Buletin Veteriner Udayana

p-ISSN: 2085-2495; e-ISSN: 2477-2712

Volume 7 No. 2: 129-136

Agustus 2015

Hubungan Antara Dimensi Panjang Induk Dengan Pedet Pada Sapi Bali

(CORELATION BETWEEN THE SIZE OF THE BODY PART OF DAM AND CALF IN BALI CATTLE)

Ni Nyoman Janipa Saptayanti1, I Ketut Suatha2, I Putu Sampurna3 ¹Mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana ²Laboratorium Anatomi Veteriner Universitas Udayana 3Laboratorium Biostatistika Veteriner Universitas Udayana

Jl. PB. Sudirman, Denpasar-Bali

Email: [email protected]

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara dimensi panjang induk dengan pedet pada sapi bali dan mengetahui berapa besar ukuran dimensi panjang induk berpengaruh terhadap dimensi panjang pedetnya. Objek penelitian yang digunakan terdiri dari 20 ekor induk dan 20 pedet masing-masing 10 pedet jantan dan 10 pedet betina baru lahir yang dipelihara oleh peternak di Desa Getasan, Kecamatan Petang, Kabupaten Badung. Data berupa ukuran-ukuran dimensi panjang induk dan dimensi panjang pedet dianalisis menggunakan analisis regresi linear. Uji T dilakukan untuk mendapatkan pengaruh jenis kelamin terhadap ukuran tubuh. Hasil uji T menunjukkan bahwa jenis kelamin pada pedet tidak berpengaruh nyata terhadap hubungan antara dimensi panjang induk dengan pedetnya. Namun ada hubungan antara dimensi panjang induk dengan dimensi panjang pedetnya dan terdapat perbandingan antara masing-masing dimensi panjang induk dengan pedetnya. Hubungan yang paling erat dimulai dari dimensi panjang telinga, dimensi panjang leher, dimensi panjang kepala, dimensi panjang ekor dan dimensi panjang telinga.

Kata kunci: pedet, sapi bali, dimensi panjang

ABSTRACT

This research aimed to determine the relation between the size of the body part of dam and calf in bali cattle and to get cattle’s size influence calve’s size. Twenty cows and 20 calves each 10 male calfes and 10 female new born calfes from Getasan village, District of Petang, Badung Regency. Data of the sizes were analyzed by linear regression. While the sex affect on body size was determine by T test. T test results indicated that sex of the calf did not significantly affect the relation between the size of the dams with the calves. But there is a relation between the size of the dams with the calves and there is a comparison the size of each dams with it calves. The most accurate relation starting from the size of the ear, neck size, size of head , tail size and size of the ear

Keywords: calf, bali cattle, size

PENDAHULUAN

Sebagai salah satu sapi asli Indonesia, sapi bali sekarang telah menyebar hampir ke seluruh daerah di Indonesia. Disamping itu sapi bali telah banyak dikembangkan di Malaysia, Filipina dan Australia bagian utara. Sapi

bali merupakan sapi asli Indonesia yang cukup potensial untuk dikembangkan sebagai sapi tipe potong (Baaka et al., 2009). Sebagai ternak penghasil daging, sapi bali mampu hidup dalam situasi pakan yang kualitasnya rendah, tahan terhadap cuaca panas dan memiliki sifat produksi dan reproduksi yang cukup baik.

Gejala birahi mudah diketahui, memiliki tingkat kesuburan yang tinggi pada pemeliharaan dalam jumlah sedikit seperti yang terjadi di Bali, persentase karkasnya dan pada pemeliharaan intensif di feedlot responnya cukup baik. Bila dibandingkan dengan sapi lokal Indonesia yang lain, sapi bali memiliki karkas yang kompak dan persentasenya lebih tinggi. Menurut Hartati et al. (2004) menyatakan sapi bali memiliki persentase karkas rata-rata 56,9% yang ternyata lebih tinggi bila dibandingkan dengan sapi Madura dengan persentase karkas 47,9% dan sapi Ongole hanya 44,9%.

Sapi bali adalah jenis sapi yang memiliki kemampuan beradaptasi dengan lingkungan baru. Kemampuan tersebut merupakan faktor pendukung keberhasilan budidaya sapi bali. Populasi sapi bali yang meningkat akan membantu mensukseskan program pemerintah untuk swasembada daging tahun 2014 (Talib, 2002; Ni’am et al., 2012). Sapi bali mempunyai sifat-sifat subur, cepat beranak (cicih), mudah beradaptasi dengan lingkungannya, dapat hidup di lahan kritis, dan mempunyai daya cerna yang baik terhadap pakan. Selain unggul sapi bali mempunyai harga yang stabil dan bahkan setiap tahunnya harganya cenderung meningkat (Batan, 2002).

