Buletin Veteriner Udayana

ISSN : 2085-2495

Vol. 3 No.1. :17-24

Pebruari 2011

GAMBARAN PATOLOGI PARU-PARU PADA ANJING LOKAL BALI YANG TERINFEKSI PENYAKIT DISTEMPER

(PATHOLOGICAL CHANGES ON BALINESE LOCAL DOG’S LUNG INFECTED WITH CANINE DISTEMPER DISEASE)

I Made Kardena, IB Oka Winaya, I Ketut Berata

Laboratorium Patologi Veteriner

Fakultas Kedokteran Hewan – Universitas Udayana

Email: [email protected]

ABSTRAK

Penyakit distemper merupakan penyakit yang sangat infeksius. Berbagai jenis anjing sangat rentan terhadap penyakit ini, termasuk anjing lokal di Bali. Penelitian ini menggunakan sepuluh anjing lokal Bali yang terinfeksi penyakit distemper secara alami dan telah terkonfirmasi positif dengan uji RT-PCR. Hasil nekropsi menunjukkan 8 dari 10 sampel anjing mengalami perubahan patologi anatomi pada organ paru-parunya berupa terjadi perubahan warna dan tampak menjadi lebih besar. Perubahan warna yang terjadi pada organ tersebut teramati menjadi lebih pucat atau bahkan lebih gelap; sedangkan secara histopatologi, semua sampel anjing mengalami penebalan yang disertai infiltrasi berat sel-sel radang di daerah septa alveoli paru-paru. Hal ini menunjukkan infeksi virus distemper pada anjing lokal di Bali dapat mengakibatkan reaksi peradangan di daerah paru-paru yang berupa munculnya pneumonia interstitialis. Perubahan ini dapat menjadikan indikasi terhadap gejala klinis berupa gangguan pernapasan yang disertai adanya eksudat mukopurulen.

Kata kunci: patologi paru-patu, anjing lokal, distemper pada anjing

ABSTRACT

Canine distemper is a contagious disease, which can infect any dog species including domestic dog in Bali. This research used ten domestic dogs in Bali, which were naturally infected with canine distemper virus and have been positively confirmed by laboratory test using RT-PCR method. Lung tissue changes have been identified on gross pathological observation, i.e.: on average the lungs were changed in color and size. The lungs mainly changed into pale or darker; in addition, the lungs tended to become bigger. Mean while, the septa alveoli of the lungs observed thicker and were infiltrated by inflammatory cells. This tissue changes indicated that canine distemper virus which infected domestic dog in Bali caused inflammatory reaction in lung, which is known as interstitial pneumonia interstitial. These changes implied to be related to the disturbance of the respiration tract, which was accompanied by mucus-purulent exudates.

Keywords: lung pathology, domestic dog, canine distemper

PENDAHULUAN

Distemper pada anjing merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus RNA dari genus morbili virus dan tergolong ke dalam famili Paramixoviridae. Penyakit ini termasuk salah satu penyakit yang bersifat sangat menular dengan angka morbiditas dan mortalitasnya cukup tinggi (Pomeroy et al, 2008). Virus penyebab penyakit distemper ini dapat menyerang semua umur berbagai kelompok hewan dari famili canidae, dengan gejala klinis yang bervariasi. Variasi gejala klinis mulai dari subklinis, gangguan pernafasan, gangguan saluran cerna, sampai dengan adanya gangguan syaraf yang bersifat fatal (Zhao et al, 2009).

Secara patologi, anjing yang terinfeksi virus distemper dapat menyebabkan multi-sistemik infeksi. Gambaran klinis darah perifer dari anjing yang terinfeksi virus ini mula-mula mengakibatkan terjadinya lymphopenia, walaupun pada tingkat sub akut sampai kronis diikuti dengan meningkatnya jumlah monosit / peripheral blood mononuclear cells (Nielsenet al, 2009).

Penyebaran umumnya dimulai dari virus yang terinhalasi oleh anjing. Pada peradangan akut, virus akan menginfeksi dan bereplikasi pada sel makrofag dan limfosit pada daerah saluran pernafasan yang selanjutnya akan menyebar ke seluruh tubuh melalui aliran darah. Pada

anjing yang telah terinfeksi akan tampak lesu, depresi, anoreksia, eksesif discharge pada bagian naso-ocular serta tidak jarang diikuti dengan gejala diare (Lan et al, 2006). Pada stadium kronis anjing penderita akan tampak inkoordinasi sampai tidak mampu mengontrol mikturisi. Hal ini disebabkan adanya kerusakan pada sel-sel otak dan bahkan bisa menimbulkan kematian pada sel-sel tersebut (Rudd et al, 2009).

