TRICHURIS OVIS INFECTION RATES IN THE DRY SEASON IN THE KUPANG POLITANI FIELD LABORATORY
on
Buletin Veteriner Udayana Volume 15 No. 6: 1181-1189
pISSN: 2085-2495; eISSN: 2477-2712 Desember 2023
Online pada: http://ojs.unud.ac.id/index.php/buletinvet https://doi.org/10.24843/bulvet.2023.v15.i06.p17
Terakreditasi Nasional Sinta 4, berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi No. 158/E/KPT/2021
Tingkat Infeksi Trichuris Ovis pada Musim Kemarau di Laboratorium Lapangan Politani Kupang
(TRICHURIS OVIS INFECTION RATES IN THE DRY SEASON IN THE KUPANG POLITANI FIELD LABORATORY)
I Gusti Komang Oka Wirawan1*, Agustinus Semang2, Aholiab Aoetpah2, Suryawati 3
-
1Program Studi Kesehatan Hewan, Jurusan Peternakan, Politeknik Pertanian Negeri Kupang, Jln. Prof. Dr. Herman Johanes, Kec. Kelapa Lima, Kota Kupang Nusa Tenggara Timur, Indonesia, 85111;
-
2Program Studi Teknologi Pakan Ternak, Jurusan Peternakan, Politeknik Pertanian Negeri Kupang, Jln. Prof. Dr. Herman Johanes, Kec. Kelapa Lima, Kota Kupang Nusa Tenggara
Timur, Indonesia, 85111;
-
3Program Studi Teknologi Industri Hortikultura, Jurusan Peternakan, Politeknik Pertanian Negeri Kupang, Jln. Prof. Dr. Herman Johanes, Kec. Kelapa Lima, Kota Kupang Nusa
Tenggara Timur, Indonesia, 85111.
*Corresponding author email: oka_sayun@yahoo.com
Abstrak
Ternak kambing yang dipelihara di Labaratorium Lapangan Politeknik Pertanian Negeri Kupang adalah kambing kacang (Capra hircus) dengan pola sistem pemeliharaan semi intensif. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat infeksi Trichuris ovis berdasarkan umur kambing pada musim kemarau. Sembilan ekor kambing dikelompokkan menjadi dua, yaitu empat ekor kambing berumur ± 6 – 7 bulan dan lima ekor berumur ± 18 – 24 bulan. Identifikasi morfologi telur cacing menggunakan dua metode yaitu sedimentasi dan pengapungan sedangkan intensitas infeksi menggunakan metode McMaster. Sampel feses diambil sebanyak dua kali setiap minggu yang berasal dari dua kelompok tersebut. Data mengenai identifikasi endoparasit gastrointestinal dan intensitas infeksi endoparasit, serta suhu padang penggembalaan ditabulasikan dan dianalisis secara deskriptif. Hasil penelitian ditemukan telur cacing Trichuris ovis dengan rataan intensitas infeksi pada kambing berumur ± 6 – 7 bulan sebesar 100 TTG sedangkan kambing berumur ± 18 – 24 bulan sebesar 200 TTG. Dapat disimpulkan bahwa intensitas infeksi Trichuris ovis pada kambing berumur 18 – 24 bulan lebih tinggi dibandingkan umur 6 – 7 bulan dan termasuk dalam kategori infeksi ringan, kategori infeksi ini dipengaruhi oleh musim dan sumber pakan. Perbedaan umur kambing merupakan salah satu faktor penyebab adanya perbedaan intensitas infeksi Trichuris ovis diantara kedua kelompok tersebut. Penulis menyarankan dalam penelitian lanjutan sebaiknya menggunakan jumlah sampel yang lebih banyak dengan waktu penelitian lebih lama sehingga hasilnya lebih akurat.