Sapi bali telah dikenal sebagai bangsa (breed) sapi yang memiliki fertilitas terbaik di dunia. Gejala birahi ditunjukkan dengan jelas dan mudah diketahui sehingga perkawinannyapun lebih tepat bisa dilaksanakan baik secara alam maupun menggunakan teknologi inseminasi buatan (IB) atau yang dikenal pula dengan istilah kawin suntik.

Potensi genetik sapi bali harus ditingkatkan dan kemudian diikuti dengan pemberian pakan yang sesuai dengan kebutuhannya agar potensi genetiknya mampu berkembang secara maksimal (Pusat Kajian Sapi Bali Universitas Udayana, 2012). Produksi daging nasional belum mampu mengimbangi

permintaan konsumen di dalam negeri, sehingga memacu peningkatan jumlah impor daging maupun sapi bakalan dari negara lain. Peningkatan impor sapi potong merupakan indikasi peningkatan permintaan daging dan atau ketidaksanggupan pemenuhan kebutuhan yang harus disuplai oleh produksi sapi potong dalam negeri (Hartati et al., 2009). Tingginya permintaan sapi Bali belum diimbangi dengan usaha-usaha pembibitan atau hal-hal yang berkaitan dengan perbaikan mutu genetik ternak. Dampak dari eksploitasi ternak seperti di atas akan berakibat pada penurunan mutu genetik (Hartati et al. (2004)

Banyak faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan sapi bali, seperti faktor genetik, faktor lingkungan dan pakan. Faktor lingkungan bersifat tidak baku dan tidak dapat diwariskan ternak kepada keturunannya. Faktor lingkungan tergantung pada kapan dan dimana individu itu berada. Faktor genetik bersifat baku dan genetik sudah ada sejak terjadinya pembuahan. Faktor lingkungan sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan sapi bali karena jika lingkungannya sehat sapi bali tersebut akan tahan terhadap penyakit dan pertumbuhannya tidak terganggu. Faktor genetik juga sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan sapi bali, untuk mendapatkan bibit sapi bali yang baik tentu saja harus berasal dari induk yang baik dan unggul. Faktor yang juga sangat mempengaruhi pertumbuhan sapi bali yaitu faktor pakan, terutama kualitas dan kuantitas pakan tersebut harus diperhatikan. Namun, perlu disadari bahwa pemberian pakan yang cukup dan memenuhi syarat ini tidak akan dapat mengubah sifat genetik sapi (Batan, 2002). Teori dasar dalam peningkatan mutu genetik ternak sapi potong adalah perkawinan antara induk dengan pejantan yang baik, upaya tersebut diharapkan akan menghasilkan anak yang baik pula (Zurahmah dan Enos, 2011).

Jainudeen dan Hafez (2000) dalam Prasojo et al. (2010) menyatakan bahwa pertumbuhan dan perkembangan fetus juga dipengaruhi oleh faktor genetik (spesies, bangsa, ukuran tubuh, dan genotip), faktor lingkungan (induk dan plasenta) serta faktor hormonal. Sementara Pane (1990) dalam Prasojo et al. (2010) menyatakan bahwa kisaran bobot lahir sapi bali adalah 13-18 kg. Bobot lahir anak ditentukan oleh bangsa induk, jenis kelamin anak, lama bunting induk, umur atau varietas induk, dan pakan induk sewaktu bunting (Sutan, 1988 dalam Prasojo et al., 2010).

Pertumbuhan ternak adalah hasil dari proses yang berkesinambungan dalam seluruh hidup ternak tersebut, dimana setiap komponen tubuh mempunyai kecepatan pertumbuhan yang berbeda-beda. Pertumbuhan dapat pula diartikan sebagai perubahan bentuk dan komposisi tubuh hewan sebagai akibat adanya kecepatan pertumbuhan relatif yang berbeda antara berbagai ukuran tubuh. Fenomena pertumbuhan ini dapat dilihat dari tulang yang merupakan komponen tubuh yang mengalami pertumbuhan paling dini.

