan. Setelah konstan, sampel dimasukan ke
dalam eksikator ± 15 menit, selanjutnya ditimbang (B). Proses selanjutnya adalah sampel dimasukkan ke dalam alat Soxhlet dengan cairan pelarut lemak dimasukan sebanyak ± 2,5-3 kali volume labu ekstrasi. Proses ini dilakukan selama ± 6 jam. Setelah 6 jam, sampel dikeluarkan dari alat dan diangin-anginkan ± 30 menit di udara terbuka, kemudian dioven ± 1 jam. Sampel dimasukkan ke dalam eksikator selama 15 menit lalu ditimbang kembali (C). Bobot dianggap konstan bila selisih penimbangan tidak melebihi 0,2 mg (Untoro et al., 2012). Untuk mendapatkan persentase kadar lemak dihitung menggunakan rumus sebagai berikut:
∙∙∙ (%) = ------—----× 100%
Uji Kadar Air
Pemeriksaan kadar air digunakan metode pengeringan atau oven (Thermogravimetri). Menurut Legowo (2005), prosedur dan perhitungan kadar air dengan metode pengeringan oven adalah sebagai berikut : pertama-tama disiapkan cawan porselin yang telah diberi kode sesuai kode sampel, kemudian dipanaskan dalam oven dengan suhu 100 – 105 °C selama sekitar 1 jam. Setelah 1 jam, cawan porselin diambil dan dimasukkan dalam eksikator ±15 menit, kemudian cawan porselin ditimbang. Sampel sebanyak 3 g ditimbang dalam cawan porselin yang telah diketahui beratnya. Kemudian dikeringkan dalam oven dengan suhu 100 –105 °C selama 4 - 6 jam, setelah di oven sampel ditimbang kembali hingga tercapai bobot konstan, jika belum konstan sampel dimasukan ke dalam oven lagi selama 1 jam, dimasukan eksikator, kemudian lakukan penimbangan hingga tercapai bobot konstan. Pengovenan dilakukan sampai bobotnya konstan. Bobot dianggap konstan apabila selisih penimbangan tidak melebihi 0,2 mg.
(' + ' ) - (' + ' h )
∙. =--------— ------------------- 100%
Keterangan :
KA : Kadar air
BC: Berat Cawan BS: Berat Sampel
Uji Kadar Abu
Pengujian kadar abu dilakukan dengan metode AOAC (1995). Sampel daging sapi bali seberat 3 g ditempatkan dalam cawan porselen yang berat kering totalnya sudah diketahui. Cawan porselin dioven selama 2 jam (menstabilkan berat cawan porselin) kemudian didinginkan di dalam eksikator lalu timbang berat cawan kosong. Masukkan sampel kemudian dibakar di atas kompor listrik sampai tidak berasap kemudian dimasukkan kedalam muffle dengan suhu 500-600oC sampai terbentuk abu berwarna putih (6-8 jam) selanjutnya didinginkan dan ditimbang berat abu dalam cawan. Untuk mendapatkan kadar abu dapat digunakan rumus:
, ^ a
>’ ;: =---------------.100%
B sc
Kadar Karbohidrat
Dalam menganalisis adanya karbohidrat daging digunakan teknik penghitungan menggunakan carbohydrat by different (AOAC, 1995).
K = 100 – (kadar air + kadar protein + kadar lemak + kadar abu)
Keterangan:
K: Kadar Karbohidrat
Analisis Data
Data hasil penelitian ini dianalisis dengan sidik ragam, jika hasilnya berbeda nyata dilanjutkan dengan menggunakan uji Duncan menggunakan perangkat SPSS.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian rerata nilai nutrisi yang meliputi kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak dan kadar karbohidrat selama penyimpanan, disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Rerata Nilai NutrisiDaging Sapi Bali Lokasi Otot Aktif dan Otot Pasif
Jenis Otot |
Kadar Air Kadar Abu |
Kadar |
Kadar |
Kadar | |
Daging |
Protein |
Lemak |
Karbohidrat | ||
Pasif |
72.9913 |
0.9007 |
14.9831 |
6.5431 |
4.3230 |
Aktif |
70.0899 |
0.9978 |
16.6092 |
6.3062 |
5.9903 |
Rataan |
71.5406 |
0.9493 |
15.7962 |
6.4247 |
5.1566 |
Berdasarkan Tabel 1. diperoleh hasil bahwa kadar air dan kadar lemak otot pasif lebih tinggi bila dibandingkan dengan kadar air dan kadar lemak otot pasif. Sedangkan kadar abu, kadar protein dan kadar karbohidrat otot pasif lebih rendah bila dibandingkan dengan kadar abu, kadar protein dan kadar karbohidrat otot aktif.