Kata kunci: Intensitas infeksi, Trichuris ovis, musim kemarau
Abstract
The goats being raised semi intensively on the field laboratory of State Agricultural Polytechnic of Kupang were kacang goats (Capra hircus). Objective: to measure Trichuris ovis infectious levels based on age during dry season. Nine heads of goats were grouped into two of four for 6 to 7 and five for 18 to 24 month old. Two methods to identify morphological worm eggs are sedimentation and floating; while infectious intensity was using McMaster method. Faecal samples for the two groups were collected twice a week. Descriptive analysis was applied to determine gastrointestinal endoparasites and endoparasite infectious intensity, so that of ambient temperature of pasture. The results showed that average infectious intensity of Trichuris ovis worm eggs for 6 to 7 month old goats was 100 TTG while that for 18 to 24 month old was 200 TTG. It can be concluded that the intensity of Trichuris ovis infection in goats aged 18 to 24 months is higher than that aged 6 to 7
months and is included in the light infection category. This infection category is influenced by season and food source. The difference in the age of the goats is one of the factors causing the difference in the intensity of Trichuris ovis infection between the two groups. The author suggests that in further Res. it would be better to use a larger number of samples with a longer Res. time so that the results are more accurate.
Keywords: infectious intensity, Trichuris ovis, dry season
PENDAHULUAN
Ternak kambing yang dipelihara di Labaratorium Lapangan Politeknik Pertanian Negeri Kupang adalah kambing kacang (Capra hircus) dengan pola sistem pemeliharaan semi intensif. Pakan yang diberikan daun-daunan dan rumput-rumputan yang tumbuh di padang penggembalaan disekitar areal laboratorium, jika pada saat musim kemarau maka sumber pakan berasal dari padang penggembalaan di wilayah Kota atau Kabupaten Kupang. Pemeliharaan pada musim kemarau kambing lebih sering diikat atau ditambatkan menggunakan tali di pohon pada areal padang penggembalaan disektitar kandang setelah sore dimasukkan ke dalam kandang.
Musim pancaroba dari musim penghujan ke musim kemarau sangat berpengaruh terhadap kesediaan pakan di padang penggembalaan baik jenis rumput-rumputan maupun jenis legumenose sehingga berdampak terhadap penurunan asupan nutrisi dari ternak tersebut. Data penelitian Muhajirin et al. (2017) memperlihatkan bahwa legum yang tumbuh di lahan pastura BPTU-HPT Padang Mengatas yaitu jenis legume Centrocema pubescens dan Stylosantes guyanensis. Persentase legum jenis C. pubescens pada musim hujan 0.35% dan musim kemarau 0.08%, sedangkan S. guyanensis 0.31% musim hujan dan 0.05% musim kemarau. Legum-legum ini tidak dapat berkompetisi dengan rumput unggul dan tidak tahan kekeringan sehingga persentasenya sangat sedikit terutama musim kemarau.
Kekurangan asupan nutrisi akan mempermudah terjadinya infeksi, baik disebabkan oleh virus, bakteri maupun parasit. Endoparasit gastrointestinal dari
kelas nematoda berdasarkan hasil review dari Mpofu et al. (2022), merupakan masalah kesehatan utama yang mempengaruhi kambing diseluruh dunia karena menimbulkan penyakit klinis dan penurunan produktivitas. Nematoda gastrointestinal yang secara ekonomi cukup merugikan peternak karena peningkatan angka morbiditas dan mortalitas adalah Trichuris ovis. Berdasarkan penelitian dilakukan oleh Bulbul et al. (2020), kejadian trichuriasis dengan infeksi berat pada anak-anak domba, domba, dan sapi yang sangat muda mungkin akan menyebabkan colitis berdarah dan caecitis difteri yang dapat menyebabkan lesi ulseratif dan nekrotik pada mukosa. Pada hewan dengan beban cacing yang tinggi maka akan menimbulkan gejala klinis: anemia berat dan dehidrasi serta penyakit kuning yang dapat menyebabkan kematian.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat infeksi Trichuris ovis berdasarkan umur kambing pada musim kemarau di Laboratorium Lapangan Politeknik Pertanian Negeri Kupang. Data dari hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan dalam rangka tindakan preventif maupun kuratif di lingkungan kampus tersebut dan peternak kambing di daerah tropis. Data ini juga diperlukan untuk melengkapi epidemiologi endoparasit gastrointestinal pada kambing di wilayah Propinsi Nusa Tenggara Timur dan sebagai data penunjang jika ada peneitian lanjutan yang sejenis.