Pada hewan hidup, pertumbuhan tulang dapat dilihat dari perubahan ukuran-ukuran tubuh. Pertumbuhan juga merupakan pertambahan massa tubuh persatuan waktu yang dapat diukur dengan bobot badan dan pertambahan bobot badan. Dengan demikian pertumbuhan ternak dapat diduga dengan memperhatikan penampilan fisik dan bobot hidupnya. Pengukuran bobot badan dan pertambahan bobot badan sangat umum dilakukan untuk kegiatan penelitian, tapi kurang praktis dilakukan di lapangan, karena pertimbangan teknis kesulitan dalam penimbangan. Dengan demikian, pola pertumbuhan ternak dapat diduga atas dasar pengukuran ukuran-ukuran tubuh yang erat kaitannya dengan pertumbuhan kerangka tubuh ternak.

Salah satu pengukuran yang bisa

dilakukan adalah pengukuran dimensi panjang sapi bali dengan pedetnya, agar diketahui apakah ada hubungan antara dimensi panjang induk dengan pedet, guna nantinya dipakai sebagai acuan untuk perbaikan genetik ternak jika ditemukan hubungan antara dimensi panjang tubuh induk dan pedet tersebut, sehingga nantinya didapatkan data yang bisa digunakan sebagai dasar dalam peremajaan dan akan berdampak pada perbaikan produktivitas bibit ternak.

Pada dasarnya memilih ternak dapat dilakukan melalui cara visual atau kualitatif dan melalui cara pengukuran atau kuantitatif. Pemilihan secara visual sering dilakukan peternak terutama sewaktu memilih ternak untuk dijadikan induk maupun bakalan untuk digemukkan atau pemacek (Adryani, 2012). Secara visual yaitu dari warna, bulu, bentuk tubuh, tanduk, kaki dan sebagainya, secara kuantitatif dapat dapat dilakukan dengan pengukuran dimensi tubuh salah satunya adalah dengan mengukur dimensi panjang sapi bali. Ukuran-ukuran dimensi tubuh ini berhubungan dengan atau dapat dihubungkan dengan produktivitas ternak. Dimensi panjang merupakan salah satu ukuran tubuh yang dapat digunakan sebagai indikator produktivitas ternak karena dengan melihat dimensi panjang kita dapat melihat keberhasilan suatu manajemen pemeliharaan dan dapat digunakan dalam penentuan apakah induk tersebut masih perlu dipertahankan atau diganti dengan indukan yang baru. Dimensi panjang dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain faktor internal yaitu faktor genetik dan sekeresi hormon dan faktor eksternal adalah faktor lingkungan dan pakan.

Menurut Anggorodi (1994) dalam Utomo et al. (2006), bahwa pakan dengan kandungan protein yang cukup dapat berfungsi memperbaiki jaringan, pertumbuhan jaringan baru, metabolisme untuk energi dan merupakan penyusun hormon. Salah satu akibat dari

pertumbuhan tulang adalah memanjangnya panjang badan.

Ransum berkualitas baik yang dikonsumsi ternak terutama protein dapat merangsang sekresi hormon, diantaranya adalah hormon progesteron. Hasrati (2001) dalam Utomo et al. (2006), melaporkan bahwa progesteron berfungsi dalam pertumbuhan masa uterus, sehingga dapat menyebabkan peningkatan hormon laktogen plasenta yang berpengaruh terhadap hormon pertumbuhan dan hormon tersebut berperan dalam menginduksi panjang badan serta bobot foetus.

METODE PENELITIAN

Materi Penelitian

Objek penelitian yang digunakan terdiri dari 20 ekor induk dan 20 pedet masing-masing 10 pedet jantan dan 10 pedet betina baru lahir yang dipelihara oleh peternak di Desa Getasan, Kecamatan Petang, Kabupaten Badung.

Metode Penelitian

Peralatan yang digunakan untuk pengukuran dimensi panjang ini adalah pita ukur (meteran) bravo veterinary equipment dengan panjang 250 cm untuk mengukur panjang kepala, panjang telinga dan panjang ekor. Tongkat ukur dengan merek yang sama digunakan untuk mengukur panjang leher dan panjang badan.

Pengumpulan data dilakukan dengan melakukan pengukuran langsung ke objek penelitian yaitu sapi induk dan pedetnya yang sebelumnya sudah diseleksi dilakukan pengukuran pada panjang kepala, telinga, leher, badan dan ekor, kemudian dilakukan pencatatan. Pengukuran dilakukan dengan posisi sapi yang berdiri tegak agar angka pengukuran didapatkan dengan tepat (Gambar 1).