Kadar Air
Berdasarkan Gambar 1. nilai kadar air pada otot aktif lebih rendah bila dibandingkan dengan kadar air pada otot pasif selama penyimpanan hari ke-0, ke-1, ke-2, ke-3, ke-4 dan ke-5. Faktor-faktor yang mempengaruhi kadar air daging adalah spesies ternak, umur, jenis kelamin, pakan serta lokasi dan fungsi bagian-bagian otot dalam tubuh. Menurut Soeparno (2005) yang menyatakan bahwa kadar air daging berkisar antara 60-85%, kadar air daging sapi pada hasil penelitian ini masih memenuhi standar ini.
Gambar 1. Kadar air daging sapi bali pada lokasi otot aktif dan otot pasif pada penyimpanan suhu dingin selama 0-5 hari
Berdasarkan hasil yang diperoleh bahwa jenis otot berpengaruh nyata
(P<0,05) terhadap kadar air. Jenis otot aktif memiliki kadar air yang lebih rendah apabila dibandingkan dengan ototpasif. Hal ini dikarenakan daya mengikat air yang berbeda dari setiap lokasi otot, seperti yang dikemukakan Soeparno (2005) yang kemudian daya mengikat air ini bisa dipengaruhi oleh faktor pakan, transportasi, pemasakan, jenis otot, suhu, kelembaban, penyimpanan dan preservasi.
Selama penyimpanan terjadi peningkatan kadar air hal ini dapat disebabkan oleh daya ikat air yang dipengaruhi oleh pH daging dimana air yang tertahan didalam otot meningkat sejalan dengan naiknya pH, walaupun kenaikannya kecil. Sebaliknya laju penurunan pH otot yang cepat akan mengakibatkan daya ikat air menjadi rendah (Soeparno, 2009). Hal ini disebabkan karena rendahnya nilai pH daging mengakibatkan struktur daging terbuka sehingga menurunkan daya ikat air dan tingginya nilai pH daging mengakibatkan struktur daging tertutup sehingga daya ikat air tinggi. Daya mengikat air (DMA) merupakan kemampuan daging untuk mempertahankan kandungan airnya selama mengalami pemanasan, penggilingan dan pengolahan (Forest et al., 1975). Semakin besar DMA, mengikat air yang tinggi terjadi karena asam laktat yang dihasilkan dalam proses glikolisis (perubahan glikogen menjadi asam laktat) menyebabkan ruang antar filamen dalam protein miofibril melebar sehingga diameter miofibril meningkat. Ion OH- dari asam laktat (CH3COOH)
mengakibatkan filamen protein bermuatan negatif dan terjadi tolak menolak, ruangan semakin besar sehingga air menjadi terikat (DMA besar) (Ockerman, 1983).
Kadar Abu
Pada Gambar 2 diperoleh hasil bahwa kadar abu otot aktif lebih tinggi bila dibandingkan dengan otot pasif pada hari ke-0 sampai hari ke-5 selama penyimpanan. Selain itu dari kurva ini juga diperoleh hasil bahwa kadar abu kedua otot ini mengalami penurunan selama masa penyimpanan. Kadar abu suatu bahan pangan menunjukkan besarnya jumlah mineral yang terkandung dalam bahan pangan tersebut. Kadar abu adalah sisa yang tertinggal bila suatu sampel bahan pangan dibakar sempurna di dalam tungku pengabuan.
Gambar 2. Kadar abu daging sapi bali pada lokasi otot aktif dan otot pasif pada penyimpanan suhu dingin selama 0-5 hari
Kadar abu menggambarkan banyaknya mineral yang tidak terbakar menjadi zat yang mudah menguap. Menurut Eko dan Subandriyo (2004) kadar abu daging sapi bali berkisar antara 1,17-1,78%. Daging yang memiliki kadar lemak yang rendah maka relatif mengandung mineral yang tinggi. Kadar lemak pada penelitian ini lebih tinggi dari standar Eko dan Subandriyo (2004) hal inilah yang menyebabkan kadar abu pada penelitian ini akan lebih rendah dari standar tersebut.