METODE PENELITIAN
Bahan utama
Materi utama dalam penelitian ini, adalah sampel feses kambing kacang yang berjumlah Sembilan ekor dan dibagi
menjadi dua kelompok, yaitu: kambing berumur 6 – 7 bulan (4 ekor) dan berumur 18 – 24 bulan (5 ekor) disesuaikan dengan populasinya, penentuan umur kambing berdasarkan kondisi gigi seri. Kambing yang digunakan sebagai objek penelitian diberikan kalung yang dilengkapi dengan nomor berurutan setiap kelompoknya, tujuannya untuk menghindari bias dalam pengambilan sampel. Pengambilan sampel dilakukan dua kali setiap Minggu yaitu musim kemarau (17 – 24 Agustus 2023).
Bahan pendukung
Bahan pendukung: formalin 10% untuk mengawetkan sampel, aquades sebagai pelarut sampel pada metode sedimentasi, NaCl jenuh digunakan sebagai media pengapung pada metode flotation (pengapungan) dan McMaster.
Peralatan penelitian
Peralatan yang digunakan; pot sampel (volume 60 mL), gelas objek dan gelas penutup (cover glass) sebagai media peneriksaan sampel, tabung reaksi (volume 15 mL), rak tabung, saringan teh, spatula sebagai prasarana pendukung untuk ketiga medode yang digunakan, dan timbangan elektrik dengan ketelitian 0,001 gram untuk menimbang sampel. Mikroskop stereo (Hirox KH-8700, H08754 made in Japan). Kamar hitung (E-Counting Chamber By: βravo, 1080 x 1350) digunakan pada metode McMaster. Sentrifuse digunakan untuk memisahkan kotoran-kotoran yang terdapat di dalam feses, mortir digunakan untuk menggerus feses. Thermometer ruangan untuk mengukur suhu lingkungan atau padang penggembalaan, suhu lingkungan dicatat tiga kali dalam sehari yaitu pukul 05.00 WITA, 12.30 WITA, dan 20.00 WITA, selama delapan hari berturut-turut.
Prosedur penelitian
Prosedur penelitian pemeriksaan feses menggunakan tiga metode, yaitu sedimentasi, flotation, dan McMaster, metode sedimentasi dan flotation ini telah dimodifikasi serta mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh Zajac dan
Conboy (2012). Prosedur metode sedimentasi: feses diambil sebanyak 3 gram ditempatkan di dalam mortir, ditambahkan aquades ± 5 mL kemudian digerus. Hasil gerusan disaring dengan saringan teh dan ditampung pada gelas beker, kemudian hasil saringan ini dimasukkan ke tabung reaksi secara perlahan-lahan sampai volumenya ¾ bagian tabung dan diaduk menggunakan spatula hingga homogen. Setelah itu masukan ke dalam alat pemusing (sentrifus), regulator sentrifus ditempatkan pada posisi kecepatan 1.500 rpm selama 2 menit, kemudian tabung diambil dan supernatan dituangkan sehingga hanya tersisa feses yang homogen. Endapan feses diambil menggunakan spatula dari dasar tabung sebesar pentolan korek api dan ditaruh diatas gelas obyek kemudian ditambahkan sedikit aguades untuk memudahkan pembuatan preparat hapus, selanjutnya preparat diperiksa dibawah mikroskop dengan pembesaran objektif 350x untuk memperjelas pengamatan identifikasi morfologi telur cacing maka digunakan pembesaran yang lebih kuat.
Prosedur metode Flotation (pengapungan) adalah sebagai berikut: setelah dilakukan metode sedimentasi maka dapat dilanjutkan dengan metode ini, yaitu endapan di dalam tabung ditambahkan dengan larutan garam jenuh sampai volume ¾ tabung. Kemudian diaduk menggunakan spatula dan disentrifuse dengan kecepatan 1.500 rpm selama 2 menit. Kemudian tabung dikeluarkan dari sentrifuse dan diletakkan pada rak tabung dengan posisi tegak lurus, selanjutnya ditambahkan garam jenuh sampai permukaannya cembung dan didiamkan selama 3 – 5 menit. Gelas penutup ditempelkan pada permukaan yang cembung dan diangkat secara vertikal kemudian diletakkan pada objek gelas selanjutnya dilakukan pemeriksaan dengan pembesaran lensa objektif 350x, untuk memperjelas pengamatan dapat dilakukan ke pembesaran yang lebih kuat (Zajac dan Conboy, 2012).