Gambar 1. Cara pengukuran panjang sapi bali (Sampurna, 2013)

Keterangan:

  • 1.    Panjang kepala adalah ukuran terpanjang kepala diukur pada cermin hidung (planum naso labial) sampai Intercornuale dorsal pada garis median.

  • 2.    Panjang telinga adalah jarak antara pangkal telinga dengan ujung telinga.

  • 3.    Panjang tubuh adalah jarak antara tepi depan sendi bahu (Tuberositas lateralis os humerus) dan tepi belakang bungkul tulang duduk (tuber ischiadicum), diukur dari garis tegak tuberositas lateralis dari humerus (depan sendi bahu) sampai dengan tuber ischium (tepi belakakang bungkul tulang duduk).

  • 4.    Panjang leher diukur dari ramus mandibula sampai pada garis tegak yang ditarik dari tuberositas lateralis dari humerus (sendi bahu/articulatio scapulo humeri).

  • 5.    Panjang ekor adalah jarak antara pangkal ekor (vertebrae coccygeae pertama) dengan ujung tulang ekor (vertebree coccygeae) terakhir

Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisis dengan analisis regresi linier dengan persamaan Y= aX

Y: Ukuran dimensi panjang pedet sapi bali

X: Ukuran dimensi panjang induk sapi bali

a : Konstanta yang menunjukkan perbandingan antara dimensi panjang induk dengan dimensi panjang pedet. Pendugaan dimensi panjang pedet pada tingkat kepercayaan 95% (α=0,05) dengan rumus Ŷ±t1/2αSE.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dimensi Panjang Pedet Sapi Jantan dan Betina

Pada Tabel 1 terlihat hasil uji T dimana diketahui tidak terdapat perbedaan yang nyata (P>0,05) pada ukuran dimensi panjang pedet sapi bali jantan dengan betina.

Pedet adalah anak sapi yang baru lahir hingga umur 8 bulan. Saat lahir

pedet sapi bali betina memiliki ukuran yang tidak nyata (P>0,05) lebih besar daripada ukuran pedet jantan. Hal ini disebabkan karena ukuran penunjang pedet sapi bali jantan dan betina lebih dominan dipengaruhi oleh faktor induknya, seperti pendapat Utomo et al. (2006) menyatakan bahwa bobot lahir ditentukan oleh kondisi pertumbuhan prenatal, yang ditunjang suplai nutrisi dari induk serta kemampuan induk untuk menggunakannya.

Pengaruh fisiologis dan hormonal dari pedet belum begitu tampak. Menurut Anggraeni et al. (2008) Baik ukuran tubuh maupun bobot hidup pedet umur 02 bulan memiliki nilai koefisien keragaman yang besar yang mencerminkan beragamnya ukuran tubuh dan bobot hidup anak pada periode awal kelahiran. Sebaliknya, nilai koefisien keragaman menurun dengan bertambahnya usia ternak yang mencerminkan mulai berkurangnya pengaruh faktor lingkungan seperti menurunnya pengaruh umur dan kapasitas produksi susu induk.

Tabel 1. Hasil T perbedaan dimensi panjang pedet jantan dengan betina

Rata-rata ± SD

Dimensi Panjang

Jantan

Betina

T

P

Kepala

15, 6 ± 1,3 cm

15,5 ± 1,1 cm

0, 134

0, 895

Leher

22, 1 ± 3,2 cm

23,5 ± 3,9 cm

0, 877

0, 392

Tubuh

50,87 ± 4,7 cm

50,8 ± 2,4 cm

0, 018

0, 986

Telinga

12,5 ± 1,8 cm

12,9 ± 1,3 cm

0, 576

0, 572

Ekor

29,5 ± 2,2 cm

30, 7 ± 2,5 cm

1, 135

0, 271

Hubungan Dimensi Panjang Induk Sapi Bali dengan Pedetnya

Ukuran dimensi panjang pedet yang paling besar perbandingannya dengan induknya adalah panjang telinga yaitu 57,6 %, panjang leher 45,5 %, panjang kepala 44,9%, panjang ekor 44 %, dan panjang tubuh 43,8 %. Hal ini dapat dikaitkan dengan fungsi fisiologis tubuh itu sendiri. Bagian tubuh yang tumbuh lebih dulu akan mempunyai ukuran

mendekati ukuran induknya atau memiliki perbandingan yang lebih besar. Seperti yang dinyatakan Sampurna (2013), setiap organ, jaringan ataupun bagian tubuh pada setiap fase mempunyai kecepatan atau laju pertumbuhan yang berbeda. Perbedaan kecepatan ini disebabkan oleh perbedaan fungsi dan komponennya. Bagian tubuh yang berfungsi lebih dulu atau yang komponennya sebagian besar tulang akan

tumbuh lebih dulu dibandingkan dengan yang berfungsi lebih belakang atau komponen penyusunnya terdiri dari otot maupun lemak.