Selama lama penyimpanan kadar abu mengalami penurunan yang tidak nyata (P>0,05). Tidak berbedanya kadar abu daging selama penyimpanan ini dikarenakan kadar abu pada daging menurut Judge dkk. (1989) relatif konstan yaitu 1,0%. Jenis otot aktif memiliki kadar abu lebih tinggi bila dibandingkan dengan otot pasif. Otot aktif memiliki kadar abu lebih tinggi karena bagian daging ini tergolong jaringan yang keras dibandingkan otot pasif yang proteinnya lebih rendah sehingga lebih lunak, hal ini juga dibenarkan oleh Sediaoetama (2004) yang menyatakan bahwa keberadaan mineral Ca pada jaringan keras sebanyak 90% dan jaringan lunak sebanyak 10%.
Kadar Lemak
Gambar 3. menunjukkan kadar lemak otot aktif lebih rendah bila dibandingkan dengan kadar lemak pada otot pasif dari penyimpanan hari ke- 0 sampai hari ke- 3. Akan tetapi pada hari ke- 4-5 kadar lemak otot aktif lebih
tinggi bila dibandingkan dengan kadar lemak otot pasif.
Gambar 3. Kadar lemak daging sapi bali pada lokasi otot aktif dan otot pasif pada penyimpanan suhu dingin selama 0-5 hari
Keadaan status gizi ternak semasa hidup juga berpengaruh pada kualitas dagingnya diantaranya ada faktor tipe ternak, pakan, genetik dan perbedaan
faktor lainnya. Maka dari itu faktor-faktor ini juga turut mempengaruhi penimbunan lemak dari daging semasa hidup. Kadar lemak daging secara umum berkisar antara 2,5 (1,5-13) % tergantung jenis, spesies, umur, dan aktivitas ternak (Soeparno, 2005).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa jenis otot tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap kadar lemak daging sapi bali. Tidak berbedanya kadar lemak daging sapi pada hasil penelitian ini karena kemungkinan umur sapi masih muda sehingga laju penimbunan lemak belum maksimal. Sebagaimana pernyataan Soeparno (2005), bahwa lemak merupakan jaringan tubuh yang laju pertumbuhan berada pada urutan terakhir setelah jaringan saraf, tulang dan otot.
Dari hasil sidik ragam kadar lemak diperoleh hasil bahwa lama penyimpanan berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap kadar lemak daging sapi bali. Selama penyimpanan suhu dingin (4°C) kadar lemak mengalami penurunan, hal ini terjadi karena penyimpanan daging pada suhu dingin dapat meningkatkan kadar air daging, seperti yang dikemukakan Judge et al., (1989) bahwa kadar lemak berbanding terbalik dengan kadar air. Kadar lemak pada kedua jenis otot ini memiliki kadar lemak yang lebih tinggi dari standar kadar lemak daging sapi bali yang dikemukakan oleh Eko dan Subandriyo (2004) yaitu 2,01 -6,86. Akan tetapi kadar lemak dari hasil penelitian ini masih sesuai dengan standar yang dikemukakan Soeparno (2005)bahwa kadar lemak sapi berkisar antara (1,513%).
Kadar Protein
Gambar 4. diperoleh hasil bahwa kadar protein otot aktif lebih tinggi bila dibandingkan dengan kadar protein pada otot pasif selama masa penyimpanan. Keduanya mengalami penurunan kadar protein selama masa penyimpanan. Setelah dilakukan penyimpanan selama
lima hari, diperoleh hasil keduanya baik otot aktif maupun otot pasif mengalami penurunan kadar protein, akan tetapi lama penyimpanan tidak berpengaruh nyata (P>0,05) sehingga tidak terjadi penurunan yang nyata (P>0,05). Penurunan kadar protein selama masa penyimpanan dapat dipengaruhi oleh terjadinya penurunan pH pada saat pembentukan asam laktat sehingga terjadi penurunan daya ikat air dan banyak air yang bergabung dengan protein otot bebas keluar dari serabut otot .