Prosedur metode McMaster adalah sebagai berikut: feses diambil sebanyak 4 gram dan digerus kemudian dilarutkan ke dalam larutan pengapung (NaCl jenuh) sebanyak 56 mL sehingga volumenya 60 mL. Selanjutnya larutan ini disaring menggunakan saringan teh dan ditampung ke dalam tabung berskala 100 mL. Hasil saringan sebanyak 0,5 mL dimasukkan ke dalam setiap kamar hitung (Whitlock) menggunakan disposable 1 mL. Jika terdapat gelembung udara di dalam kamar hitung maka larutan tersebut dikeluarkan dan diisi kembali secara perlahan-lahan. Larutan yang berada di dalam kamar hitung dibiarkan ± 5 menit bertujuan untuk memberikan kesempatan telur cacing berada dipermukaan larutan pengapung. Metode penghitungan; jumlah telur cacing yang ditemukan disetiap kamar hitung dikalikan 50, pengamatan dilakukan dengan pembesaran 350x. Metode yang digunakan telah dimodifikasi dan mengacu pada prosedur (MAFF, 1986).
Analisa data
Data mengenai identifikasi
endoparasit gastrointestinal berdasarkan metode yang digunakan, tingkat infeksi endoparasit pada kambing kacang (Capra hircus), serta suhu padang penggembalaan ditabulasikan dan dianalisis secara deskriptif.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Hasil pemeriksaan sampel feses kambing kacang (Capra hircus) dengan dua metode yaitu sedimentasi dan pengapungan; ditemukan telur cacing dari kelas nematoda sedangkan telur cacing dari kelas trematoda dan cestoda tidak ditemukan. Adapun telur cacing yang ditemukan memiliki ciri-ciri morfologi, diantaranya: berbentuk seperti tong,
berwarna kecoklatan, dan kedua operkulum menonjol (Gambar 1). Sesuai acuan atlas dari Zajac dan Conboy (2012); Urquhart et al. (1987) ciri-ciri morfologi Trichuris ovis: berbentuk seperti tong,
berwarna kecoklatan, dan kedua operkulumnya menonjol keluar. Berukuran panjang dari ujung operkulum ke ujung operkulum yang lain 70 – 80 µm dan lebar 30 – 42 µm, jenis telur ini mengandung embrio yang tidak tersegmentasi.
Hasil pemeriksaan sampel feses menggunakan metode McMaster pada kambing muda (umur 6 – 7 bulan) dan dewasa (umur 18 – 24 bulan) intensitas infeksi Trichuris ovis disajikan pada Tabel 1. Intensitas infeksi pada kedua umur kambing tersebut berdasarkan total telur per gram (TTG) feses termasuk dalam kategori ringan. Sesuai dengan pendapat Paul et al., (2020), tingkat keparahan infeksi pada ruminansia kecil tergolong ringan antara 50–799 telur cacing per gram feses, sedang 800–1200 telur cacing per gram feses, dan parah >1200 telur cacing per gram feses.
Perbedaan tingkat infeksi berdasarkan Total Telur Per Gram (TTG) feses antara ternak kambing muda dengan ternak kambing dewasa, ditampilkan pada Tabel 2.