Menurut Patmawati et al. (2013) dan Sampurna dan Suatha (2010) bahwa dua gelombang arah tumbuh-kembang pada ternak yaitu: arah anterior-posterior yang dimulai dari cranium (tengkorak) di bagian depan tubuh menuju ke belakang ke arah pinggang (loin), dan arah centripetal dimulai dari daerah kaki distalis ke arah proximal tubuh menuju

bokong (pelvis) dan pinggang (loin) yang merupakan bagian tubuh yang paling akhir mencapai pertumbuhan maksimal (late maturity).

Perbedaan tuntutan fisiologis akibat aktivitas fungsional yang berbeda serta komponen penyusunnya yang berbeda, maka akan menyebabkan setiap dimensi tubuh mempunyai urutan pertumbuhan yang berbeda-beda. Sehingga perbandingan antara ukuran setiap dimensi panjang induk dengan pedetnya juga berbeda-beda.

Tabel 2. Dimensi panjang induk sapi bali dan pedetnya serta hasil analisis regresi korelasinya.

Dimensi Panjang

Rata –rata ± SD

Persamaan Garis Regresi (Y=aX)

(R2) (%)

Pendugaan Ukuran Pedet dari induk dengan Tingkat Kepercayaan 95%

Indux (X) (cm)

Pedet (Y) (cm)

Kepala

34,5 ± 2,5

15,5 ± 1,1

Y=0,449X

99,2

43,1%- 46,7%

Leher

49,5 ± 4,6

22,8 ± 3,5

Y=0,455X

96,6

41,3%- 49,7%

Tubuh

115,7 ± 6,7

50,9 ± 3,6

Y=0,438X

98,9

41,7%- 45,9%

Telinga

21,9 ± 2,1

12,7 ± 1,5

Y=0,576X

98

53,7%- 61,5%

Ekor

67,5 ± 10,1

30,1 ± 2,4

Y=0,440X

97,5

40,7%- 47,3%

Dimensi panjang merupakan salah satu ukuran tubuh yang dapat digunakan sebagai indikator produktivitas ternak karena dengan melihat dimensi panjang maka dapat dilihat keberhasilan suatu manajemen pemeliharaan dan dapat digunakan dalam penentuan apakah induk tersebut masih perlu dipertahankan atau diganti dengan indukan yang baru. Dimensi panjang dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain faktor internal yaitu faktor genetik dan sekeresi hormon dan faktor eksternal adalah faktor lingkungan dan pakan.

Bobot lahir merupakan faktor yang penting dalam pertumbuhan pedet sapi. Sapi dengan bobot lahir yang besar dan lahir secara normal akan lebih mampu mempertahankan kehidupannya (Prasojo et al., 2010). Rataan ukuran-ukuran tubuh

dan bobot hidup pedet betina terus meningkat sejalan dengan pertambahan umur mereka. Baik ukuran tubuh maupun bobot hidup pedet umur 0-2 bulan memiliki nilai koefisien keragaman yang besar yang mencerminkan beragamnya ukuran tubuh dan bobot hidup anak pada periode awal kelahiran. Sebaliknya, nilai koefisien keragaman menurun dengan bertambahnya usia ternak yang mencerminkan mulai berkurangnya pengaruh faktor lingkungan seperti menurunnya pengaruh umur dan kapasitas produksi susu induk (Anggraeni et al., 2008). Tatalaksana pemeliharaan pedet sejak lahir sampai disapih menjadi sangat penting dalam upaya menyediakan bakalan baik sebagai pengganti induk maupun untuk digemukkan sebagai ternak pedaging (Purwanto dan Muslih,

2006).