Pernyataan ini diperkuat oleh Soeparno (1998) bahwa penurunan pH yang cepat, misalnya karena pemecahan ATP yang cepat, akan meningkatkan kontraksi aktomiosin dan menurunkan daya mengikat protein.
Gambar 4. Kadar protein daging sapi bali pada lokasi otot aktif dan otot pasif pada penyimpanan suhu dingin selama 0-5 hari
Selain itu jenis otot berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap kadar protein daging. Adanya perbedaan kadar protein pada kedua otot tersebut selain disebabkan oleh adanya perbedaan kadar lemak, kemungkinan juga disebabkan oleh perbedaan aktivitas enzim-enzim protein otot (Nur dkk.,2012). Faktor lain yang menyebabkan perbedaan kadar protein adalah adanya perbedaan protein jaringan ikat dari otot. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Lawrie (2003) bahwa terdapat perbedaan protein jaringan ikat antara otot yang berbeda, oleh karena itu kadar protein otot aktif lebih tinggi bila
dibandingkan dengan kadar protein otot pasif . Menurut Hasnudi (2005), sifat dan komposisi kimia daging bervariasi antara lain tergantung kepada letak dan fungsi daging di dalam tubuh. Daging yang terdapat pada organ gerak aktif mengandung kadar protein relatif lebih tinggi dibandingkan daging yang terdapat pada organ yang relatif pasifbergerak seperti pada bagian leher dan rusuk atau pasif.
Kadar Karbohidrat
Gambar 5. terlihat kadar karbohidrat otot aktif lebih tinggi bila dibandingkan dengan otot pasif akan tetapi sebaliknya pada penyimpanan hari ke-2. Karbohidrat pada daging terdapat dalam bentuk glikogen sebanyak 0,8% dari berat daging, glukosa 0,1% dan karbohidrat hasil intermediet dari metabolisme sel (Aberle et al., 2001).
Iama simpan
Gambar 5. Kadar karbohidrat daging sapi bali pada lokasi otot dan otot pasif penyimpanan suhu dingin selama 0-5 hari
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh jenis otot berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap kadar karbohidrat daging. Kadar karbohidrat otot aktif lebih tinggi dibandingkan kadar karbohidrat ototpasif. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh paha belakang dan sengkel merupakan organ yang relatif paling aktif bergerak dibandingkan leher
dan rusuk (campuran) serta paha depan, sehingga karbohidrat yang berbentuk glikogen akan diubah menjadi asam laktat dan energi melalui proses glikolisis, sehingga kadar karbohidrat yang terukur menjadi lebih rendah (Fatriani, 2003). Hasil penelitian ini juga menunjukkan penurunan selama hari penyimpanan tertentu akan tetapi naik pada hari tertentu. Kadar karbohidrat ditentukan dari hasil pengurangan 100 % dengan kadar air, kadar abu, kadar lemak dan kadar protein (carbohydrat by difference) sehingga kadar karbohidrat sangat tergantung dari faktor pengurangannya (AOAC, 1995).
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa kadar abu, kadar protein dan kadar karbohidrat otot aktif berbeda nyata dengan otot pasif. Kadar abu, kadar protein dan kadar karbohidrat otot aktiflebih tinggi bila dibandingkan dengan nilai kadar otot pasif. Sedangkan kadar lemak dan kadar air otot aktif lebih rendah bila dibandingkan dengan kadar lemak serta kadar air otot pasif. Lebih lanjut lama penyimpanan tidak berpengaruh nyata menurunkan kadar abu dan kadar protein. Akan tetapi lama penyimpanan berpengaruh nyata meningkatkan kadar air dan kadar karbohidrat serta berpengaruh nyata menurunkan kadar lemak daging pada kedua otot.
Saran
Disarankan agar tidak melakukan penyimpanan daging melebihi hari ke-5 pada suhu dingin 4°C. Hal ini dikarenakan setelah penyimpanan hari ke-5 akan terjadi perubahan nilai nutrisi daging.
UCAPAN TERIMA KASIH
Peneliti mengucapkan terimakasih kepada Pusat Kajian Sapi Bali Universitas Udayana yang telah mendukung dan memfasilitasi penelitian ini. Ucapan terimakasih juga ditujukan kepada mahasiswa FKH Udayana yang telah membantu dalam pengambilan sampel.