Pembahasan
Musim kemarau sangat
mempengaruhi selektivitas keragaman infeksi endoparasit gastrointestinal pada kambing tersebut, hal ini terbukti dari hasil penelitian ditemukannya hanya telur cacing dari kelas nematoda, yaitu Trichuris ovis. Kondisi padang penggembalaan yang cenderung kering menyebabkan media untuk perkembangan hospes intermedier sangat terbatas terutama telur cacing dari kelas trematoda. Sedangkan cacing untuk kelas cestoda tidak ditemukan disebabkan karena kesadaran masyarakat dalam membeli daging babi dan sapi untuk dikonsumsinya cukup selektif. Selain itu di dalam pengolahan daging, umumnya penduduk Indonesia memasaknya sampai mendidih atau matang sehingga cysticercus tidak berkembang atau mati. Didukung lagi oleh kesadaran masyarakat khususnya yang bermukim di Kota dan Kabuapten Kupang melakukan defikasi
pada jamban sehingga secara langsung dapat memutus siklus hidup dari Taeniasis.
Peluang terjadinya infeksi dari kelas nematoda (Trichuris ovis) pada kambing atau ruminansia lainnya saat musim kemarau lebih tinggi dibandingkan dengan kelas trematoda dan cestoda, keadaan ini disebabkan karena kelas nematoda tidak memerlukan hospes intermedier di dalam siklus hidupnya sedangkan kelas trematoda dan cestoda sebaliknya. Siklus hidup strongyle yang termasuk kelas nematoda menurut Zalizar (2017), mempunyai siklus hidup langsung dan tidak memerlukan inang antara sehingga mempermudah keberlangsungan hidup parasit tersebut di alam. Sesuai pendapat Crotti (2013), sebagian besar kelas dari trematoda digenetik selama siklus hidupnya memerlukan tiga hospes dan kelompok trematoda ini mampu menginfeksi kelas vertebrata dan beberapa kelompok invertebrate. Kelas cestoda menurut Jabbar et al. (2016), siklus hidupnya tidak langsung, manusia sebagai hospes definitif sedangkan babi (Taenia solium) dan sapi (Taenia saginata) sebagai hospes intermedier.
Beberapa faktor yang menyebabkan intensitas infeksi Trichuris ovis dalam kategori ringan adalah musim dan sumber pakan. Musim kemarau yang berpengaruh terhadap fluktuasi suhu di padang penggembalaan yang cukup ekstrim, yaitu antara suhu pagi atau malam dengan siang, ditampilkan pada Tabel 2. Suhu yang cukup tinggi pada siang hari (rataan = 48,90C) secara langsung dapat menghambat perkembangan siklus hidup atau bahkan membunuh embrio di dalam telur cacing tersebut. Menurut pendapat Al-Shaibani et al. (2008), suhu ideal untuk perkembangan telur dan larva nematoda berkisar antara 18,30C – 340C. Pernyataan senada yang dikemukakan oleh Bowman dan Georgi (2009), suhu perkembangbiakan Trichuris globulosa berkisar antara 250C – 300C.
Lebih lanjut menurut pendapat Silvestre et al. (2013) menyatakan, bahwa
kondisi cuaca yang tidak menguntungkan selama musim panas dapat mengontrol perkembangan endoparasit sehingga infeksi endoparasit parasit pada hospes menjadi berkurang. Pernyataan yang senada dikemukakan oleh Wirawan et al. (2019), musim kemarau di Propinsi Nusa Tenggara Timur identik dengan kekeringan karena kondisi geografisnya yang berbukit-bukit kapur sehingga suhu lingkungan menjadi lebih tinggi. Kondisi lingkungan yang seperti ini kurang mendukung perkembangan siklus hidup endoparasit gastrointestinal di luar tubuh hospes definitif yang menyebabkan intensitas infeksinya ringan.
Pakan hijauan dari jenis rumput-rumputan pada musim kemarau tidak tersedia di padang penggembalaan sehingga petugas kandang memberikan pakan hijauan pada kambing yang hampir 95% bersumber dari pepohonan. Dedaunan yang diberikan berasal dari beberapa jenis pohon, diantaranya; kedondong hutan (Spondias pinnata), akasia catechu (Desmanthus virgatus), lamtoro (Leucaena leucocephala), dan lain-lain. Sistem manajemen pemberian pakan yang bersumber dari daun-daunan maka secara langsung dapat memutus siklus hidup dari endoparasit gastrointestinal tersebut yang berpengaruh terhadap penurunan intensitas infeksi. Hal ini disebabkan karena larva infektif dari kelas nematoda umumnya berada di padang rumput. Sesuai dengan pendapat Wirawan et al. (2019), perubahan pola pakan ini juga dapat meminimalisir intensitas infeksi endoparasit gastrointestinal pada sapi Bali di wilayah itu karena larva infektif nematoda umumnya berada pada bagian daun dari rerumputan.