Pemberian ransum dengan kualitas baik pada saat induk bunting tua dapat berpengaruh terhadap peningkatan bobot lahir dan akan terjadi sebaliknya apabila kekurangan, seperti bobot lahir pedet rendah, kondisi lemah dan tingkat kematian tinggi. Ransum dengan kualitas baik dimungkinkan dapat mencukupi ketersediaan nutrisi yang diserap oleh fetus pada fase pertumbuhan. Pada periode umur kebuntingan kedelapan sampai partus, merupakan pertumbuhan fetus yang cepat dan mencapai puncak. Pertumbuhan yang terjadi selama akhir kebuntingan adalah peningkatan berat fetus, berat fetus dapat mencapai 60% dari bobot pedet pada waktu lahir. Bobot lahir ditentukan oleh kondisi pertumbuhan prenatal, yang ditunjang suplai nutrisi dari induk serta kemampuan induk untuk menggunakannya (Utomo et al, 2006).

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa ukuran dimensi panjang antara pedet jantan dan betina tidak berbeda nyata. Namun ada hubungan yang sangat nyata antara dimensi panjang induk sapi bali dengan pedetnya. Perbandingan dimensi panjang pedet dengan induknya yaitu panjang telinga 57,6 %, panjang leher 45,5 %, panjang kepala 44,9%, panjang ekor 44 %, dan panjang tubuh 43,8 %.

Saran

Petani maupun peternak dalam memilih bibit atau induk agar memperhatikan ukuran sapi tersebut salah satunya dimensi panjang sapi bali, karena dari hasil penelitian diketahui bahwa pada saat lahir dimensi panjang pedet ukurannya lebih dari 95 % dipengaruhi dimensi panjang induk. Sehingga dalam memilih bibit, pilih sapi

yang lebih panjang dari sapi-sapi yang lain

UCAPAN TERIMAKASIH

Penulis mengucapkan terimakasih kepada drh. Tjokorda Sari Nindhia.MP dan Prof. Dr. drh. I Nyoman Suarsana, M.Si selaku penelaah, serta Kepala Desa Getasan atas ijin yang diberikan dalam pengumpulan data penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

Adryani R. 2012. Keragaman silak tanduk sapi bali jantan dan betina. Bul Vet Udayana, 4(2): 87-93.

Anggraeni A, Kurniawan N, Sumantri C.

2008. Pertumbuhan pedet betina dan dara sapi friesian-holstein di wilayah kerja bagian barat kpsbu Lembang. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner.

Baaka, Alnita A, Murwanto G, Lumatauw S. 2009. Seleksi berat badan sapi bali umur satu tahun dengan menggunakan program simulasi genup. J Ilmu Peternakan, 4(2): 83-92.

Batan IW. 2002. Buku Ajar Sapi Bali dan Penyakitnya. Universitas Udayana Press. Denpasar.

Hartati, Sumadi, Hartatik T. 2009.

Identifikasi karakteristik genetik sapi peranakan ongole di peternakan rakyat. Bul Peternakan, 33(2): 6473.

Ni’am HUM, Purnomoadi A, Dartosukarno S. 2012. Hubungan antara ukuran-ukuran tubuh dengan bobot badan sapi bali betina pada berbagai kelompok umur. Anim Agric J, 1(1): 541-556.

Patmawati NW, Trinayani M, Siswanto, Wandia IN, Puja IK. 2013. Seleksi awal pejantan sapi bali berbasis uji performans. J Ilmu dan Kesehatan

Hewan, 1(1): 29-33.

Prasojo G, Arifiantini I, Mohamad K. 2010. Korelasi antara lama kebuntingan, bobot lahir dan jenis kelamin pedet hasil inseminasi buatan pada sapi bali. J Vet, 11(1): 41-45.

Purwanto H, Muslih D. 2006. Tata laksana pemeliharaan pedet sapi perah. Temu Teknis Nasional Tenaga Fungsional Pertanian.

Sampurna IP. 2013. Disertasi. Pola pertumbuhan dan kedekatan hubungan dimensi tubuh sapi bali. Universitas Udayana.

Sampurna IP, Suatha IK. 2010.

Pertumbuhan alometri dimensi panjang dan lingkar tubuh sapi bali jantan. J Vet, 11(1): 46-51.

Talib C. 2002. Sapi bali di daerah bibit dan peluang pengembangannya. Wartazoa, 12(3): 100-107.

Utomo B, Prawirodigdo S, Sarjana, Sutjadmogo. 2006. Perfomans pedet sapi perah dengan perlakuan induk saat masa akhir kebuntingan. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner.

Zurahmah N, Enos T. 2011. Pendugaan bobot badan calon pejantan sapi bali menggunakan dimensi ukuran tubuh. Bul Peternakan, 35(3): 160-164.

136