DAFTAR PUSTAKA
Aberle ED, Forrest JC, Gerrard DE, Mills EW. 2001. Principles of Meat Science. Fourth Ed. Kendal/Hunt Publishing Company, America.
Alvarado C, McKee S. 2007. Marination to improve functional properties and safety of poultry meat. J Appl Poult Res, 16:113-120
Amrih P, Kendriyanto. 2009.
Karakteristik kimia dan mikrostruktur otot longissimus dorsi dan bicep femoris dar sapi glnggong. Buletin Peternakan, 33(1): 23-29.
AOAC (Association of Official
Analytical Chemist). 1995. Official Methods of Analysis of The association of Analytical Chemist. Washington D.C.
Batan IW. 2006. Sapi Bali dan Penyakitnya. Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana, Denpasar
Dewi SHC. 2013. Kualitas kimia daging ayam kampung dengan ransum berbasis konsentrat broiler. J Agrisains, 4(1): 6-11.
Eko H, Subandriyo. 2004. Potensi dan Keragaman Sumberdaya Genetik Sapi Bali. Bogor
Fatriani Y. 2003. Evaluasi penambahan tepung tapioka dan es batu pada berbagai tingkat yang berbeda terhadap kualitas bakso sapi. Skripsi.
Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor
Forrest JC, Aberle ED, Hedrick HB, Judge MD, Markel RA. 1975. Principles of Meat Science.WH. Freeman and Company.
Gustiani E. 2009. Pengendalian cemaran mikroba pada bahan pangan asal ternak (daging dan susu) mulai dari peternakan sampai dihidangkan. J Litbang Pertanian, 28(3): 96-100.
Lawrie RA. 2003. Ilmu Daging. 5thEd. Penerjemah Aminuddin Parakkasi Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta
Legowo AM, Nurwantoro, Sutaryo. 2005. Analisis Pangan. Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang
Muliansyah. 2012. Berbagai Jenis Kemasan Plastik terhadap Sifat Biokimia Buah Rambutan Terolah Minimal. J Ilmiah Agripet Pertanian, 5(11).
Nurwantoro, Mulyani S. 2003. Dasar Teknologi Hasil Ternak. Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro, Semarang.
Ockerman C. 1983. Chemistry of Meat Tissue. Tenth ed. Dept. of Animal Science The Ohio State University and The Agricultural Research and Development Center. United States of America.
Prasetyo E, Nuhriawangsa AMP, Swastike W. 2012. Pengaruh Lama Perebusan terhadap Kualitas Kimia dan Organoleptik Abon dari Bagian Dada dan Paha Ayam Petelur Afkir. Sains Peternakan, 10 (2): 108-114.
Rahim S. 2009. Pengaruh Jenis Otot dan Lama Penyimpanan terhadap Kualitas Daging Sapi. Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Peternakan 12:2
Soeparno. 2009. Ilmu dan Teknologi Daging. 5th Ed. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Suwiti NK, Suastika P, Swacita IBN, Piraksa IW. 2013. Proseding Seminar Nasional Sapi Bali, Tingkat Kesukaan Wisatawan Asing di Bali terhadap Daging Sapi Bali dan Wagyu:.42
Swatland HJ.1984. Structure and Development of Meat Animals. Prentice-Hall Inc.Englewood, New Jersey
Schweigert P. 1991. Meat Science and Technology. The Science of Meat and Meat Product.WH Freemen Co, San Fransisc
Untoro NS, Kusrahayu, Setiani BE. 2012. Kadar air, Kekenyalan, Kadar Lemak dan Citarasa Bakso Daging Sapi dengan Penambahan Ikan Bandeng Presto. J Anim Agric, 1(1): 567-583.
Wang RR, Pan XJ, Peng ZO. 2009. Effect of Heat Exposure on Muscle Oxidation and Protein Functionalities of Pectoralis Major in Broiers. Poult Sci, 88: 1078-1084.
Widati AS. 2008. Pengaruh Lama Pelayuan Temperatur Pembekuan dan Bahan Pengemas terhadap Kualitas Kimia Daging Sapi Beku. J Ilmu Teknologi Hasil Ternak, 3(2): 39-49.
144
Discussion and feedback