Lebih lanjut menurut Nurcahyo et al. (2021), faktor penentu berkembangnya parasit nematoda mulai dari telur hingga larva yang berada di padang rumput yang tidak sengaja dimakan oleh sapi. Pernyataan mengenai tinggi prevalensi dan tingginya insiden endoparasit menurut pendapat Tiele et al. (2023), kemungkinan
disebabkan oleh pemberian rumput secara langsung kepada ternak. Menurut pendapat Beriso et al. (2023), faktor risiko yang harus diperhatikan terkait infeksi nematoda gastrointestinal adalah penatalaksanaan dan kondisi tubuh ternak. Perlakuan strategis dan pengelolaan padang rumput yang lebih baik harus diterapkan. Feses keledai harus dibuang setiap hari sehingga menekan kontaminasi pakan serta air minum oleh telur dan larva yang dapat membantu pengendalian siklus hidup endoparasit tersebut.
Pemberian pakan hijauan yang bersumber dari beberapa pepohonan seperti yang telah disebutkan di atas selain berfungsi untuk produktivitas ternak juga berfungsi sebagai antelmintik karena kandungan dari metabolit sekundernya, sehingga intensitas infeksi Trichuris ovis termasuk dalam kategori ringan. Sesuai dengan pendapat Wirawan et al. (2017), konsentrasi efektif ekstrak daun muda kedondong hutan dengan senyawa taninnya terhadap larva H. contortus adalah konsentrasi 4,5%, memberikan efektivitas larvasida 100%, dan tidak berbeda nyata dengan kontrol positif atau albendazole 0,055% (P>0,05).
Salah satu senyawa metabolit sekunder dari ekstrak air daun Desmanthus virgatus adalah senyawa tanin. Ekstrak ini dengan konsentrasi 2,5% memberikan persentase vermisida yang lebih tinggi dalam waktu tujuh jam perendaman dibandingkan konsentrasi 3,5% dan 4,5% sesuai dengan pendapat Wirawan et al. (2022). Menurut pendapat Orden et al. (2017), ekstrak daun Desmanthus virgatus dengan pelarut aseton memiliki senyawa tanin kondensasi sebesar 1.176,40 g/g DM sedangkan Gliricidia memiliki 476.81 g/g DM.
Kambing yang berumur lebih tua intensitas infeksi Trichuris ovis lebih tinggi dibandingkan dengan kambing yang lebih muda, disebabkan karena kambing yang lebih tua diduga mempunyai imunitas yang lebih rendah dibandingkan kambing muda. Selain itu, semakin tua umur ternak
maka resiko terpaparnya oleh endoparasit tersebut linier dengan peningkatan tingkat infeksinya. Sesuai dengan pendapat Hussein et al. (2023), hewan yang lebih tua dan kondisi tubuh buruk memiliki peluang lebih tinggi untuk menjadi inang nematoda dibandingkan hewan yang lebih muda. Pernyataan yang senada dikemukakan oleh Amaral et al. (2022), tingkat prevalensi Strongylida/Strongyles pada domba lebih tinggi umur 9 – 12 bulan (31,25%) dibandingkan ternak kambing pada umur 0 – 4 bulan (28,13%).
Lebih lanjut menurut Anggraini et al. (2019), menyatakan bahwa ternak yang masih muda antibodi dari induk masih tetap ada sehingga lebih tahan terhadap infeksi parasit. Penelitian tentang perbedaan umur kambing dengan tingkat infeksi protozoa darah telah dilakukan oleh Shakya et al. (2017), tingkat infeksi yang jauh lebih tinggi terjadi pada kambing berumur >1 tahun (50,43%) dibandingkan kambing berumur <1 tahun (19,31%). Infeksi yang tidak signifikan lebih tinggi terjadi pada betina (46,04%) dibandingkan pejantan (39,50%).