Kerusakan sel-sel otak yang terjadi pada infeksi penyakit distemper anjing dikarenakan reaksi demyelinisasi pada syaraf pusat akibat reaksi radang. Secara histopatologi, otak akan tampak terjadi peningkatan infiltrasi sel-sel glia yang diikuti dengan peningkatan kadar sitokin karena pengaruh reaksi radang pada daerah tersebut (Stein et al, 2008).

Umumnya perubahan-perubahan organ pada pengamatan post mortem dapat terjadi pada keadaan infeksi yang berlangsung pada tahapan sub akut sampai kronis. Gejala patognomonis dari penyakit ini akan tampak lebih jelas terlihat pada kira-kira satu atau dua minggu pasca infeksi. Pada periode ini paru-paru akan tampak adanya zona nekrotik atau infark; sedangkan pada saluran pencernaan akan mengalami enteritis haemoragi, yang juga akan tampak pada saluran urinaria terutama pada vesika urinaria yang tampak mengalami peradangan serta pada daerah mukosanya akan terlihat adanya

hemoragi. Organ-organ limfatik juga akan mengalami perubahan berupa proloferasi limfoid. Menurut Liang et al (2007), anjing yang terinfeksi penyakit distemper, virusnya dapat terdeteksi pada organ limfatik seperti: limpa, limfonodus dan juga tonsil.

Pada beberapa kasus anjing yang terinfeksi penyakit distemper, perubahan dapat terjadi di berbagai organ yang diikuti dengan adanya eksudat pada organ tempat virus distemper berpredisposisi, misalnya pada saluran cerna, terutama usus halus, radang kataral hingga mukopurulen sering ditemukan. Tidak jarang peradangan dengan kandungan eksudat yang sama juga dapat ditemukan pada saluran pernafasan (Rodriguez-Tovar et al, 2007).

Pada paru-paru, agen infeksi yang masuk secara aerogen mula-mula akan menginfeksi saluran pernafasan bagian atas, lalu berlanjut ke bagian bronkus, bronkiulus kemudian meluas ke bagian alveoli paru-paru. Secara mikroskopis, paru-paru dari hewan yang terinfeksi akan tampak mengalami peradangan. Pneumonia interstitialis akan teramati pada paru-paru yang diikuti dengan banyak infiltrasi sel-sel radang. Bila berlangsung kronis, reaksi peradangan akan meluas sampai ke bagian alveoli. Apabila terjadi infeksi sekunder terutama terinfeksi oleh bakteri pyogenes, peradangan dengan eksudat purulen dapat

juga terjadi pada organ ini (Chvala et al, 2007).

Studi tentang perubahan histopatologi paru-paru terhadap anjing lokal yang terinfeksi virus distemper di Bali belum pernah dilakukan. Tulisan ini diharapkan dapat memberikan acuan terhadap perubahan jaringan yang terjadi pada anjing lokal di Bali yang terinfeksi virus distemper. Khususnya, perubahan yang terjadi pada tingkat jaringan / sel dengan melakukan pengamatan secara patologi anatomi dan histopatologi terhadap jaringan dari organ paru-paru pada anjing lokal yang terinfeksi virus distemper di Bali.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Patologi Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Udayana dengan menggunakan sepuluh sampel anjing lokal dari berbagai daerah di Bali, dengan kisaran umur 3 – 6 bulan yang diperoleh dari data kasus di laboratorium Patologi Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Udayana pada tahun 2009. Semua sampel yang digunakan dalam penelitian ini memiliki sejarah belum pernah divaksinasi distemper. Namun, semua sampel telah menunjukkan gejala klinis penyakit distemper berupa demam, lemah, anorexia, adanya eksudat muko-purulen di daerah mata dan hidung, serta adanya diare sebelum dinekropsi. Pustula pada daerah kulit di bagian abdomen juga

teramati, walaupun tidak semua sampel menunjukkan gejala ini. Semua sampel telah terkonfirmasi positif terinfeksi virus distemper sesuai dengan hasil uji RT-PCR di Laboratorium Biomedik, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Udayana.