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa telur cacing yang ditemukan di dalam penelitian ini berdasarkan ciri-ciri morfologinya adalah Trichuris ovis. Intensitas infeksi Trichuris ovis pada kambing berumur 18 – 24 bulan lebih tinggi dibandingkan umur 6 – 7 bulan dan termasuk dalam kategori infeksi ringan, kategori infeksi ini dipengaruhi oleh musim dan sumber pakan. Perbedaan umur kambing merupakan salah satu faktor penyebab adanya perbedaan intensitas infeksi Trichuris ovis diantara kedua kelompok tersebut.
Saran
Penulis menyarankan dalam penelitian lanjutan sebaiknya menggunakan jumlah sampel yang lebih banyak dengan waktu
penelitian lebih lama sehingga hasilnya lebih akurat.
UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Direktur dan Kepala P3M Politeknik Pertanian Negeri Kupang yang telah memberikan dana penelitian melalui DIPA Politeknik Pertanian Negeri Kupang Sesuai Dengan Surat Perjanjian Kerja (SPK) Penelitian Nomor: 01/P3M/SP DIPA-023.18.2.677616/2023 Tanggal 12 April 2023.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Shaibani IRM, Phulan MS, Arijo A, Qureshi TA. 2008. Contamination of infective larvae of gastrointestinal nematodas of sheep on communal pasture. Int. J. Aglic. Biol. 10: 653657.
Amaral AC, Freitas JDC, de Carvalho RD, Noronha AMDCG, Ribeiro JMDS, Santos ID. 2022. The prevalence of Strongylida/strongyles in small ruminants in Manatuto Municipality in central region of Timor-Leste. Livestock Anim. Res.. 20(2): 110-117.
Anggraini M, Primarizky H, Mufasirin, Suwanti LT, Hastutiek P, Koesdarto S. 2019. Prevalensi penyakit protozoa darah pada sapi dan kerbau di Kecamatan Moyo Hilir Kabupaten Sumbawa Nusa Tenggara Barat. J. Parasite Sci. 3(1): 9-14.
Beriso G, Tesfaye Z, Fesseha H, Asefa I, Tamirat T. 2023. Study on gastrointestinal nematode parasite infections of donkey in and around shone town, Hadiya zone, Southern Ethiopia. Heliyon. 9(6): e17213.
Bowman DD, Georgi JR. 2009. Georgi’s parasitology for veterinarians. Elsevier Health Sciences: United Kingdom.
Bulbul KH, Akand AH, Hussain J, Parbin
S, Hasin D. 2020. A brief understanding of Trichuris ovis in ruminants. Int. J. of Vet. Sci. Anim. Husb. 5(3): 72-74.
Crotti M. 2013. Digenetic Trematodes: an existence as parasites. Brief general overview. Microbiol. Med. 28(2): 97101.
Hussein HA, Abdi SM, Ahad AA, Mohamed A. 2023. Gastrointestinal nematodiasis of goats in Somali pastoral areas, Ethiopia. Parasite Epidemiol. Control. 23: 1-7.
Jabbar A, Gauci C, Lightowlers MW. 2016. Diagnosis of human taeniasis. Faculty of Vet. and Agricultural Sciences, The University of Melbourne, Werribee, Vic. 3030,
Australia. Page. 43-45.
MAFF. 1986. Fisheries and food, reference book, manual of Vet. parasitological laboratory techniques, Vol.418, Ministry of Agriculture, HMSO, London, 5pp
Muhajirin M, Despal D, Khalil K. 2017. Pemenuhan kebutuhan nutrien sapi potong bibit yang digembalakan di Padang Mengatas. Bul. Makanan Ternak. 104(1): 9-20.
Mpofu TJ, Nephawe KA, Mtileni B. 2022. Prevalence and resistance to
gastrointestinal parasites in goats: a review. Vet. World. 15: 2442-2452.
Nurcahyo RW, Ekawasti F, Haryuningtyas D, Wardhana AH, Firdausy LW, Priyowidodo D, Prastowo J. 2021. Occurrence of gastrointestinal parasites in cattle in Indonesia. IOP Publishing. doi:10.1088/1755-
1315/686/1/012063.