Nekropsi dilakukan terhadap semua sampel anjing untuk pengamatan perubahan patologi anatomi. Selanjutnya, dilakukan pengambilan spesimen organ yang disimpan ke dalam larutan fiksatif, neutral buffer formalin. Kemudian dilakukan tissue processing, lalu diikuti dengan proses pewarnaan menggunakan metode rutin Hematoxillin dan Eosin. Pengamatan histopatologi spesimen terhadap perubahan jaringan yang terjadi dilakukan dengan menggunakan mikroskop binokuler dalam 5 lapang pandang dengan pembesaran objektif 10X dan 40X.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dari hasil pengamatan terhadap seluruh sampel organ paru-paru yang diambil tampak adanya perubahan warna, dan ukuran organ, walaupun konsistensi dan bentuk dari semua sampel organ ini relatif masih normal. Organ paru-paru secara umum tampak mengalami perubahan warna menjadi lebih merah, bahkan ada beberapa sampel organ ditemukan beraspek lebih pucat dan kehitaman.

Begitu pula ukurannya cenderung menjadi lebih besar dengan konsistensi

yang bervariasi dari kenyal sampai agak keras.

Gambar 1. Pemeriksaan makroskopis paru-paru anjing lokal yang terinfeksi virus distemper. Organ tampak pucat disertai beberapa aspek merah gelap.

Gambar 2. Pemeriksaan mikroskopis paru-paru anjing lokal di Bali yang terinfeksi penyakit distemper. Tampak septa alveoli mengalami penebalan dan terinfiltrasi oleh sel-sel radang.(H&E;400x)

Gambar 3. Adanya benda inklusi pada sel epithel bronkus dari paru-paru anjing lokal di Bali yang terinfeksi virus distemper. (H&E, 400x)

Perubahan warna menjadi lebih merah yang terjadi pada organ paru-paru pada kasus distemper anjing dapat disebabkan oleh reaksi peradangan yang terjadi pada organ tersebut. Agen asing yang masuk ke dalam tubuh dapat direspon sebagai antigen oleh tubuh individu itu sendiri yang berdampak terhadap aktivasi respon imunitas tubuh. Dalam hal reaksi imun, mula-mula akan terjadi respon yang non spesifik, berupa reaksi radang. Menurut Gershwin, et al (1995), bila tubuh suatu individu dimasuki agen asing, maka tubuh individu tersebut akan bereaksi mengaktifkan sistem pertahanan tubuhnya, misalnya dengan mengaktivasi proses peradangan dalam rangka mengeliminasi agen asing tersebut dan memperbaiki jaringan yang rusak akibat infeksi agen asing atau diakibatkan oleh reaksi radang yang ditimbulkan sebelumnya.

Antigen yang dalam hal ini adalah virus distemper dalam perjalanannya menginfeksi secara aerogen mampu masuk ke saluran pernafasan dan menyerang sampai dengan organ paru-paru anjing. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Damian, et al (2005) dimana dari hasil uji laboratorium dengan metode immunohistokimia, teridentifikasi adanya virus distemper yang menginfeksi saluran pernapasan, termasuk paru-paru. Hal yang sama juga diperoleh dari penelitian Saito, et al (2006), yakni dengan metode

Uji RT-PCR memberikan hasil positif terhadap sampel paru-paru anjing yang menunjukkan gejala klinis penyakit tersebut.

Reaksi peradangan akut dapat terjadi pada organ paru-paru anjing yang terinfeksi virus distemper terutama pada minggu pertama setelah terinfeksi. Reaksi peradangan akut ini dapat mengakibatkan pembuluh darah yang berada di daerah septa alveoli mengalami peningkatan permeabilitas dan bervaso-dilatasi untuk mengaktivasi sel-sel pertahanan tubuh lalu bermigrasi keluar vaskuler yang selanjutnya melakukan reaksi berupa fagositosis atau ke tingkat imunitas yang lebih spesifik. Vaso-dilatasi vaskuler inilah menyebabkan volume darah yang ada di sekitar jaringan yang mengalami peradangan bertambah, sehingga organ paru-paru tampak kemerahan atau mengalami hyperemia. Cheville (1999) menyebutkan hyperemia pada suatu organ atau jaringan terjadi karena kapiler-kapiler yang ada pada organ / jaringan tersebut berdilatasi. Bila hal ini terjadi, maka organ atau jaringan tersebut akan tampak mengalami kemerahan.