Orden EA, Rosario NAD, Orden MEM, Fujihara T. 2017. Nutritive value and anthelmintic properties of selected leguminous shrubs and trees for goats. Int. J. Sci. Technol. 2(2): 28-37.
Paul BT, Jesse FFA, Chung ELT, Che’Amat A, Lila MAM. 2020. Risk factors and severity of gastrointestinal parasites in Selected Small Ruminants from Malaysia. Vet. Sci. 7(208): 1-14.
Shakya P, Jayraw AK, Jamra N, Agrawal V, Jatav GP. 2017. Incidence of gastrointestinal nematodes in goats in
and around Mhow, Madhya Pradesh. J. Parasit Dis. 41(4): 963-967.
Silvestre R-C, Camalig FeM, Juliana Q. 2013. Prevalence of ectoparasites and endoparasites of carabao in Region I. E – Int. Sci. Res. J. 5(3).
Tiele D, Sebro E, Meskel DH, Mathewos M. 2023. Epidemiology of gastrointestinal parasites of cattle in and Around Hosanna Town, Southern Ethiopia. Vet. Med. 14: 1 – 9.
Urquhart GM, Armour J, Ducan JL, Dunn AM, Jennings FW. 1987. Vet. parasitology. Longman Group UK Limited. Published by Churchill Livingstone Inc., New York, USA, 92-93.
Wirawan IGKO, Nurcahyo W, Prastowo J, Kurniasih K. 2017. Daya larvasida ekstrak daun muda kedondong hutan terhadap Haemonchus contortus
Secara In-vitro. J. Vet. 18(2): 283-288.
Wirawan IGKO, Jaya IK, Randu MDS. 2019. Keragaman dan intensitas infeksi endoparasit gastrointestinal pada sapi bali dengan sistem ekstensif di Kabupaten Kupang. J. Sain Vet. (37)2: 151-159.
Wirawan IGKO, Suryawati S, Koni TNI, Wea R. 2022. Daya vermisidal ekstrak air dua jenis etnofarmakologi terhadap Haemonchus contortus pada kambing kacang (Capra hircus) secara In-vitro. J. Sain Vet. 40(2): 147-154.
Zajac AM, Conboy GA. 2012. Vet. clinical parasitology. 8th Edition. American Association of Vet. Parasitologists. ©Iowa State
University Press.
Zalizar L. 2017. Helminthiasis saluran cerna pada sapi perah. J. Ilmu-Ilmu Pet. 27(2): 116-122.
Tabel 1. Intensitas infeksi Trichuris ovis berdasarkan umur Pada Capra hircus
Intensitas Infeksi Berdasarkan Rataan Intensitas Infeksi
Kelompok Total Telur Gram (TTG) Feses Berdasarkan Total Telur Gram
(Butir) (TTG) Feses (Butir) | |
Minggu I |
Minggu II |
K1 100 K2 50 K3 100 K4 150 K5 150 K6 150 K7 200 K8 200 K9 200 |
100 100 150 100 100 100 50 100 250 200 250 200 200 200 200 200 200 200 |
Catatan: K1 – K4 berumur = 6 – 7 bulan dan K5 – K9 berumur = 18 – 24 bulan
Tabel 2. Suhu lingkungan padang penggembalaan Agustus tahun 2023
Tanggal |
Suhu Lingkungan Padang Penggembalaan | ||
Pukul 05.00 WITA |
Pukul 12.30 WITA |
Pukul 20.00 WITA | |
17 |
22 0C |
47 0C |
26,5 0C |
18 |
22 0C |
47,5 0C |
27 0C |
19 |
23 0C |
47 0C |
28 0C |
20 |
23 0C |
50 0C |
27,5 0C |
21 |
24 0C |
50 0C |
22.5 0C |
22 |
22 0C |
50 0C |
28 0C |
23 |
25 0C |
50 0C |
27 0C |
24 |
25 0C |
50 0C |
27 0C |
Gambar 1. Trichuris ovis; A. Metode sedimentasi (140x), B. Metode pengapungan (350x)
1189
Discussion and feedback