Perubahan warna yang beraspek pucat atau bahkan kehitaman dapat pula terjadi pada suatu organ, tidak terkecuali paru-paru. Perubahan ini dapat terjadi karena sel-sel atau jaringan pada suatu organ telah mengalami nekrosis. Nekrosis yang terjadi pada tingkat sel dari organ paru tanpa diikuti dengan hemoragi dapat

menyebabkan aspek perubahan warna jaringan menjadi lebih pucat. Sebaliknya, apabila kematian sel / jaringan yang disertai dengan adanya perdarahan, maka perubahan warna organ dapat teramati menjadi lebih gelap. Menurut Norman (1999), nekrosis merupakan kematian sel yang dapat meluas menjadi kematian jaringan, dan bila terjadi pada suatu organ dapat menyebabkan perubahan warna pada organ tersebut. Aspek perubahan warna tergantung dari tipe nekrosis yang menyertai. Biasanya organ yang jaringan atau sel-sel penyusunnya mengalami kematian akan beraspek lebih pucat atau lebih gelap dari aspek normal organ tersebut.

Ukuran paru-paru dari anjing yang terinfeksi virus distemper cenderung mengalami pembesaran. Hal ini juga dapat disebabkan oleh karena reaksi peradangan yang terjadi pada organ tersebut. Secara patologi anatomi organ paru-paru tampak lebih besar akibat kapiler-kapiler yang ada pada organ paru-paru mengalami vaso-dilatasi untuk mengaktivasi sel-sel radang dalam rangka bermigrasi ke daerah interstitial untuk melakukan fungsinya, baik melakukan fagositosis atau sebagai agen chemo-attractan untuk menarik sel-sel radang yang lain ke daerah yang mengalami peradangan (Wenzlow,et al., 2007).

Selain itu, adanya perubahan ukuran dimana paru-paru tampak menjadi lebih besar, karena pada proses peradangan,

pembuluh-pembuluh darah yang mensuplai organ paru-paru juga cenderung mengalami peningkatan permeabilitas, sehingga bukan hanya sel-sel darah yang mampu berdiapedesis keluar vaskuler, tetapi plasma darah juga mampu merembes keluar dari pembuluh darah. Jika akumulasi cairan plasma terjadi secara terus-menerus akan dapat menyebabkan terjadinya penimbunan cairan pada paru-paru dan terjadilah keadaan yang secara patologis disebut sebagai edema pulmonum (McGavin, et al., 2001).

Delapan dari sepuluh sampel anjing mengalami kongesti pada organ otak. Perjalanan virus distemper pada anjing bervariasi dan sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya daya tahan tubuh dari anjing yang terinfeksi virus distemper saat itu, sehingga sangat mempengaruhi waktu inkubasi dari penyakit ini. Rata- rata daya inkubasi dari penyakit distemper pada anjing berkisar antara 3 hari sampai dengan 1 minggu sebelum timbulnya gejala klinis. Masa inkubasi akan berakhir kira-kira 2 – 4 minggu yang dipengaruhi oleh daya tahan dari anjing yang terinfeksi. Umumnya bagi anjing yang kurang daya tahan tubuhnya akan dapat menimbulkan kematian; begitu pula sebaliknya apabila daya tahan tubuh anjing tersebut baik, maka bisa recovery dari infeksi virus distemper (Guiserix, et al., 2007). Daya tahan tubuh disini, lebih dimaksudkan

dengan aktifnya sel-sel pertahanan tubuh untuk melawan infeksi virus yang terjadi, termasuk aktivasi dari organ-organ limfoid untuk mengaktifkan sel-sel pertahanan tubuh dari anjing yang terpapar virus distemper.

Hubungan antara peradangan yang terjadi pada paru-paru dengan gejala klinis berupa adanya gangguan pernapasan yang disertai dengan adanya eksudat muko-purulent.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Infeksi virus distemper pada anjing lokal di Bali dapat mengakibatkan perubahan patologis pada organ paru-paru berupa pneumonia interstitialis. Perubahan secara makroskopis pada organ paru-paru berupa adanya perubahan warna dan ukuran walaupun secara konsistensi masih relatif normal; sedangkan secara histopatologi organ ini banyak diinfiltrasi sel-sel radang, terutama di daerah interstitial paru-paru.

Saran

Perubahan patologis pada organ paru-paru anjing lokal Bali yang diakibatkan oleh infeksi virus distemper merupakan salah satu perubahan yang terjadi dari berbagai organ dari anjing lokal Bali yang terinfeksi penyakit ini. Ada berbagai perubahan organ dan jaringan lain yang perlu dikaji dalam penelitian berikutnya

sehingga diharapkan mampu memberikan informasi yang lebih akurat mengenai patogenesis dari infeksi virus distemper.

DAFTAR PUSTAKA

Cheville, N. F. (1999). Introduction to Veterinary Pathology. Iowa, USA, Iowa State University Press.

Chvala, S., Benetka, V., Mostl, K., Zeugswetter, F., Spergser, J., Weissenbock, H. (2007). “Simultaneous Canine Distemper Virus, Canine Adenomavirus Type 2, and Mycoplasma cynos Infection in a Dog with Pneumonia ” Veterinary path. 44(4): 508-512.

Damian, M., Morales, E., Salas, G., Trigo,          F.J.          (2005).

“Immunohistochemical detection of Antigens      of      Distemper,

Adenovirusand Parainfluenza Viruses in Domestic Dogs with Pneumonia.” Journal            of

Comparative Pathology 133(4): 289-293.

Gershwin, L. J., Krakowka, S., Olsen, R.G. (1995). Immunology and Immunopathology of Domestic Animals. Missouri, Mosby-Year Book Inc.

Guiserix, M., Bahi-Jaber, N., Fouchet, D., Sauvage, F., Pontier, D. (2007). “The Canine Distemper Epidemic in Serengeti: are Lions Victims of a new Highly Virulent Canine Distemper Virus Strain, or is Pathogen              Circulation

Stochasticity?” Journal of The Royal Society 4(17): 1127-1134.

Lan, N. T., Yamaguchi, R., Inomata, A., Furuya, Y., Uchida, K., Sugano, S., Tateyama, S. (2006). “Comparative analysis of Canine Distemper Viral Isolated from Clinical Cases of Canine Distemper in Vaccinated Dogs.” Veterinary Microbiology 115(1-3): 32-42.

Liang, C. T., Chueh, L.L., Pang, V.F., Zhuo, Y.X., Liang, S.C., Yu, C.K., Chiang, H., Lee, C.C., Liu, C.H. (2007). “A Non-biotin Polymerized Horseradish-peroxidase Method for the Immuno histochemical Diagnosis of Canine Distemper. ” Journal of Comparative Pathology 136(1): 57-64.

McGavin, M. D., Carlton, W., Zachary, J.F. (2001). Thomson’s Special Veterinary Pathology. Missouri, USA, Mosby, Inc.

Nielsen, L., Sqgaard, M., Jensen, T.H., Andersen, M.K., Aasted, B., Blixencrone-Mqller, M. (2009). “Lymphotropism and host responses during acute wild-type canine distemper virus infections in a highly susceptible natural host.” Journal of General Virology 90: 2157-2165.

Pomeroy, L., Bjornstad, O., Holmes, E. (2008). “The Evolutionary and Epidemiological Dynamics of the Paramyxoviridae.” Journal of Molecular Evolution 66(2): 98-106.

Ridriguez-Tovar, L. E., Ramirez-Romero, R., Valdes-Nava, Y., Navares-Garza, A.M., Zarate-Ramos, J.J, Lopez, A. (2007). “Combined Distemper-Adenoviral Pneumonia in Dog.”The Canadian Veterinary Journal 48(6): 632-634.

Rudd, A. P., Bastien-Hamel, L., Messiling, V. (2009). “Acute Canine Distemper Enchephalitis is Associated with rapid neuronal loss and        local        immune

Saito, T. B., Alfeieri, A.A., Wosiacki, F.J., Morais, H.S.A. (2006). “Detection of Canine Distemper Virus by Reverse Transcriptase – Polymerase Chain Reaction in the Uterine of Dog with Clinical Signs of Distemper Encephalitis. ” Research in Veterinary Science 80(1): 116-119.

Stein, V. M., Schreiner, N.M.S., Moore, P.F., Vandevelde, M., Zurbriggen, A., Tipoid, A. (2008). “Immunophenotypical Characterization of Monocytes in Canine Distemper Virus Infection ” Veterinary Microbiology 131(34): 237-246.

Wenzlow, N., P., Wittek, R., Zurbriggen, A., Grone, A. (2007). “Immunohistochemical Demontration of the Putative Canine Distemper Virus Receptor CD 150 in Dogs with and without Distemper            ” Veterinary

Pathology 44(6): 943-948.

Zhao, J., Yan, Y., Chai, X., Martella, V., Luo, G., Zhang, H., Gao, H., Liu, Y., Bai, X., Zhang, L., Chen, T., Xu, L., Zhao, C., Wang, F., Shao, X., Wu, W., Cheng, S. (2009). “Phylogenetic Analysis of the Haemaglutinin Gene of Canine Distemper Virus Strains Detected from Breeding Foxes, Racoon, Dogs and Minks in China ” Veterinary Microbiology140(1-2): 34-42.

Activation.” Journal of General Virology 91: 980-989.

18